Total Pageviews

Translate

Thursday, May 18, 2017

The Wheat Cartoonist

I once had a glance at the name kartunis gandum and mistook it as an artist that drew Gundam, but then I realized I never saw him drawing that Japanese mecha. That prompted me to take a look again one day. As I'm an Indonesian, I am able to translate those words. The meaning is the wheat cartoonist, which I find it very intriguing. I had a chat with him earlier today and here's the story of a talented illustrator with a very odd moniker.

His name is Ariff Ahmad. A colleague of mine, we normally call him Ariff in office. He is known for his rather unusual but commendable hobby (it's amusing that one would go all the way to build the Wolverine claws or parts of Iron-Man costume). He was also the guy that the previous CIO approached for the Family Day event poster last year. Ariff clearly loves his craft and is good at what he's doing.

The talent manifested at very young age. Born to a mother who was a voice actress and a father who could draw, here was a five years old boy who would draw on the corner of the whiteboard in his mother's office every time he tagged along to pick up his Mum. The raw skill was then influenced by those comic strips he read at his aunt's house, from the drawing style to the brief storytelling in just few panels. With the support and encouragement from the parents, the young boy figured out that he could do a cartoon, so perhaps he could be a cartoonist someday.

Ariff and the first magazine that he contributed.
Photo owned by Ariff.

As the young boy turned into young man, an opportunity knocked. It started with a Hari Raya greeting card that he received. It came from a place not very far from where he stayed, so he thought of paying the sender a visit to say thanks. Much to his surprise (and delight), the office he visited turned out to be a publishing company of a cartoon magazine. The moment the publisher granted him a so-called interview session, without further ado, he ran back home to grab the stuff he'd been doing so far and the rest is history. He was a published cartoonist since then and, thanks to his habit of referring himself and others in English (I reckon it would be something like this: "I nak pergi dulu."), he was soon to be known as Ariff Eye Ahmad, with Eye being a word play from I.

And you may wonder why he hadn't become kartunis gandum. That is because it was his second pseudonym, adopted only after he moved onto another magazine called Ujang. The publisher was fond of naming his artists padi, jagung and our man here was nicknamed as gandum, hence he was the wheat cartoonist from that moment on.

Image credit: Kartunis Gandum
(If you are on a mobile browser, click the image for high resolution)

The art of making people laugh with only few panels of drawing looks deceptively simple for those who read it, but it can be a tricky business for the one who does it. Ariff makes it look easy, but he had paid his dues long before this. It's years of hard work exchanged with experience. After the learning curve, he understands that the inspiration comes from whatever that is going on around him. Once decided, he'll convey his message within few panels. It has to be concise, with the last panel delivering the ultimate punchline. The one above, for example, is easily an instant classic.

All good things must come to an end, though. Those days as a published cartoonist are now behind him. He still has some fun with his weapons of choice (the markers, brushes and water colors), but that's either as a freelance or just to get it off his chest (that's what artists do when they have ideas). Does he miss his heyday? Perhaps, but then again, now he got his biggest fans at home following his footsteps: his two children. Well done, kartunis gandum!

The man and the art.
Photo owned by Ariff.


Kartunis Gandum

Ketika saya pertama kali membaca nama kartunis gandum, saya sempat keliru dan mengira bahwa ini adalah seniman yang suka menggambar Gundam. Kendati begitu, saya tidak pernah melihat gambar robot Jepang darinya. Saya lantas perhatikan lebih lanjut lagi dan barulah saya sadari bahwa yang tertulis itu gandum, bukan Gundam. Karena heran, saya pun berbincang dengannya. Berikut ini adalah cerita tentang seorang seniman berbakat dengan julukan yang tidak lazim. 

Namanya adalah Ariff Ahmad, seorang rekan kerja saya. Dia dikenal dengan hobinya yang unik, misalnya membuat cakar Wolverine atau bagian dari kostum Iron-Man. Karena kreativitasnya, dia juga diajak kepala departemen kita untuk merancang poster acara kantor tahun lalu. Ariff jelas menyukai seni dan berbakat dalam bidang yang ia geluti ini. 

Talenta Ariff sudah terlihat sejak dini. Lahir dari seorang ibu yang mengisi suara lakon dan ayah yang bisa menggambar, Ariff kecil senang melukis di papan tulis kantor ibunya saat ia main ke sana. Karunia yang ada pada dirinya ini lantas dipengaruhi lagi oleh komik-komik yang ia baca di rumah bibinya. Berkat dukungan orang tuanya, bocah ini lambat-laun menyadari bahwa dia mungkin saja bisa menjadi seorang kartunis suatu hari nanti.

Ariff di ruang kerjanya. 

Saat beranjak dewasa, kesempatan pun tiba. Semuanya bermula dengan sebuah kartu ucapan Lebaran yang ia terima. Karena kartu tersebut berasal dari alamat yang tidak jauh dari rumahnya, ia pun berpikir untuk menyambangi pengirim kartu dan mengucapkan terima kasih. Ternyata tempat yang dikunjunginya itu adalah kantor majalah bergambar. Ketika penerbit bercakap-cakap dengannya, dia pun berlari pulang ke rumah untuk mengambil dan menunjukkan karyanya. Singkat cerita, dia menjadi seorang kartunis majalah sejak itu. Karena kebiasaannya dalam menggunakan bahasa Inggris saat mengacu pada dirinya (seperti I nak pergi dulu), akhirnya dia pun dikenal sebagai Ariff Eye Ahmad, dimana Eye merupakan kata yang sama bunyinya dengan kata  I.

Dan anda mungkin membayangkan kenapa dia belum menjadi kartunis gandum. Ini karena julukan yang kedua ini baru dipakai ketika dia pindah ke majalah lain yang bernama Ujang. Penerbit majalah ini senang memberikan nama tumbuhan pada para kartunisnya seperti padi, jagung dan Ariff pun mendapat nama gandum, maka jadilah dia kartunis gandum.

Seni membuat orang tertawa dengan hanya sedikit panel bergambar dalam satu halaman kesannya mudah, tapi dibutuhkan kreativitas yang luar biasa dari penciptanya. Ariff bisa mengerjakannya dengan gampang karena dia sudah berkecimpung di dalam bidang ini bertahun-tahun lamanya. Berbekal pengalaman yang telah dijalaninya, dia paham bahwa inspirasi datang dari sekitarnya. Setelah tahu apa yang ia ingin tuangkan, dia pun mulai menggambar. Kartun seperti ini bukan saja harus singkat, jelas dan padat, tetapi juga harus dituntaskan lewat gambar terakhir, seperti cerita di bawah ini: 

Jika anda ikut apa yang terjadi di Malaysia, anda akan paham satirnya.
Karya Kartunis Gandum.

(Klik gambarnya bila kurang jelas)

Akan tetapi semuanya mesti berakhir. Hari-harinya sebagai kartunis majalah sudah berlalu. Meski begitu, dia masih tetap menggambar, baik sebagai seniman bayaran atau hanya sekedar iseng dan ingin berkarya. Apakah dia merasa rindu dengan kehidupannya sebagai kartunis gandum? Ya, ada kalanya dia terkenang masa lalu, namun yang terpenting sekarang adalah dua anaknya pun mulai mengikuti jejaknya. Semoga sukses, Ariff! 

Senantiasa melangkah maju menuju sukses. 


