Total Pageviews

Translate

Saturday, January 14, 2023

The X Factor

I've been doing the IT job long enough to have my fair share of success and failure. These past few years had been a roller coaster, too, from life in the of corona that change it all (pun intended) to moving office and so on. But all those paled in comparison with what happened recently. I jokingly said that perhaps it's because this is still ongoing now whereas others were distant memories. 

Seriously, it had been a while since I felt so helpless in the midst of such pressure. The last time I harboured such thoughts in mind was perhaps in early 2020, when I couldn't for the life me figure out how to solve some calculations for the statement I was working on (I eventually engaged Franky's help on this matter). Other than that, came hell or high water, I had persevered and laughed it off.

That lasted until recently, when I was reminded again that there would be times when things were beyond my control. The first was a project with a go-live date set on the week I was away on block leave. I wasn't the project manager here, but I really felt uneasy that I wasn't around to oversee and contribute my parts. Yes, delegation was in place, but it still felt like my work was half-done. It bothered me. It was as if I didn't do a good job. Couldn't imagine how the result would be.

Then, when I was in Kuching, as I waited for my daughter in front of the toilet, I received the news that a colleague had resigned. It was shocking, because I thought I had this settled right before my block leave began. I left Singapore thinking that things were under control, but it turned out that I was so wrong I had to sit down for a while. I let the news sank in, feeling disappointed before accepting the fact that there was nothing I could do until I got back to office. Then I put on my brave face and tried to enjoy the holiday.

To be honest, trying to enjoy the holiday was quite a daunting task when you had so much in mind. I couldn't help thinking that the worst was yet to come. I was so anxious until the day I could officially login again to get the latest update. Only then I realized that for case #1, the situation was not as bad as I thought. We could still pull it off. That somehow put my mind at ease. Then it dawned on me that if the decision-makers did it right, we could also fix case #2.

So what is the lesson here? While it is unpleasant when our best feels insufficient, it is important to acknowledge that there will be times when things spin out of our control, but probably not beyond someone else who is in the right position to make a difference here. It is the X factor that I always knew, but had forgotten as I got carried away by the situation. 

It is also important not to overplay the importance of oneself. The fear of not delivering is good when it pushes us further to be creative or out of the box, but not when it is getting us nowhere and self-destructive in nature. 

Thirdly, while it is completely human to be jittery as we wait in an uncertainty, only time will reveal the outcome. It can't be forced or sped up. The reality, as I learnt later on, wasn't as scary as what I had in mind. I had been worried sick for nothing. 

We all know it is easier to say it than to get it done, but it is also true that once you've done your best, you can only wait to see the outcome. Your mind may go wild with thoughts like, if only we had more control, we could have gotten it done. But that doesn't help and isn't going to happen either. So note to self, after all is said and done, just suck it up and live with it. In the event that things don't get better and take the fatal turn instead, it simply means that by God's grace, your time to exit the uncertainty has come. Just because it doesn't happen the way we want it, it's still a closure that we need!

Though difficult, but still have to smile. Audrey and I in Kuching.



Faktor X

Saya sudah berkecimpung di bidang IT cukup lama untuk memiliki banyak kisah sukses dan kegagalan. Beberapa tahun terakhir ini pun tidak ubahnya seperti kereta luncur di Dufan, mulai dari kehidupan di kantor yang berubah drastis karena korona sampai aktivitas pindah kantor dan sebagainya. Akan tetapi semua itu tidak terlihat sesibuk apa yang terjadi belakangan ini. Sambil bercanda saya berujar ke teman gereja, mungkin karena apa yang saya alami ini sedang terjadi sementara korona dan pindah kantor adalah cerita lama. 

Saya jarang merasa tidak berdaya di tengah tekanan pekerjaan. Terakhir kali saya merasa kesulitan mungkin terjadi di awal tahun 2020, ketika saya tidak mampu memecahkan formula perhitungan yang akan dipakai untuk laporan nasabah (saya akhirnya meminta bantuan Franky untuk menyelesaikan persoalan ini). Selain itu, bagaimana pun susahnya, saya hadapi dan atasi sendiri tanpa mengeluh.  

Dan semua berjalan seperti biasa hingga belakangan ini, ketika saya kembali diingatkan bahwa terkadang ada saat di mana sesuatu sudah di luar kontrol saya. Yang pertama adalah proyek yang baru bisa dimulai setelah dokumen perjanjiannya beres. Sistem itu lantas ditargetkan untuk siap dipakai pada saat saya sedang cuti wajib (di sektor finansial, cuti wajib berarti kita sama sekali tidak boleh menggunakan komputer dan mengecek pekerjaan kantor). 

