Total Pageviews

Translate

Monday, June 24, 2024

The Longest Trip To Tasikmalaya

There are news you don't wish to know right before you sleep. In my case, it was disturbing to read that my mother-in-law started getting ready for her son's funeral. I was worried that I'd wake up to a really bad news. And that's exactly what happened. So bad that I was emotionally overwhelmed when I heard my wife crying on the other end of the phone. 

After that, I made a couple of phone calls and sent a couple of texts. I, too, needed to prepare. Linda stays back in Singapore. She is doing P6 now and school is about to start. Audrey could skip school, so I booked last minute tickets to Jakarta for both of us. Thus began the longest trip ever to Tasikmalaya. 

As Roadblog101 is heading into its eighth year, I guess it's pretty much established that I love traveling. But this one felt different. It was going to be done with a weary heart. Just the thought of traveling from Singapore to Bandung via Jakarta before resuming another 3-hour journey on the following morning was exhausting.

Audrey and I as we began our journey. 

But it also gave me time to look as far back as 2005. Almost two decades ago. That was probably the first time I met my future brother-in-law. He was an architect. Academically smart, but not exactly a serious type. He was blessed with a quirky sense of humor that always made his siblings laugh. It was as if he didn't even try. His honest answer was somehow funny. 

I remember asking what he usually did during the weekend, when he was growing up in a small town named Tasikmalaya. Much to my surprise, he said he used to spend time with friends at the church. I found it quite hilarious as none of my friends that I hung out with really did that. But I knew there and then he was a nice person.

Visiting Chinese Garden. 

A year later, he visited me in Singapore. I just managed to find a job after so much uncertainty during the transition, so it was good to see familiar faces from the previous phase of my life. We went to places such as Chinese Garden and Snow City. The time he slided down from the snow slope and accidentally hit the Snow City staff was just unforgettably funny. 

We still met whenever we had chances, be it in Tasik, Bandung or Jakarta. I attended his wedding banquet and he was there the day I got married. Together with almost all of his siblings, we went to Bangkok to support my father-in-law as he participated in the Standard Chartered half marathon at the age of 72. 

In Bangkok, right after the half marathon. 

My wife and I also welcomed him when he visited Singapore again. I was someone he knew during his first visit, someone who was hopelessly in love with his sister. He was a family man and I had been his brother-in-law for six year during his last visit. It'd been quite a journey for us.

Then came the Chinese New Year earlier this year. His birthday happened to be on the same day as the reunion dinner. A happy occasion and he was in a good mood, considering all the bad news he had to go through for the past two years. Little did we know it would be his last celebration. 

Birthday celebration. His birthday was the same Audrey's!

He was ill again four months after that. We still talked, though. I even included Gunawan so that he felt motivated and looked forward to his Penang trip. But it wasn't meant to be. Three days after our conversation, his life took turn for the worse. He was brought back to life twice with CPR, but no more miracle when his heart rate monitor went flat line for the third time. 

So there I was today to pay respect and have a glimpse of him for one last time. It was very surreal to see him lying there, motionless and lifeless. Earthly life is fragile indeed. But as I talked to my wife, she mentioned that he was the funniest among the siblings. I was stunned. That's exactly how I felt, too! 

So rest in peace, Brother-in-Law. For the fact that your sister and I could only think of the same thing, you must have left behind the memorable times that we cherish so much. In my book, that's a life well-lived. 



Perjalanan Panjang Ke Tasikmalaya

Ada kabar tertentu yang kiranya tidak ingin kita ketahui sebelum kita tidur. Dalam konteks ini, saya jadi risau saat membaca tentang ibu mertua saya yang berkata bahwa hendaknya kita mulai menyiapkan keperluan rumah duka putranya. Rasanya akan terdengar kabar buruk saat saya bangun nanti. Dan benar saja, itulah yang terjadi. Saya jadi ikut merasa emosional saat mendengar istri saya terisak di telepon. 

Setelah itu, saya menelepon dan mengirimkan beberapa pesan lewat WhatsApp. Saya juga perlu bersiap-siap. Linda harus tetap tinggal di Singapura. Dia sudah kelas enam sekarang dan liburan sekolah baru saja usai. Audrey bisa bolos, jadi saya pun memesan tiket ke Jakarta untuk berdua. Perjalanan panjang ke Tasikmalaya pun bermula. 

Roadblog101 kini memasuki tahun ke-delapan. Dari cerita-cerita yang sudah ada, saya rasa sudah jelas bahwa saya suka jalan-jalan. Akan tetapi yang satu ini terasa berbeda. Ada rasa berat dan lelah di hati sebelum perjalanan dimulai. Saat saya membayangkan perjalanan dari Singapura ke Bandung lewat Jakarta yang kemudian dilanjutkan dengan tiga jam lagi ke Tasik pada keesokan paginya, saya jadi kian letih. 

