Total Pageviews

Translate

Sunday, August 20, 2017

Uniquely Pontianak

If you asked any Malay speaking foreigners from Southeast Asia, they would normally tell you that Pontianak is a female ghost rather than a city in Indonesia. The capital city of West Kalimantan is not exactly known as a tourist destination. When there was an overseas friend or two tagging along for a visit, apart from the Equator Monument, it was kind of hard for me to think of any other sightseeing spot in town.

For locals like us, eating is pretty much the only consolation that never fails us. Famous local delicacies include varieties of fried kway teow (beef, pork and economical), porridges (chicken, pork and fish) crab meat noodles (with vinegar as the integral part of the seasoning) or the so-called chicken rice, a messy affair with sticky soup poured on top of the rice that actually has more pork than chicken.

Do take note that while we'll tell you those dishes taste legendary, they may feel so-so only for foreign taste buds. I started to realize this when I worked in Jakarta and noticed that I could only find Pontianak cuisines at certain corners of the city. I was finally convinced when I moved to Singapore, where only Padang rice and East Javanese food are popular enough to represent Indonesia cuisines here.

I tend to think that, perhaps it was due to the fact that we grew up with Pontianak culinary, we ended up believing it as the greatest cuisines on earth. Others, unfortunately, may not think so. However, that's not to say that we don't have anything decent. We do have some, but none is worth mentioning more than this one. I've traveled the world far enough to recognize that the one cuisine that is uniquely Pontianak and easy enough to be imported (but sadly under promoted), one that can sit proudly on the table side by side with other domestic and foreign dishes, is the local delicacy called hekeng.

The name came from the Teochew dialect and the lack of English translation only goes to show that it must have been isolated for too long that it could have been an ancient art of cooking unknown by many, waiting to be reintroduced to the world again. Hekeng looks like its famous cousin, ngo hiang (and it even has a Wikipedia page while hekeng doesn't), but it has an elongated oval shape as it is usually sliced in such a manner before being served.

I had a chance to see how hekeng was made when I worked at Kartika Hotel in Pontianak. I was multitasking back then, so I would drive back the prawn (and other cooking ingredients) from the wet market and helped to peel off the prawn shell. A chef would grind the prawn at least twice. The output would be poured onto the chopping board, where the chef would chop it repeatedly with two cleavers, one on each hand (imagine a guy doing the drum rolls), resulting in a very fine minced meat. After that, the head chef would come in to finish the job. It'd be mixed together with salt and some other seasoning, eggs and flour until it looked like dough (no lard was used so that it could be served as halal food). He would fill the tofu skin with it and wrap it up, then his assistant would line them up for steaming process. The hekeng was steamed until half done, then it was ready to be deep fried. Alternatively, hekeng could be put into the freezer if it wasn't served immediately.

That's how hekeng is made. It doesn't look too difficult, though the preparation can be a nightmare. Some people from my generation have picked up this culinary skill. Wiwi made us proud by recreating the magic in Malaysia and sharing the good food with her friends. Agustini already went commercial some time back and I think bought from her once. For those who are keen but don't know where to find it, Ah Long has been selling it since, no pun intended, a long time ago.

How does it taste like? Hekeng is best eaten while it's hot, because the skin will be crispy and the meat is deliciously tender, especially when it is cut into smaller pieces with a proportional size. It tastes heavenly when it is eaten together with the condiment that is specially created for it: kit iu (directly translated as lime oil), a sweet sour sauce made of lime and sugar, boiled and stirred until it becomes sticky. For me, it is always as personal as a reminder of the place where I came from, with all the good times from childhood coming back every time I bite it. Love it!

Ngo Hiang vs. Hekeng
Photo credit: Yen Darren


Yang Unik Dari Pontianak

Jika anda bertanya kepada orang asing di kawasan Asia Tenggara yang bisa berbahasa Melayu, yang biasanya terpikirkan oleh mereka begitu nama Pontianak disebut adalah hantu wanita. Tidak banyak yang tahu tentang kota di Indonesia yang bernama Pontianak. Ibukota Kalimantan Barat ini memang tidak terkenal sebagai kota wisata. Ketika ada teman luar negeri yang ikut mengunjungi Pontianak, Tugu Khatulistiwa adalah satu-satunya tempat tujuan turis yang saya tahu. 

Bagi kebanyakan warga Pontianak, makan adalah satu-satunya hiburan. Menu favorit antara lain adalah aneka kwetiau goreng, mulai dari kwetiau ekonomis tanpa daging, kwetiau sapi atau kwetiau babi, beragam bubur (ayam, babi dan ikan), yammie (dengan cuka sebagai salah satu bumbu wajib) atau nasi ayam yang becek karena kuah kental yang disiramkan ke atas nasi yang sebenarnya memiliki lebih banyak daging babi daripada ayam. 