Tuesday, May 16, 2017

The Animals

First of all, no, this is not about Eric Burdon's band, the one that performed the House of the Rising Sun. This is about the animals, literally. A cousin of mine got sick of politics (social media is full of it these days!) and he asked why nobody talked about fish and rhino instead. I always find this sort of incoherent statement interesting, so I responded to his comment by saying that perhaps we should save Sumatran rhinos. That innocent thought never left my head since then, as if it begged to be told, so here we are.

I've always been fascinated by the animals. My first recollection about the wildlife was a tune called Baby Elephant Walk and baby elephants holding tails, likely a scene from this old movie called Hatari! When I was a little boy, I always had bedtime stories about elephant, hippo, giraffe and zebra; read and repeated by Mum almost every night. Then I had a visit or two to Pontianak Zoo. I remember the bear pit, where we had to climb to the top to look at the bears down there. My grandparents also kept ducks and chickens. This gave me the opportunity to pick up eggs every morning (once there was a python instead of a hen in the cage, as the poor fowl had been swallowed by the snake). Growing up, I also had turtle pets, from a Malayan box turtle, a spiny turtle to red eared sliders. Why turtles? Well, I'm always curious about who'll last longer, the owner or the pet.

My pet, Markus. She's 11 years old this year. 

The good thing of being a grown-up is, I now have the means to pursue my childhood interest. Always a keen zoo visitor, I went to many throughout the years, from Jakarta to Tokyo. African elephant, Indian rhino and gorilla had been struck off my wishlist so far. I also had a chance to see these strange looking beasts called takin and aardvark. Oh, I heard the big cats growling for the first time at Guangzhou Zoo, too. It was loud, even though I was nowhere near the cage. Imagine if they roared!

What I'm saying is, apart from the safari park where the animals roam freely, the zoo visit is the closest encounter with the wildlife that one can experience. Some may complain about how smelly a zoo can be, but if you just stand there and stare at, for example, the elephants, you'll realize how majestic these gentle giants are. Crocodiles are another great example. For the fact that they'll give you goosebumps by just floating eerily still on water, you'll have nothing but respect. This is certainly a force to be reckoned with.

As I grew to appreciate the creatures we are sharing this world with, it dawned on me that the reality isn't as rosy as what I imagined before. As a kid, I used to think that the animals were always around, but as I watch and read more about it, I realize that it isn't the case. Many have been wiped out since then. We can only guess now what the animals described by people from the past were. They were once there, I believe, but are no longer around. It's ironic that the dodo is still used as the mascot of Mauritius when the bird had been extinct roughly 400 years ago. Steller's sea cow was another sad story. More recent cases, animals that were ever captured on photos, were quagga and Tasmanian tiger. The list goes on and on.

The extinction that I was fully aware of was the death of Lonesome George, a male giant tortoise from Pinta Island. I actually read about it and followed the news. I was happy when the mating attempts produced eggs. I was sad when the eggs were inviable. Then came the bad news that George had died. Prior to that, George was already portrayed on TV ads as the rarest creature in the world as it was the last of its kind. The day George died, I remember having a hard time digesting the information. I was stunned by the fact that the entire species died with George, that we are not going to see the likes of it anymore. That's what extinction really means.

The Sumatran rhino.

This brings us back to the Sumatran Rhino. I didn't mention the particular species for no apparent reason. I like rhinos in general, but Sumatran rhinos are special in the sense that they are the one and only hairy rhinos that still walk the earth. When I manage to keep aside some money, I donate it to WWF as a form of support. That's the least I can do for now. If you ask me, I'm just trying my best to avoid the need of explaining to the next generation, what this animal is and why they are no more. My right to see animals such as elephant bird has been denied forever and I have to accept that, but if you and I play our parts, the future generations may not need to suffer the same fate. We owe it to ourselves to do it right, really.

Now, instead of ending this on a somber note, let me share with you what's next for me. I'd like to do whale watching. I saw beluga before and it was cute, but it doesn't count! I'd like to see the big ones. Another dream that I have is Africa (and, no, it's not the song by Toto). Serengeti and Maasai Mara, we'll meet one day...

The day I saw the African elephant...
Image credit: Evelyn Nuryani


Tentang Binatang

Suatu ketika, sepupu saya yang sebal dengan maraknya pembahasan politik di sosial media tiba-tiba berkomentar, kenapa tidak ada yang berbicara tentang ikan atau badak. Saya yang menyukai komentar-komentar aneh seperti ini langsung tertarik untuk ikut menimpali, "ya, semestinya kita menolong Badak Sumatera." Semenjak itu, sepenggal percakapan ini senantiasa terngiang di benak saya, memohon untuk diceritakan. Akhirnya artikel ini pun ditulis. 

Saya selalu bersimpati dengan dunia hewan. Kenangan pertama saya tentang binatang adalah sebuah lagu berjudul Baby Elephant Walk dan adegan film Hatari! dimana sang bayi gajah memegang ekor induknya dengan belalainya. Ketika saya masih kecil, ibu saya sering membacakan cerita tentang gajah, kuda nil, jerapah dan zebra. 

That story book about giraffe and zebra. I still remember the exact title!
Image credit: tokopedia.com

Selain itu, kita pun mengunjungi Kebun Binatang Pontianak. Saya ingat dengan kandang beruang yang mirip sebuah sumur besar dan kita harus memanjat naik untuk melihat beruang di dalamnya. Kenangan lainnya, rumah Nenek saya di Jalan Merdeka (sekarang telah berubah menjadi Restoran Aneka Rasa), dulunya memiliki kandang ayam dan bebek. Setiap pagi saya berkesempatan untuk mengambil telur-telur dari kandang dan suatu ketika, saya bahkan melihat ular di kandang ayam (dan ayamnya telah hilang ditelan ular). Dari sejak kecil, saya juga memiliki setidaknya tiga jenis kura-kura sebagai binatang peliharaan. Kenapa kura-kura? Karena saya selalu penasaran, siapa yang lebih panjang umur, pemilik atau hewan peliharaannya.

Salah satu keuntungan menjadi orang dewasa adalah adanya kesempatan untuk melanjutkan hobi masa kecil. Sebagai penggemar kebun binatang, saya mengunjungi wahana ini di berbagai tempat, mulai dari Jakarta sampai Tokyo. Sampai sejauh ini, saya sudah melihat gajah Afrika, badak India dan gorila yang ada dalam daftar keinginan saya. Binatang-binatang aneh seperti takin dan aardvark pun pernah saya jumpai di kebun binatang. Saya juga pernah mendengar ruangan harimau untuk pertama kalinya di kebun binatang Guangzhou. Suaranya yang keras terdengar dari jauh! 

Badak India.
Foto oleh Evelyn Nuryani. 

Beberapa dari kita mungkin berpendapat bahwa kebun binatang itu cenderung bau. Namun coba anda abaikan aroma yang tidak sedap ini dan mengamati hewan seperti gajah yang besar dan perkasa. Atau lihatlah buaya yang diam dan mengapung di permukaan air, tapi bisa membuat anda merinding. Dari sinilah kita bisa lebih menghargai agungnya ciptaan Tuhan. 

