Total Pageviews

Translate

Saturday, April 29, 2017

About Dad

"The way your Dad speaks, it is as if he's not sick at all. I'm really inspired by it," said the young man to me in a muffled voice. I just arrived at the ward, not really knowing what that was all about, but I nodded and returned his smile. Then my Dad told me the who's who story. The young man on the right side of his bed was a policeman from Pekanbaru who suffered from some form of throat cancer, which explained why his voice sounded like that. On the left was an unconscious, bedridden man who used to do works related to liquid petroleum gas, which could be the reason why he was there on his bed now. A man with no wife and children, her sister took care of day and night.

Then I looked at the man who was allegedly so strong and firm, as declared by the young man next to him. He wasn't half the man he used to be. He was almost bald now due to the side effect of the medicine. He lost around 10kg drastically it made him look almost fragile. The light in his eyes was still shining bright, though. His smile and the tone of his voice also remained the same.

Dad has always been a fighter throughout his life. A tough man for himself, his family and his friends. But cancer wasn't like anything he had ever fought before. It almost broke my heart when he showed me a protruding tumor on his shoulder, which was even more visible now that he slimmed down quite a fair bit. That tumor was a sign of cancer eating him inside out, but if he took it in his stride, I'd put on my brave face, too.

Cancer was like the worst news ever. It wasn't exactly something that you knew how to immediately respond to. It was easier to pray that it was something else but, no, it wasn't. It was as real as it got. I was lucky that Dad, and especially Mum, could laugh about it, albeit bitterly. We let the reality sink in, then we did what we could to figure it out.

Those trying months were mentally and financially draining. We were asked to go through many procedures only to be told the doctors didn't know what that was all about. How frustrating. Eventually a senior doctor told us the verdict. Not exactly things we would like to hear, but at least it gave us the direction on what to do next. We went back to Indonesia, where progress was slow and things were done differently.

One day before the first chemo started, Dad called me and he sounded confused. "What was the doctor in Singapore telling us again? The doctor here said the cancer actually can't be cured."

When I heard that, I remember that the doctor conversed with me in English. I told Dad that I might have inadvertently left him out of important details such as this. Upon hearing that, Dad laughed and said, "that's alright. I just want to confirm."

I feel awful and relieved at the same time.

Months after that fateful phone call, there I was, accompanying him to go through the fourth cycle of his chemotherapy. Ever an optimistic person, he told me his plans to get back to work when this is over.  I ordered a good dinner for him as he disliked the tasteless hospital food. Just us, father and son. Then, as I sat with him, I remember the conversation I had with him after he finished his third cycle.

At that time, we were waiting at the hospital lobby for my friend Muliady The who was on his way to pick us up. There were many patients came and went, passing us by. I asked him how he felt after going through all this. He pondered a while and told me that when he first heard of it, he found the news unsettling. However, his point of view changed after he was admitted to the hospital. After he saw those who were in worse shapes than him, he thought what he went through was nothing as compared with others. He was thankful that he could still do things normally. As for death itself, everybody would die eventually, so what was there to worry about?

I smiled when I heard that. The way the hard truth was revealed to me, that was just very Dad. The young policeman was right. In the state he was in, Dad was still a fighter, inspiring all of us. It is a hell of a fight, this round, but we're half way there. We just have to carry on. We'll live to tell the story, that as dangerous as cancer ever was, it was not a battle that one couldn't win. Cancer is scary, but not to be afraid of. If cancer is ever anything in our life, it serves its purpose by giving us perspective that in this mortal life we live in, there are things that money can't buy: The time, the togetherness in our family, the support from friends, the laughter we had, the tears that we cried and, of course, the memories...

The man I would call Dad six years later. Dad in 1974.


Tentang Papa

"Waktu saya dengar Papamu ngomong, saya tidak menyangka dia juga pasien di sini. Suaranya bersemangat, saya terinspirasi untuk sembuh jadinya," ucap pria muda dengan suara samar tatkala melihat saya. Berhubung saya baru tiba di kamar pasien dan tidak tahu-menahu apa maksudnya, saya hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Setelah gorden ditutup kembali, Papa lantas bercerita tentang pasien-pasien yang sekamar dengannya. Pemuda itu adalah seorang polisi dari Pekanbaru yang menderita semacam kanker tenggorokan yang mungkin telah menyerang pita suaranya sehingga ucapannya susah didengar. Di sebelah kirinya adalah pengidap kanker yang sering kali tak sadarkan diri dan senantiasa tidur di ranjang. Pria yang sudah berumur ini dulunya seorang pekerja di bidang yang berkaitan dengan tabung gas Elpiji, yang mungkin saja menjadi penyebab kenapa dia tergeletak tak berdaya sekarang. Pria ini tidak memiliki istri dan anak. Kakaknya berjaga di situ, siang dan malam.

Kemudian saya menatap pria di hadapan saya, yang disinyalir penuh semangat, seperti yang dinyatakan oleh tetangganya yang lebih muda. Papa tidak lagi sama seperti dulu. Rambutnya hampir rontok semua akibat kemo. Berat badannya pun turun hampir 10kg, membuatnya nyaris terlihat ringkih. Akan tetap sinar matanya masih tetap sama. Demikian juga senyum dan suaranya.

