Sometimes there are things in life that totally move you. Although you haven't done anything like it before, you are so inspired that you believe you'll be able to do it one way or another. In my case, such confidence does happen from time to time. Roughly a decade ago, for example, I just woke up one day and declared that I was going to do something like Friends. And that I did, first the short films and then the written nonsense of Pheng iu, until I retired the characters a few years ago. I did revive them recently to give them a closure by coming up with a two part stories with where are they now? kind of theme.
We Are the World was very much the same experience. I always love the song and in late 2012, I suddenly thought that wouldn't it be nice if I produce my own version, too? Well, not in any professional way, because I had only a very limited experience in sound mixing and the tool I used back then was already obsolete, anyway. However, there was this GarageBand software readily available on MacBook, so I could always play around with it to get just what I needed.
In early 2013, when I was asked about what we could do for the next Dinner and Dance event, I was excited, thinking that the opportunity had finally come. There were plenty of IT guys around and I thought, surely some of them could carry the tune decently, couldn't they? Furthermore, each person would only do two lines or a verse, so how difficult could it be? In my mind, I was visualizing us recording it, then had it filmed to create a music video. This, in turn, could be displayed while the performers were doing either lip-sync or live singing on stage. Sadly, the idea was canned. I was told that it was vetoed by the committee.
The very idea could have suffered a premature death then and there, but it didn't. In fact, it would keep resurfacing until one fine day in early 2016, when my high school friends entertained my interest. The beauty of advanced technology did help this time. I purchased a couple of We Are the World tunes, the ones without singing voice, from Apple's iTunes and listened to all of them to figure out the version that I liked the most. Once decided, I uploaded the particular version to Dropbox and shared the link to the participants. I was wondering if one could actually listen to the song while wearing earphones and record his/her own voice at the same time through the same smartphone, so that was what I told them to do. This was done with various degrees of success, because apparently it was easier said than done. The result was then sent to me via Whatsapp.
From the recording point of view, I first imagined whom I'd like to cast, then segregate who was singing what and get the buy-in from the potential singers. Some were confident enough to immediately take part, some required a little persuasion and some would reject me outright. No pressure here, so once they didn't feel like participating, I just moved onto another candidates. All were taken care of and I thought I was off to a good start, but the reality could be way different, and that was when my nightmare actually began.
Anyway, let's talk about the good stuff first. Worth mentioning here is a friend called Wiwi, the one who started all. You see, this was a project involving many people and I had to do a lot of convincing here. With Wiwi participating and sending in her part of recording right from the very beginning, she made it much easier for me to sell the idea. On top of that, she could really sing, so the demo sounded well. I could just chat with any other friends, telling them I'd like them to join and send them the demo with Wiwi's voice to show them how it was actually done. That was how it got snowballing.
Now, let's move on to the problem. In the midst of all this, I actually forgot two crucial points. First, as I was letting them record using their own devices, the result came in with all kinds of formats (from the usual, readable formats to those that I had to convert) and quality (from the vocals recording with good clarity to the muffled ones). The second part was, just because I could listen to the music and sing in the right key, it didn't mean this would come naturally for others. Even those who were willing to sing might or might not produce the proper result. I had to coach them to get the right notes or tempo that sometimes I would sang the demo to show them how it was supposed to be done. I was lucky that later on, my friend Yuliana Rahayu stepped in to tackle the chorus. She sang really well and her demo version helped me a lot. It was used as a reference throughout the recording session since then.
The sound mixing was painstakingly done, with each vocals carefully fine-tuned, especially the chorus part where it should sound like a harmony, and laid on each track. I spent hours almost every night in two months, listening to the raw vocals, from those who nailed it at one go to those who failed it spectacularly, then either I mixed it down or contacted the participants to re-record their vocals. There were also times when I accidentally stumbled upon a trick or two, like double-tracking Vinche's vocals using both results she submitted, creating the Michael Jackson effect, just because I originally couldn't decide which vocals I liked better. Another time, I would cut two different versions and stick them to one, like what I did on Hengky's solo vocals, an experience that, to certain extent, reminded me of what I read about the recording of Strawberry Fields Forever. Not all could be fixed, though. Some of the vocals were actually good but muffled and I couldn't do much to fix it. It was a shame, really, but I shouldered on by telling myself that it wasn't meant to be a professional recording anyway, as it was more of an effort by a bunch of friends who tried to make things happen.
