Total Pageviews

Translate

Sunday, September 1, 2019

The Photographer

The name Endrico Richard should be familiar for long time readers of Roadblog101. He is a great friend and a travel buddy that appeared in many stories I wrote. Even when he wasn't featured, photos taken by him would still grace the blog sometimes. He is good, I love his work and I often said we could just leave the photo-taking to Endrico when we travelled. Yes, the man was that reliable! Then it hit me that Endrico was easily the most underrated photographer that I knew! A good talent must be appreciated and, as far as I am concerned, I am more than happy to be the one that shout it out loud!

I remember the trip to Bali that we had 14 years ago. We both had digital cameras at that time and he was using a black coloured Canon IXUS. I happened to keep photos taken by the two of us and when I compared our results, I could confidently say that even then he did a brilliant job. His perfect timing, his passion for the right moments, his interests in exploring the camera features such as macro (I remember him muttering the word and took some flower pictures), Endrico simply had the makings of a good photographer.

The flower photo taken with macro feature in Bali. 

When Endrico was a little kid, he loved flipping through his parents' photo albums. His Dad introduced a camera to him when he was in Junior High School, triggering his lifelong interest in photography. He purchased his first camera, the aforementioned Canon IXUS, at Jim Col Enterprise (the shop still can be found at Lucky Plaza, Orchard). The life span of the trusted camera was surprisingly long. Used until early 2010s, the camera was retired only after her first daughter was born and it's still in good condition!

Browsing the baby's photos made him realise that he couldn't do much with the existing camera. That's when he started reading about DSLR. He was contemplating for one, but like any good boy from Pontianak, he was unsure about spending so much money. Photography was an expensive hobby and the price of DSLR Nikon he wanted to buy was two times his salary then! The wife understood what it meant for Endrico to have the camera and finally encouraged him to get one.

Smile, baby. Smile.

Endrico bought just the camera and no additional accessories were purchased. That was partly why he didn't really take landscape photos. Apart from that, he personally preferred to capture emotions and candid moments. While some people might not find flattering, some would either love it or just simply laugh about it. That reaction was the appreciation that Endrico treasured the most.

He'd been using the DSLR camera since then. It was hanging proudly on his neck when we travelled to Vietnam and Cambodia and that was 10 years ago! Throughout the decade, he upgraded his camera once, took a couple of freelance jobs, participated in some competitions (only God knows if he ever won, but hey, even the Beatles never won any!) and he also had a chance to help a professional photographer that went by the name @tristonyeo.

Endrico in action.
Photo by Anthony.

Now that the camera on the phone was so advanced, I was curious about what he got to say about it. Much to my surprise, he wasn't exactly a fan. He agreed that it was much more portable and therefore convenient, but it wasn't as good as DSLR. If the photos were just to be shared for social media consumption, then yes, the smartphone was indeed sufficient. However, as a hobbyist, he still opined that DSLR had so much more to offer. Endrico didn't have any preference for smartphone when it came to photo-taking, but just like those days when he used Canon IXUS, he did an admirable job with whatever smartphone he had in hand.

I could only conclude that for some talented people, the equipment they used only enhanced what they could do. The skill and experience were all along there, which explained the good result. I always thought highly of his natural instinct, but when I asked him to elaborate about it, he humbly said he couldn't explain it. He told me that the so-called instinct was like how I knew how to write and choose the right words. I could relate with the answer. It got to do with the feeling. You just knew it when it felt right.

The laughter, perfectly captured and immortalised in black and white.

Talk about results, it could get better with a little help of touch up. Endrico didn't do heavy editing. He did only what was necessary. He'd use Photoscape on desktop and Snapseed on his phone. Whenever he felt that the color tone was suitable, he'd go for sepia or B/W. It brilliantly brought the classical feeling out of the pictures! By the way, you can check out his work at @endrico.richard on Instagram. 

