Total Pageviews

Translate

Friday, November 15, 2019

Pacific Rim

As mentioned before, I'm not a fan of beaches, but from time to time, I do read about the neighbouring countries on the Pacific Rim. There are some that you might have heard of before, such as Fiji, Guam (a territory of the US) or even Vanuatu. I found them fascinating, mainly because these tiny dots are quite far from the nearest continent. I imagined it'd be like stranded in the middle of the ocean, but yet the islanders seemed to be doing fine. 

Of all these sovereign states, I always thought that I would visit New Caledonia one day. The French territory is easily the most beautiful and advanced country in the Oceania region. But it comes with the price. The flights to New Caledonia aren't cheap!

Kiribati.
Image from worldnomads.com

Kiribati is also interesting, but it was due to the fact that the country used to be split into two by the International Date Line (IDL). Back then, if you travelled to the eastern side of the country, suddenly you were one day behind simply because you crossed the IDL. 

Another one that caught my attention was Palau. I never realized that the island country's location is not exactly far from the Philippines and Indonesia, but yet I never heard of it until recently. It's famous for Rock Islands and Jellyfish Lake.

Palau.
Image from kayak.com

Then there is Nauru, the third smallest country in the world, right after Vatican and Monaco. Nauru is heavily dependent on Australia as it has almost nothing, but when I checked out the videos on YouTube, the Nauruans seemed to live quite a happy life down there. 

Closer to home is East Timor. I had mixed feelings about this country, because it used to be part of Indonesia. When I realized that two of my friends, Mul and William, actually went there before, I was intrigued. Why would they go there and what was it like? Curious, I asked about their experiences.

The International Airport of East Timor.
Photo by Mul.

They took different routes to get there. Mul flew directly from Jakarta to Dili whereas William stopped in Bali before making his way to Dili. Another alternative according to Mul was to travel from Kupang, East Nusa Tenggara. It took approximately eight to nine hours to reach Dili (and Mul did the reversed route when he returned to Indonesia). At the immigration checkpoint, they applied for visa on arrival (it's USD 30 these days). While Bahasa Indonesia still can be used in East Timor, rupiah isn't a legal tender note. English isn't widely spoken as the national language is Portuguese. 

Both of them had a rather memorable first impression. Mul said it was like entering an African country that one would see on National Geographic. It was hot, dry and dusty. William saw the UN helicopter when he landed. There were military and civilians from various NGOs in East Timor.

The seaside of East Timor.
Photo by Mul.

The country was underdeveloped and the view from airport to city was not dissimilar to small towns in Indonesia. The city centre was basically a strech of buildings on the street next to the seashore. No shopping malls, at least during the time when they visited Dili. The tallest building was four stories. The food was quite on the high side, roughly around USD 5 per meal.

As he was on a rather short business trip (only two days and one night) William had no time for sightseeing. Still he had unforgettable moments there. When he checked in to his hotel, he bumped into a fellow Teochew from Pontianak. In Dili of all places! To make it more astounding, his hotel was actually a cruise ship that was docking at the port! It's not everyday one could wake up with a brilliant sea view! William reminisced about the time he was on the ship deck. He saw a lot of fishing boats dotting the sea under the bright blue sky.

Cristo Rei of Dili.
Photo by Mul.

Mul was in Dili for work purpose, too, but he had more time there. He managed to visit Cristo Rei of Dili, the statue of Jesus, a major tourist attraction in town. Not much can be said about night time because Mul was advised not to go out after dark. The safety concern was real and valid. William recalled seeing bullet holes on the wall. 

And there was only so much they could tell about East Timor. Quite an experience, but probably not one that I would want to experience myself. From what they described, it might take years for East Timor to become a tourist destination. In the meantime, probably I should stick with New Caledonia...

The East Timor passport stamps.
Photo by Mul.



Pacific Rim

Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, saya bukanlah anak pantai. Kendati begitu, terkadang saya suka membaca tentang negara-negara tetangga yang berada di sekeliling Samudera Pasifik. Mungkin anda mengenal beberapa di antaranya, misalnya Fiji, Guam (yang merupakan kawasan Amerika Serikat) atau bahkan Vanuatu. Saya senantiasa merasa bahwa negara-negara ini menakjubkan, terutama karena pulau-pulau kecil ini jauh dari benua terdekat. Kalau saya bayangkan, rasanya seperti terdampar di tengah lautan, tapi para penghuni pulau-pulau ini sepertinya menikmati kehidupan mereka.  

Dari berbagai negara di Pasifik, saya berangan-angan bahwa suatu hari nanti saya akan ke New Caledonia. Negara yang termasuk dalam wilayah Perancis ini boleh dikatakan negara yang paling indah dan maju di kawasan Oceania. Masalahnya adalah, tiket ke sana mahal harganya!