I smiled when it was completed. It was another dream came true. Yeah, while I was the one who dreamt of it, it was never a personal crusade. Along the way, the idea had moved many, it became a combined effort. Enabled by today's technology, friends from Hong Kong, Brunei, Malaysia and Indonesia were vocally reunited for the first time ever since 18 years ago. And today is its one year celebration. It feels just like yesterday...
PS: If you ever wonder why the backing vocals sound like one person only, blame Parno! Nobody dared to record it anymore after listening to his hilarious rendition, haha.
We Are The World
Di dalam hidup ini, terkadang ada hal-hal yang benar-benar menggugah diri kita untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan. Inspirasi seperti ini memberikan kita kepercayaan diri bahwa, walaupun pada awalnya kita hanya bermodalkan kemauan tanpa disertai kemampuan yang jelas, sesuatu yang akan kita kerjakan ini pasti akan berhasil diselesaikan. Dalam pengalaman saya, ini terjadi berulang kali, misalnya saja ketika tiba-tiba terpikirkan oleh saya untuk membuat sesuatu yang mirip Friends. Dari situ saya mulai mencari tahu tentang apa yang saya perlukan, menulis naskah, mencari pemain, membeli kamera untuk keperluan shooting, mempelajari editing berdasarkan software yang ada dan yang paling penting, mengerjakannya. Hasilnya adalah Pheng iu, yang berarti 'teman' dalam dialek Teochew, mulai dari dua film pendek sampai bukunya.
We Are the World adalah pengalaman yang serupa. Saya selalu menyukai lagu ini dan di penghujung tahun 2012, saya tergelitik untuk memproduksi versi saya sendiri hanya karena saya membayangkan kalau prosesnya tentu akan menyenangkan. Saya tahu di MacBook ada software gratis yang bernama GarageBand dan saya berpikir bahwa saya bisa menggunakannya, kendati saya belum pernah mencobanya sama sekali.
Di awal tahun 2013, saya mengira bahwa kesempatan akhirnya datang juga. Perusahaan tempat saya bekerja biasanya menyelenggarakan acara tahunan Dinner and Dance, di mana setiap departemen ikut menyumbang acara. Saya sudah berpartisipasi selama dua tahun berturut-turut dan di tahun sebelumnya saya bahkan memenangkan peringkat ketiga dengan hadiah SGD 1.000 dengan aksi panggung yang menampilkan medley lagu tahun 50an, 60an, 70an dan 80an, oleh karena itu saya ingin membuat sesuatu yang berbeda untuk kali ini. Saya membayangkan, sebagai satu departemen yang banyak karyawannya, tentunya IT mempunyai cukup orang yang bisa melantunkan lagu. Lagipula, satu orang mungkin hanya membawakan dua baris atau satu bait lirik, jadi apa sulitnya? Di dalam benak saya, saya bervisualisasi tentang bagaimana saya akan merekam suara setiap penyanyi dalam ruang meeting kecil dan pada saat yang bersamaan, proses yang sama juga difilmkan sehingga bisa digunakan sebagai musik video. Selanjutnya, hasil rekaman dan video ini bisa ditampilkan saat pentas, dimana para penyanyinya turut tampil, baik itu menyanyi sungguhan atau lip-sync. Sayang sekali, karena sesuatu dan lain hal, ide ini tidak terlaksana.