Now, up until here, you had read a lot of good things about what the man could do, but like I said earlier, photography was an expensive hobby. To make a living out of it was something that he wasn't ready for. It was probably an easier decision to make when you were single, but not when you were a father of three. Due to budget and time constraint, he didn't pursue it any further. He also cited the same reason in explaining why he didn't participate in any photography trip, at least for now. Still, things may change in the future, so never say never!

And that left me with last question that I actually forgot to ask. Endrico had gone through the era of digital camera, DSLR and smartphones. Now that drones with camera are quite common, I wonder if he will buy one, too! Aerial photography with a flying camera, how sexy does that sound? Be tempted and get one already, Mr. Richard!

A night in Singapore.


Sang Fotografer 

Nama Endrico Richard harusnya tidak asing lagi bagi para pembaca Roadblog101. Dia adalah seorang teman yang baik dan juga sesama pengelana di berbagai cerita yang saya tulis. Foto-foto hasil jepretannya kadang masih dipakai sebagai ilustrasi meskipun ia tidak tampil di dalam cerita. Ya, karyanya bagus dan saya termasuk seorang penggemarnya. Saya sering berkata bahwa kita senantiasa bisa berlibur dengan santai dan menyerahkan dokumentasi foto kepada Endrico karena dia selalu beraksi dengan kameranya. Belakangan ini saya menyadari, bakatnya sebagai fotografer belum pernah dibahas sama sekali. Orang yang bertalenta patut dihargai dan saya dengan senang hati menjadi orang yang bercerita tentang kemampuannya.

Saya ingat dengan liburan ke Bali 14 tahun yang lalu. Saat itu kita masing-masing membawa kamera digital dan Endrico menggunakan kamera Canon IXUS berwarna hitam. Kebetulan saya menyimpan foto-foto karya kami berdua dan kalau saya bandingkan, saya merasa bahwa hasil jepretannya lebih bagus. Kesabarannya dalam menunggu saat yang tepat, instingnya dan juga minatnya dalam mengeksplorasi kemampuan kamera (saya ingat dia sering menyebut kata makro dan memotret bunga) menunjukkan bahwa Endrico memang memiliki potensi sebagai fotografer dari sejak dulu.

Foto makro.

Ketika masih bocah, Endrico suka melihat-lihat album foto orang tuanya. Sewaktu dia berada di jenjang SMP, ayahnya memperkenalkan kamera padanya, tanpa sadar memicu minatnya terhadap bidang fotografi. Bertahun-tahun kemudian, Endrico membeli kamera pertamanya, Canon IXUS, di Jim Col Enterprise (toko ini masih bisa ditemukan di Lucky Plaza, Orchard). Umur kamera ini luar biasa panjang, digunakan sampai awal tahun 2010an dan baru dipensiunkan dalam kondisi masih berfungsi setelah kelahiran putri pertamanya. 

Sewaktu melihat hasil pemotretan bayi, Endrico jadi sadar kalau kamera Canon yang dimilikinya tidak bisa berbuat banyak. Ia lantas mulai membaca tentang DSLR dan tertarik untuk mencobanya. Akan tetapi fotografi adalah hobi yang mahal dan harga kamera Nikon yang ingin ia beli itu dua kali lipat gajinya pada saat itu! Endrico jadi tidak yakin, namun istrinya mengerti pentingnya kamera itu bagi suaminya dan memberikan dukungan.

Momen yang terabadikan.

Endrico akhirnya membeli kamera, tapi tidak disertai dengan berbagai aksesori seperti lensa bersudut lebar dan lainnya. Inilah alasannya kenapa Endrico jarang memotret pemandangan. Secara pribadi, dia juga lebih senang berfokus pada emosi yang terpancar saat orang yang difoto sedang tidak berpose untuk kamera. Beberapa orang mungkin tidak suka difoto dalam keadaan tidak siap, namun tidak sedikit juga mereka yang tertawa melihat hasilnya. Reaksi-reaksi seperti inilah yang merupakan bentuk apresiasi yang paling disukai oleh Endrico. 

