Total Pageviews

Translate

Thursday, June 15, 2017

A French Man In Jakarta

One certainly doesn't stay for eight years (and counting) in Indonesia and speak Bahasa Indonesia fluently if the person doesn't have an affinity with our beloved country. I had this very interesting encounter with a foreigner recently and here's the story about the man himself. Personally, I reckon that we as Indonesians can learn from his experience and borrow his perspective to see Indonesia from a different light.

The name of our guest here is Robin Dutheil. He is from a village nearby Tours, a city in France. In his younger days, he lived a totally different life than us, doing stuff like savate (French boxing) and street hockey. Unheard of, eh? He also traveled around Europe and to Africa, to countries such as Burkina Faso, Ireland, UK, Germany, Czech and many more to find his way, before fate intervened and brought him to Indonesia in 2008. He went to many parts of the archipelago, from Sumatra to Sulawesi, then settled in Jakarta.

Posing with the kids...
Photo by Robin Dutheil.

While Indonesia was never in his destination list, the love for the country grew on him gradually. Robin was genuinely impressed by the people he met throughout his stay here. He shared with me a story where a local went with him all the way to his destination and refused to receive a token of appreciation afterwards. It was nothing like what his friend had described to him before! Another occasion worth mentioning was the time he took bajaj, a very noisy, three wheeled public transport. Robin already knew how much roughly the trip would cost him, but it was actually a nice surprise that the bajaj driver told him the exact same price he had in mind when he asked. He decided there and then that the Indonesian people were actually nice and friendly. Most importantly, he feels welcome not because he's a foreigner, but because he's allowed to be himself.

Once he made up his mind, Robin didn't stay foreign for too long. He picked up Bahasa Indonesia and, if you speak with him now, you can detect only the faintest French accent from his pronunciation. Not only it is almost perfect, it's also very localized version of Bahasa with Jakarta dialect. If one happens to speak with him on the phone, I'm pretty sure that the person will have a hard time guessing where he's from. I like the way he reverted to his French accented Bahasa. If you ever speak with a French, let's say in English, you'll notice that many can't help retaining the accent. That only goes to show how hard the man has tried to blend in. An admirable effort, I must say.

Talk about effort, his writing skill is equally solid. He did spend some time to write about the country that he grows to care about. On the same article, he also expressed how he wished he could participate in both the presidential and gubernatorial elections. The message was clear. If he, as a foreigner, was so keen to take part, then we were strongly encouraged to use our rights to vote. He explained that by voting, we were doing our responsibilities in making Indonesia a better country. Food for thought, really.

Promoting Apaja.
Photo by Robin Dutheil.

By the way, you may wonder what Robin is doing all this while. He is the founder of Apaja, a mobile application that will help you to navigate your way around Jakarta and surroundings (Bogor, Tangerang, Depok and Bekasi). The idea was triggered by the queries that he always received from others about which direction to take should they go to certain destination. This is what Apaja is basically all about, but unlike Google Map, it is very much customized to the areas it is covering. It really drills down to the details and has all sorts of combinations, for example, if you'd like to from one end to another, the app will tell you what public transportations you can take plus how much each mode of transportation will cost you, etc. Good for locals, especially useful for foreigners.

So what's next for Robin? Well, Indonesia is a big country and brimming with potential, so he surely won't run out of things to do. When holiday comes, a man with a geology interest has Krakatoa is on the top of his list, followed by the lesser known Tambora, then East Indonesia, from Maluku to Papua. Enjoy your stay, Robin!  

Seorang Perancis Di Jakarta

Seseorang tentu tidak akan tinggal delapan tahun lamanya di Indonesia dan menjadi begitu fasih dalam berbahasa Indonesia jika ia tidak menyukai negara kita. Baru-baru ini saya bertemu dengan orang asing yang seperti ini dan berikut ini adalah ceritanya. Secara pribadi, besar harapan saya bahwa kita bisa belajar dari pengalamannya dan juga melihat kembali Indonesia dari sudut pandangnya.

Nama tamu kita adalah Robin Dutheil. Dia berasal dari sebuah perkampungan di dekat Tours, sebuah kota di Perancis. Sebagai orang dari negara nun jauh di sana, dia memiliki kehidupan yang sangat berbeda dengan apa yang kita kenal, misalnya saja aktivitas seperti olahraga tinju gaya Perancis dan hoki jalanan yang ia tekuni sewaktu berada di negaranya. Dia juga berkelana ke berbagai negara di Eropa dan Afrika, mulai dari dari Burkina Faso, Irlandia, Inggris, Jerman dan masih banyak lagi, sebelum takdir membawanya ke Indonesia. Dia lantas bertualang menjelajahi nusantara, ke daerah seperti Sumatra, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi, kemudian menetap di Jakarta. 

Meskipun Indonesia sebenarnya tidak termasuk daftar negara yang hendak ia kunjungi, Robin perlahan-lahan menyukai negeri ini. Dia terkesan oleh orang-orang yang ia jumpai selama tinggal di sini. Beberapa pertemuan yang ia alami, misalnya ketika ia diantar oleh seseorang sampai ke tempat tujuan tanpa mau menerima imbalan apa pun, sungguh berbeda dengan apa yang ia dengar sebelumnya. Ada lagi pengalaman lain tatkala dia menaiki bajaj. Robin sudah tahu berapa ongkos yang harus dia bayar untuk sampai ke tujuan, tapi dia tidak menyangka bahwa supir bajaj itu dengan lugu memberitahukan harga yang sama ketika ia bertanya. Dari situ ia merasa bahwa orang Indonesia sebenarnya ramah dan bersahabat. Di sisi lain, dia juga senang karena merasa diterima apa adanya.

Bersama mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Photo by Robin Dutheil.

Ketika ia memutuskan untuk menetap, Robin mulai membaur. Dia mempelajari Bahasa Indonesia dan, jika anda berbicara dengannya sekarang, anda harus benar-benar fokus untuk menyadari sedikit aksen Perancis yang masih tersisa dari lafalnya. Pengucapannya bukan saja hampir sempurna, namun juga kental dengan dialek Jakarta. Bila seseorang berbicara dengannya melalui telepon, bisa dipastikan bahwa lawan bicaranya akan kesulitan menebak dari mana dia berasal. Saya sendiri terpukau ketika dia berbahasa Indonesia dalam aksen Perancis karena saya langsung teringat dengan beberapa kenalan di Singapura yang tidak bisa meninggalkan aksen Perancisnya dalam berbahasa Inggris. Kemahirannya dalam berbahasa menunjukkan bahwa dia memang berusaha keras dalam upayanya. 

Bicara tentang upaya, kemampuannya dalam segi tulisan pun layak mendapat acungan jempol. Dia pernah menulis tentang Indonesia dan dalam artikel ini, dia juga turut mengungkapkan bagaimana dia berharap bisa turut serta dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Pesan yang tersirat cukup jelas. Jika dia sebagai orang asing begitu berminat untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini, tentunya kita sebagai warga negara Indonesia harus lebih aktif terlibat dalam kelangsungan berbangsa. Dengan ikut memilih, kita berperan membawa negara kita menjadi lebih maju. Saran yang pantas untuk dipikirkan, bukan?

Oh ya, bilamana ada yang bertanya apa yang sebenarnya Robin kerjakan di Indonesia selama ini, perlu diketahui bahwa dia ada pencetus Apaja, sebuah aplikasi untuk piranti Android dan iOS. Aplikasi ini membantu pengguna untuk berlalu-lintas di Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi). Ide ini bermula dari seringnya ia mendapatkan pertanyaan dari banyak orang, arah mana yang harus dilalui untuk sampai ke tempat tujuan. Hal ini lambat-laun membuatnya sadar bahwa orang bisa menggunakan aplikasi sebagai solusi. Walau ada kemiripan dengan Google Map, Apaja dirancang sesuai dengan kondisi di lapangan sehingga tepat guna. Sebagai contoh, misalnya seseorang hendak berangkat dari satu tempat ke tempat lain, aplikasi ini akan menampilkan angkutan umum apa saja yang bisa dipilih, termasuk angkot, lengkap dengan harganya. Cocok buat orang lokal, bermanfaat bagi turis.