Di sisi lain, saya juga menyadari bahwa realita yang ada tidaklah seindah yang saya bayangkan dulu. Sebagai bocah, saya selalu berpikir bahwa binatang itu selalu ada di sekitar kita. Setelah dewasa, saya baru tahu bahwa entah berapa banyak sudah hewan yang punah dari muka bumi ini. Beberapa hanya bisa ditemukan dalam cerita orang zaman dahulu, misalnya tulisan Ibnu Batutah, dan yang lainnya adalah dari fosil. Ironis rasanya bahwa dodo masih masih digunakan sebagai maskot negara Mauritius meskipun sudah punah sejak 400 tahun yang lalu. Sapi laut Stellar juga kisah sedih lainnya. Ada juga yang baru punah, misalnya Quagga dan harimau Tasmania yang sempat difoto sebelum lenyap di abad 20. Dan daftar ini masih terus bertambah. 

Satu kepunahan yang benar-benar saya ikuti adalah saat matinya Lonesome George,  kura-kura raksasa dari Pulau Pinta dan yang terakhir dari jenisnya. Beberapa tahun silam, saya pernah membaca kisah tentang George dan mengikuti beritanya. Saya gembira ketika kura-kura betina yang dibuahinya bertelur dan saya sedih ketika telurnya gagal dibuahi. Kemudian terdengar berita bahwa George telah mati di usia 102. Sebelum itu, George sempat ditampilkan di iklan televisi sebagai hewan yang paling langka karena hanya tersisa satu di dunia. Ketika George mati, saya merasa sulit menerima kenyataan ini. Kematian George berarti jenis kura-kura ini hilang dari muka bumi dan kita tidak akan pernah melihat yang seperti ini lagi. Ternyata inilah arti dari sebuah kepunahan. 

Dan marilah kita kembali ke badak Sumatera. Saya tidak asal sebut di sini. Saya suka semua jenis badak, tapi badak Sumatera adalah satu-satunya yang berbulu. Di kala saya memiliki uang lebih, terkadang saya menyumbangkannya ke WWF. Saya melakukan apa yang saya bisa sehingga tidak perlu menjelaskan kepada generasi mendatang, binatang apa ini dan kenapa binatang ini punah. Saya tidak akan pernah lagi melihat binatang seperti burung gajah, tapi jika kita memainkan peran kita, anak-anak kita tidak perlu bernasib sama. 

Sebagai penutup, mari saya ceritakan sebuah impian saya. Suatu hari nanti saya ingin melihat paus di laut lepas. Saya sudah pernah melihat beluga yang lucu, tapi saya ingin melihat yang lebih besar lagi! Impian lainnya adalah kunjungan Afrika. Saya harap saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Serengeti dan Maasai Mara...

Monday, May 15, 2017

Jalan-Jalan Hemat Di Singapura

Singapura, bagi sebagian besar orang Indonesia, mungkin sudah tidak asing lagi. Negara tetangga ini menjadi salah satu tujuan wisata favorit selain karena lokasinya yang dekat, juga karena adanya berbagai obyek wisata yang menarik serta sarana transportasi yang praktis, aman dan nyaman. Namun karena Singapura relatif kecil, pengunjung yang sudah 2-3 kali ke sini mungkin mulai bingung, tempat mana lagi yang harus dikunjungi. Melihat patung Merlion? Sudah. Mengunjungi Singapore Zoo dan River Safari? Sudah. Shopping di Orchard? Sudah. Menikmati pulau Sentosa berikut Universal Studio? Sudah. Mengunjungi Garden By the Bay? Juga sudah. Mana lagi tempat menarik yang bisa dikunjungi?

Masih banyak tempat atau aktivitas menarik yang bisa dilakukan di Singapura, yang tidak menghabiskan banyak uang atau bahkan gratis. Penasaran? Berikut beberapa alternatif tempat atau aktivitas yang bisa dilakukan jika anda mengunjungi Singapura bersama keluarga selama beberapa hari:
1. Jalan-jalan di sepanjang area Marina Bay. Di sini kita dapat menikmati pemandangan sungai dan gedung-gedung tinggi. Banyak spot foto yang bagus atau istilah kerennya instagramable. Sebaiknya aktivitas ini dilakukan di waktu sore menjelang malam hari. Ketika matahari mulai tenggelam, langit berubah warna dan gedung-gedung mulai menyalakan lampunya. Jangan lewatkan juga kesempatan untuk melihat water and light show di depan Marina Bay Sands (MBS). Sinar laser warna-warni yang disorot pada layar air menampilkan pertunjukan cahaya yang menakjubkan dengan iringan musik yang merdu. Pertunjukan ini ditampilkan setiap malam pada pukul 8.00 dan 9.30. Kabar baiknya, pertunjukan ini GRATIS :)



2. River cruise di sekitar area Marina BayAnda dapat menyeberang dari kawasan Marina Bay menuju patung Merlion menggunakan perahu. Jika anda menginginkan rute yang lebih panjang, anda dapat menggunakan river taxi dengan biaya S$5 yang melalui lima perhentian: Esplanade, Boat Quay, Clark Quay, Clemenceau dan Robertson Quay. Alternatif lain adalah River Cruise menggunakan Bumboat selama 40 menit dimana anda dapat menikmati pemandangan kota Singapura di sepanjang sungai sambil mendengarkan penjelasan tour guide mengenai sejarah kota Singapura. Tiket River Cruise cukup premium yaitu $25 per orang (dewasa).

3. Menikmati Singapore Botanical Garden. Singapura dikenal sebagai the Green City karena banyaknya penghijauan dan taman di seluruh penjuru kota. Singapore Botanical Garden adalah salah satu taman tertua dan terbesar di Singapura dengan koleksi tumbuh-tumbuhan yang sangat lengkap, penataan taman yang indah dan lapangan rumput yang sangat luas. Pada tanggal 4 Juli 2015, Singapore Botanical Garden mendapat pengakuan internasional sebagai UNESCO Heritage Site. Selain menikmati taman yang indah, anda juga dapat piknik di sana dan anak-anak tentunya senang berlari-lari di padang rumput. Mereka juga dapat belajar mengenal alam di Jacob Ballas Children Garden dan bermain air. Kecuali bagian Orchid Garden, semua tempat gratis untuk dinikmati di Singapore Botanical Garden.


4. Bermain air. Hampir semua anak senang bermain air. Singapore menyediakan banyak tempat bermain air untuk anak. Sebagian memerlukan tiket seperti Adventure Cove (tempat main air terbaru di Sentosa), Port of Lost Wander, Wild Wild Wet atau Rainforest Kidzworld di Singapore Zoo. Di samping itu, ada banyak juga tempat bermain air yang gratis seperti Children Garden di Garden by the Bay, Sky Park di Vivo City dan tempat bermain air di mall besar seperti KidzPlay di Nex Mall Serangoon,  Splash N Surf di Kallang Mal dan Happy Park di Waterway Point Mal Punggol.