Walau tidak terealisir, ide ini sama sekali tidak pudar, melainkan senantiasa muncul di saat-saat tertentu hingga pada akhirnya diiyakan, kali ini oleh teman-teman SMA. Ini kisah setahun yang lalu, dimana teknologi smartphone sudah canggih dan terbukti membantu. Dari iTunes, saya membeli beberapa versi instrumental We Are the World, kemudian saya pilih yang paling cocok untuk dipakai. Setelah itu, saya unggah ke Dropbox dan link-nya saya bagikan kepada para peserta. Untuk teknik rekamannya, saya selalu merasa bahwa smartphone zaman sekarang bisa memutar lagu yang lantas kita dengar lewat earphone, lalu suara nyanyian kita direkam pada saat bersamaan dengan smartphone itu juga. Konsep ini yang saya usulkan kepada teman-teman, walau tampaknya tidak sepenuhnya berhasil, haha. Hasil rekaman suara ini kemudian dikirim kembali lagi kepada saya lewat Whatsapp.
Jika tadi adalah sisi teknis, maka dari sudut pandang proses rekaman, yang pertama saya lakukan adalah mereka-reka siapa yang kiranya akan saya ikut sertakan. Saya tulis nama mereka di atas liriknya, lalu mulai melobi para penyanyi potensial satu persatu. Seperti yang bisa diduga, ada yang langsung menerima, ada yang perlu diyakinkan dan ada yang langsung menolak. Karena ini sifatnya sukarela (dan juga tidak ada upah, haha), jadi saya harus pindah ke kandidat berikutnya bila yang pertama menolak.
Bila ada nama yang perlu disebut karena besar peranannya, maka salah satunya adalah Wiwi. Dia yang pertama setuju dan mengirimkan hasilnya. Berkat kontribusinya ini, proses menggaet para penyanyi potensial menjadi lebih gampang, bukan saja karena sudah ada nama yang bisa dijadikan referensi, tetapi juga karena adanya cuplikan hasil rekaman yang bisa dijadikan acuan. Lebih dari itu, rekaman suara Wiwi memang bagus hasilnya dan Wiwi sendiri populer di kalangan teman-teman, jadi sungguh ini mempermudah proses perekrutan penyanyi.
Tentu saja tidak semuanya berjalan mulus. Sejujurnya saya melupakan dua hal yang cukup penting, yakni masalah teknis dan kemampuan bernyanyi setiap orang. Perkara pertama ini, karena setiap orang merekam menggunakan smartphone masing-masing yang begitu beragam, hasilnya adalah rekaman dalam beraneka file format dan kualitas suara yang bervariasi. Problem kedua ada fakta bahwa menyanyi adalah seni, bukan ilmu pasti. Hanya karena saya bisa mengikuti nada secara intuitif, itu tidak berarti semua orang bisa melakukan hal yang sama. Ada orang yang memang dasarnya tidak peka terhadap nada sehingga meski ia sudah merasa benar, namun hasil sesungguhnya masih jauh dari harapan. Saya coba bantu dengan merekamkan suara panduan dengan harapan bisa memberikan gambaran tentang apa yang harus dicapai. Ini tidak mudah dan saya benar-benar terbantu ketika Yuliana Rahayu menyerahkan bagian chorus kepada saya. Rekamannya ini menjadi referensi bagi banyak peserta.
Penggabungan suara adalah proses yang menyita perhatian dan memakan banyak waktu. Satu persatu suara mesti dirapikan lewat proses editing, terutama di bagian chorus, dimana semua suara hendaknya terdengar serempak. Di sesi rekaman selama Februari dan Maret, hampir setiap malam saya duduk berjam-jam lamanya untuk mendengarkan hasil rekaman vokal yang telah dikirim. Ada kepuasan tersendiri begitu mendengar hasil yang langsung jadi dalam sekali rekam, namun ada juga yang gagal secara spektakuler sehingga perlu diberikan pengarahan ulang.