Selain Apaja, apa selanjutnya buat Robin? Mengingat Indonesia adalah negara yang besar dan penuh potensi, tentunya banyak yang bisa Robin kerjakan. Di kala senggang di musim liburan, pria yang tertarik dengan geologi ini bisa mewujudkan impiannya ke Krakatau, lalu Tambora dan lantas dilanjutkan dengan kunjungan ke Maluku, Papua dan masih banyak lagi. Selamat menikmati hari-harimu di Indonesia, Robin!

Di antara teman-teman Indonesia.
Photo by Ignasia Susan.


Wednesday, June 14, 2017

The Musicals

You may wonder why people would pay for a rather expensive ticket for musicals, especially when it is compared with a movie ticket, your 10 dollars entry to the latest Hollywood flick. I didn't understand that, too, at first. Musicals are definitely not part of our culture. In Pontianak, we only care about what to eat. We don't give a damn about musicals because such a show is simply unheard of.

Evita, another great show!

After I migrated to Singapore, I started embracing the art scenes, ranging from classical music, concerts, musicals to stand-up comedies (frankly speaking, it has a lot to do with earning SGD, which makes things affordable, haha). I can't recall what triggered my interest in musicals, but the first show I watched was We Will Rock You. As you can probably tell from the name, it features Queen's songs, which might explain why I ended up watching it.

I remember being amazed by how the futuristic storyline was crafted based on various elements from Queen. Killer Queen, Galileo, Scaramouche, the Red Special, those were definitely something that a fan could delightfully relate with. Then of course there were hits that I know and love. Overall, it was a brilliant experience.

After watching the Sound of Music.

That's when I fell in love with musicals. With the exception of Wicked, I tend to love every show that I watched. Chicago was... all that jazz and funny in a naughty way. Lion King was mind blowing, because it was unthinkable to have animals acted by human. Very impressive. The Sound of Music would always be compared with the version by Julie Andrews, so when my wife and I got a chance to attend the performance, it was critically panned by my wife, haha. Annie was brimming with optimism, thanks to the signature song, Tomorrow. Mamma Mia! was cheerful, definitely wouldn't go wrong with ABBA's songs.

After watching Annie.

Then of course there was the Phantom of the Opera. When I first watched it, I thought it was the best thing ever. Never before there was a musical with an opening scene as elegant as Phantom. It was a stroke of genius to have the broken chandelier lifted up, hung on the ceiling and lighted up to indicate that we were back in time when the story took place. The scene where the unfortunate and mysterious Phantom appeared for the first time was very much amplified by his powerful theme song (the use of electric guitar was quite unusual for musicals), granting him this undeniable grand entrance. As if that alone wasn't good enough, it actually segued between Angel of Music and the Music of the Night. This particular show was so great that I watched it twice, the second time was on its home ground, Her Majesty's Theatre in London.

Taking wefie at Her Majesty's Theatre, while waiting for the Phantom to begin.

Still on the same trip, I attended Les Misérables later on, when my wife and I returned to London after our visit to Liverpool. We visited West End again at the very last minute, just trying our luck, and we happened to get good seats for a very reasonable price, ie. much cheaper than the usual price in Singapore, haha. It was an afterthought, so the expectation was low and I was immediately blown away by what I saw and heard. The story was really good. It was funny, touching and patriotic, with every song aptly conveying the emotion. The show is on top of my list since then, taking over the spot from the Phantom of the Opera. If you only have once chance to watch a musical, the one with Prisoner 24601 is absolutely the one you should go for.

West Side Story was the one I watched recently. It was different, emphasizing more on dancing with a tinge of ballet influence. While it's no Phantom or Les Mis, it was good and very American (and Puerto Rican). Safe to say that the story was like the modernized version of Romeo and Juliet. The dancing was good, especially the scene where the Jets and Sharks show off the stark difference of their dancing styles. Definitely worth watching!

Next on my wishlist? I don't know, now that we'd watched Evita, the next one may be Cats. By the way, back to the very first question above, you'll have to remember that these actors are singing and acting live. There's no room for mistakes. To listen to them performing vocals with such clarity, they must have practiced hard. The price we're paying surely worth the experience. It's magical.

The cheerful faces after Mamma Mia!


Drama Musikal

Kadang mungkin ada yang heran, kenapa ada orang yang mau membayar mahal untuk menonton drama musikal. Rasanya aneh, terutama bila dibandingkan dengan tiket bioskop, dimana Rp. 50.000 sudah cukup untuk menonton film Hollywood terbaru. Saya juga tidak mengerti awalnya, apalagi karena drama musikal memang bukan bagian dari budaya kita, terutama orang Pontianak. Di kota kelahiran saya ini, orang cenderung hanya peduli dengan apa yang mau dimakan malam ini karena melimpahnya pilihan yang ada. Tidak ada yang berpikir tentang drama musikal karena memang tidak pernah terdengar.  

Setelah saya pindah ke Singapura, saya mulai merambah ke dunia seni, mulai dari pertunjukan musik klasik, konser, drama musikal sampai aksi panggung komedian (jujur saja, ini juga karena gaji dalam dolar membuat banyak hal menjadi terjangkau, haha). Saya tidak ingat apa yang menjadi pemicu saya untuk menonton drama musikal, tapi pertunjukan pertama yang saya tonton adalah We Will Rock You. Seperti yang sudah bisa anda duga dari namanya, drama musikal ini menampilkan lagu-lagu Queen dan ini mungkin alasannya kenapa saya jadi tertarik.

Saya ingat bagaimana saya terpukau oleh cerita yang dibuat berdasarkan lagu-lagu Queen. Tokoh-tokoh seperti Killer Queen, Galileo, Scaramouche dan the Red Special tentunya mempunyai arti sendiri bagi para penggemar Queen. Selain itu, lagu-lagu Queen yang dinyanyikan adalah kumpulan hits yang dikenal dan disukai. Secara keseluruhan, itu adalah pengalaman yang luar biasa.

The Lion King, Singapura, 2011.

Berawal dari situlah saya menyukai drama musikal. Kecuali Wicked, saya suka semua pertunjukan yang saya tonton. Chicago nge-jazz dan agak nakal. Lion King sangat menakjubkan karena para aktornya memainkan peran layaknya satwa, persis seperti di film kartunnya. The Sound of Music akan selalu dibandingkan dengan film versi Julie Andrews, jadi ketika saya dan istri menyaksikannya, drama musikal yang satu ini dikritik habis-habisan oleh istri saya, haha. Annie memiliki kesan yang optimis karena lagu utamanya, Tomorrow. Mamma Mia! tentu saja heboh karena lagu-lagu ABBA tidak pernah mengecewakan.

Dan tentu saja kita perlu membicarakan the Phantom of the Opera. Ketika saya pertama menonton drama musikal ini, saya langsung berpikir bahwa ini adalah yang terbaik. Belum pernah saya saksikan musikal dengan adegan pembuka yang elegan seperti Phantom. Lampu gantung lilin yang berada di lantai tiba-tiba terangkat naik ke langit-langit dan menyala lagi, membawa kita kembali ke masa lalu dimana cerita ini bermula. Adegan munculnya Phantom juga terasa gegap-gempita karena lagunya yang menggunakan gitar listrik (lagu rock boleh dikatakan jarang dipakai di drama musikal). Seakan itu belum cukup bagus, adegan ini langsung berlanjut dengan lagu the Music of the Night. Musikal yang satu ini benar-benar luar biasa sampai saya tonton dua kali, dimana kali kedua saya saksikan di tempat asalnya, Her Majesty's Theatre di London.