4. Mengunjungi museum. Kalau kita mendengar kata museum, mungkin yang terbayang adalah tempat yang membosankan. Akan tetapi Singapura mempunyai banyak museum yang modern dengan aktivitas menarik terutama untuk anak-anak. Salah satu museum terbaru yang mempunyai bagian khusus untuk anak-anak adalah National Gallery Singapore. Anak saya yang berumur 4 tahun sangat menyukai museum ini. Dia sudah mengunjungi museum ini selama 3 kali dalam jangka waktu 4 bulan saja.  Museum ini mempunyai bagian khusus untuk anak yaitu Keppel Centre for Art Education yang menyediakan berbagai kegiatan yang dapat menstimulasi kreativitas dan keingintahuan anak. Tidak diperlukan tiket untuk masuk ke Keppel Centre, dengan kata lain GRATIS :)



5. Mengunjungi perpustakaan. Sama halnya dengan museum, perpustakaan di Singapura juga sangat modern dengan arsitektur yang indah, ruangan ber-AC yang nyaman dan koleksi buku yang sangat lengkap. Selain buku juga tersedia majalah, surat kabar dan CD. Mereka mempunyai bagian khusus untuk anak-anak dengan dekorasi yang juga menarik untuk anak. Singapura mempunyai lebih dari 20 perpustakaan umum yang tersebar di seluruh penjuru kota. Pusat utamanya adalah the National Library di Bugis. Dengan luas 11 hektar dan bangunan 16 tingkat dapat dibayangkan besar dan lengkapnya perpustakaan ini. Perpustakaan Singapura benar-benar surga untuk para pecinta buku. Pastikan anda mempunyai cukup banyak waktu jika ingin menikmati perpustakaan di sini.


6. Hiking. Jika anda pecinta alam, jangan lewatkan kesempatan untuk berolahraga sekaligus menikmati keindahan alam Singapura. Ada banyak tempat hiking yang menarik di Little Red Dot ini, beberapa yang terkenal adalah Southern Ridges, MacRitchie Reservoir Park dan Bukit Timah Nature Reserve. Southern Ridges adalah lintasan yang menghubungkan 5 taman, salah satunya yang menghubungkan Mount Faber dengan Telok Belangah Hill Park dikenal dengan sebutan Henderson Waves, jembatan pejalan kaki tertinggi di Singapura dengan arsitektur gelombangnya yang terkenal. Teramat sangat instagramable pula tentunya.


7. Shopping. Berkunjung ke Singapura rasanya tidak lengkap tanpa shopping. Buat yang berdompet tebal, tentunya shopping di Orchard yang menjadi pilihan. Namun jika kita ingin sedikit lebih hemat, ada banyak alternatif mal-mal lain yang bisa dikunjungi. Hampir di setiap stasiun MRT besar terhubung dengan mal, seperti Plaza Singapura di Dhobby Ghaut MRT, Nex di Serangoon MRT, Jurong Point di Boon Lay MRT, atau Bugis Junction di Bugis MRT. Di seberang Bugis Junction juga ada Bugis Village yang menyediakan banyak souvenir murah meriah. Kalau anda menginginkan branded products dengan harga miring, datanglah ke IMM Mall, branded products factory outlet  di dekat Jurong East MRT.

Aktivitas-aktivitas di atas dapat menjadi pilihan anda jika anda tinggal cukup lama (satu minggu atau lebih) di Singapura. Namun jika waktu anda terbatas (2-3 hari) dan ini kunjungan anda pertama ke Singapura, ada baiknya melakukan city tour dan mengunjungi landmark dan obyek wisata utama di Singapura terlebih dahulu.

Sebelum saya akhiri artikel ini, berikut ini beberapa tips untuk anda yang ingin berkunjung ke Singapura:
1. Hotel di Singapura relatif mahal apalagi yang berada di pusat kota. Carilah hotel di dekat stasiun MRT (tidak perlu di pusat kota, yang penting dekat dengan stasiun MRT). Ini akan memudahkan anda untuk mengunjungi banyak tempat di Singapura karena hampir semua tempat terhubung oleh MRT. Selain hotel, mungkin ada juga bisa mempertimbangkan mencari tempat penginapan melalui AirBnB.
2. Meski wifi tersedia di banyak tempat di Singapura, akan lebih mudah jika anda mengambil paket internet dari provider terkemuka di Singapura seperti Starhub, Singtel atau M1. Harga data plan normal Starhub $18 dimana anda mendapat akses internet selama 5 hari, 2GB per hari. Silahkan cek harga paket lainnya di counter Starhub/Singtel/M1 yang terdapat di mal-mal atau di 7 Eleven. 
3. Belilah air mineral di supermarket seperti Fair Price, Sheng Shiong atau di Watson/Guardian. Harganya bisa 50-70% lebih murah dibanding air mineral di 24 hours convenience store.
4. Jika anda ingin menghemat, belilah makanan di hawker centre, bukan di restoran. Harga seporsi economical rice berkisar antara $4-6 (1 porsi daging dan 2 macam sayur).
5. Gunakan kartu ez-link untuk bepergian menggunakan MRT atau Bus. Untuk tempat-tempat yang tidak dapat dicapai oleh MRT/Bus, anda dapat menggunakan taksi, Grab atau Uber. 

Saturday, May 13, 2017

The ASEAN Tour: Philippines

The Philippines is always rather special to me because it's the only ASEAN country that I never visited with friends, be it the usual suspects or the ragtag band that I formed on the fly. On my first trip in 2008, I actually went there alone to meet the girl that I liked. I returned again for the second time in 2013 with the same woman whom had been my wife by now.

My first introduction to the Philippines was Manila. I was in the cab, heading to Makati, when I saw a biblical verse on a scrolling marquee. Kind of amusing, I would say, as that was the first time I'd ever been to a Catholic country. The first lunch I had there was KFC which, again, was nothing like I'd ever seen before. Over there, the fried chicken came with gravy! When the night came, my then girlfriend and I went to Mall of Asia. It was there that I first realized, much my delight, that the Filipinos like to eat pork.

Evelyn Nuryani at Intramuros, Manila.

Intramuros was the only historical site that I visited during my stay there. It was, as indicated by the name which was in Spanish, a city within the wall. We took a horse-drawn carriage as we explored the city. It felt ancient and very Spanish. The church was old. One could imagine the people from a long gone era praying there, simply by standing in the church and staring at the walls. Across the river, if I remember correctly, was the Chinatown. We didn't go there, though. We went to the Greenbelt instead. I remember it was so jammed that the driver dropped us in the midst of traffic junction. An interesting experience!

After few days in Manila, we flew to Boracay, our holiday destination. We landed in the place called Caticlan, where we would travel from airport to the jetty to take a boat to the island. The question now is, did I enjoy Boracay? It was fine, but since I'm not much of a nature lover or a beach person, so what I remember well was being locked at bathroom, thanks to the malfunction door knob. I also watched the Da Vinci Code for the first time ever when I was there. Oh yeah, the sisig there was awesome and drinking a can of San Miguel while watching a Filipino rock band performing November Rain was another brilliant experience.

When we were in Boracay. 

Fast forward to five years later, we went to the Philippines again after opting for Cebu instead of Kunming. The second biggest city after Manila, Cebu was hot and badly jammed. When we arrived, we actually landed in Mactan (where we passed by the statue of a national hero, Lapu-Lapu, the one who defeated Magellan), so it was easily another one hour cab ride before we reached our hotel. We went to Ayala Mall on the first evening and spent time visiting churches on the following day. The atmosphere was the same, ie. very ancient, very Spanish and very holy.

This was one of the trips that I didn't plan really well. I mean, I love cities, but Cebu just didn't have many places of interest, so we could have ended up watching TV in our hotel room if not for my wife's suggestion. Upon hearing her opinion, we made an impromptu day trip to Bohol. After a two-hour ferry ride, we reached this town called Tagbilaran (man, I always love the name, especially when it is pronounced with thick Philippines accent. Very cool!).

"Touching" one of the Chocolate Hills.

