Total Pageviews

Translate

Sunday, May 3, 2020

The First Time

About a year ago, I mentioned this idea to Hendra, a fellow roadblogger and a high school friend that joined our recent trip to Semarang. I told him that people from Pontianak normally visited Kuching when they first travelled abroad and he was probably the only person I knew that went to China for his first overseas trip. The holiday must be quite an eye-opener for him. It'd be nice to hear the story and I encouraged him to write one. 

The idea was never materialised, but it also didn't fade away. The world through the eyes of someone who came from a small, backwater town such as Pontianak sounded like a good story to tell. Then it occurred to me that since both Hendra and I were from Pontianak, I could be that someone, too, haha.

Hendra, during our trip to Semarang.

In order to understand how significance the first visit to other countries was, one had to know how it was like to grow up in Pontianak. Back in the 80s, electricity was inconsistent and every household always kept at least a box of candles inside the drawer. Home phone was a luxury and I remember walking to a phone booth to call my Dad's office using a public rotary dial phone. Unless the family was quite well-to-do, your TV would only have one channel: the state-owned TVRI. Kapuas Indah was the only plaza with an escalator, but throughout my childhood, I didn't recall it ever worked. ATM machine existed only in the mid 90s. KFC came in even much later and it was like a big deal then. 

That was the kind of place I grew up in. The years I spent in my hometown definitely shaped the way I saw and perceived things. I was four when my parents brought me to Jakarta for holiday and I was in awe with the escalator when I first saw it moving at Gajah Mada Plaza. A staircase that moved. How magical! More than that, the city had neon signs and tall buildings! I felt like a naive village boy and the capital city was surely beyond my wildest dream.

With my brother, Herry, when we first visited Kuching. 

But not even Jakarta would prepare me for my next destination. Kuching was nice, clean and so modern that it made Pontianak look dirty and undeveloped. The waterfront was so neatly done that ours suddenly looked like a half-hearted attempt. I remember being impressed by the Chinese words that the Malaysians used freely on their signboards. Never saw that before. The Malaysians didn't speak Bahasa. They spoke a mixture of Malay, Mandarin and English instead. Their currency was called ringgit and the notes looked classy when compared with the often crumpled rupiah. They had Kellogg's breakfast cereal, Paddle Pop ice cream and all those things that I only saw on their TV channel but never had a chance to try before. I remember laughing at their KFC that didn't come with steamed rice. Little did I know that only fast food chains in Indonesia provided steamed rice. Finally there was a seafood eatery in Buntal, which reminded me of a similar restaurant in Sungai Kakap, not very far from Pontianak. 

The weirdest memory, I must say, was the fresh milk and the comment made by my Dad's friend. He said he'd always have stomach ache when he drank it. At that time, I only ever saw Bear Brand milk in small tin cans before and I thought you only drank that when you had fever, so the sight of a healthy adult drinking a big bottle of Dutch Lady was rather bizarre to me, especially when he knew he'd go to toilet right after that. 

Like I said earlier, it was an eye-opener. I was about 10 years old and yes, I was aware that there was a country called Malaysia. But to actually be there, to feel the very existence of the culture, to taste the food, to listen to the language they spoke, or even an action as simple as seeing a different flag waving in the sky, all this was a special experience that would shake your senses to the core. 

Back then I was too young to appreciate the experience, but in hindsight, it was like a brutal awakening. Suddenly I was made aware of where we were as a country and apparently we were lagging behind. I mean, just nine hours drive away from Pontianak, there were people who lived an entirely different lifestyle in a seemingly better place. It was good to know that we had options should we choose not to live the same way as we did. Hence go travelling and be inspired. Oh yes, be very inspired by your first time abroad...

Back to Kuching with Keenan, Isaac and Bernard in 2012.
Yes, the camera resolution on mobile phone was still bad back then!



Kali Pertama

Kira-kira setahun yang lalu, saya menyarankan ide ini pada Hendra, sesama roadblogger dan juga seorang teman yang ikut serta di trip Semarang. Saya katakan padanya bahwa biasanya Kuching menjadi tujuan utama orang Pontianak saat mereka pertama ke luar negeri, jadi Hendra ini mungkin satu-satunya kenalan saya yang berkesempatan untuk ke Cina di kali pertama bepergian. Saya rasa liburan ini pasti mengesankan baginya dan tentunya menarik untuk dijadikan cerita. Saya lantas menganjurkannya untuk menulis pengalaman tersebut. 

Ide ini belum terwujud, namun juga tidak pudar dari benak saya. Melihat dunia dari sudut pandang orang dari kota kecil yang tidak begitu maju seperti Pontianak terasa seperti sebuah kisah yang menarik. Kemudian terpikir oleh saya bahwa saya pun berasal dari Pontianak dan memiliki perspektif serupa. Kalau begitu, saya saja yang menulis ceritanya, hehe.

Hendra, during our trip to Semarang.