Ada beberapa pengalaman unik saat editing, misalnya saat mengerjakan vokal Vinche. Dua hasil rekamannya betul-betul bagus, sehingga sulit untuk memilih yang mana yang harus dipakai. Akhirnya saya coba gabungkan dan hasilnya di luar dugaan: jadi mirip efek suara Michael Jackson saat dia menyanyikan bagian yang sama. Di kesempatan lain, hasil rekaman dokter Hengky ternyata harus dikombinasikan dari dua rekaman yang berbeda untuk hasil yang optimal, sebuah pengalaman yang mengingatkan saya tentang proses rekaman lagu Strawberry Fields Forever yang pernah saya baca.
Selain itu, ada juga yang suaranya bagus, tetapi kualitas rekamannya tidak mendukung. Ini sangat disayangkan, terlebih lagi karena saya gagal memperbaikinya. Di saat seperti ini, saya ingatkan kembali diri saya sendiri untuk tidak terlalu terbebani, terutama karena hasil akhirnya bukanlah sebuah rekaman profesional. Yang penting justru proses dan makna di baliknya: benar bahwa semua ini bermula dari ide saya, tapi seiring berjalannya waktu, ini adalah usaha bersama yang, berkat dukungan teknologi, memberikan kesempatan kepada say dan teman-teman dari Hong Kong, Brunei, Malaysia dan Indonesia untuk bernyanyi bersama lagi untuk pertama kalinya sejak 18 tahun silam, di hari perpisahan SMA.
Hari dimana rekaman ini selesai dikerjakan adalah persis setahun yang lalu. Dan saya tersenyum, sebab rasanya seperti baru saja selesai kemarin...
PS: Kalo ada yang merasa backing vocals-nya terdengar seperti suara satu orang saja, salahkan Parno! Tidak ada yang berani merekam backing vocals lagi sejak versinya yang konyol beredar.
In early 2013, when I was asked about what we could do for the next Dinner and Dance event, I was excited, thinking that the opportunity had finally come. There were plenty of IT guys around and I thought, surely some of them could carry the tune decently, couldn't they? Furthermore, each person would only do two lines or a verse, so how difficult could it be? In my mind, I was visualizing us recording it, then had it filmed to create a music video. This, in turn, could be displayed while the performers were doing either lip-sync or live singing on stage. Sadly, the idea was canned. I was told that it was vetoed by the committee.
The very idea could have suffered a premature death then and there, but it didn't. In fact, it would keep resurfacing until one fine day in early 2016, when my high school friends entertained my interest. The beauty of advanced technology did help this time. I purchased a couple of We Are the World tunes, the ones without singing voice, from Apple's iTunes and listened to all of them to figure out the version that I liked the most. Once decided, I uploaded the particular version to Dropbox and shared the link to the participants. I was wondering if one could actually listen to the song while wearing earphones and record his/her own voice at the same time through the same smartphone, so that was what I told them to do. This was done with various degrees of success, because apparently it was easier said than done. The result was then sent to me via Whatsapp.
From the recording point of view, I first imagined whom I'd like to cast, then segregate who was singing what and get the buy-in from the potential singers. Some were confident enough to immediately take part, some required a little persuasion and some would reject me outright. No pressure here, so once they didn't feel like participating, I just moved onto another candidates. All were taken care of and I thought I was off to a good start, but the reality could be way different, and that was when my nightmare actually began.
Anyway, let's talk about the good stuff first. Worth mentioning here is a friend called Wiwi, the one who started all. You see, this was a project involving many people and I had to do a lot of convincing here. With Wiwi participating and sending in her part of recording right from the very beginning, she made it much easier for me to sell the idea. On top of that, she could really sing, so the demo sounded well. I could just chat with any other friends, telling them I'd like them to join and send them the demo with Wiwi's voice to show them how it was actually done. That was how it got snowballing.