The trip in Bohol was rather surreal. The view we saw during the river cruise and car ride was almost the same as what I used to see back in Kalimantan/Borneo. I remember jokingly telling my wife, if not for the right-hand traffic, I would have thought that we were actually in Indonesia. Nevertheless, the trip was not in vain. Chocolate Hills was very unique. The cute looking hills were many and they were like directly imported from Super Mario Bros games. Apart from that, Bohol was also a home to the tarsiers, the monkey-like, very shy mammals, about the size of adult's palm.

We went back to Cebu at night and the last day was very much about relaxing and eating. We moved to Radisson Blu Hotel, which was situated next to SM Mall. I had the most delicious lechon kawali there. The meals after that were Jollibee and a plate of pork adobo. I recall that the Music of the Night was playing softly there, so overall it was great! My kind of mall.

And the paragraph above wraps up my experience in the Philippines. Is the country worth visiting? To be frank, as long as it's safe, every country is worth visiting. Traveling is a humbling experience where we learn about other people's culture. However, if there's one thing that I love the most about the Philippines, it must be the pork related cuisines. For all I know, it's the best in the world!

Oh yes, we love Cebu. 


Tur ASEAN: Filipina

Filipina senantiasa terasa istimewa bagi saya karena merupakan satu-satunya negara ASEAN yang selalu saya kunjungi bersama Evelyn Nuryani. Ketika saya pertama kali ke sana, saya berangkat sendiri untuk menjumpai gadis yang saya sukai. Sewaktu saya kembali lagi untuk kedua kalinya di tahun 2013, saya pergi bersama wanita yang sama, yang saat itu telah menjadi istri saya.

Perkenalan saya dengan Filipina adalah kota Manila. Saya ingat betul bahwa saya sedang berada di dalam taksi menuju Makati saat saya melihat ayat injil bergerak menyamping lewat tampilan lampu LED di sebuah papan iklan di atas gedung. Saya agak terperangah, namun lekas saya sadari bahwa ini adalah sebuah negara Katolik. Santap siang pertama saya di Filipina adalah KFC dengan sajian yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Di sana, ayam gorengnya disertai saus kental! Ketika malam tiba, saya pergi ke Mall of Asia bersama pacar saya. Di sana saya menyadari bahwa orang Filipina benar-benar menyukai daging babi.

Di dalam gereja di Intramuros, Manila.

Intramuros adalah satu-satunya situs bersejarah yang saya kunjungi di Manila. Dalam bahasa Spanyol, nama Intramuros berarti kota di dalam tembok. Kita menjelajahi kotanya dengan menaiki kereta kuda. Intramuros adalah kota kuno yang dihuni sekitar 500 tahun yang lalu dan bergaya Spanyol. Gerejanya sudah tua dan arsitekturnya masih dipertahankan sehingga tidak sulit untuk membayangkan bagaimana orang-orang zaman dahulu berdoa di sana. Di seberang sungai, jika saya tidak salah ingat, adalah daerah Pecinan. Kita tidak ke sana, melainkan ke Greenbelt, sebuah kawasan pusat perbelanjaan seperti Orchard di Singapura. Jalan ke Greenbelt sedemikian macetnya sehingga supirnya bahkan menawarkan kita untuk turun di tengah jalan!

Setelah kunjungan singkat ke Manila, kita terbang ke Boracay. Kita mendarat di tempat bernama Caticlan dan segera bertolak dari bandara ke pelabuhan untuk menaiki kapal ke pulau Boracay. Jika pertanyaannya adalah apakah saya menyukai Boracay, saya rasa cukup menarik, tapi saya bukan orang yang terlalu menikmati pemandangan alam atau pun anak pantai, jadi apa yang saya ingat selama di sana adalah pengalaman terkunci di kamar mandi. Selain itu saya juga menonton Da Vinci Code untuk pertama kalinya. Oh ya, saya juga ingat dengan menu sisig yang saya santap di tepi laut. Saat-saat menikmati sekaleng San Miguel sambil menonton grup musik yang memainkan lagu November Rain juga pantas dikenang.

Menyusuri pantai di Boracay.

Lima tahun kemudian, kita kembali ke Filipina setelah menjatuhkan pilihan antara Cebu dan Kunming di Cina. Kota kedua di Filipina ini panas dan macet. Ketika kita tiba, kita mendarat di Mactan dan, dalam perjalanan ke Cebu, kita melewati patung pahlawan nasional bernama Lapu-Lapu yang terkenal karena mengalahkan Magellan. Perjalanan dari bandara ke hotel dengan menggunakan taksi memakan waktu hampir satu jam lamanya. Di malam pertama kita di Cebu, kita mengunjungi Ayala Mall. Keesokan harinya, kita mengunjungi beraneka gereja bergaya Spanyol. 

Perlu saya akui bahwa ini adalah salah satu dari sedikit perjalanan yang tidak saya rencanakan dengan baik. Jika bukan karena usul istri saya, kita mungkin hanya menonton TV di hotel karena Cebu tidak memiliki banyak kawasan wisata. Setelah mendengarkan sarannya, kita menyeberang ke Bohol. Setelah menempuh perjalanan laut selama dua jam, kita tiba di kota kecil bernama Tagbilaran (saya suka nama ini, terutama saat dilafalkan dengan aksen Filipina! Rasanya enak diucapkan).

Mendung menggantung di Bohol.

Kunjungan ke Bohol ini sukar dilukiskan dengan kata-kata. Pemandangan yang saya lihat selama wisata sungai dan darat hampir sama dengan apa yang biasanya saya lihat di Kalimantan. Saya sempat bercanda dengan istri saya, jika bukan karena arah lalu-lintasnya yang berbeda, saya pasti mengira bahwa kita sedang berada di Indonesia. Meskipun begitu, perjalanan ke Bohol tidaklah sia-sia. Bukit Coklat adalah salah satu tempat wisata yang unik di Bohol. Bukit-bukit yang lucu ini bagaikan diimpor langsung dari Super Mario Bros. Selain itu, Bohol juga rumah bagi tarsier, mamalia unik sebesar telapak tangan orang dewasa.

Tarsier di dalam rimbunnya dedaunan.

Kita kembali ke Cebu pada hari yang sama, ketika matahari telah terbenam. Hari terakhir di Filipina terasa santai karena tidak ada tujuan ke mana-mana. Kita pindah ke hotel Radisson Blu yang terletak di sebelah SM Mall dan saya menikmati lechon kawali yang paling enak di sana. Setelah itu masih ada lagi Jollibee dan sepiring pork adobo. Saya juga ingat dengan lagu the Music of the Night yang melantun pelan di mal!

Sebagai penutup, apakah Filipina pantas untuk dikunjungi? Sejujurnya setiap negara, asalkan aman, pasti menarik untuk didatangi. Berkelana ke negara lain adalah pengalaman yang bersahaja karena kita berkesempatan untuk melihat-lihat budaya orang lain. Meskipun begitu, jika ada satu hal yang paling saya sukai tentang Filipina, maka itu adalah masakan daging babinya! Berdasarkan pengalaman saya, masakan mereka adalah yang terenak di dunia!

Di depan Jollibee, restoran cepat saji khas Filipina, sewaktu kita di Cebu.