Di depan Queen's Theatre, London.

Masih dalam perjalanan yang sama ke Eropa, kita kembali ke West End begitu sampai di London (kita berangkat dari Liverpool di pagi hari). Iseng-iseng mencoba peruntungan, ternyata malah mendapatkan tiket murah (lebih murah dari harga di Singapura!) dan tempat duduk yang bagus untuk Les Misérables. Karena pada mulanya cuma iseng, saya tidak banyak berharap, namun pada akhirnya justru terpana oleh pertunjukan ini. Ceritanya sungguh lucu, menyentuh, patriotik dan diimbangi dengan setiap lagu yang menggugah. Sejak itu Les Mis berada di puncak daftar musikal saya, menggeser posisi yang sebelumnya dipegang oleh Phantom. Jika anda hanya berkesempatan untuk menyaksikan satu musikal, Les Mis wajib anda tonton.

West Side Story adalah musikal terakhir yang saya tonton baru-baru ini. Yang satu ini sedikit berbeda, lebih menampilkan tarian yang sedikit banyak bergaya balet. Walau tidak setara dengan Phantom atau Les Mis, ceritanya juga bagus dan sangat Amerika (dan juga Puerto Rico). Boleh dikatakan kalau alurnya seperti versi modern dari Romeo dan Juliet. Tariannya patut dipuji, terutama adegan dimana Jets dan Sharks beradu kemahiran dan menampilkan tarian dari budaya yang berbeda (kulit putih vs. Latin). Layak ditonton!

Yang berikutnya di daftar saya? Setelah kita menyaksikan Evita baru-baru ini, selanjutnya mungkin Cats. Oh ya, kembali ke pertanyaan di paragraf pertama, perlu diingat lagi bahwa para aktor dan aktris ini bernyanyi dan berakting secara langsung di panggung. Tidak ada ruang bagi kesalahan. Supaya kita bisa mendengar lagu yang dilantunkan dengan suara yang begitu jernih, mereka pasti sudah berlatih keras. Harga yang kita bayar adalah sepadan dengan pengalaman yang kita dapatkan: benar-benar mengagumkan.

West Side Story, 2017. 

Sunday, June 11, 2017

Being A Lee

I used to be puzzled by the widespread use of Lee as a surname on both sides of the world until I read about it recently. Apparently the Western Lee came from Old English whereas the Asian Lee was already a surname used in China long before Jesus was born. If the story is to be believed, the sage lived around the 6th century BCE. His name was Lǐ Ěr (李耳), better known as Lǎozǐ (老子), the writer of Dàodéjīng (道德经) and the founder of Taoism.

Oh, just in case you wonder why a person with surname Robinson talks about this, that's because as a Chinese, my surname is Lee. You see, in Indonesia, back in Soeharto days, Chinese names weren't allowed, therefore I ended up being registered officially as Anthony Robinson instead. Within the family circle, especially those who are older than me, they still prefer using my Chinese name during conversation.

Now, as for how a Lee person is like, I'll leave it to you to judge, though I'm pretty sure it very much depends on each individual's character. The more interesting part will be how to look at our long family history and be inspired by it. While I have no in-depth knowledge of who's who in the big family tree, I know some contemporary role models that happen to be world-famous. Care to guess who they are? 

If you ever wonder if Jet Li is one of them, I'm afraid he isn't in my list. Don't get me wrong, I mean, I like him for all the finest fighting scenes he ever did, ranging from Fist of Legend to Hero, but I don't find him inspiring enough as a person. Same goes for Li Ka-shing, easily one of the few in the Lee family that are decorated as Sir by Her Majesty. The Hong Kong business magnate is the inspiration to many, including at least one of my friends, but while I respect him for what he has achieved, business is just not my cup of tea for now. 

Apart from my Dad, there are only two other Lees that I admire, read about and learn from. The first one is, of course, Lee Kuan Yew. When you live in Singapore, it's impossible to separate the man from the nation. Sir Stamford Raffles might have founded Singapore, but the founding father of the country is undoubtedly the late Mr. Lee. It was his vision and hard work that transformed Singapore from a fishing village to a first world country, the one and only in Southeast Asia.

Hard Truths to Keep Singapore Going was the first book I read about LKY. I didn't really knew him prior to this, so the book was very much an introduction to the elderly statesman. I remember being impressed by the picture of Kembangan. It was a muddy village, nothing like the modern estate that I knew when I stayed there in 2006. It was quite an interesting read as one could sense that he still cared a great deal about the country he helped shaping. For him, he had done his part, but the future of Singapore totally depends on the younger generations. This book was his way of advising the younger generation about what he thought they should do. The message was quite direct at times, with no nonsense approach.

The second book, One Man's View of the World, was more relevant to me. I knew he was a great man and the first book I read already showed how smart he was, but this book was a classic example of how vast his experience was. He was simply brilliant in what he knew and did. I especially like the part where he explained about the strength and weakness of Indonesia. He clearly recognized the importance of Bahasa Indonesia and he pointed it out as the only thing that Soekano did right in his otherwise chaotic presidency. Thanks to this legacy, Indonesian people from the East to the West are able to communicate with each other.

When LKY passed away, the local channels on TV broadcasted everything about him. That was the first time I saw his younger self, when he was the Prime Minister of Singapore. The energy and the intensity he had when he gave a speech was just captivating. He was natural, charming and he wasn't just saying it. Here was a man who knew what he was talking about and had a solid track record in a form of a prosperous country to prove it. 

Another Lee worth mentioning here is Bruce Lee. He is always my personal favorite since my elder cousin introduced the man in yellow tracksuit to me many, many years ago. Bruce was the shooting star. In a very short period of time he had in this world, he made an everlasting impact. I won't go into details about his movies as you can always watch them and have your own opinions, but it is what he did in his life that I'd like to talk about. 

A troublemaker since he was young, Bruce could have been wasting his life and ended up as a scoundrel instead. Yet he managed to focus his attention and dedicate his life to the martial arts that he practiced. The thing with Bruce was, long before anybody believed in what he was doing (those kicking and punching didn't immediately translate into a brighter future), he knew he was going somewhere and he never shied away from sharing it. He taught kung fu to other people regardless what their skin colors were and he fiercely defended his belief when he was challenged by his own fellow Chinese. He also gave a thought on so many things in life that by the time he left this world, his legacy for us was tremendous. I know many quotes from Bruce, but this particular one is what I always remember by heart: "absorb what is useful, discard what is not."

Eventually, while I love the Beatles and other inspiring people that I encountered along the way, it does help to boost up one's morale that there are great people within the big family. It is as if it goes to show that, if they could make it, perhaps I could make it, too, one way or another. Being a Lee doesn't guarantee anything in my life, alright, but it's still a privilege to learn from the predecessors that came before me and changed the world...

Embracing the Chinese side in me.





Menjadi Seorang Lee

Saya dulunya bingung dengan luasnya pemakaian kata Lee sebagai marga di dunia Barat dan Timur. Karena ingin tahu, saya pun mencari tahu tentang asal-usulnya. Ternyata Lee di dunia orang bule itu berasal dari zaman Old English, sedangkan Lee di Asia bisa ditelusuri jejaknya di Cina jauh sebelum Yesus lahir. Jika legendanya bisa dipercaya, orang bijak yang pertama menyandang marga Lee itu hidup di abad ke-6 sebelum Masehi. Namanya adalah Lǐ Ěr (李耳), namun dia lebih dikenal sebagai Lǎozǐ (老子), penulis Dàodéjīng (道德经) dan pencetus Taoisme.