Now, let's move on to the problem. In the midst of all this, I actually forgot two crucial points. First, as I was letting them record using their own devices, the result came in with all kinds of formats (from the usual, readable formats to those that I had to convert) and quality (from the vocals recording with good clarity to the muffled ones). The second part was, just because I could listen to the music and sing in the right key, it didn't mean this would come naturally for others. Even those who were willing to sing might or might not produce the proper result. I had to coach them to get the right notes or tempo that sometimes I would sang the demo to show them how it was supposed to be done. I was lucky that later on, my friend Yuliana Rahayu stepped in to tackle the chorus. She sang really well and her demo version helped me a lot. It was used as a reference throughout the recording session since then.
The sound mixing was painstakingly done, with each vocals carefully fine-tuned, especially the chorus part where it should sound like a harmony, and laid on each track. I spent hours almost every night in two months, listening to the raw vocals, from those who nailed it at one go to those who failed it spectacularly, then either I mixed it down or contacted the participants to re-record their vocals. There were also times when I accidentally stumbled upon a trick or two, like double-tracking Vinche's vocals using both results she submitted, creating the Michael Jackson effect, just because I originally couldn't decide which vocals I liked better. Another time, I would cut two different versions and stick them to one, like what I did on Hengky's solo vocals, an experience that, to certain extent, reminded me of what I read about the recording of Strawberry Fields Forever. Not all could be fixed, though. Some of the vocals were actually good but muffled and I couldn't do much to fix it. It was a shame, really, but I shouldered on by telling myself that it wasn't meant to be a professional recording anyway, as it was more of an effort by a bunch of friends who tried to make things happen.
I smiled when it was completed. It was another dream came true. Yeah, while I was the one who dreamt of it, it was never a personal crusade. Along the way, the idea had moved many, it became a combined effort. Enabled by today's technology, friends from Hong Kong, Brunei, Malaysia and Indonesia were vocally reunited for the first time ever since 18 years ago. And today is its one year celebration. It feels just like yesterday...
PS: If you ever wonder why the backing vocals sound like one person only, blame Parno! Nobody dared to record it anymore after listening to his hilarious rendition, haha.
We Are The World
(by Michael Jackson and Lionel Richie)
Recorded: Pontianak, Jakarta, Karawang, Jogjakarta, Kuala Lumpur, Bandar Seri Begawan, Singapore, Hong Kong (20 Feb-29 Mar 2016)
Performed by: Alumni '98
Members:
(Solo)
Leo Layardi, Muliady Agustiono Witono, Andiyanto, Tio Lui Hong, Anni Djapri, Sulaiman, Wiwi, Harry, Angelia Susanto, Angelina Susanto, Susan, Hengky Hermanto, Endrico Richard, Yulianti Lim, Margaretha Chandra, Hendra, Vivi, Vinche, Hermanto, Anthony Robinson, Budiman Liwoto, Parno Bong, Budiman Salim, Yuliana Rahayu, Junaidi, Budi Hendra, Muliady T, Adrian.
(Chorus)
Yuliana Rahayu, Dessy Salim, Susanti, Vivi, Wiwi, Susan, Junaidi, Budi Hendra, Anthony Robinson, Endrico Richard, Muliady Agustiono Witono, Leo Layardi
We Are The World
Di dalam hidup ini, terkadang ada hal-hal yang benar-benar menggugah diri kita untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan. Inspirasi seperti ini memberikan kita kepercayaan diri bahwa, walaupun pada awalnya kita hanya bermodalkan kemauan tanpa disertai kemampuan yang jelas, sesuatu yang akan kita kerjakan ini pasti akan berhasil diselesaikan. Dalam pengalaman saya, ini terjadi berulang kali, misalnya saja ketika tiba-tiba terpikirkan oleh saya untuk membuat sesuatu yang mirip Friends. Dari situ saya mulai mencari tahu tentang apa yang saya perlukan, menulis naskah, mencari pemain, membeli kamera untuk keperluan shooting, mempelajari editing berdasarkan software yang ada dan yang paling penting, mengerjakannya. Hasilnya adalah Pheng iu, yang berarti 'teman' dalam dialek Teochew, mulai dari dua film pendek sampai bukunya.