Audrey and I as we began our journey. 

Tapi panjangnya perjalanan juga memberikan saya kesempatan untuk melihat kembali ke tahun 2005. Sudah hampir dua dekade lamanya. Di tahun tersebut saya bertemu dengan calon adik ipar saya untuk pertama kalinya. Dia adalah seorang arsitek. Dia pintar secara akademis, tapi bukan merupakan tipe yang serius. Selera humornya unik dan selalu membuat adik-adik dan kakaknya tertawa. Dia tidak terlihat seperti berusaha melucu, tapi jawabannya yang polos itu mengundang gelak tawa.

Saya ingat ketika saya bertanya, apa yang biasanya dia lakukan di akhir pekan, saat dia masih anak sekolah di Tasikmalaya. Di luar dugaan, jawabannya adalah menghabiskan waktu bersama teman-teman di gereja. Saya jadi tercengang sekaligus tergelitik, sebab rasanya tidak ada teman-teman saya di Pontianak yang seperti ini. Namun saya jadi tahu bahwa dia ini baik kepribadiannya. 

Mengunjungi Chinese Garden. 

Setahun kemudian, dia mengunjungi saya di Singapura. Kala itu saya baru saja dapat kerja setelah masa transisi yang penuh ketidakpastian, jadi senang rasanya bisa bertemu dengan wajah-wajah yang saya kenal dari fase kehidupan saya yang sebelumnya di Jakarta. Kita mengunjungi tempat-tempat seperti Chinese Garden dan Snow City. Ada kenangan lucu sewaktu dia meluncur turun dan tanpa sengaja menabrak karyawan Snow City sampai pingsan, haha. 

Setelah itu, kita masih bertemu di beraneka kesempatan, entah itu di Tasik, Bandung atau Jakarta. Saya menghadiri pernikahannya dan dia tentu saja hadir saat saya menikah. Bersama dengan hampir semua adik-adiknya, kita ke Bangkok untuk mendukung ayah mertua saya yang mengikuti setengah maraton di usia 72. 

Di Bangkok, setelah setengah maraton selesai. 

Saya dan istri menyambut kedatangannya saat ia mampir lagi ke Singapura. Saya adalah seorang kenalan yang jatuh cinta dengan kakaknya ketika dia pertama kali ke Singapura. Di kali terakhir ke Singapura, dia adalah seorang kepala keluarga dan saya adalah abang iparnya selama enam tahun terakhir. Satu perjalanan hidup telah kita tempuh sampai sejauh ini.

Kemudian tibalah Tahun Baru Cina di awal tahun ini. Ulang tahunnya bertepatan dengan makan besar keluarga. Itu adalah hari yang gembira dan dia terlihat riang, terutama setelah berbagai berita buruk yang harus dia jalani selama dua tahun terakhir. Tak pernah kita sadari bahwa itu akan menjadi perayaan ulang tahun yang terakhir baginya. 

Perayaan bersama Audrey karena hari ulang tahunnya sama.

Dia sakit lagi empat bulan kemudian. Kita masih sempat berbincang dan saya bahkan memperkenalkan Gunawan supaya dia bisa bertukar cerita dan memotivasi adik ipar saya untuk berobat lebih lanjut ke Penang. Siapa sangka semua itu buyar begitu saja. Tiga hari setelah percakapan kita, kondisinya memburuk. Ketika monitor jantung kembali menunjukkan garis lurus untuk ketiga kalinya, hidupnya pun berakhir. 

Jadi di kampung halamannya saya hadir hari ini untuk memberikan penghormatan terakhir. Saya sempat berdiri di samping peti untuk melihatnya. Sulit untuk percaya bahwa dia terbujur kaku di dalamnya, tak bergerak dan tak lagi hidup. Dunia fana memang rapuh. Sewaktu saya mengobrol dengan istri saya, dia menyeletuk bahwa adiknya ini adalah yang paling lucu dari enam bersaudara. Saya tertegun karena saya juga merasakan hal yang sama. 

Jadi beristirahatlah dengan tenang, Adik Ipar. Kita yang ditinggalkan bahkan bisa memikirkan hal yang sama tentang dirimu. Itu artinya engkau telah meninggalkan kenangan terbaik yang akan senantiasa hidup di hati kita. Bagi saya, itulah hidup yang telah dijalani dengan sebaik mungkin. 

No comments:

Post a Comment