Wednesday, May 10, 2017

Fried Rice Mania

I'm not sure if it's known to many, but long before Roadblog101, I already have another Facebook page called Fried Rice Mania, a page dedicated to anything fried rice. It's still there and updated every time I try out a new flavor. I'm a sucker for fried rice, really.

"Why fried rice?" one may ask. That, my friends, is simply because it's the best food in the world. It's also versatile enough that in its simplest form, it could be only rice fried with salt, pepper and a bit of seasoning, but yet it is already so delicious. At its very best, fried rice is an art widely practiced in Asia since ancient times. On a very high level, we have the likes of Indonesian fried rice, Vietnamese fried rice, Japanese fried rice, etc. If we dive into specific names, we have nasi goreng kampong, salted fish fried rice, Yangzhou fried rice and many more. It can be prepared at home and it's also served at the restaurants. It is eaten by rich and poor alike. Seldom is a food so universally accepted across the globe.

Salted fish fried rice.

I really got acquainted with fried rice during my sojourn in Jakarta, the moment I stepped into society, back in 2002. I was struggling to make ends meet and fried rice was ranked second on the list of the most affordable food in those days (the cheapest one was ketoprak at IDR 3,000 then or around SGD 0.30 today). To be specific, the aforementioned variant from the list was this Madurese fried rice sold by street vendors (one of them was Roni, my favorite cook) who pushed their carts and roamed around the complex. They hit the bamboo on their carts to signal their whereabouts. It got louder as they approached where I stayed, so I would come out and called the one who passed by (believe it or not, but I actually could tell who was coming based on the sound resonated from the bamboo). That was also how the localized name nasi goreng tektek came about: it was due to the sound the vendors made. It was sold at IDR 4,000 a plate and if I had a extra budget, I'd usually request for a fried egg, too. Talk about a splurge, it was worth it!

Together with whatever that was sold by Roni and friends (they had kway teow and yellow noodles, too, which could be be served in soup or fried mode), nasi goreng tektek became my regular menu for three years. I'm not entirely sure if that was the reason why I was underweight and malnourished, but I grew to love the food so much that it became a lifelong passion since then.

Nasi goreng cekur.

At home, my wife is no stranger to anything fried. I'm very fortunate that she has few tricks up her sleeve when it comes to fried rice. She can cook nasi goreng koneng, the fried rice with a predominant yellow color due to the use of turmeric. Her greatest recipe, however, is nasi goreng cekur. It has an exotic taste thanks to the particular ingredient called sand ginger. By the way, just in case you are puzzled by the names, nasi goreng is fried rice in Bahasa Indonesia, but the words koneng and cekur actually come from a dialect called Sundanese. The former means yellow and the latter is, as you may have guess it, the sand ginger.

Now, if my dining room is the center of my fried rice universe, then the farthest place where I ever had a plate of fried rice was Liverpool. There was this restaurant called the Chilli Pot, located right across Hard Days Night Hotel. It served a menu called Nasi Goreng that, much to my chagrin, was described as a Malaysian cuisine. That aside, it was actually good but at GBP 8.8, it could be one of the most expensive fried rice I ever ate. The price was worth the experience, though. It was amusing to observe the person next to me trying to cut the bowl shaped steamed rice using a knife and a fork as if he was eating a steak. It was a reminder that rice wasn't from Europe and just like how we fail to appreciate European dishes sometimes, the staple food of Asian people could be just as confusing to them.

Nasi Goreng from Liverpool.

Anyway, back to Singapore, as I've been staying in this country for more than a decade, you may be wondering where is the best fried rice in town. Well, if I have to endorse one, it must be Jin Hai fried rice at Amoy Street. It's a one-man show by this old Uncle who cooks and doubles up as the cashier at the same time. Just order a plate together with a fried egg and you'll be doing fine.

That's all I have for now. Quite a great story about fried rice, isn't it? If you agree with me and are keen for updates, just search for Fried Rice Mania on Facebook and follow the page. Stay tuned and keep eating... fried rice, of course.

The last bite.


Fried Rice Mania

Saya menggemari nasi goreng. Jauh sebelum roadblog101, saya sudah memiliki Facebook Page lain yang bernama Fried Rice Mania dan khusus bercerita tentang nasi goreng. Facebook Page ini masih aktif dan diperbaharui dengan foto dan pendapat tentang nasi goreng yang saya cicipi.

Anda mungkin bertanya, "kenapa nasi goreng?" Ini karena nasi goreng adalah masakan paling lezat di dunia. Penyajiannya pun luwes, tergantung yang masak. Nasi goreng bisa saja sekedar nasi yang digoreng dengan garam, lada dan sedikit bumbu lainnya atau merupakan sebuah karya dari seni sudah disempurnakan secara turun-temurun. Secara garis besar, kita mengenal berbagai macam nasi goreng, mulai dari ala Indonesia, Vietnam, Jepang dan lain-lain. Kalau kita mau lebih detil lagi, ada yang namanya nasi goreng kampung, nasi goreng ikan asin, nasi goreng Yangzhou dan masih banyak lagi. Nasi goreng bisa dimasak di rumah maupun di restoran serta dinikmati oleh orang yang mampu dan kurang mampu. Singkat kata, hanya nasi goreng yang diterima secara umum di berbagai kalangan.

Nasi goreng kampung.

Saya mulai menyukai nasi goreng sejak saya lulus dan pindah ke Jakarta di tahun 2002. Gaji saya tidaklah tinggi sehingga saya harus berhemat dan nasi goreng adalah makanan kedua yang paling ramah terhadap isi dompet saya di kala itu (dengan harga 3.000 rupiah, ketoprak adalah makanan paling murah di zaman tersebut). Lebih spesifik lagi, nasi goreng yang dimaksudkan di sini adalah nasi goreng yang dijual oleh penjaja nasi goreng yang mendorong gerobak dan mengitari kompleks perumahan. Mereka memukul bambu untuk mengisyaratkan keberadaan mereka, jadi semakin mereka mendekati tempat saya tinggal, semakin keras pula suara bambunya. Suara bambu inilah menjadi asal-muasal nama nasi goreng tektek. Harga per piring saat itu adalah 4.000 rupiah dan jika saya mempunyai sedikit uang lebih, saya akan sekalian memesan telur goreng. Nasi goreng tektek (dan juga kwetiau dan mie yang bisa digoreng atau direbus) ini lantas menjadi santapan rutin selama tiga tahun di Jakarta. Saya tidak tahu apakah ini menjadi penyebab saya menjadi kurang gizi dan kurus, namun semenjak itu saya jadi suka nasi goreng.

Di rumah, istri saya tidaklah asing dengan goreng-gorengan. Saya sangat beruntung karena dia memiliki beberapa jurus memasak nasi goreng. Kadang dia menyajikan nasi goreng kuning yang menggunakan kunyit. Rasanya enak, tapi yang lebih nikmat lagi adalah resep lainnya yang juga dia kuasai, nasi goreng cekur alias kencur. Rasanya eksotis karena menggunakan kencur.

Nasi Goreng Rempah Mafia.