We Are the World adalah pengalaman yang serupa. Saya selalu menyukai lagu ini dan di penghujung tahun 2012, saya tergelitik untuk memproduksi versi saya sendiri hanya karena saya membayangkan kalau prosesnya tentu akan menyenangkan. Saya tahu di MacBook ada software gratis yang bernama GarageBand dan saya berpikir bahwa saya bisa menggunakannya, kendati saya belum pernah mencobanya sama sekali.
Di awal tahun 2013, saya mengira bahwa kesempatan akhirnya datang juga. Perusahaan tempat saya bekerja biasanya menyelenggarakan acara tahunan Dinner and Dance, di mana setiap departemen ikut menyumbang acara. Saya sudah berpartisipasi selama dua tahun berturut-turut dan di tahun sebelumnya saya bahkan memenangkan peringkat ketiga dengan hadiah SGD 1.000 dengan aksi panggung yang menampilkan medley lagu tahun 50an, 60an, 70an dan 80an, oleh karena itu saya ingin membuat sesuatu yang berbeda untuk kali ini. Saya membayangkan, sebagai satu departemen yang banyak karyawannya, tentunya IT mempunyai cukup orang yang bisa melantunkan lagu. Lagipula, satu orang mungkin hanya membawakan dua baris atau satu bait lirik, jadi apa sulitnya? Di dalam benak saya, saya bervisualisasi tentang bagaimana saya akan merekam suara setiap penyanyi dalam ruang meeting kecil dan pada saat yang bersamaan, proses yang sama juga difilmkan sehingga bisa digunakan sebagai musik video. Selanjutnya, hasil rekaman dan video ini bisa ditampilkan saat pentas, dimana para penyanyinya turut tampil, baik itu menyanyi sungguhan atau lip-sync. Sayang sekali, karena sesuatu dan lain hal, ide ini tidak terlaksana.
Walau tidak terealisir, ide ini sama sekali tidak pudar, melainkan senantiasa muncul di saat-saat tertentu hingga pada akhirnya diiyakan, kali ini oleh teman-teman SMA. Ini kisah setahun yang lalu, dimana teknologi smartphone sudah canggih dan terbukti membantu. Dari iTunes, saya membeli beberapa versi instrumental We Are the World, kemudian saya pilih yang paling cocok untuk dipakai. Setelah itu, saya unggah ke Dropbox dan link-nya saya bagikan kepada para peserta. Untuk teknik rekamannya, saya selalu merasa bahwa smartphone zaman sekarang bisa memutar lagu yang lantas kita dengar lewat earphone, lalu suara nyanyian kita direkam pada saat bersamaan dengan smartphone itu juga. Konsep ini yang saya usulkan kepada teman-teman, walau tampaknya tidak sepenuhnya berhasil, haha. Hasil rekaman suara ini kemudian dikirim kembali lagi kepada saya lewat Whatsapp.
Jika tadi adalah sisi teknis, maka dari sudut pandang proses rekaman, yang pertama saya lakukan adalah mereka-reka siapa yang kiranya akan saya ikut sertakan. Saya tulis nama mereka di atas liriknya, lalu mulai melobi para penyanyi potensial satu persatu. Seperti yang bisa diduga, ada yang langsung menerima, ada yang perlu diyakinkan dan ada yang langsung menolak. Karena ini sifatnya sukarela (dan juga tidak ada upah, haha), jadi saya harus pindah ke kandidat berikutnya bila yang pertama menolak.
Bila ada nama yang perlu disebut karena besar peranannya, maka salah satunya adalah Wiwi. Dia yang pertama setuju dan mengirimkan hasilnya. Berkat kontribusinya ini, proses menggaet para penyanyi potensial menjadi lebih gampang, bukan saja karena sudah ada nama yang bisa dijadikan referensi, tetapi juga karena adanya cuplikan hasil rekaman yang bisa dijadikan acuan. Lebih dari itu, rekaman suara Wiwi memang bagus hasilnya dan Wiwi sendiri populer di kalangan teman-teman, jadi sungguh ini mempermudah proses perekrutan penyanyi.
