Total Pageviews

Translate

Saturday, March 11, 2023

The Japan Trip: Day Two, In Kawazu

The biggest problem we faced during the recent Japan trip wasn't the distance we covered on foot. No, the worst parts, (yes, it was in plural), were waking up early and the cold weather. The first morning we were there, we woke up around 4:30am (that's 3:30am in Singapore). Freaking inhumane! 

Kawazu, a photo by Eday.

But it was either that or we lost the time as Kawazu is quite far from Tokyo. It also didn't help that JR East Pass didn't cover the Tokaido-Sanyo Shinkansen. So there we were, before the sunrise, walking towards Asakusa Station. The train was there and based on what we saw on Google Maps, it wasn't going to depart anytime soon, so Parno went to pee after asking if we still got time. 

We sat inside the train and waited for Parno. Much to our surprise, the doors closed and the train started chugging. As I sat directly across from Eday, I could see that he, too, was shocked. Clearly it wasn't part of Eday's plan, haha. So the chat group got busy, ensuring Parno knew what to do. It was only then we realized that Muliady was missing, too. And the two of them turned out to be sitting on the opposite side from each other, haha.

At Shimbashi Station, waiting for our train to Atami.

Eday and other JR Pass holders continued their trip as we waited for the Parno and Muliady before heading to another platform at Shimbashi Station to take the train to Atami. But we were here in Japan and once again we got lost in its convoluted train system. Surianto had this habit of going solo, Taty tried her best to follow him while BL and Parno were lagging behind due to some reasons. At Atami Station, only Gunawan, Muliady, Ardian and I made it to the next train. As a result, Eday and friends who took shinkansen waited twice the time than it should be. 

When we reached Kawazu, while waiting for the last group to arrive, I went to buy a postcard, a usual holiday tradition. Posted both this one and the one that was supposed to be mailed from Manila (the post office was closed when we were there) in Kawazu. After that, I went to look for the guys. 

In Kawazu, before the journey began.
Photo by HRR.

Now, prior to this, I never heard of Kawazu. It was Susan who came up with this destination after one of us said about experiencing Sakura Hanami (literally translated as viewing cherry blossom flower). And I am a proud Singaporean that always boasts about my country. But upon seeing how beautiful the panorama was in Kawazu (the morning sunlight, the bridge, the mountain, the river and the cherry blossom), I simply had to admit the view was beyond anything I had seen in Singapore.

So we continued walking towards the sea only to realize that the waterfall was on the other side. We stopped for a while at Lokanta Cafe for a quick bite and drink, then resumed our journey. The sakura trees lining up on the roadside and the next one we encountered was more beautiful than the previous one. A lot of photo-taking happening here!

Parno, after the leg cramp.

The sessions were only disrupted for a while by Parno sitting on a giant director's chair and posing with a big bottle of Biere des Amis 0%. From a certain angle, the sitting posture was so awkward that he looked like Stephen Hawking, but yet his leg cramp reminded us that this was the fake one, haha.

We quite had a long walk (or at least it felt very long because we walked slowly) before we reached another bridge. From here onwards, the road was less crowded and the farther we got, it became quieter. The cold wind was howling loudly and blowing nonstop. We could also see the faraway trees swaying. It was almost brutal! Talk about the force of nature!

The section with sakura trees on two sides.

As we pushed forwards, the more the road felt sloping upwards. When we passed by a bus stop, Susan deciphered the timetable written in Japanese. It was getting late, so we eventually hopped on the next bus instead. And what a wise decision it was! As the bus brought us to the top, we learnt that the pavement eventually disappeared!

The one we took was the second last bus. The last one would come about an hour later, so we quickly visited the Seven Waterfalls. In the end, we only managed to see three. The last one was the biggest and nicest, but it also had the most challenging route to get there and back. Eday was fit and Parno was right behind him, but Taty was panting badly. 

At Odaru Waterfall, the biggest of the seven.

And that would be the last of it. We went back to where we came from and took the bus to Kawazu Station. BL texted us that he and the other three friends had left Kawazu earlier and we would meet again at Ueno Station. Inside the train to Atami, we noticed the news of train breaking down somewhere between Atami and Ueno, so Eday swiftly got the buy-in from others to switch to shinkansen instead. That eventually brought us to the destination faster than BL and friends, haha. 

We had our dinner after one round of walking in Ueno. Surianto went by himself to try out wagyu beef while the rest of us ate at the eatery nearby. Gunawan, Eday and I happened to sit with Parno. After much persuasion, a historic moment took place there: we got a free dinner from Parno!

When Parno paid the bill!

Since the bill was still below budget, we parted ways with others and dragged Parno to spend some more. Surianto suddenly reappeared again and joined us at the right time, because what happened next turned out to be quite an extraordinary revelation. After the yakitori and sake celebration of kanpai, we eventually called it a night. It was 6° Celcius, the coldest I ever felt up until then, but the heartfelt moment we went through did help to keep me warm...



Liburan Ke Jepang: Hari Kedua, Di Kawazu

Masalah terbesar yang kita hadapi selama liburan ke Jepang bukanlah jarak yang kita tempuh dengan berjalan kaki. Tidak, bukan itu. Yang paling parah adalah bangun pagi dan cuaca dingin. Di pagi pertama kita di sana, kita bangun sekitar jam 4:30 pagi (ini sama dengan jam 2:30 pagi di Indonesia Barat). Sungguh tidak manusiawi! 

Kawazu, sebuah foto karya Eday.

Namun pilihannya memang hanya itu atau kita akan kesiangan karena Kawazu cukup jauh dari Tokyo. JR East Pass juga tidak mencakup Shinkansen Tokaido-Sanyo sehingga kita musti naik kereta biasa yang lebih lambat. Jadi sebelum matahari terbit, kita sudah berjalan menuju Stasiun Asakusa. Kereta pertama sudah menanti dan menurut apa yang kita lihat di Google Maps, kereta ini masih akan berada di stasiun untuk beberapa lama. Parno pun pergi kencing karena menyangka masih ada waktu. 

Kita duduk di dalam kereta dan menanti Parno. Di luar dugaan, pintu kereta mendadak tutup dan kereta mulai bergerak. Karena saya duduk tepat di seberang Eday, saya bisa melihat kalau dia juga terkejut. Jadi tampaknya ini bukan rencana Eday, haha. Grup WhatsApp Jepang pun langsung aktif. Kita sibuk memastikan bahwa Parno tahu apa yang ia harus kerjakan. Di saat itu baru kita sadari bahwa Muliady pun tidak bersama kita. Ternyata dua-duanya ketinggalan dan kini duduk berseberangan, haha. 

Di Stasiun Shimbashi, menanti kereta ke Atami.

Eday dan para pemegang JR Pass melanjutkan perjalanan dengan shinkansen sementara kita menanti dua teman yang tertinggal dan menuju ke sudut lain di Stasiun Shimbashi untuk naik kereta biasa ke Atami. Tapi pergantian kereta di stasiun memang agak membingungkan bagi yang baru tiba di Jepang. Landak memiliki kebiasaan menghilang sendiri sementara Taty berusaha mengikutinya dari belakang. Akan halnya BL dan Parno, mereka pun tertinggal karena membeli minum di mesin otomatis. Akhirnya hanya Gunawan, Muliady, Ardian dan saya yang berhasil naik ke kereta berikutnya. Eday dan kawan-kawan yang telah tiba duluan di Kawazu pun terpaksa menanti dua kali lebih lama.  

Saat di Kawazu, sambil menunggu tibanya rombongan terakhir, saya pergi membeli kartu pos, tradisi liburan sejak 2015.  Di Kawazu, saya mengirimkan kartu pos Jepang dan satunya lagi yang semestinya dikirim dari Filipina (kantor posnya tutup pas kita di Manila). Setelah itu, saya cari mereka yang sudah jalan duluan. 

Di Kawazu, sewaktu kita tiba.
Foto oleh HRR.

Nah, sebelum ini, saya tidak pernah mendengar tentang Kawazu. Susan yang mengusulkan tempat tujuan ini setelah salah satu dari kita ingin mencoba Sakura Hanami (secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai melihat bunga sakura). Perlu diingat pula bahwa saya adalah warga negara yang sangat bangga dengan Singapura. Tapi saat melihat betapa indahnya pemandangan di depan mata (sinar mentari pagi yang menerangi jembatan, gunung, sungai dan sakura), saya harus mengakui bahwa keindahan yang saya lihat ini tak ada di Singapura.  