Nah, jika meja makan saya adalah titik pusat dunia nasi goreng, maka tempat terjauh yang pernah saya kunjungi untuk menikmati sepiring nasi goreng adalah Liverpool. Di seberang Hard Days Night Hotel, ada sebuah restoran bernama Chilli Pot. Restoran ini menyediakan nasi goreng yang dideskripsikan sebagai masakan Malaysia (saya serasa tidak percaya sewaktu membaca menunya. Malaysia? Yang benar saja). Rasanya lumayan, cuma harganya yang 8,8 pound sterling itu benar-benar mahal. Akan tetapi harganya sepadan dengan pengalaman saya di sana: di sebelah saya, ada orang bule yang mencoba memotong nasi putih yang dicetak dengan mangkok. Jadi ia menggunakan garpu dan pisau, seakan-akan sedang makan steak, untuk memotong nasinya. Raut wajahnya agak bingung saat dia mencicipi nasi putih, mungkin karena tidak ada rasanya. Saya jadi ingat, seperti halnya masakan Eropa yang mungkin saja terasa tidak enak di lidah kita, makanan pokok kita pun terkadang membingungkan bagi mereka.

Kembali ke Singapura, negara dimana saya berdomisili selama lebih dari satu dekade, anda mungkin bertanya-tanya, di mana lokasi nasi goreng yang paling enak. Favorit saya nasi goreng Jin Hai di Amoy Street. Yang masak adalah seorang pria berumur yang juga merangkap sebagai kasir. Coba pesan satu piring plus telur goreng. Dijamin puas.

Demikian sekilas info tentang nasi goreng dari saya. Jika anda tertarik untuk terus mengikuti perkembangan terbaru, coba cari Fried Rice Mania di Facebook dan like. Dari situ anda bisa dapatkan kabar terkini dan, sambil menunggu, jangan lupa makan nasi goreng!

Nasi Goreng Jin Hai.

Sunday, May 7, 2017

The King Of Pop

I spent some time with my daughter watching a snippet of This Is It earlier this month. Showed her the movie just to tell her that, "this guy was called Michael Jackson. A legend. Watch his feet and see how he dances." My daughter kept quiet as she continued watching so I'm not sure if she really got what I meant, but then again, perhaps I was just subconsciously saying it to myself. For all I know, it could be me reminding myself, what Michael once meant to me. 

I remember what it was like to grow up in the 80s. In those days, there was only one nationwide TV channel for Indonesians to watch. Lucky for me that we had a satellite dish installed on our rooftop, allowing me to browse various channels from other countries. Malaysia's TV3 was like the coolest channel with a language I could understand, at least partially, when it was broadcasting in Malay, so I watched it frequently. One fine afternoon, TV3 had a Michael Jackson special. That's when I watched the music videos: Billie Jean, the Way You Make Me Feel, Beat It, Bad and Thriller (which scared the hell out of me).

My life was never be the same after that. I never saw anybody sang and danced like that before. The way Michael did the kick as he danced (no, not the moonwalk, but that split second kick, if you know what I mean), the seriousness in his eyes as he performed (if you ever noticed, Michael only smiled after he stopped performing), the excitement he generated from his singing voice (his music was often a series of repetitive rhythms and it was his voice that made a difference), everything he did was inspiring. In the eyes of an eight years old boy, Michael was, without doubt, what I wanted to be. After watching Michael, who cares about being a doctor or a pilot anymore?

Then I watched Moonwalker at the cinema. Looking back, the movie is actually quite disjointed. It doesn't really have a strong story line to hold it together. However, this was Michael at the height of his fame. He couldn't go wrong and his fans tended to agree to that. I could only imagine now that my Dad must be confused as the movie was unlikely to make any sense to him at all, but to me, it was a revelation. The thing with Michael Jackson was, he'd redefine the meaning of being cool and bring it to a whole new level, just when you thought you'd already seen how cool he was. That's what he did with Smooth Criminal. The white suits and the fedora hat, how Michael defied gravity by leaning forward around 45 degrees, the splendid music video, the catchy music with unlistenable pronunciation (that was true! I'd give up learning English if the teacher forced me to write down what Michael sang), that was Michael at his peak, I believe. 

Moonwalker was released during the Bad period. Thriller may be the biggest selling album of all time, but I always held Bad with the highest regard. It was the first English record I ever owned, courtesy of my Dad. He bought the CD, quite rare back then. I remember wondering why it had an extra song called Leave Me Alone whereas my cousin's album in a cassette form didn't have it. Love almost all the songs in it, except Speed Demon. It also came with a video game or two, the arcade version, which I didn't really got a chance to play, and the Sega Mega Drive version, which I owned. I mean, what sort of Michael Jackson was I if I didn't own a game where I could immerse myself into the ultimate Michael Jackson experience, spinning my way through the enemies and throwing the white fedora hat at them? And of course there were those signature dance moves, too!

Things went downhill after that. Michael got himself into all sorts of problems in the 90s, which were damaging. His output, ranging from Black or White, Remember the Time to Heal the World, was still going strong, but at the same time, there was this widely reported molestation case. It was a very confusing time. It was a pre-internet era, therefore we could only read on newspapers and had only the faintest idea about what molesting actually was. In fact, back in the 90s, I don't think any parents in Pontianak would be very keen to discuss about molestation with their children. It was either taboo or very hard to explain.

In hindsight, the problems that plagued Michael seemed to drain out his creativity, too. By the time he released HIStory, it was as if it would be the last time we heard of him. There were still good songs such as Childhood, They Don't Care About Us or You Are Not Alone. There was also this image of Michael in pseudo-army suit everywhere, but that was it and he became irrelevant afterwards. Blood on the Dance Floor didn't feel like an album and I didn't even bother to check it out anymore when he released Invincible. By then, he was newsworthy only for his antics rather than anything else, a pretty sad turn for a man who once was known as the King of Pop.

I don't remember much about This Is It. Had a glimpse of it and I thought, "okay, so he finally decides to get his act together." But the concerts didn't happen. What came next instead was his death, and it was a death to remember. It was one of those deaths that you'd remember for life where you were when you first heard of it. For me, I was at the trading arcade, fixing a GL trading platform issue for my customer. That's when I saw the news on the television right in front of me. It was hard to believe and even harder to accept. The feeling immediately prompted me to deny the news. It was like, "come on, he is Michael Jackson. He can't be dead, right?"

It was surreal, really. When the movie was released, one could see how sorry the state he was in. A 50 years old man, so skinny that we could see his shoulders curving up, Michael was so frail that it must be daunting for him to perform the upcoming 50 concerts. Perhaps it was a good thing that he didn't make it. However, the movie also captured Michael at his happiest moments: when he was on stage, rehearsing. It was visible how he loved every moment of it. 

I was busy rediscovering Michael again after his death by reading books such as Moonwalk and the one written by Jermaine Jackson. I smiled a lot when I did that. After all those bad publicity, it was refreshing to be reminded about how talented Michael Jackson was. I knew him since Bad, but he started much earlier than that as a member of the Jackson 5. A great singer and a brilliant performer since he was very young, Michael gave his all and he touched many along the way, including yours truly. I'm thankful and that's how I choose to remember him. Rest in peace, Michael. Thanks for making this world a better place... 

The Bad 25 box set. 


Sang Raja Pop

Saya duduk bersama putri saya menonton cuplikan film This Is It di awal bulan Mei ini. Saya beritahukan padanya, "pria ini bernama Michael Jackson, seorang legenda. Perhatikan kakinya dan lihatlah caranya menari." Saat itu putri saya diam saat menonton sehingga saya tidak tahu apakah dia mengerti apa yang saya maksudkan, tapi di satu sisi, mungkin saya hanya bercerita untuk mengenang kembali, apa artinya Michael untuk saya. 

