Total Pageviews

Translate

Monday, June 24, 2019

A Father Figure

I'm not sure if the same thing did happen to you, but I always had certain default images in my head for certain age groups that would turn out to be incorrect when I reached that age. For example, when I was a primary student, I always thought that high school students, with the long trousers they wore and a bit of moustache above the upper lip, were very mature. Years later, when I myself was a high school student, I realised that the image couldn't be more wrong. At that age, we were like a man-child. We had grown up physically, but we were still wrecking havoc when opportunities arose.

I'm a husband and a father of two these days. I'll be 40 years old next year. I seldom felt old, but there were times when I was reminded that I wasn't young anymore. When I filled up an online form, for instance, suddenly scrolling down to the year 1980 took longer than it used to be. When I saw Bruce Lee's photos on the internet, I couldn't help thinking that I had lived much longer than my hero. Then the most obvious one was of course the time when I accidentally discovered that it was much more comfortable to look at my phone without glasses.

Those hints aside, I was oftentimes oblivious to the fact that I had aged a lot since high school. This was probably due to the fact that I still hung out with old friends on daily basis. The close friendship I had was quite genuine in the sense we weren't showing off or comparing who was richer and so forth. It was so easy-going that we could simply be ourselves. I liked the way that it could be full of nonsense sometimes... correction! It was full of nonsense for most of the time!

Such exposure, in turn, only enhanced the fun-loving character in me. At home I could be a stern father when I needed to be, but more often than not, I would just joke around and be playful with the kids. If I used my daughter Linda as a reference, her childhood and mine couldn't be more different.

When I was a boy, I feared my Dad. When I was being naughty and Mum said, "wait until your father gets home," I knew I was doomed. One thing that I also remember well was when I asked him questions. He would just answer, "hmm." It was so vague that I actually didn't know if it was yes or no, let alone answering a more complicated questions I had. Further enquiries would only get me into dire consequences, so after a while, I knew how to read the situation and behave.

What I experienced eventually formed a certain image. Before I was a father, I thought I had to be this serious and authoritative fellow in front of the kids all the time. Now that I was one, I realised that I was far from it and hey, I didn't even have to be like that! It was a different generation and I wasn't my Dad, so I did it my way.  Time will tell if I did it right.

Now, one thing I learnt since I became a father was, despite what you'd heard, being a Dad didn't seem to be a full time job. Apart from playing the role as a breadwinner nine hours a day, I still managed to spend some time doing all the silly stuff and today's technology made it even easier because almost everything could be done through the smartphone. In short, I wasn't a 24/7 father! This finally got me thinking: Dad was 34 when I was Linda's age, much younger than me when he was a father of a six-year old boy. If I am still behaving this way when I'm almost 40, could there be any possibilities that he, too, wasn't always this strict figure I thought he was?

The mystery was resolved recently. It was interesting to learn that he was a young man just like me back then, trying his best to be a father and himself in the era before the Internet (that meant instead of Google, he'd go to Taoist priests to ask questions) He hung out with friends and did all the silly things, of course, but he was also a father who made sure in his limited ways and gestures that I knew I was loved. To give you some perspective, fatherly love wasn't commonly expressed in Pontianak during the 80s while spanking and canning were widely practiced.

It was an endearing conversation. He wasn't a perfect Dad, but I couldn't be more proud to be my father's son. It was also good to know that apparently we weren't that different at all. If you still had the chance, I'd suggest you to approach your old man and had a civilised adult conversation. You'd definitely see him in a different light...

A father figure...


Figur Seorang Ayah

Saya tidak tahu apakah anda pernah berpikiran sama, tapi sedari dulu, saya senantiasa memiliki persepsi tentang kelompok usia tertentu yang lantas terbukti salah saat saya mencapai usia tersebut. Sebagai contoh, ketika saya masih murid SD, saya selalu berpikir bahwa siswa SMU yang mengenakan celana panjang dan memiliki kumis tipis itu terlihat sangat dewasa. Bertahun-tahun kemudian, ketika saya mencapai jenjang SMU, saya menyadari bahwa apa yang ada di benak saya itu keliru. Di usia remaja SMU, kita masih bertingkah seperti bocah. Meski secara fisik sudah tumbuh dewasa, kita masih tetap berbuat nakal di kala ada kesempatan. 

Tahun depan saya akan memasuki usia ke-40. Saya adalah seorang suami dan juga ayah dari dua orang anak sekarang. Walau saya jarang merasa tua, tetap saja ada sesuatu yang mengingatkan saya bahwa saya tidak lagi muda. Tatkala mengisi formulir online, misalnya,  saya kini membutuhkan beberapa saat untuk menggulirkan pilihan tahun kelahiran yang tertera sebelum akhirnya mencapai tahun 1980. Sewaktu saya melihat foto Bruce Lee di internet, saya seringkali teringat bahwa saya sudah hidup jauh lebih lama dari idola saya. Kemudian yang paling terasa adalah ketika saya secara tidak sengaja menyadari bahwa lebih jelas bagi saya untuk membaca tulisan di telepon genggam saya tanpa menggunakan kacamata. 