Oh, jika anda bertanya-tanya mengapa seseorang berharga Robinson membicarakan hal ini, jawabannya adalah karena sebagai orang Tionghoa, marga saya adalah Lee. Ketika Soeharto berkuasa di Indonesia, nama bernuansa Cina tidaklah dianjurkan, oleh karena itu saya didaftarkan dengan nama Anthony Robinson di akte lahir. Di kalangan keluarga, saya selalu dipanggil dengan nama Tionghoa, terutama oleh mereka yang lebih tua dari saya. 

Tentang bagaimana karakter seorang Lee, saya rasa itu bergantung sepenuhnya pada karakter orangnya. Yang menarik bagi saya adalah kesempatan untuk belajar dari para pendahulu saya yang lebih dulu sukses dalam berkiprah. Setidaknya ada beberapa tokoh bermarga Lee yang pernah saya baca ceritanya. Kira-kira siapa saja mereka? 

Jika anda berpikir bahwa Jet Li adalah salah satunya, saya harus jujur bahwa dia tidak termasuk dalam daftar. Saya suka Jet Li, terutama adegan pertarungan yang dilakoninya mulai dari Fist of Legend sampai Hero, tapi saya tidak merasa bahwa dia adalah orang yang memberikan inspirasi. Sama halnya dengan Li Ka-shing, satu dari sedikit orang bermarga Lee yang mendapatkan gelar penghargaan Sir dari Sri Ratu Inggris. Raja bisnis dari Hong Kong ini adalah inspirasi bagi banyak orang, termasuk seorang teman saya. Akan tetapi, meski saya mengagumi prestasinya, bisnis bukan bidang saya pada saat ini. 

Selain ayah saya, hanya ada dua orang Lee lainnya yang saya baca dan belajar dari kisah mereka. Yang pertama adalah Lee Kuan Yew. Jika anda tinggal di Singapura, anda akan merasa bahwa namanya identik dengan negara ini. Sir Stamford Raffles mungkin telah membangun apa yang menjadi cikal-bakal Singapura, namun Lee adalah bapak bangsanya. Adalah visi dan kerja kerasnya yang mengubah Singapura dari kampung menjadi negara modern satu-satunya di Asia Tenggara. 

Hard Truths to Keep Singapore Going adalah buku pertama yang saya baca tentang LKY. Saya tidak tahu banyak tentangnya sebelum ini, jadi buku adalah pengenalan bagi saya. Lewat buku tersebut, saya melihat foto Kembangan tempo dulu, sebuah kampung berlumpur yang sungguh jauh berbeda dengan kawasan perumahan yang saya kenal baik karena saya tinggal di sana di tahun pertama saya di Singapura. Menarik untuk dibaca bahwa di usianya yang telah menjelang senja, dia masih sangat peduli dengan negara yang dibangunnya ini. Dia beranggapan bahwa masa depan Singapura bertumpu sepenuhnya pada generasi muda dan buku ini adalah nasihatnya untuk mereka. Tulisannya cukup tajam dan dia berkata apa adanya. 

Buku kedua yang saya baca, One Man's View of the World, lebih relevan untuk saya. Tidak bisa dipungkiri bahwa dia adalah orang yang berpengaruh dan buku pertama yang saya baca sudah menunjukkan bahwa dia adalah seseeorang yang pintar, namun buku yang berikut ini menunjukkan betapa luasnya wawasan LKY. Sebagai seorang pemimpin, dia juga tahu apa yang harus diperbuat. Saya suka bagian dimana ia menjelaskan kekuatan dan kelemahan bangsa Indonesia. Dia jelas mengenali peranan bahasa Indonesia dan menyebutnya sebagai peninggalan Soekarno yang paling penting. Karena bahasa Indonesia, seluruh rakyat Indonesia dari Timur ke Barat bisa berkomunikasi satu sama lain. 

Ketika LKY meninggal, seluruh stasiun televisi di Singapura menyiarkan berbagai film dokumenter tentangnya. Lewat tayangan tersebut, saya melihat LKY muda untuk pertama kalinya, ketika ia menjadi Perdana Menteri Singapura. Caranya berpidato sangat menarik perhatian. Dia memang berbakat alami dan memukau dalam bertutur-kata. Dia tahu apa yang ia bicarakan dan Singapura adalah rekam jejak yang jelas untuk membuktikan apa yang telah diucapkannya.  

Pria bermarga Lee lainnya yang menjadi idola saya adalah Bruce Lee. Saya pertama kali melihatnya ketika sepupu saya memutar film Game of Death yang menampilkan sosoknya yang berkostum kuning. Meski singkat waktunya di dunia ini, Bruce turut mengubah wajah dunia. Saya tidak akan bercerita panjang-lebar tentang film-filmnya karena anda selalu bisa menonton dan memiliki pendapat sendiri, tapi yang patut dikenang tentang Lee adalah apa ia perbuat dalam hidupnya. 

Seorang pembuat onar di kala muda, Bruce bisa saja menghabiskan hidupnya sebagai berandalan, namun dia berhasil memusatkan perhatiannya pada seni bela diri. Fakta menarik dari Bruce adalah, sebelum orang lain percaya dengan apa yang ia tekuni (berlatih tinju dan menendang sana-sini tidak terlihat seperti keahlian yang menjanjikan masa depan yang cerah), dia percaya dengan pilihan hidupnya dan tidak ragu untuk berbagi. Dia mengajarkan kung fu pada orang lain, tidak peduli apa warna kulitnya. Dia berpegang teguh pada keyakinannya meskipun ditentang sesama orang Cina. Pada akhirnya, ketika dia meninggalkan dunia ini, ia bukan saja mewariskan kita sebuah seni bela diri yang diciptakannya, tetapi juga buah pikirannya. Saya tahu banyak ucapan Bruce yang berkesan, tetapi saya tidak pernah lupa pada yang satu ini: "ambillah apa yang berguna tinggalkan apa yang tidak bermanfaat." 

Walau saya menyukai the Beatles dan terinspirasi oleh banyak tokoh yang saya baca atau jumpai, keberadaan sosok yang sukses dalam keluarga besar Lee penting artinya untuk saya. Hal ini memberikan dorongan secara moral bahwa jika mereka bisa, mungkin saya juga bisa. Menjadi seorang Lee tidak menjamin apa-apa dalam hidup saya, namun bisa belajar dari para pendahulu saya yang mengubah dunia adalah suatu kehormatan... 



Thursday, June 8, 2017

The ASEAN Tour: Vietnam

My one and only trip to Vietnam so far was easily my least organized trip, but it also turned out to be the most adventurous one. I remember checking some info on the internet. That, however, might be related to the fact finding of how to travel from Vietnam to Cambodia, with the Vietnam leg being badly neglected, haha. Nevertheless, it's worth noting that this trip was the first to involve multiple cities and countries crisscrossing, the granddaddy of many similar trips to come.

Come to think of it, perhaps the trip was so poorly planned because we thought we got some Vietnamese friends to rely on. Well, they were Vietnamese, alright, but they were actually from Hanoi. That was like more than 1500km from our destination, Ho Chi Minh City. When we got there, only then we realized that apart from the language advantage, they were just as clueless as us.

Setia and Markus, when we were approaching the famous Bến Thành Market.
Image credit: Endrico Richard.

There were three things that I learnt (from my then girlfriend) before I went to Ho Chi Minh City: stay in District 1, try the abundant Phở24 and go to Bến Thành Market. Other than that, I had no other preparation. I don't even remember how we ended up with the hotel we were staying at. It was this one star hotel in District 1, not very far from Bến Thành Market. There was also a Phở24 nearby, so it was as good as using up all I knew about Ho Chi Minh City on the first day of our trip. The rest was really up to our Vietnamese hosts.