Saya ingat seperti apa rasanya menjadi anak yang tumbuh menjadi remaja di tahun 80an. Waktu itu hanya ada siaran TVRI untuk ditonton. Saya beruntung karena di rumah ada antena parabola sehingga mungkin bagi saya untuk menyaksikan siaran dari negara lain. TV3 dari Malaysia adalah stasiun TV yang paling mantap dengan bahasa yang bisa saya mengerti di saat itu, paling tidak ketika TV3 menampilkan acara berbahasa Melayu. Suatu sore, TV3 menyiarkan serangkaian video musik Michael Jackson. Saat itulah saya menyaksikan untuk pertama kalinya video-video seperti Billie Jeanthe Way You Make Me FeelBeat ItBad dan Thriller (yang membuat saya ketakutan setengah mati).

Hidup saya tidak pernah sama lagi semenjak itu. Saya tidak pernah melihat orang menyanyi dan menari seperti sebelumnya. Gaya Michael dalam menendang (bukan moonwalk, tapi saat dia mengibaskan kakinya dalam sepersekian detik, jika anda tahu apa yang saya maksudkan), betapa seriusnya dia ketika beraksi (jika anda perhatikan, Michael hanya tersenyum ketika dia berhenti bergerak), kegembiraan yang timbul saat melihat dia bernyanyi (lagu Michael seringkali berirama sama dan suaranyalah yang membuat lagu itu hidup), sepak-terjangnya sungguh menginspirasi. Di mata seorang bocah berumur delapan tahun, Michael adalah seorang idola. Setelah menyaksikan Michael, anak kecil mana yang masih ingin menjadi pilot atau dokter? Saya ingin menjadi seperti Michael! 

Kemudian saya menonton Moonwalker di bioskop. Kalau saya lihat kembali, film tersebut sebenarnya agak aneh karena tidak memiliki alur cerita yang kuat dan menghubungkan setiap adegannya. Namun ini adalah Michael di puncak kepopulerannya. Dia tidak bisa berbuat salah dan para penggemar menyukai apa yang ia perbuat, termasuk film ini. Saya hanya bisa membayangkan betapa ayah saya pasti merasa bingung karena film ini sama sekali tidak masuk akal baginya, tapi tidak demikian halnya bagi saya. Michael senantiasa menerobos ambang batas dan mendefinisikan ulang arti dari gaya, mutu dan keunggulan. Dan itulah yang ia lakukan dengan Smooth Criminal.  Pakaian jas putih dan topi fedora, bagaimana ia berdiri dan memiringkan tubuhnya seakan menentang gravitasi, video musik yang luar biasa, musik yang mantap dengan lafal yang tidak bisa dipahami (oh ya, saya akan berhenti belajar bahasa Inggris jika guru les memaksa saya menuliskan lirik yang Michael nyanyikan), sekali lagi Michael berada jauh di puncak. 

Moonwalker dirilis pada periode album BadThriller mungkin saja merupakan album terlaris sepanjang masa, tapi Bad adalah album yang paling berkesan untuk saya. Ini adalah album bahasa Inggris pertama yang pernah saya miliki. Ayah saya membelikan CD-nya ketika itu (saya sempat merasa bingung karena album CD tersebut memiliki lagu ekstra berjudul Leave Me Alone, sedangkan kaset sepupu saya tidak memilikinya). Saya suka hampir semua lagunya, kecuali Speed Demon. Saat itu Michael begitu populer sehingga game-nya pun ada. Ada dua versi, yang pertama adalah versi arcade yang bisa dijumpai di Orbit Wonderland. Satunya lagi adalah versi Sega Mega Drive dan saya memiliki versi ini, sehingga mungkin bagi saya untuk bermain sebagai Michael, mulai dari melempar topi sampai menari. 

Namun keadaan mulai berbalik menjadi buruk setelah Bad. Michael mulai dirundung masalah di tahun 90an. Lagu-lagu pada era tersebut, Black or WhiteRemember the Time dan Heal the World, masih populer. Namun pada saat bersamaan, Michael dijerat oleh kasus pelecehan seksual. Masa-masa tersebut adalah masa sebelum internet, jadi kita hanya bisa membaca beritanya lewat surat kabar. Selain itu, yang namanya pelecehan seksual juga sulit dimengerti bagi anak remaja tahun 90an, jadi saya tidak paham kasus seperti apa yang dituduhkan pada Michael saat itu. 

Sepertinya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah yang menimpa Michael juga mengeringkan kreativitasnya. Tatkala ia merilis album HIStory, ada perasaan bahwa itu mungkin kali terakhirnya saya akan mendengar tentang Michael. Lagu-lagunya, ChildhoodThey Don't Care About Us dan You Are Not Alone masih tergolong bagus. Lalu Michael terlihat di mana-mana dalam pakaian tentara, namun itu adalah terakhir kalinya dia terlihat relevan. Blood on the Dance Floor tidak terasa seperti sebuah album Michael Jackson dan saya bahkan tidak lagi peduli untuk mencari tahu ketika dia mengeluarkan album Invincible. Setelah itu dia hanya muncul di berita karena tingkah-lakunya, suatu hal yang menyedihkan untuk orang yang dulunya menyandang gelar Raja Pop.

Saya tidak banyak mengikuti perkembangan This Is It. Saya hanya sempat melihat bahwa dia mengumumkan serangkaian konser dan saya berpikir, "akhirnya dia memutuskan untuk melakukan sesuatu." Tapi konser itu tidak terjadi karena Michael tiba-tiba meninggal. Peristiwa tersebut adalah suatu kejadian yang akan saya ingat selalu: saat itu saya sedang membantu klien saya yang mengalami masalah dengan sistem jual-beli sahamnya. Mendadak televisi di depan saya mengumumkan berita meninggalnya Michael. Berita itu sulit dipercaya dan lebih sulit lagi diterima. Hati kecil saya membantah, "hei, dia ini Michael Jackson. Dia tidak mungkin meninggal. Pasti ada yang salah." 

Rasanya seperti mimpi. Ketika film This Is It akhirnya ditayangkan, barulah saya mengerti betapa buruknya kondisi Michael saat itu. Di usianya yang ke-50, dia begitu kurus sampai-sampai bahunya seperti terangkat naik. Michael terlihat begitu rapuh sehingga 50 konser yang akan dijalaninya pastilah membebani mentalnya. Saya jadi iba melihatnya. Mungkin ada baiknya dia meninggal sebelum konser. Jika ada satu kenangan manis di film tersebut, maka itu adalah sewaktu Michael terlihat gembira saat latihan. Dia selalu suka berada di atas panggung. 

Setelah Michael meninggal, saya membaca lagi buku-buku seperti Moonwalk dan sebuah biografi yang ditulis oleh Jermaine Jackson. Saya tersenyum saat membaca kisahnya. Setelah begitu banyak publikasi yang buruk tentang Michael, saya diingatkan kembali betapa berbakat Michael itu sebenarnya. Saya mengenalnya sejak Bad, tapi dia mulai jauh sebelum itu, sejak dia masih menjadi anggota Jackson 5. Penyanyi dan juga bintang yang luar biasa dari sejak kecil, Michael memberikan segenap talentanya dan menyentuh begitu banyak orang di dunia ini, termasuk saya, dan saya bersyukur untuk itu. Beristirahatlah dengan tenang, Michael. Terima kasih karena telah membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik...