Total Pageviews

Translate

Wednesday, March 6, 2024

The Guilt Trip

One privilege of living the second half of your life outside your hometown is gaining a new perspective as you matured. You learnt that what we grew up with weren't always right and there were better ways in looking at things.

To give you the context, back in Pontianak, we were brainwashed with phrases such as pang tia lai and ai kak mai. The former can be roughly translated as relax, what's the rush? and the latter is as good as I also could it if I wanted to. First one is condoning the time wasting behavior, the second one is an arrogant way to cover the fact that one is lazy. Both are equally damaging. 

As I said in the grand plan, you listen to a certain thing long enough, you'll end up believing that perhaps this is the way it should be. Well, not if I could help it. Now that I had a different view, I made it my crusade to combat the old tradition. It was like discovering the gospel truth and you just had to shout about it! 

Our story this time began with a distraught friend sharing with us what he meant by grounded. He was so grounded that he'd say stuff like I love Pontianak. But it wasn't genuine. It felt ironic instead. Anyone in their right mind would have sensed that it wasn't true. 

This is coming from the same guy that dreamt of going to Japan and the dream came true because he put on effort wholeheartedly. When he exclaimed that he was now grounded indefinitely after the glorious Japan trip, it just didn't feel right. Something must have gone awfully wrong here. But what's that?

So we dug deeper and offered some countermeasures. Financial concerns were quickly addressed quite brilliantly by Eday in a comical way. The harder problems were the ones from within, those that were originated from years of living in such a toxic culture. 

In Pontianak, there is an apparent fear about what others would say. You'd think and think, worrying what their cynical opinions were, as if these were the most important thing ever. It clouded your judgement and left you very much unsure about anything, so paralyzing that you'd live with not much things to look forward to.

This guilt trip rendered our friend questioning his every move. That it was very wrong of him to go to Japan. That he has to pay the price and do all things because of it. That his wife has all the rights to do as she pleases while he has to suffer in silence. That it'll be a dreamless future from here onwards till the day he dies.

What he failed to realize is, perhaps all this was just wrecking havoc in his mind. It might not necessarily happen. So we told him that. We pulled him out from the guilt trip. And for the first time in a long while, we saw that cheeky, smiling face again. Then right after that, he said he wanted to sleep. It felt right, though. This was the guy that made us laugh and drove us nuts at the same time since we were kids.

So what's the moral of story here? I could have just walked away. It's not my fight anymore. But I guess some parts of Pontianak will always live in me and there's a sense of belonging there. We either continue the awful way of thinking or we stop it here and now. What's not good should end with us. To put a stop to it will be a lifelong battle, but I'll say it's pretty rewarding. It is oddly satisfying to show them time and again that the new way can be done...

When we were in Japan...



Perasaan Bersalah

Satu kelebihan dari hidup merantau dalam 22 tahun terakhir ini adalah perspektif baru yang saya dapatkan seiring dengan bertambahnya usia. Saya belajar bahwa tidak semua budaya yang saya kenal baik dari sejak kecil itu sudah pasti benar. Ada hal dan cara yang lebih baik dari apa yang saya ketahui sebelumnya. 

Sebagai konteks, saya bisa ceritakan bahwa semasa di Pontianak, kita seringkali dicuci otak dengan frase dan ungkapan seperti pang tia lai dan ai kak mai. Yang pertama artinya santai, kenapa harus terburu-buru? Yang kedua bisa diterjemahkan sebagai berikut: saya juga bisa kalau saya mau. Frase pertama condong mendukung prilaku buang-buang waktu, sedangkan yang kedua adalah cara sombong untuk menutupi kenyataan bahwa yang ngomong itu sebenarnya malas dan tidak mau berusaha. Dua-duanya sama-sama merusak. 

Seperti yang saya katakan dalam artikel rencana ke Jepang, jika anda mendengarkan sesuatu terus-menerus, lambat-laun anda akan percaya bahwa mungkin inilah satu-satunya cara yang benar. Ini yang hendak saya ubah. Saya temukan bahwa apa yang sering kita dengar itu tidaklah benar. Seperti halnya dengan kabar gembira, saya berkewajiban untuk mengabarkan hal ini sampai ke ujung dunia! 

Cerita kita kali ini dimulai dengan teman murung yang akhirnya berbagi cerita, apa maksudnya dengan istilah grounded yang sering ia pakai untuk mengambarkan kondisinya sekarang. Sedemikian terkekangnya teman yang satu ini, sampai-sampai ia bersembunyi di balik ucapan saya mencintai Pontianak. Cara penggunaan kalimatnya itu tidak terasa jujur. Justru lebih berkesan ironis. 

Ini adalah teman yang sama, yang dulunya berani bermimpi untuk ke Jepang dan mewujudkan impiannya karena dia berusaha sepenuh hati. Ketika dia mengeluh tentang nasibnya yang kini terbelenggu setelah liburan ke Jepang, rasanya ada yang salah. Tapi apa permasalahan sesungguhnya? 

Jadi kita pun menggali lebih dalam lagi dan menawarkan beberapa solusi. Masalah finansial dengan cepat diatasi oleh Eday dengan cara yang kocak nian. Yang lebih rumit adalah masalah dari dalam hati, yang tercipta karena puluhan tahun diracuni dengan budaya yang tidak benar. 

Di Pontianak, ada ketakutan yang akut akan cibiran orang lain. Teman saya ini berpikir dan kian terjerumus karena mengkhawatirkan opini sinis orang lain, seakan-akan itu adalah hal paling penting. Hal ini membuatnya merasa serba salah dan dia tidak yakin lagi dengan apa yang harus dilakukannya. Begitu parahnya hingga dia hanya bertahan hidup tapi tak lagi memiliki tujuan. 

Perasaan bersalah yang tidak jelas ujung pangkalnya ini membuat teman saya mempertanyakan setiap langkahnya. Dia kini merasa berdosa karena telah ke Jepang. Dia merasa bahwa dia harus membayar mahal perbuatannya ini. Dia merasa istrinya bebas berkumpul dan menikmati hidup sementara dia wajib menderita dalam hening. Hidupnya kini, mulai dari sekarang hingga mati, tak lagi boleh memiliki impian. 

Apa yang gagal disadarinya adalah, mungkin semua ini hanyalah imajinasi belaka. Belum tentu apa yang dibayangkannya itu sedang terjadi. Jadi kita sampaikan itu padanya dan kita bimbing dia keluar dari perasaan bersalah ini. Di malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, senyum konyol yang khas itu muncul lagi. Segera setelah itu, dia berkata bahwa sudah waktunya untuk tidur. Meski menyebalkan, semua ini terasa benar. Inilah teman yang membuat kita tertawa dan kesal dari sejak kecil. 

Jadi apa moral cerita kali ini? Sejujurnya saya bisa saja mengabaikan semua ini. Lagipula sudah bukan urusan saya lagi. Namun Pontianak akan selalu menjadi bagian hidup saya. Ada perasaan ikut andil kalau bicara tentang Pontianak. Pilihan kita adalah tetap melanjutkan budaya pemikiran seperti generasi sebelumnya atau kita hentikan itu sekarang. Apa yang tidak baik hendaknya diakhiri di generasi kita. Mungkin butuh waktu seumur hidup untuk mencapai itu, tapi hasilnya itu sepadan dengan upayanya. Ada perasaan puas saat menunjukkan bahwa cara baru yang lebih baik bisa membuahkan hasil yang lebih baik pula... 

No comments:

Post a Comment