In all fairness, the Hanoi chaps did try their best. They brought us to eat some local delicacies, which turned out be a rather bizarre culinary affair ranging from duck blood to grilled prawn covered with a mountain of salt. After that, we explored the city on foot without any clear direction. It was basically just a sightseeing and getting ourselves impressed by the number of motorbikes on the streets. It was extraordinary, I must say. I mean, being Indonesians, we are no strangers to this two-wheeled vehicle, but Vietnam really got more motorcycles than anywhere else on planet earth. Crossing the road was very challenging!

At the duck blood restaurant.

While we were there, we booked a coach trip from Ho Chi Minh City to Phnom Penh. When we asked our so-called tour guides to join us, the reply was rather amusing. The guy called Hai, a Bruce Lee lookalike who wore sleeveless T-shirt the whole day, nonchalantly replied us, "I still treasure my life."

With such an answer lingering in our mind, we began our six hours road trip on the following day. I fell asleep not long after the ride began, so I can't really tell you how the view was like. We eventually stopped at this place called Mộc Bài, a border crossing.

Exploring the city on foot.
Image credit: Endrico Richard.

It was interesting to see how the whole process was conducted. It was like finding order within chaos. The immigration officer collected our passports and there we were, loitering around, waiting for our names to be called. And it's not exactly easy for the Vietnamese to pronounce Indonesian names, apparently. When it came to the name Setia Budiyono, the officer simply gave up. He lifted up the passport, hoping for the owner to notice his travel document.

That last bit above officially ended the first leg of our trip as we were off to the neighboring country, but we would fly back again few days later from Siem Reap. I couldn't remember the reason why, but we checked in to the same hotel again when we returned.

The return to Vietnam.
Image credit: Endrico Richard.

The hotel was memorable for few reasons. It could have been a shop house converted into a hotel, hence the one star. For us whom stayed downstairs, the room was quite spacious, big enough for four people to fit in comfortably. It also provided breakfast, which was actually ordered by the receptionist from the stall next door, once he took our orders. We figured this out when my friend Endrico tried to change what he had ordered to phở after seeing how tempting the food was. He was told off by the chubby receptionist guy in broken English (which made it even funnier, as it sounded like a very authoritative command) that not only he couldn't change it, but he also better ate his breakfast immediately.

Then of course it wasn't a Vietnam trip if we didn't try the roadside coffee. We sat on tiny stools, forming a circle on the pavement, talking while drinking coffee. A very surreal experience! It was a hell of a job to order a cup of coffee with milk, an attempt that involved many locals before we managed to get the message conveyed properly. And we signed off not long afterwards. Until we meet again, Saigon!

Setia, Nuryani and Hady, enjoying the roadside coffee.
Image credit: Endrico Richard. 


Tur ASEAN: Vietnam

Satu-satunya perjalanan saya ke Vietnam sampai sejauh ini adalah liburan saya yang paling buruk perencanaannya, tapi lumayan seru dan berkesan. Saya sempat membaca-baca di internet sebelum berangkat, tapi lebih pada topik bagaimana caranya menyeberang dari Vietnam ke Kamboja. Alhasil, liburan selama kita di Ho Chi Minh sama sekali tidak ditentukan rutenya, haha. Akan tetapi menarik untuk dikenang bahwa kunjungan ke Vietnam ini menjadi liburan pertama saya yang melibatkan beberapa kota dan negara, suatu hal yang kelak menjadi kebiasaan saya.

Mengabadikan keramaian di Ho Chi Minh.
Foto oleh Endrico Richard.

Kalau dipikirkan lagi, mungkin perencanaan yang buruk itu disebabkan karena kita mengira bahwa kita bisa mengandalkan beberapa teman dari Vietnam. Masalahnya adalah, meski mereka adalah orang Vietnam, tapi mereka sebenarnya berasal dari Hanoi. Ibukota Vietnam ini berjarak kira-kira 1500km dari tempat tujuan kita, Ho Chi Minh. Ketika kita berjumpa di sana, barulah kita sadari bahwa selain keunggulan dalam berbahasa Vietnam, mereka sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Ho Chi Minh.

Ada tiga hal yang saya pelajari dari teman wanita saya tentang Ho Chi Minh: harus tinggal di District 1, coba makan di Phở24 dan pergi ke Bến Thành Market. Selain itu, saya tidak ada persiapan apa-apa lagi. Saya bahkan tidak ingat bagaimana kita bisa memilih hotel bintang satu yang berada di District 1 dan berada tidak jauh dari Bến Thành Market. Di dekat sana juga ada Phở24, jadi semua yang saya ketahui langsung terpakai habis di hari pertama. Sisa perjalanan kita bergantung sepenuhnya pada tuan rumah kita. 

Di depan toko phở.
Foto oleh Endrico Richard.

Saya rasa para pemuda dari Hanoi ini juga sudah berusaha semampunya. Mereka membawa kita menikmati makanan lokal seperti darah bebek dan sate udang yang ditutup dengan tumpukan garam. Setelah itu, kita berjalan kaki mengelilingi kota tanpa tujuan yang pasti. Bisa dikatakan kita hanya melihat-lihat dan sesekali terkagum-kagum dengan banyaknya jumlah motor di sana. Sebagai orang Indonesia, tentunya saya tidak asing dengan motor, tapi Vietnam benar-benar memiliki lebih banyak motor dibandingkan negara mana pun di planet ini! Menyeberang jalan adalah kegiatan yang sangat menantang!

Sewaktu berada di sana, kita memesan tiket bis dari Ho Chi Minh ke Phnom Penh. Ketika kita bertanya pada para pemandu wisata kita ini, jawaban mereka cukup mencengangkan. Pria yang berperawakan mirip Bruce Lee dan bernama Hai ini menjawab, "saya masih menghargai nyawa saya." 

Markus dan Hai, si Bruce Lee asal Vietnam.

Setelah mendapatkan jawaban seperti itu, kita pun memulai perjalanan darat selama enam jam pada keesokan harinya. Saya tertidur tidak lama setelah bis berjalan, jadi saya tidak bisa bercerita tentang pemandangan di sepanjang jalan. Kita lantas berhenti di perbatasan bernama Mộc Bài.

Proses imigrasi yang berlangsung di sini menarik untuk diceritakan. Suasananya terasa kacau-balau. Paspor kita semua dikumpulkan oleh petugas dan kita pun bebas ke sana kemari saat menunggu paspor dicap. Sesudah itu kita pun dipanggil satu persatu. Ternyata tidak mudah bagi lidah orang Vietnam untuk mengucapkan nama Indonesia. Ketika sampai pada nama Setia Budiyono, petugas itu menyerah dan mengangkat paspor tersebut, berharap bahwa pemiliknya melihat dan datang mengambil.

Setia dan Endrico, melepas lelah setelah berjalan kaki. 

Setelah paspor diambil, maka berakhirlah kunjungan kita di Vietnam dan kita pun memasuki Kamboja. Kendati begitu, beberapa hari kemudian kita terbang kembali ke Ho Chi Minh dari Siem Reap. Saya tidak ingat apa alasannya, namun kita lagi-lagi kembali ke hotel yang sama di District 1. 

Hotel tersebut unik karena beberapa alasan. Pertama, hotel ini mungkin dulunya adalah sebuah ruko yang kemudian beralih fungsi menjadi hotel, karena itu hanya satu bintangnya. Bagi kita yang tinggal di bawah, kamarnya cukup luas dan terasa leluasa untuk empat orang. Hotel tersebut juga menyediakan sarapan pagi yang sebenarnya dipesan oleh resepsionis dari toko sebelah setelah dia mencatat pesanan kita. Kita mengetahui hal ini karena Endrico mencoba mengganti pesanannya menjadi phở setelah melihat kita makan. Resepsionis tembem itu langsung menolaknya dengan bahasa Inggris yang terbata-bata dan mengingatkannya kembali untuk segera menyantap sarapannya.