Kita lantas terus berjalan sampai melihat laut di depan kita. Air terjun yang ingin kita tuju ada di arah sebaliknya, jadi kita mampir sebentar di Lokanta Cafe untuk bersantap dan minum sebelum melanjutkan perjalanan. Pohon-pohon sakura berderet di sepanjang jalan dan setiap pohon yang kita lihat terasa lebih bagus dari yang sebelumnya, jadi banyak yang berfoto-foto di sini. 

Parno, setelah kram kaki.

Sesi foto sakura hanya sempat terhenti, tergantikan sejenak oleh Parno yang duduk di kursi direktur raksasa sambil berpose dengan botol Biere des Amis 0% yang besar ukurannya. Dari sudut tertentu, postur duduknya terlihat janggal dan mirip Stephen Hawking, tapi kakinya yang sempat kram di kala duduk langsung mengingatkan kita kalau yang satu ini adalah Stephen palsu, haha. 

Dari situ, kita berjalan cukup jauh (atau terasa jauh karena kita berjalan sangat perlahan) dan sampai di jalan raya berikutnya. Deretan sakura di kawasan ini tidak seramai sebelumnya. Semakin jauh kita menelusurinya, kian sepi pula jalannya. Angin dingin menderu dan bertiup tiada henti. Dari kejauhan, kita bisa melihat pohon-pohon di gunung yang bergoyang. Hal ini mengingatkan saya bahwa kekuatan alam itu sebaiknya jangan dipandang remeh. 

Di satu-satunya bagian yang memiliki dua deretan sakura.

Jalan ke air terjun semakin lama semakin menanjak. Ketika kita melewati halte bis, Susan menerjemahkan jadwal yang ditulis dalam bahasa Jepang. Hari sudah sore, jadi kita menaiki bis berikutnya untuk menghemat waktu. Pilihan ini terbukti bijak, sebab trotoar tak lagi terlihat di jalan yang membawa kita ke atas gunung. Tampaknya memang tidak mungkin untuk berjalan dari kota sampai ke air terjun! 

Bis yang kita tumpangi adalah bis kedua terakhir. Yang berikutnya akan datang satu jam kemudian, jadi kita bergegas mencari Tujuh Air Terjun Kawazu. Akhirnya kita hanya sempat melihat tiga. Yang terakhir adalah yang paling tinggi dan bagus, tapi rute ke sana dan kembali pun naik-turun dan paling menantang. Eday memang bagus staminanya dan Parno yang tangguh pun mengikuti dari belakang, tapi Taty terengah-engah kehabisan napas. 

Di Air Terjun Odaru yang terbesar dari tujuh air terjun.

Dan akhirnya kita menunggu bis pulang dan langsung menuju Stasiun Kawazu. BL memberitahukan bahwa mereka berempat sudah meninggalkan Kawazu dan kita janjian untuk bertemu lagi di Stasiun Ueno. Selagi kita menyusul dengan kereta menuju Atami, terbaca berita tentang gangguan perjalanan antara Atami dan Ueno, jadi Eday mengajak yang lain untuk berpindah ke shinkansen. Dengan kereta super cepat, kita akhirnya tiba lebih dulu di tujuan, haha.

Kita makan malam setelah mengitari Ameya-Yokocho di Ueno. Surianto sekali lagi berpisah karena dia ingin mencoba sapi wagyu sementara yang lain singgah ke tempat makan terdekat. Gunawan, Eday dan saya kebetulan duduk semeja dengan Parno. Setelah dibujuk-rayu, peristiwa bersejarah pun terjadi: kita akhirnya ditraktir oleh Parno!

Ketika Parno membayar tagihan!

Karena tagihannya di bawah anggaran, kita berpisah pula dengan kawan-kawan dan menyeret Parno untuk lanjut traktir. Landak tiba-tiba muncul dan turut bergabung di saat yang tepat, karena apa yang terjadi selanjutnya adalah kisah persahabatan yang langka dan luar biasa. Setelah icip-icip yakitori dan kanpai sake, kita akhirnya pulang. Malam itu suhunya 6° Celcius, paling dingin yang pernah saya alami sampai saat itu, tapi kebersamaan sewaktu minum sake terasa hangat di hati... 

No comments:

Post a Comment