Tentu saja tidak semuanya berjalan mulus. Sejujurnya saya melupakan dua hal yang cukup penting, yakni masalah teknis dan kemampuan bernyanyi setiap orang. Perkara pertama ini, karena setiap orang merekam menggunakan smartphone masing-masing yang begitu beragam, hasilnya adalah rekaman dalam beraneka file format dan kualitas suara yang bervariasi. Problem kedua ada fakta bahwa menyanyi adalah seni, bukan ilmu pasti. Hanya karena saya bisa mengikuti nada secara intuitif, itu tidak berarti semua orang bisa melakukan hal yang sama. Ada orang yang memang dasarnya tidak peka terhadap nada sehingga meski ia sudah merasa benar, namun hasil sesungguhnya masih jauh dari harapan. Saya coba bantu dengan merekamkan suara panduan dengan harapan bisa memberikan gambaran tentang apa yang harus dicapai. Ini tidak mudah dan saya benar-benar terbantu ketika Yuliana Rahayu menyerahkan bagian chorus kepada saya. Rekamannya ini menjadi referensi bagi banyak peserta.
Penggabungan suara adalah proses yang menyita perhatian dan memakan banyak waktu. Satu persatu suara mesti dirapikan lewat proses editing, terutama di bagian chorus, dimana semua suara hendaknya terdengar serempak. Di sesi rekaman selama Februari dan Maret, hampir setiap malam saya duduk berjam-jam lamanya untuk mendengarkan hasil rekaman vokal yang telah dikirim. Ada kepuasan tersendiri begitu mendengar hasil yang langsung jadi dalam sekali rekam, namun ada juga yang gagal secara spektakuler sehingga perlu diberikan pengarahan ulang.
Ada beberapa pengalaman unik saat editing, misalnya saat mengerjakan vokal Vinche. Dua hasil rekamannya betul-betul bagus, sehingga sulit untuk memilih yang mana yang harus dipakai. Akhirnya saya coba gabungkan dan hasilnya di luar dugaan: jadi mirip efek suara Michael Jackson saat dia menyanyikan bagian yang sama. Di kesempatan lain, hasil rekaman dokter Hengky ternyata harus dikombinasikan dari dua rekaman yang berbeda untuk hasil yang optimal, sebuah pengalaman yang mengingatkan saya tentang proses rekaman lagu Strawberry Fields Forever yang pernah saya baca.
Selain itu, ada juga yang suaranya bagus, tetapi kualitas rekamannya tidak mendukung. Ini sangat disayangkan, terlebih lagi karena saya gagal memperbaikinya. Di saat seperti ini, saya ingatkan kembali diri saya sendiri untuk tidak terlalu terbebani, terutama karena hasil akhirnya bukanlah sebuah rekaman profesional. Yang penting justru proses dan makna di baliknya: benar bahwa semua ini bermula dari ide saya, tapi seiring berjalannya waktu, ini adalah usaha bersama yang, berkat dukungan teknologi, memberikan kesempatan kepada say dan teman-teman dari Hong Kong, Brunei, Malaysia dan Indonesia untuk bernyanyi bersama lagi untuk pertama kalinya sejak 18 tahun silam, di hari perpisahan SMA.
Hari dimana rekaman ini selesai dikerjakan adalah persis setahun yang lalu. Dan saya tersenyum, sebab rasanya seperti baru saja selesai kemarin...
PS: Kalo ada yang merasa backing vocals-nya terdengar seperti suara satu orang saja, salahkan Parno! Tidak ada yang berani merekam backing vocals lagi sejak versinya yang konyol beredar.
 |
| From the recording sessions: the hardware, the software and the review |
No comments:
Post a Comment