Kamera DSLR pun menjadi andalannya semenjak itu. Ketika kita berlibur ke Vietnam dan Kamboja 10 tahun yang lalu, sepanjang perjalanan kamera itu tergantung di lehernya. Selama satu dekade terakhir ini, dia telah mengganti kamera DSLR dengan yang lebih baru, menerima pesanan fotografi untuk acara ulang tahun dan pra-nikah, berpartisipasi dalam beberapa lomba (hanya Tuhan yang tahu apakah dia pernah menjadi pemenang, tapi the Beatles juga tidak pernah memenangkan kompetisi apa pun, jadi tidak apa-apa kalau tidak juara). Selain itu, dia juga pernah mendapat kesempatan untuk membantu fotografer profesional yang menggunakan akun @tristonyeo.

Foto pra-nikah di Singapura. 

Mengingat kecanggihan kamera pada telepon genggam zaman sekarang, saya jadi penasaran dengan pendapatnya. Saya tertegun ketika mengetahui bahwa Endrico bukanlah penggemar fotografi dengan menggunakan telepon genggam. Dia tidak menyangkal bahwa telepon genggam memang lebih praktis, tapi fungsinya masih belum bisa menyaingi kamera DSLR. Jika hasil fotonya hanya dipakai untuk diunggah di media sosial, maka kamera telepon genggam pun sudah cukup memadai. Tidak demikian halnya jika fotografi ini ditekuni sebagai hobi. Kamera DSLR tentu saja memiliki lebih banyak fitur dan kelebihan. Meski Endrico tidak memiliki pilihan khusus dalam hal ini, dia tetap menghasilkan foto-foto yang bagus dengan kamera di telepon genggam yang dimilikinya. 

Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa bagi orang-orang berbakat, peralatan yang dipakai itu hanya sekedar meningkatkan kualitas karyanya.  Dari sejak awal, kemampuan dan pengalaman itu ada pada orangnya, bukan peralatannya. Saya senantiasa percaya bahwa dia memiliki naluri yang luar biasa, namun ketika saya minta dia untuk menjelaskan lebih lanjut, Endrico mengaku tidak bisa. Dia memberikan perbandingan bahwa apa yang saya sebut sebagai naluri fotografi itu tidak berbeda dengan bagaimana saya menulis. Semuanya tergantung perasaan dan seperti halnya saya, dia tahu dengan sendirinya bahwa saat yang tepat telah tiba baginya untuk memotret.

Foto di Bali. Ada kesan damai yang membuat saya menyukai karyanya ini. 

Bicara soal hasil, kualitas foto bisa menjadi lebih baik lagi jika diedit sedikit. Endrico juga sering memberikan sentuhan seperlunya. Dia menggunakan Photoscape di komputer dan Snapseed di telepon genggamnya. Terkadang dia juga menggunakan nuansa sepia dan hitam-putih untuk foto-foto tertentu yang memang cocok untuk warna tersebut. Bila anda berminat untuk melihat lebih lanjut, anda bisa mengikutinya di akun @endrico.richard di media sosial Instagram. 

Sampai di sini, anda telah membaca banyak tentang kemampuannya, akan tetapi seperti yang saya sebutkan sebelumnya, fotografi adalah hobi yang mahal. Keputusan untuk menjadi seorang fotografer profesional mungkin lebih mudah dijalankan ketika masih muda dan beda halnya ketika seseorang telah menjadi ayah dari tiga orang anak. Karena masalah waktu dan biaya, fotografi pun hanya menjadi sekedar hobi baginya. Endrico juga menyebutkan alasan yang sama ketika ditanya kenapa dia tidak mengikuti liburan wisata fotografi. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan masih ada kesempatan di lain waktu. 

Dan saya masih memiliki satu pertanyaan yang tidak sempat saya tanyakan tempo hari. Endrico sudah melewati masa-masa kamera digital dan telepon genggam. Sekarang ada lagi yang namanya kamera dengan drone, pesawat berbaling-baling tanpa awak yang bisa dikontrol dari jarak jauh. Kamera terbang ini bisa digunakan untuk memotret dari ketinggian. Seru, bukan? Mari, Endrico, cepat beli!

Foto pemandangan. 

No comments:

Post a Comment