Setia dan Darto di ruang makan hotel.
Foto oleh Endrico Richard.

Dan kunjungan ke Vietnam tentu saja tidak lengkap apabila kita tidak mencicipi kopi di tepi jalan. Kita duduk di bangku kecil dan membentuk lingkaran di trotoar, mengobrol sambil minum kopi seperti layaknya orang Vietnam lokal. Pengalaman yang unik! Tidak mudah untuk memesan secangkir kopi susu karena kendala bahasa. Kita bahkan harus meminta bantuan orang lokal untuk menjelaskan kepada ibu penyeduh kopi itu setelah ia gagal memahami bahasa isyarat kita. Sesudah itu, kita pun ke bandara untuk pulang ke Singapura. Sampai bertemu lagi, Saigon!


Sunday, June 4, 2017

That Tiny Little Artist

Being a visual artist is an obscure choice in Indonesia, especially when you are a Chinese and a girl. In a country where majority of the people go to college and become part of the workforce once they are graduated, being an artist is to walk a path full of uncertainties. It is so anti-mainstream that even the closest ones to you won't know what to advise. This is a story of a talented young woman who followed her heart. She didn't know what tomorrow would bring, but she faced it all and, against all odds, she made it to where she is today.

Her name is Leny Margiani, the youngest of four strong-willed sisters. She is a natural when it comes drawing, an artistic flair that is likely to be inherited from her father. She has a keen interest in oil pantings. Coloured pencils are also her personal favourite tools. For the longest time, she thought drawing was a hobby, until she had to decide what to do with her life. By the time she enrolled herself into art college, she embraced her destiny as an artist.

One day in Nanning.
Image credit: Leny Margiani.

What interesting about art is, it doesn't discriminate. When you are good at it, people will acknowledge it. Leny was a friendly and helpful young girl with a raw talent waiting to be polished. The lecturers recognized this and when there was a student exchange programme, she was nominated as one of the candidates. A young Chinese that barely knew any words in Mandarin other than xièxiè soon found herself learning the art of drawing and painting in China.

A capital of Guangxi Zhuang Autonomous Region, Nanning is definitely less well-known than other cities such as Guangzhou or Shanghai. Even the nearby Guilin is heard more often than Nanning. Leny spent a couple of months here, together with two other friends from Bandung that were studying at the same university. Always a good natured and smiley person, she also befriended some locals there and picked up some broken Chinese language that was enough to allow her to order some decent meals, including the renowned Guilin mǐfěn (rice noodles).

The whale and a submarine.
Image credit: Leny Margiani.

By the time she returned to Bandung and was about to join working society, things were rather bleak for the young artist. While the family understood that this was what she wanted to do, it was not exactly easy to wholeheartedly support a profession that didn't look promising at all, especially when it was compared with the nine-to-five jobs. As far as they were concerned, there wasn't any example of a successful local visual artist, so how it could be a profession for one to make a living was incomprehensible. As if that wasn't bad enough, deciding the price of her masterpiece for a sympathetic buyer was another headache as even the most supportive person might not be able to appreciate her art, thus might be unwilling to pay if she quoted too high.

She didn't give up, though. In order to make ends meet, Leny would take up whatever opportunities that she could grab, from becoming a wedding organizer crew member, selling bags online to giving private drawing lessons. At the same time, she also sharpened her skills by practicing, getting involved in exhibitions and attending the art community events.

Getting ready to "attack" the ship.
Image credit: Leny Margiani.

The beauty of Bandung is how unique the cafés and restaurants are. The need of being unique eventually created a niche market of mural paintings. That was when Leny's fortune changed for the better. Together with her fellow artists, she worked hard on every project, literally. It was no bed of roses for the tiny little girl whom had to carry and shift the ladder all the time during the work. When the project was nearing the deadline, she would need to either stay overnight with the rest of the team to finish the painting or go home at wee hours. However, it was rewarding and satisfying.

Things seemed to be looking up now. In whatever spare time she has, Leny is taking up orders for something she calls gipaws (it seems to be a local term, because the internet doesn't return any matching results). It is an art of painting dogs or human faces on the wood and, as it has a whole lot of cuteness, it can be a perfect gift for loved ones. Leny also understands that she still can go further, so she plans to get a master degree scholarship to study fine art.

Gipaws, the allegedly local art.
Image credit: Leny Margiani.

How about her dreams? She imagines that one day she will come up with something that reflects her style, an art she can proudly call her own. Looking back, she has no regrets of never working in office. She has paid her dues and she's an artist now, just as good as any other jobs and, most importantly, it's a job that she loves and excels at. Looking forward to the future, she knows it still can get better for her...

Posing in front of her art.
Image credit: Leny Margiani.


Pelukis Mungil Itu...

Menjadi seorang pelukis adalah pilihan yang langka di Indonesia, apalagi ketika yang memilih adalah seorang gadis Tionghoa. Di negara di mana mayoritas penduduk yang melanjutkan pendidikan di universitas biasanya menjadi tenaga kerja kantoran setelah lulus, menjadi seorang seniman berarti melangkah di jalan yang penuh ketidakpastian. Seniman adalah profesi yang sungguh tidak lazim, yang sering membuat keluarga terdekat tidak yakin harus memberikan nasehat apa. Berikut ini adalah cerita dari seorang wanita berbakat yang mengikuti kata hatinya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi esok, tapi ia hadapi semuanya dan perjuangannya dalam melewati suka-duka hidup seorang seniman mengantarkannya pada hari ini.

Namanya Leny Margiani, paling muda dari empat bersaudari. Melukis adalah sesuatu yang alami baginya, sebuah bakat seni yang mungkin diturunkan dari ayahnya. Dalam melukis, ia lebih cenderung memilih cat minyak dan pensil warna. Awalnya dia berpikir bahwa melukis adalah hobi, namun semuanya berubah ketika dia harus memutuskan apa yang ingin ia lakukan dalam hidupnya. Di saat ia mendaftarkan diri ke perguruan tinggi, Leny pun menuruti panggilan nuraninya untuk menjadi seniman. 

Di depan kampus Nanning.
Image credit: Leny Margiani.

Yang menarik dari seni adalah bagaimana seni itu tidak mengenal diskriminasi. Ketika seseorang memang berbakat dan bisa, yang lain akan mengakuinya. Leny adalah seorang yang ceria, bersahabat dan memiliki bakat yang menunggu untuk diasah. Dosen-dosen yang sering berdiskusi dengannya bisa melihat potensi ini. Oleh karena itu, tatkala ada program pertukaran pelajaran, dia pun direkomendasikan untuk berpartisipasi. Gadis Tionghoa muda yang lancar berbahasa Sunda tapi hampir sama sekali tidak mengenal Mandarin (kecuali xièxiè, mungkin) ini akhirnya mendarat di Cina untuk belajar seni lukis.

Bersama dengan dua temannya, Leny belajar di kampus Nanning selama beberapa bulan. Bagi yang belum pernah mendengar tentang kota ini, Nanning adalah ibukota Daerah Otonomi Guangxi, sekitar 3,5 jam dari Guangzhou bila menggunakan kereta cepat. Selama berada di sana, Leny juga berteman dengan penduduk lokal dan belajar beberapa patah kata Mandarin yang berguna baginya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya untuk memesan makanan (salah satunya adalah Guilin mǐfěn atau mie Guilin).