New Caledonia.
Image from Pinterest.com

Kiribati juga menarik, tapi lebih dikarenakan oleh Garis Batas Penanggalan Internasional (IDL) yang dulunya melintasi negeri ini. Sebelum koreksi dilakukan di pertengahan tahun 90an, kita akan kembali ke satu hari sebelumnya begitu kita berkelana ke sebelah timur Kiribati dan melewati IDL. 

Negara lain yang juga menarik perhatian saya adalah Palau. Tidak pernah saya sadari sebelumnya kalo negara pulau ini berada di antara Filipina dan Indonesia. Palau terkenal dengan gugusan Rock Islands dan Danau Ubur-ubur.

Nauru.
Foto dari bbc.com.

Kemudian ada lagi yang namanya Nauru, negara terkecil ketiga di dunia, setelah Vatikan dan Monaco. Nauru yang luasnya hanya 21 km2 (34,5 kali lebih kecil dari Singapura) ini hampir tidak memiliki apa-apa dan sangat tergantung pada Australia, namun saat saya lihat YouTube, para penduduk Nauru terlihat gembira dengan kehidupan mereka di pulau kecil di tengah samudera.

Yang paling dekat dengan Indonesia adalah Timor Timur. Ada perasaan yang susah dijelaskan kalau bicara tentang negara ini, sebab Timor Timur merupakan bagian dari Indonesia dulu. Ketika saya mengetahui bahwa dua teman saya, Mul dan William, pernah ke sana, saya jadi tertarik untuk mendengarkan cerita mereka. 

Dua teman ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanan ke Timor Timur. Mul terbang langsung dari Jakarta sementara William transit di Bali sebelum lanjut ke Dili. Alternatif lain yang ditempuh Mul sewaktu pulang adalah perjalanan darat. Menurut Mul, rute Dili-Kupang (Nusa Tenggara Timur) membutuhkan waktu delapan sampai sembilan jam. Di imigrasi, pengunjung dengan paspor Indonesia perlu mengajukan visa on arrival (harganya USD 30 sekarang). Meski Bahasa Indonesia masih bisa dipergunakan Timor Timur, rupiah tidak lagi berlaku. Bahasa Inggris tidak dipergunakan secara luas karena bahasa nasional di sana adalah Portugis. 

Mul dan William memiliki kesan pertama yang tidak terlupakan. Mul merasa seperti memasuki negara Afrika yang dilihatnya di dokumenter National Geographic. Negara ini panas, kering dan berdebu. William melihat helikopter PBB begitu mendarat. Banyak militer dan orang asing dari berbagai NGO di sana. 

Timor Timur masih terbelakang dalam hal pembangunan. Pemandangan dari bandara ke kota hampir sama dengan Indonesia. Pusat kotanya hanya sederet gedung di jalan raya yang terletak di tepi pantai. Tidak ada mal di Dili pada saat mereka berkunjung ke sana. Bangunan paling tinggi hanya empat lantai. Makanan pun agak mahal, kira-kira sekitar USD 5 sekali makan. 

Karena pergi dalam rangka bisnis selama dua hari satu malam, William tidak sempat berwisata. Walaupun demikian, dia masih memiliki kenangan tersendiri di sana. Ketika dia registrasi di meja resepsionis hotel, dia bertemu dengan sesama orang Tiociu yang berasal dari Pontianak. Bayangkan, di Dili, negeri antah-berantah! Yang lebih mengesankan lagi, hotel tempat William menginap adalah sebuah kapal pesiar yang berlabuh di sana. Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan untuk bangun pagi dengan pemandangan laut yang luar biasa. William ingat betul saat dia berada di dek kapal, memandang laut yang dipenuhi dengan kapal-kapal nelayan yang berlayar di bawah langit biru.

Cristo Rei of Dili.
Foto oleh Mul.

Mul berada di Dili dalam rangka kerja juga, tapi waktunya lebih panjang di sana. Dia sempat mampir dan melihat Cristo Rei of Dili, patung Yesus yang merupakan atraksi turis di Dili. Karena alasan keamanan, Mul disarankan untuk tidak keluar hotel setelah hari gelap. William juga mendapatkan saran yang sama. Ketika dia bepergian dengan mobil, William ingat betul dengan lubang-lubang peluru di dinding gedung yang dilewatinya.  

Dan hanya inilah yang bisa mereka ceritakan tentang Timor Timur. Unik pengalamannya, tapi mungkin bukan sesuatu yang ingin saya alami. Berdasarkan deskripsi mereka, sepertinya butuh waktu lama bagi Timor Timur untuk siap menjadi tujuan wisata. Untuk saat ini, saya rasa New Caledonia masih merupakan pilihan yang tepat...


No comments:

Post a Comment