Menarik untuk dicatat bahwa meskipun orang Pontianak akan mengatakan bahwa makanan di sana tiada duanya, rasanya mungkin hanya biasa-biasa saja bagi orang asing. Saya mulai menyadari hal ini ketika saya bekerja di Jakarta, dimana masakan Pontianak hanya bisa ditemukan di beberapa sudut kota. Saya menjadi sepenuhnya yakin ketika saya pindah ke Singapura, karena hanya nasi Padang dan masakan Jawa Timur yang cukup populer untuk mewakili Indonesia di sini. 

Saya cenderung berpikir, mungkin karena kita tumbuh dewasa dengan kuliner Pontianak, sehingga kita akhirnya percaya itu adalah masakan terenak di dunia. Orang lain belum tentu berpikir seperti itu. Tapi itu tidak lantas berarti bahwa Pontianak tidak mempunyai sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Ada beberapa, tentunya, tapi hanya yang satu ini yang pantas untuk disebut dalam kesempatan ini. Saya sudah berkelana cukup jauh ke berbagai tempat di dunia ini untuk bisa menarik kesimpulan bahwa satu-satunya makanan yang unik dari Pontianak dan mudah untuk dibawa ke mana-mana (tapi sayangnya jarang dipromosikan) dan juga satu-satunya masakan yang layak dihidangkan berdampingan dengan masakan lain, baik domestik maupun negara lain, adalah hekeng

Nama hekeng berasal dari bahasa Tiociu. Absennya terjemahan dalam Bahasa Inggris menunjukkan bahwa menu ini sudah terisolir sekian lama, bahkan mungkin sudah menjadi resep kuno yang tidak banyak diketahui orang di luar Pontianak, dan hekeng menanti untuk diperkenalkan lagi pada dunia. Hekeng memiliki penampilan seperti ngo hiang, sepupunya yang lebih terkenal (dan memiliki halaman Wikipedia sedangkan hekeng tidak ada), namun hekeng memiliki bentuk lonjong yang agak memanjang karena pola irisannya sebelum disajikan. 

Ketika saya bekerja di Hotel Kartika Pontianak, saya memiliki kesempatan untuk menyaksikan bagaimana hekeng dibuat. Sebagai sopir, saya membawa pulang udang dan bahan makanan yang dibeli di Pasar Flamboyan. Setelah itu, terutama di saat ada pesta pernikahan, saya kadang turut serta mengupas udang. Hasilnya kemudian akan digiling minimal dua kali oleh koki, kemudian diperhalus lagi dengan cincangan pisau daging. Begitu siap, koki utama akan mencampurkan bumbu, telur dan tepung dan mengaduknya dengan tangan sampai terlihat seperti adonan (minyak babi tidak dipakai di sini karena restoran menyajikannya sebagai menu halal). Daging udang ini kemudian dituangkan di atas kulit tahu dan dibentuk seperti batangan, kemudian dikukus sampai setengah matang. Sesudah ini, hekeng bisa digoreng atau dimasukkan ke kulkas bila tidak perlu dihidangkan langsung.  

Begitulah cara hekeng dibuat. Sepertinya tidak terlalu sulit, tetapi persiapannya cukup memakan waktu. Beberapa teman dari generasi saya telah berhasil menguasai teknik masakan ini. Wiwi membuat kita bangga dengan menciptakan kembali citra rasa ini di Malaysia dan membagikannya kepada teman-temannya. Agustini juga sudah berjualan hekeng sejak beberapa tahun silam dan saya pernah membeli darinya. Untuk mereka yang sempat mampir ke Pontianak tapi tidak tahu di mana membelinya, A Long telah menjual hekeng sejak lama dan yang berminat bisa mampir ke sana. 

Bagaimana sesungguhnya rasa dari hekeng? Gorengan ini paling enak dimakan selagi panas karena akan terasa renyah, terutama bila dipotong dalam ukuran yang tidak terlalu tipis. Hekeng akan terasa tiada duanya ketika dimakan bersama kit iu atau minyak jeruk nipis, saus asam manis yang terbuat dari jeruk nipis dan gula yang direbus dan diaduk sampai kental. Secara pribadi, hekeng terasa seperti mengingatkan saya kembali akan tempat di mana saya berasal, di mana masa kecil terasa terulang kembali di kala saya menikmatinya...

Setelah dikukus, sebelum digoreng.
Photo: Yen Darren

1 comment:

  1. I bought it and it is simply yummy ! Love the full flavour, every inch filled with fresh prawns.
    Sherlyne

    ReplyDelete