Saya bukan pimpinan proyek ini, tapi tetap saja saya gelisah karena saya tidak di tempat untuk mengawasi dan mengerjakan bagian saya. Ya, saya sudah delegasikan tugas kepada kolega saya yang masih hijau tapi telah mengikuti rapat dari awal, tapi tetap saja rasanya seperti pekerjaan yang terbengkalai. Saya tidak suka perasaan ini, sebab rasanya seperti tidak bertanggung jawab. Saya sulit untuk membayangkan apa yang akan terjadi. 

Kemudian, ketika saya berada di Kuching dan sedang berdiri di depan toilet menunggui putri saya, tiba-tiba saya menerima kabar bahwa seorang kolega saya telah memutuskan untuk mengundurkan diri. Saya sungguh terkejut, sebab saya mengira bahwa perkara ini sudah saya bicarakan baik-baik dengannya. Sewaktu saya memulai cuti, saya menyangka semuanya sudah beres, tapi ternyata saya sungguh keliru, sampai-sampai saya merasa harus duduk sejenak. Saya cerna kabar tersebut dengan perasaan kecewa, lalu memutuskan bahwa saya baru bisa bernegosiasi lebih lanjut saat cuti usai. Setelah itu, saya memaksakan diri untuk tersenyum dan menikmati liburan sebisa mungkin. 

Jujur saya katakan, tidak mudah untuk berlibur ketika begitu banyak hal berkecamuk di dalam pikiran. Saya jadi berprasangka bahwa yang lebih buruk masih akan terjadi. Ada rasa tidak tenang dan perasaan tersebut baru sirna ketika tiba harinya di mana saya boleh menggunakan komputer kantor lagi. Setelah mengetahui perkembangan terkini, barulah saya sadari bahwa situasi kasus pertama tidaklah seburuk yang saya kira. Saya jadi agak lega. Untuk kasus kedua, rekan kerja saya bisa saja menarik kembali pengunduran dirinya kalau dua pimpinan divisi yang terlibat ini bersedia memberikan penawaran yang bisa disepakati bersama.

Jadi apa saja pelajaran yang bisa didapatkan di sini? Ya, memang rasanya merisaukan apabila sesuatu yang sudah kita kerjakan semaksimal mungkin masih saja terasa tidak cukup, tapi penting bagi kita untuk mengakui dan menerima kenyataan bahwa sesuatu sudah di luar kendali kita, namun mungkin masih bisa diatasi oleh mereka yang berada di posisi yang lebih tepat untuk membuat keputusan. Saya tahu apa yang dinamakan faktor X ini, tapi sekali ini saya terbawa suasana dan merasa kalap.

Hal berikutnya, juga penting bagi kita untuk tidak melebih-lebihkan pentingnya peranan kita dalam suatu pekerjaan. Ya, rasa cemas akan kegagalan dalam peran kita itu bagus bila perasaan tersebut mendorong kita untuk lebih kreatif. Yang tidak baik itu apabila kita justru merasa buntu dan mulai berpikir yang tidak-tidak. 

Yang ketiga, adalah manusiawi bila kita merasa gugup dalam ketidakpastian, namun perlu diingat pula bahwa hanya waktu yang akan mengungkap segalanya. Waktu ini tidak bisa dipaksakan, apalagi dipercepat. Kenyataan yang kemudian saya lalui itu tidaklah seburuk yang saya bayangkan, jadi boleh dikatakan kecemasan saya itu sia-sia. 

Ya, memang lebih mudah berbicara daripada menerapkan konsep ini, tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa setelah anda berikan yang terbaik, yang hanya bisa dilakukan selanjutnya cuma menunggu hasil akhirnya. Dalam masa penantian itu, pikiran kita mungkin berandai-andai, jikalau saya bisa ini-itu, pasti sudah beres masalahnya. Tapi semua itu hanya angan-angan yang tidak membantu. Jadi berdasarkan pengalaman ini, saya bisa katakan bahwa setelah tak ada lagi yang bisa dikerjakan, maka mulailah berserah diri. Kalau hasilnya tidak kunjung membaik dan justru jadi fatal, secara sederhana bisa ditafsirkan bahwa dalam kemuliaan Tuhan, memang sudah tiba waktunya bagi kita untuk keluar dari ketidakpastian ini. Meski tidak sesuai harapan, tetap saja merupakan akhir dari masalah yang merundung kita. Jadi tetaplah bersyukur!  

No comments:

Post a Comment