Salah satu lukisan dinding
Image credit: Leny Margiani

Sewaktu ia kembali ke Bandung dan bersiap-siap untuk terjun ke dalam masyarakat, ia menemui banyak rintangan yang menghadang. Dari pihak keluarga, semua mengerti bahwa berkarya di bidang seni adalah sesuatu yang ingin dia kerjakan, tapi di satu sisi, tidaklah mudah bagi orang tua dan kakak-kakaknya untuk mendukungnya menekuni sebuah profesi yang sama sekali tidak jelas. Bagaimana seorang seniman bisa membiayai hidupnya adalah sesuatu yang tidak bisa mereka pahami, sebab tidak seorang pun pernah menjalaninya. Dari Leny sendiri, ia juga mengalami banyak kesulitan, misalnya saja dalam menentukan harga hasil karyanya. Semua itu bergantung sepenuhnya pada apresiasi seni pembeli.

Kendati demikian, ia tidak menyerah. Untuk membayar kebutuhan hidup sehari-hari, Leny mengerjakan apa saja yang bisa ia dapatkan, mulai dari ikut serta menjadi anggota wedding organizer, menjual tas secara online sampai memberikan kursus menggambar. Untuk mengembangkan diri, ia juga terus berlatih serta hadir dalam pameran lukisan dan acara komunitas seniman.

Melukis kapal.
Image credit: Leny Margiani.

Dan kesempatan pun tiba. Salah satu hal yang unik dari Bandung adalah kafe dan restorannya. Semua berlomba-lomba menghiasi tempatnya dengan disain yang tiada duanya. Kebutuhan akan lukisan di dinding pun menciptakan pangsa pasar yang hanya bisa diisi oleh pelukis seperti Leny. Bersama teman-teman sesama seniman, Leny pun mengerjakan proyek demi proyek. Tidak gampang tentunya bagi seorang gadis kecil bekerja sambil memindahkan tangga sepanjang waktu. Belum lagi ketika ia harus bekerja sampai larut malam untuk menyelesaikan proyeknya sebelum hari-H. Meski melelahkan, semua kerja keras itu ada nilai kepuasan tersendiri dan juga cukup menghasilkan.

Dengan adanya pekerjaan yang berkesinambungan, keadaan pun mulai membaik baginya. Di kala ia memiliki waktu senggang, Leny juga menerima pesanan gipaws (sebuah istilah lokal, sepertinya, karena internet tidak menjelaskan apa pun tentang ini), lukisan anjing atau wajah manusia di atas bahan kayu. Karya yang menggemaskan ini seringkali dipesan untuk dijadikan hadiah. Leny juga menyadari bahwa masih banyak yang bisa ia pelajari, karena itu dia lantas berencana untuk mendapatkan beasiswa gelas Master di ITB untuk jurusan fine art.

Gipaws, karya "Giani".
Image credit: Leny Margiani.

Apa cita-citanya sekarang? Pelukis yang gemar melukis wajah manusia ini berharap bahwa ia akan mampu menciptakan karya yang khas dirinya, yang bisa langsung dikenali oleh penikmat seni sebagai karyanya. Ketika ia melihat kembali, tiada rasa sesal karena tidak bekerja di kantor. Dia telah bekerja keras membayar harga dari sebuah impian dan dia seorang seniman sekarang, sebuah pekerjaan yang sama baiknya dengan yang lain. Lebih penting lagi, ia menikmati apa yang ia kerjakan dan memiliki kelebihan sendiri di bidangnya...

Mengerjakan taman bermain para malaikat.
Image credit: Leny Margiani.

Wednesday, May 31, 2017

Children Of The World

The beauty of reading is the new things that we discovered by the time we finish it. The previous article, Feel the Point, was written by Brick. I always like his writing style as I find it witty and sharp with a tinge of deadpan humour. However, what I loves most is how different it is as compared with, let's say, mine. His writing is very American. I mean, if you read his story, which was about the cancer awareness event, it was a great experience that only Americans go through.

I'll tell you why I find it inspiring and refreshing. I often joke with my friends that we never get to see a Chinese being featured on a documentary channel for catching crocodiles in the name of science or whatsoever. Another great example is, if we leave it to the Chinese, I'm pretty sure that bungee jumping wouldn't be invented. Those activities are just so out of characters for us.

This, I believe, is the result of the our culture, upbringing and surrounding. It may be changing now, but back then, being a Chinese Indonesian meant I just listened to our parents. No questions asked or there'd be a severe punishment. In my case, I was being told that I should study well so that I could get a good job later on in life. I should also scrimp and save, so that I would have enough saving for a rainy day.

There is nothing wrong with that, of course. Parents, with their own limitations (and they didn't even have Google back then), only ever want the best for their children. Such upbringing, however, may or may not contribute to the fact that Indonesian Chinese, or Chinese in general, tends to be more reserved and less adventurous as compared with others. This also explains why Chinese normally excels in study and does well financially. With what little chances we have, we make do and work hard towards our goals. The result, more often than not, is fruitful.

It's worth emphasizing that it doesn't make us more superior than others. On the contrary, being good in the few things mentioned above is not without any downsides, if you asked me. Such exclusivity can lead to a very cautious mindset and in extreme cases, people end up being petty. When I have casual talks with friends, I can see that stereotyping does happen. From their point of views, some complained about how lazy the non-Chinese are and so forth, the comments that were made based on few unlucky encounters. I disagree with all this because it's never about the whole race, but rather about certain individuals. Who's to say that there isn't any bad Chinese or good non-Chinese, anyway?

That's why staying in melting pot countries like Singapore is enlightening. We learn how to coexist here. Getting to know other cultures is a humbling experience, really.

I once had an Italian lunch with a French and he told me about how he grew up in a small village of a few hundreds people where they almost knew each other. His activities back then included horseback riding. That was fascinating, because in the place where I came from, riding a horse was unheard of. Another French brought me to a Middle Eastern restaurant, which was my introduction to this rather exotic cuisines such as hummus and kebab. I grew to like it since then. My family and I were also invited by a very down-to-earth French to his son's birthday party. It was quite the same as any other Asian boy's birthday party, apparently.

Another time, I met this soft spoken British guy for coffee. We talked about work, we talked about life. It was amusing that worlds apart though we were, literally, we could talk about stuff like Oasis, the famous band from Manchester. On a different occasion, I had lunch with an American who was old enough to have a memory about the day John Lennon died.

Then there are the Indians, people with a culture as old as civilization itself (let's not forget that Indonesia was heavily influenced by the Buddhism and Hinduism). They are charming and those that I normally drink with (be it beer or masalah tea), they are really smart. Usually I would bring up a subject and let them share their opinions. We discuss about anything, from Hindu Gods, Gandhi to corruption that happens in both countries (only Indians can relate with this topic!). I discovered that Indians can't really differentiate Chinese, Japanese and Korean, just like how I can't really differentiate Pakistani, Bangladeshi, Sri Lankan, Indian and Nepalese. Oh, much to my surprise, they also don't know Doraemon.

Talk about Sri Lankan, I was invited to a traditional wedding last December. It was held in a temple where people would touch fire as a cleansing act (if you are Catholics, imagine the holy water you dip your hand into when you enter the church). The attendees were in traditional attires. The procession had the blessing and chanting, with the music from some sort of trumpet blaring loudly while percussionist was tapping his drum frantically. A mind-blowing experience, I must say.

Even the Chinese from Singapore, Malaysia, Indonesia and Mainland China can be so different. I'm always impressed by how well the Singaporeans are in expressing themselves in a meeting and making a speech. It comes naturally for them whereas it's a struggle for me (as students back in Pontianak, we were not groomed to do so). That only means I have to try harder. My ex-boss always told me to speak slowly and clearly, an advice that I always remember and practice.