Kalau bukan karena tanda-tanda yang saya sebutkan di atas, saya sering lupa dengan faktor usia. Ini mungkin dikarenakan oleh pergaulan dengan teman-teman lama dalam kehidupan hari-hari. Persahabatan yang dekat itu boleh dikatakan terjalin apa adanya dalam arti kita tidak saling pamer dan membanding-bandingkan siapa yang lebih kaya. Pokoknya terasa enteng dan memungkinkan kita untuk menjadi diri kita sendiri. Saya juga suka dengan pertemanan yang terkadang penuh dengan kekonyolan yang jenaka... koreksi! Bukan terkadang, tetapi hampir setiap saat, haha! 

Situasi dan kondisi seperti ini kian menguatkan karakter humoris saya dalam menyikapi hidup. Meski saya bisa menjadi ayah yang tegas di rumah di kala mendisiplinkan anak, namun saya cenderung senang bercanda dan bermain bersama anak-anak di saat santai. Jika saya menggunakan putri saya Linda sebagai acuan, masa kecilnya jauh berbeda dengan masa kecil saya. 

Ketika saya masih kanak-kanak, saya takut pada ayah saya. Bilamana saya tidak patuh dan ibu saya berkata, "tunggu sampai ayahmu pulang," saya tahu saya pasti celaka. Satu hal yang juga saya ingat betul adalah ketika saya bertanya pada Ayah. Biasanya dia hanya akan bergumam, "hmm." Saya bahkan tidak tahu apakah itu adalah artinya ya atau tidak, jadi bayangkan betapa bingungnya saya saat menerima jawaban seperti itu untuk pertanyaan yang lebih kompleks. Kalau saya bertanya lebih lanjut, akibatnya bisa fatal. Setelah beberapa kali mengalaminya, saya pun belajar untuk membaca keadaan.

Apa yang saya alami akhirnya membentuk suatu persepsi. Sebelum saya menjadi seorang ayah, saya mengira bahwa saya harus menjadi sosok yang serius dan berwibawa di depan anak sepanjang waktu. Akan tetapi, setelah saya jalani, saya mengetahui bahwa saya jauh dari sosok yang saya bayangkan itu dan hei, ternyata saya juga tidak perlu menjadi seperti itu! Saya berasal dari generasi yang berbeda dan saya bukanlah ayah saya, jadi saya lakukan dengan cara saya. Apakah cara saya itu benar, biarlah waktu yang berbicara nantinya, ketika anak-anak sudah dewasa. 

Satu hal yang saya pelajari sejak saya menjadi seorang ayah adalah, berbeda dengan apa yang saya dengar sebelumnya, menjadi ayah sepertinya bukan pekerjaan setiap saat. Sebagian besar waktu saya digunakan untuk bekerja menafkahi keluarga dan di samping itu, saya masih sempat berkawan, membanyol dan lain-lain, terutama karena begitu banyak hal bisa dilakukan lewat telepon genggam pada zaman sekarang. Singkat kata, saya tidak selalu memainkan peran sebagai ayah selama 24 jam dan 7 hari seminggu! Hal ini lantas membuat saya berpikir: ayah saya berusia 34 tahun saat saya seumuran Linda, jauh lebih muda dari saya ketika dia menjadi ayah seorang bocah laki-laki berumur enam tahun. Kalau saya sendiri masih haha-hihi saat menjelang usia 40, apakah mungkin bahwa Ayah juga tidak selalu menjadi sosok tegas yang selama ini saya lihat? 

Misteri ini terkuak baru-baru ini. Menarik untuk dipelajari bahwa dia pun seperti saya dulunya, seorang anak muda yang berusaha untuk menjadi ayah dan dirinya sendiri di dunia sebelum internet merambah (ini artinya dia bertanya ke loya/tatung alias orang pintar dan bukannya ke Google). Di luar rumah, dia juga berkawan dengan banyak teman dan cukup heboh untuk ukuran zamannya. Sebagai seorang ayah, meski ia memiliki keterbatasan dalam bersikap dan berkata-kata, dia senantiasa memastikan bahwa saya tahu bahwa dia menyayangi saya. Untuk memahami penyataan ini, perlu saya beritahukan bahwa di Pontianak pada dekade 80an, kasih sayang seorang ayah itu tidaklah lumrah untuk ditunjukkan secara langsung dan ekspresif pada anak sementara hukuman fisik menggunakan rotan dipraktekkan secara umum. 

Percakapan saya dan Ayah sangat mengesankan. Dia bukanlah ayah yang sempurna, tapi saya sangat bangga menjadi anaknya. Senang rasanya bisa mengetahui bahwa ternyata kita berdua, ayah dan anak, tidaklah jauh berbeda. Jika anda masih memiliki kesempatan, saya sarankan anda untuk berbincang-bincang dengan ayah anda secara dewasa dan terbuka. Setelah itu anda juga pasti akan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda...

No comments:

Post a Comment