Untuk memahami dampak dari kunjungan pertama ke luar negeri, anda harus tahu seperti apa rasanya tumbuh dan berkembang di Pontianak. Di tahun 80an, listrik tidaklah konsisten dan setiap rumah menyimpan setidaknya sekotak lilin di laci. Telepon rumah adalah barang mewah. Saya ingat saat saya berjalan ke kotak telepon umum dan menggunakan telepon kuno yang masih diputar nomornya untuk menelepon ayah saya di kantor. TV saat itu hanya menayangkan TVRI. Siaran lainnya hanya bisa ditangkap dengan antena parabola. Kapuas Indah adalah satu-satunya pusat perbelanjaan yang memiliki eskalator, tapi seingat saya, eskalator tersebut tidak pernah berfungsi. ATM baru muncul di pertengahan tahun 90an. KFC masuk ke Pontianak bertahun-tahun setelah kemunculan ATM dan menghebohkan seisi kota dengan kehadirannya. 

Seperti inilah tempat saya lahir dan dibesarkan. Sudut pandang yang unik pun terbentuk sebatas apa yang saya lihat dan ketahui selama bertahun-tahun di Pontianak. Saya berumur empat tahun ketika pergi ke Jakarta untuk pertama kalinya dan saya terperangah saat melihat eskalator yang berfungsi di Gajah Mada Plaza. Sebuah rangkaian anak tangga yang bergerak naik dan turun secara otomatis. Betapa menakjubkan! Lebih dari itu, Jakarta memiliki lampu neon warna-warni yang terang-benderang serta gedung-gedung tinggi yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Saya merasa seperti bocah kampung yang naif dan terpesona dengan majunya ibukota Indonesia.

With my brother, Herry, when we first visited Kuching. 

Namun siapa yang menyangka bahwa bahkan pengalaman di Jakarta pun tidak bisa menyaingi apa yang akan saya lihat di tempat tujuan berikutnya? Kuching adalah sebuah kota yang berbeda, begitu bersih dan modern sehingga Pontianak terlihat kotor dan terbelakang. Kawasan tepi sungainya sangat rapi dan membuat Alun-Alun Kapuas terlihat seperti pekerjaan setengah hati. Saya terkesan dengan tulisan Mandarin yang ada di papan nama toko. Belum pernah saya lihat yang seperti ini sebelumnya. Orang Malaysia tidak berbahasa Indonesia, namun bercakap-cakap dalam bahasa Melayu, Mandarin dan Inggris. Mata uang mereka adalah ringgit dan uang kertasnya sangat bagus bila dibandingkan dengan uang rupiah yang seringkali ditemukan dalam kondisi lusuh dan mengenaskan. Mereka memiliki sereal Kellogg's, es krim Paddle Pop dan beragam makanan yang hanya saya lihat di TV3, tapi belum pernah saya coba sebelumnya. Saya tertawa saat melihat KFC mereka yang tidak disajikan dengan nasi. Tidak pernah saya sadari bahwa hanya restoran cepat saji di Indonesia yang memiliki menu nasi putih. Dan kemudian ada daerah pesisir bernama Buntal yang suasananya mirip seperti Sungai Kakap, tempat orang Pontianak menikmati makanan laut. 

Kenangan yang paling aneh adalah susu segar dan komentar dari teman ayah saya. Dia berkata bahwa dia selalu sakit perut kalau minum susu segar. Saat itu saya hanya pernah melihat Susu Beruang yang dikemas dalam kaleng kecil. Setahu saya, anda hanya minum susu tersebut kalau sedang panas dalam. Aneh rasanya melihat seorang pria dewasa yang sehat meminum sebotol susu segar Dutch Lady, apalagi dia tahu kalau dia akan berakhir di toilet. 

Ini adalah sebuah pengalaman yang luar biasa dan tidak terlupakan. Waktu itu saya berumur 10 tahun dan ya, saya tahu bahwa ada negara bernama Malaysia. Tapi beda rasanya saat saya berada di sana, merasakan sendiri budaya mereka, mencoba makanannya, mendengar bahasa mereka dan juga melihat bendera yang berbeda berkibar di langit biru. Semua ini adalah pengalaman istimewa yang mengguncang panca indera.

Di kala itu saya masih terlalu muda untuk bisa menghargai semua ini, tapi saat saya lihat kembali, rasanya seperti dibangunkan dari tidur. Tiba-tiba saja saya disadarkan bahwa negara kita sebenarnya agak tertinggal. Bayangkan saja, di pulau yang sama, ada bangsa lain yang berbeda gaya hidupnya dan tinggal di kota yang lebih modern dan tertata. Adalah baik bagi kita untuk mengetahui bahwa kita memiliki pilihan bilamana kita memilih untuk tidak hidup seperti apa yang selama ini kita lakukan di Pontianak. Oleh karena itu, pergilah berkelana dan carilah inspirasi. Oh ya, terinspirasilah dengan pengalaman pertama anda ke luar negeri... 

No comments:

Post a Comment