Total Pageviews

Translate

Monday, June 13, 2022

Nowhere Man

The Beatles had a song called Nowhere Man, one that I could really relate with, because I always thought I was a nowhere man, sitting in his nowhere land, making all his nowhere plans for nobody. You know, with the all the dreams and the plans I had, I could easily fit into the very definition of nowhere man. 

But the recent talkshow got me rethinking this again. So we had this friend, a very smart man, presenting his idea about living happily like those villagers he saw around him. Then the idea was segued with a proposal that talked about metaverse as part of his futuristic solution to world's problem. It was so out of this world, not to mention disjointed, that a confused friend even asked, "how on earth do we go from village to metaverse?"

To make it more surreal, the data was only provided because Eday requested it before. When we pressed for more, we were asked to search for it ourselves on the internet. On top of that, as a proposal, it seemed to be pretty arguable, mostly because the person who proposed it didn't even bother to defend his ideas. It was like, "I tell you this much, you take it or leave it. Don't question me."

Upon hearing the same presentation, two people actually came to my mind. The first was Leonardo da Vinci. I remember reading about the man. His stuff was mostly observational. They were concluded without experiments and therefore offered no explanation. 

Then there was this uncle of mine. He was a Chinese-literate man who always sat behind his desk in Pontianak. From there, he would offer his rather negative view of the world to anybody. He did this since I was in high school and probably is still doing it now. 

Back in the days, when I was young and the internet was non-existent, my uncle sounded like the single source of truth. But now, even though he still liked to dominate the conversation, what he said felt outdated and irrelevant. 

It felt the same with my friend here. Regardless how smart a person was, you couldn't be staying in a rather secluded small town, imagining how the world worked, and then proposed something so futuristic to make it better. What one heard, read or saw online was different than experiencing it directly. The way I looked at it, he was out of his depth. You had to be a genius on par with Stephen Hawking to come up with a proposal that was so mind-boggling without leaving your seat. Otherwise it would be just another fanfiction.

That's when it struck me, "oh my, he's a real nowhere man, sitting in nowhere land, making all his nowhere plans for nobody."

Back to the presentation, there were many questions from us, of course. The presenter should have expected this from the audience like us, who were his peers and old friends. We couldn't care less how noble his profession was, because it had nothing to do with it. In hindsight, I did think that he probably got away from the questioning due to the wow factor. I mean, he was a respectable professional in the town he lived in, hence he was unlikely to be questioned by people around him, haha.

Eventually it was Jimmy who suggested our friend to apply for a passport and see the world first. I seconded the opinion. If it was just a wishful thinking, one could just stay where they were and continued daydreaming. But if one was serious about what he was saying, a credible experience would certainly help, wouldn't it?

The Thinker. Happened to pass by this statue few days ago...



Nowhere Man

The Beatles memiliki lagu berjudul Nowhere Man, sebuah tembang yang berarti bagi saya pribadi karena saya sering berpikir bahwa saya adalah nowhere man yang duduk di tempat yang tidak jelas keberadaannya dan merancang rencana yang tidak jelas juntrungannya dan tidak untuk siapapun. Dengan berbagai impian dan rencana yang saya miliki, saya berasumsi bahwa saya ini seperti nowhere man

Akan tetap acara obrolan santai tempo hari membuat saya berpikir lagi tentang hal ini. Saat itu seorang teman yang pintar diberi panggung untuk menyajikan topik tentang hidup bahagia seperti layaknya orang desa yang ia jumpai. Kemudian ide tersebut disambung dengan sebuah proposal yang berbicara tentang metaverse sebagai bagian dari solusi canggih masa depan yang ia tawarkan untuk masalah yang dihadapi dunia. Betul-betul mencengangkan sehingga seorang teman bahkan sampai bertanya, "kenapa dari desa bisa langsung ke metaverse?" 

Seakan-akan ini belum cukup heboh, data pun ditampilkan hanya karena Eday sebelumnya pernah meminta. Ketika diuji lebih lanjut, pemirsa lantas disuruh mencari sendiri di internet. Selain itu, sebagai sebuah proposal, isinya cenderung mengundang bantahan yang anehnya tidak diladeni oleh yang melakukan presentasi. Apa yang terjadi malah seperti ini, "saya sudah ceritakan, terserah anda mau terima atau tidak." 

Saat mendengar pemaparan seperti itu, saya jadi teringat dengan dua orang. Yang pertama adalah Leonardo da Vinci. Saya terkenang dengan apa yang saya baca tentang orang ini. Apa yang dikategorikan sebagai karya-karya ilmiahnya bersifat pengamatan belaka. Dia jarang bereksperimen dan tidak pula memiliki penjelasan kenapa idenya seperti ini.

Kemudian ada pula seorang paman saya yang bisa baca-tulis Mandarin dan senantiasa duduk di belakang meja kerjanya di Pontianak. Dari situ, dia akan menceritakan pandangannya yang agak negatif tentang dunia kepada semua orang yang datang bertamu. Dia melakukan ini sepanjang hari, mulai dari sejak saya duduk di bangku SMA dan mungkin berlanjut hingga hari. 

Dulu, ketika saya masih remaja dan internet pun belum dikenal, paman saya ini terasa bagaikan maha tahu dan sumber kebenaran yang hakiki. Sekarang, meski dia masih senang mendominasi percakapan, apa yang ia sampaikan kini terasa seperti ketinggalan jaman dan tidak relevan. 

Saya merasakan hal yang sama saat mendengarkan presentasi teman saya ini. Tidak peduli seberapa pintar seseorang, anda tidak bisa hanya tinggal di kota kecil yang terpencil, kemudian membayangkan bagaimana dunia ini bekerja dan menawarkan teknologi yang tidak pernah anda lihat sebagai solusi dari masalah. Yang terasa justru sepertinya orang ini sedang mengkhayal. Beda ceritanya kalau solusi yang mutakhir seperti ini dicetuskan oleh orang sekaliber Stephen Hawking yang selalu duduk di kursi rodanya. Kalau reputasinya kurang dari itu, yang terdengar cuma seperti cerita fiksi.

Dan saya mendadak terpikir lagi, "oh, dia sungguh seorang nowhere man, yang duduk di tempat yang tidak jelas keberadaannya dan merancang rencana yang tidak jelas juntrungannya dan tidak untuk siapapun."

Kembali lagi ke presentasi, tentu saja ada banyak pertanyaan dari kami. Ini sudah pasti akan terjadi dari pemirsa seperti kami yang merupakan teman-teman lamanya. Kami tidak peduli seberapa mulia profesinya, sebab hal ini tidak ada hubungannya dengan apa yang dipresentasikan. Kendati begitu, kalau dilihat kembali, mungkin penjelasannya akan terdengar cemerlang dan tidak mengundang pertanyaan di kota di mana ia tinggal, sebab dia adalah pria yang dihormati masyarakat di sana. 

Pada akhirnya Jimmy menyarankan teman yang satu ini untuk membuat paspor dan melihat dunia dulu. Saya setuju dengan sarannya. Jika ide itu hanya sekedar khayalan, sah-sah saja untuk senantiasa duduk melamun di satu tempat. Namun jika seseorang serius dengan idenya, pengalaman yang kredibel sudah jelas akan sangat membantu, bukan?

No comments:

Post a Comment