Now, back to Brick's story, I love reading it because his stories broaden my horizon, that there are other people doing things differently out there and some are surely good things that I can learn from others. Some people will have characters that are the exact opposite of ours, but once you get past that, most of the time it'll be alright. In life, you either get to know others or misunderstand them (them as in normal people, not the extremists, fanatics, radicals and nutcases). The differences we have, they are good differences that are going to stay for the fact that we are all the children of the world...

Children of the World: Indian, Singaporean, Malaysian, Indonesian and Chinese
Image credit: Ong Hock Siong


Anak-Anak Dunia

Hal yang paling menarik dari kebiasaan membaca adalah pengetahuan yang kita dapatkan setelah kita selesai membaca. Artikel sebelumnya, Feel the Point, adalah sebuah tulisan orang Amerika bernama Brick. Saya selalu menyukai tulisannya yang tajam dan bergaya humor cerdas, namun yang paling menarik dari karyanya adalah betapa berbedanya tulisan Brick dan saya. Jika anda baca artikelnya, anda akan menemukan bahwa tulisannya sangat khas Amerika. Ceritanya yang mengisahkan kegiatan amal tentang kanker adalah sesuatu pengalaman unik yang tidak lumrah di Asia, namun biasa bagi mereka di Amerika.

Saya akan jelaskan lebih lanjut kenapa tulisannya sangat menginspirasi. Saya sering bercanda bahwa kita tidak pernah melihat orang Tionghoa menangkap buaya di film dokumenter. Saya juga berpikir bahwa hal-hal seperti bungee jumping tidak akan pernah dicetuskan oleh orang Tionghoa. Aktivitas seperti itu bukanlah sesuatu yang akan kita coba lakukan, jadi kita tidak akan pernah mengikat kaki dan melompat ke jurang, lalu menciptakan bungee jumping.

Karakter kita terbentuk dari budaya, cara kita diasuh dan lingkungan kita. Saya rasa kondisinya mungkin telah berubah sekarang, tapi orang Tionghoa di Indonesia dulunya sangat menuruti perkataan orang tua. Kita tidak banyak bertanya pada ayah, sebab kebanyakan bertanya bisa menyebabkan kita dihukum. Bila saya menggunakan diri saya sebagai contoh, saya seringkali dinasehati untuk sekolah baik-baik supaya nantinya memperoleh pekerjaan yang baik pula. Saya juga harus berhemat sehingga mempunyai tabungan di saat tak terduga.

Tentunya tidak ada yang salah dengan bimbingan seperti itu. Orang tua kita, dengan segala kekurangannya (zaman dulu tidak ada Google), membesarkan kita tanpa pamrih dan hanya menginginkan yang terbaik buat kita. Didikan seperti itu mungkin secara tidak langsung membuat kita lebih menutup diri dan tidak terbiasa dalam mengekspresikan diri bila dibandingkan etnis lain. Hal yang sama juga mungkin menjadi alasan kenapa orang Tionghoa biasanya lebih berhasil dalam sekolah dan finansial. Karena tidak banyaknya pilihan yang tersedia, kita berupaya sebisanya dalam mencapai tujuan dan hasilnya cenderung sukses.

Perlu ditekankan pula bahwa ini tidak berarti orang Tionghoa adalah etnis yang paling unggul. Justru sebaliknya. Bila tidak hati-hati, kita justru bisa terjebak dalam pola pikir yang tidak sehat. Sebagai contoh, saat sedang berbincang, terkadang saya merasa bahwa ada lawan bicara yang cenderung mengelompokkan etnis lain dalam pandangan negatif, misalnya yang non-Chinese itu malas adanya. Saya tidak setuju dengan sudut pandang demikian karena kemalasan itu bukanlah sifat satu etnis, melainkan individu tertentu. Siapa yang berani menjamin bahwa semua Tionghoa pasti baik dan etnis lain pastilah buruk?

Inilah alasannya kenapa tinggal di Singapura adalah suatu pengalaman yang membuka wawasan. Di negeri yang memiliki berbagai etnis ini, kita belajar untuk saling toleransi dan menghargai. Kesempatan untuk mengenal kebudayaan asing adalah suatu pengalaman yang membuat kita bersahaja.

Sebagai ilustrasi, suatu ketika, saya pernah menikmati masakan Italia bersama orang Perancis. Dia bercerita tentang masa kecilnya di desa berpopulasi ratusan orang yang saling kenal satu sama lain. Salah satu kegiatan yang digemarinya ketika itu adalah menunggang kuda. Betapa mencengangkan, sebab tak seorang pun yang tumbuh besar di Pontianak seperti saya berpeluang untuk berkuda di kampung halaman. Seorang Perancis lainnya membawa saya ke restoran Timur Tengah dan memperkenalkan saya pada masakan yang eksotis seperti hummus dan kebab. Di lain kesempatan, saya dan keluarga juga sempat diundang oleh Perancis lainnya ke ulang tahun anaknya. Hampir sama dengan ultah anak Asia, ternyata.

Saya juga pernah berbincang sambil minum kopi bersama orang Inggris. Kita berbicara tentang pekerjaan hidup di Singapura, sampai hal-hal seperti Oasis, grup musik terkenal dari Manchester. Di waktu yang berbeda, saya sempat makan siang dengan orang Amerika yang bercerita tentang kenangannya di hari John Lennon ditembak mati.

Dan ada lagi orang Indian yang memiliki budaya setua peradaban itu sendiri (jangan lupa bahwa Indonesia sangat dipengaruhi oleh Budhisme dan Hinduisme). Mereka ini orang-orang yang menarik dan seringkali kita berdiskusi tentang beraneka topik, mulai dari dewa-dewi Hindu, Gandhi sampai korupsi yang merajalela di India dan Indonesia. Saya juga menyadari bahwa Indian tidak bisa membedakan orang Cina, Jepang dan Korea, sama halnya seperti kita tidak bisa membedakan orang Pakistan, Bangladesh, India, Sri Lanka dan Nepal. Oh, satu hal yang agak mengejutkan saya, mereka juga tidak tahu apa itu Doraemon.

Berbicara tentang orang Sri Lanka, saya juga sempat diundang ke pernikahan yang diadakan di pura. Seperti halnya tradisi Katolik yang mencelupkan jari ke air untuk tanda salib saat masuk gereja, mereka mendekatkan dua tangan ke api sebagai tanda pembersihan diri. Para undangan datang dengan pakaian tradisional. Pernikahan mereka diiringi dengan musik trompet yang membahana dan penabuh genderang yang luar biasa sibuk. Sungguh suatu pengalaman yang mengesankan.

Bahkan orang Tionghoa di Singapura, Malaysia, Indonesia dan Cina pun berbeda karakter dan budayanya. Saya selalu kagum dengan kemampuan orang Singapura dalam mempresentasikan idenya pada saat rapat. Mereka melakukannya dengan alami sementara saya tidak pernah terbiasa dengan hal ini (sebagai murid sekolah di Pontianak dulu, kita tidak pernah dibiasakan berbicara di depan orang banyak). Ini berarti saya harus berupaya lebih keras. Mantan bos saya selalu mengingatkan saya untuk berbicara lebih pelan dan jelas, suatu hal yang senantiasa saya ingat dan terapkan saat memimpin rapat.

Kembali lagi ke cerita yang ditulis Brick, saya suka membacanya karena dari ceritanya, saya tahu bahwa ternyata orang lain di belahan bumi ini melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dan tentu saja saya bisa ambil sisi baiknya. Tidak setiap orang memiliki karakter yang sama dengan kita. Tidak sedikit yang justru bertolak belakang karakternya, tetapi jika kita bisa menerima perbedaan ini, biasanya hubungan yang harmonis akan terjalin. Di dalam hidup ini, penting bagi kita untuk saling memahami atau salah paham akan terjadi karena perbedaan yang ada. Namun perlu diingat bahwa perbedaan harusnya indah karena kita semua hendaknya saling melengkapi...