Papa sedari dulu adalah seorang petarung. Dia adalah seorang pria tangguh, baik untuk dirinya, untuk keluarganya, maupun untuk teman-temannya. Mengingat semua itu, sangat mengenaskan rasanya bila melihat kondisinya sekarang. Pedih rasanya hati ketika ia memperlihatkan tonjolan di bahunya yang kini terlihat jelas karena berat badannya berkurang drastis. Tumor itu adalah bukti bagaimana kanker itu menggerogotinya dari dalam. Kendati begitu, jika dia tabah melewatinya, maka saya pun tidak akan terlalu terbawa emosi.

Kanker memang sebuah berita buruk, begitu buruknya sehingga kita tidak tahu bagaimana merespon berita seperti ini. Akan lebih gampang jika kita berdoa dan berharap bahwa berita ini salah, tapi sayangnya tidak ada yang berubah. Realita itu sungguh nyata. Yang bisa kita lakukan ada bersikap menerima dan ketika kenyataan itu mulai bisa diterima, kita pun berusaha sedaya upaya. Saya beruntung bahwa Papa, dan juga Mama, bisa tetap tegar dan tertawa, betapa pun pahitnya tawa tersebut.

Dan bulan-bulan setelah vonis kanker tidaklah mudah, baik dari segi tanggungan mental dan juga biaya. Setelah Kuching, kita berobat di Singapura. Setiap kali kita memiliki sedikit harapan setelah menjalani prosedur yang dianjurkan dokter, di kali itu pula kita dihadapkan pada jalan buntu. Dokter ini tidak mengerti dan mereferensikan kita untuk bertemu dokter lain yang kemudian menganjurkan prosedur medis lainnya. Siklus seperti ini terus bergulir, sampai akhirnya satu dokter senior membeberkan hasil diagnosanya dan menjelaskan pilihan yang ada. Kita akhirnya dianjurkan untuk kembali ke Indonesia dan menjalani kemoterapi di sana, sebab obatnya sama dan akan lebih murah biayanya.

Suatu hari sebelum kemo pertama dimulai, Papa menelepon dan bertanya dalam nada bingung. "Masih ingat apa penjelasan dokter Singapura? Dokter Noor berkata bahwa Papa tidak memiliki peluang untuk sembuh sepenuhnya meski menjalani kemoterapi."

Ketika saya mendengar pertanyaan itu, saya langsung teringat kalau percakapan dengan dokter di Singapura berlangsung dalam bahasa Inggris. Saya hanya bisa berucap bahwa sepertinya ada penjelasan yang terlewatkan secara tidak sengaja dan saya mohon maaf. Papa hanya tertawa dan berkata kalau ia menelepon hanya untuk memastikan tidak ada kekeliruan di sini.

Berbulan-bulan setelah percakapan tersebut, di situlah saya berada, menemani Papa untuk menjalani kemoterapinya untuk kali keempat. Dia bercerita tentang banyak hal, tentang masa mudanya dan rencananya untuk kembali bekerja setelah kemoterapi selesai. Saya pesankan dia makan malam yang lezat karena dia tidak suka makanan rumah sakit yang tawar rasanya. Hanya kita berdua di malam itu, ayah dan anak. Sambil mendengarkan dia bercerita, saya pun menerawang kembali ke hari di mana kita berdiri lobi rumah sakit setelah kemo ketiga selesai.

Di kala itu kita menunggu seorang teman yang datang menjemput. Banyak pasien berlalu-lalang melewati kita. Saya pun bertanya, apa yang ia rasakan setelah menjalani semua ini. Ia berpikir sejenak, lalu menuturkan bahwa ia serasa tidak percaya saat divonis mengidap kanker. Perasaannya bercampur-aduk, tapi semua itu sirna ketika dia menjalani kemoterapi di rumah sakit. Setelah menyaksikan begitu banyak penderita kanker yang lebih parah kondisinya, dia bersyukur bahwa apa yang ia alami tidaklah menghentikannya untuk tetap beraktivitas seperti biasa. Tentang kematian, pada akhirnya semua orang akan meninggal, jadi kenapa mesti dikhawatirkan?

Saya tersenyum mendengar penuturannya. Kenyataan itu diutarakan dengan lugas dan apa adanya, sesuatu yang mengingatkan saya kembali bahwa seperti itulah karakter Papa. Polisi muda itu benar. Dalam kondisinya yang seperti ini, Papa tetaplah seorang petarung yang menginspirasi kita semua. Pertarungan kali ini adalah yang paling sulit, tapi kita sudah separuh jalan dan kita akan melanjutkannya sampai selesai. Setelah itu kita akan bercerita, walaupun kanker itu berbahaya, penyakit itu bukannya tidak bisa dikalahkan. Kanker memang menakutkan, tapi tidaklah menjadi alasan untuk kehilangan semangat hidup. Jika ada makna kanker dalam hidup ini, maka kanker adalah peringatan bagi kita bahwa di dalam kehidupan yang fana ini, ada hal-hal yang tidak tergantikan oleh uang: waktu, kebersamaan dalam keluarga, dukungan dari teman, canda, tawa dan air mata, dan tentu saja kenangan demi kenangan yang pernah kita alami...

1 comment:

  1. REAL HERO for your family.
    Tetap Bersemangat dan optimis.

    ReplyDelete