Total Pageviews

Translate

Sunday, July 9, 2017

Cara Mendengarkan Dengan Baik

"Kita diciptakan dua telinga dan satu mulut, artinya kita harus lebih banyak mendengarkan daripada berbicara"

Salah satu cara belajar yang efektif adalah dengan mendengarkan orang lain dan mengambil hikmah yang positif dan melupakan hal yang negatif. Kita akan bahas dahulu tipe-tipe dalam mendengarkan. Saya membaginya menjadi 4 tipe yaitu:
  1. Hanya mendengar dalam arti kita tidak mencerna apa yang kita dengar ataupun kita tidak sengaja mendengarnya. Sebagai contoh, bajaj lewat di saat kita lagi berbincang dengan keluarga, maka kita hanya mendengar suara bajaj yang lewat tersebut.
  2. Sekedar mendengarkan, artinya kita dengan sengaja dan sadar mendengarkan apa yang disampaikan tanpa mau peduli dengan hal yang tersirat atau hal yang lebih penting yang mau diungkapkan tapi tidak diucapkan secara langsung. Kadang kita akan gampang lupa terhadap apa yang disampaikan. Contoh: kita mendengarkan pembicaraan antara teman-teman yang sedang ngobrol.
  3. Mendengarkan dengan seksama, yaitu berarti kita memberikan fokus dan perhatian dengan sengaja dan sadar mendengarkan apa yang disampaikan. Setelah itu kita mencoba merenungkannya. Contoh: kita mengikuti seminar, mengikuti pengajaran. 
  4. Mendengarkan dengan hati, yaitu mendengarkan sekaligus ikut turut merasakan situasi yang disampaikan sehingga kita tahu apa yang ingin disampaikan walaupun tidak diberitahukan secara langsung. Kita akan lebih peka dengan apa yang harus atau tidak perlu kita lakukan karena terkadang kita cukup menjadi pendengar saja. Contoh: mendengarkan teman curhat, kadang kita terlalu cepat memberikan reaksi kepada teman yang curhat dengan memberikan saran ini itu sebelum mereka selesai bercerita. Ini karena kita tidak mendengarkan dengan hati. 

Jika kita mendengarkan dengan hati, kita akan tahu apa yang mau disampaikan. Kita juga mengerti bahwa terkadang, meski kita hanya diam dan ikut turut dalam situasi mereka, mereka sudah merasa tenang karena kita mendengarkan dengan hati. Contoh lain adalah saat dalam keluarga, suami sebagai lelaki yang berpikiran logis akan cepat sekali memberikan tanggapan terhadap istri yang sedang curhat, namun kenyataannya banyak sekali istri yang hanya perlu didengarkan dan mereka ingin para suami untik ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Ya, memang terkadang pendapat juga dibutuhkan, namun intinya adalah dengarkan dulu secara utuh, baru berikan tanggapan, terutama dengan sikap dan tindakan terlebih dahulu, baru bahasa lisan dengan memberikan pendapat sebagai solusi pilihan.


Banyak mendengarkan bisa memberikan jauh lebih banyak manfaat bagi diri kita dibandingkan banyak berbicara. Telinga saja diciptakan dua, lebih banyak dibandingkan mulut yang hanya diciptakan satu. Itu berarti kita seharusnya memang lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Namun sayangnya tidak semua orang mau mendengarkan dengan baik.

Berikut ini ada 10 tips untuk mendengarkan dengan baik:
  1. Pusatkan perhatian anda pada orang yang sedang berbicara dan dengarkan apa yang dia katakan. Jangan biarkan pikiran anda melayang ke tempat lain. Hanya dengan cara seperti itu anda bisa belajar menjadi pendengar yg baik.
  2. Pandanglah mata lawan bicara anda dengan wajar. Ini memberikan kesan bahwa anda memperhatikan apa yang diucapkannya dengan sungguh-sungguh.
  3. Berikan respon yang bersahabat. Respon kecil yang mungkin tampak sepele bisa membuat dia merasa dihargai. Sekali-kali anda bisa mengangguk, menggelengkan kepala, tersenyum, tertawa atau memberikan komentar-komentar pendek seperti, "oh, ya? Hebat! Luar biasa!" 
  4. Berikanlah kesempatan lawan bicara anda untuk menyelesaikan apa yang ingin diutarakannya. Hindari kebiasaan memotong pembicaraan orang lain. Selain tidak sopan, kebiasaan itu bisa membuat dia merasa kesal dan tersinggung.
  5. Bila anda merasa bosan atau tidak berminat dengan topik pembicaraannya, alihkan dengan perlahan-lahan. Jangan sesekali mengubah topik pembicaraan secara mendadak seperti pengemudi yang belok tanpa menyalakan tanda lampu terlebih dahulu.
  6. Buatlah lawan bicara anda bergairah untuk terus berbicara. Bila anda berhasil memancing gairah orang yang semula kurang antusias, maka anda telah berhasil merebut hatinya. Namun dalam hal ini ada pengecualian, yakni bila lawan bicara anda adalah tipe orang yang suka memonopoli pembicaraan. Orang seperti ini biasanya akan selalu bergairah untuk terus berbicara meskipun anda sudah tampak terkantuk-kantuk.
  7. Kendalikan diri anda untuk tidak tergoda ingin mengalahkan lawan bicara anda. Anda bisa memadamkan gairah orang lain hanya dengan menunjukkan bahwa anda lebih oke daripada dia. Biarkan dia merasa bangga dengan prestasi atau pengalamannya meskipun anda punya prestasi atau pengalaman yang lebih hebat darinya.
  8. Dalam kasus-kasus khusus, belajarlah untuk meringkas apa yang diuraikan oleh teman anda sebelum anda memberikan komentar atau nasehat. Bersikaplah seperti seorang dokter yang mendiagnosa dulu penyakit pasiennya dengan teliti sebelum menyimpulkan apa penyakitnya dan memberi resep obat. Bayangkan bila ada orang yang menceramahi anda panjang lebar, padahal tidak ada hubungannya dengan apa yang anda ungkapkan.
  9. Belajarlah peka terhadap motif orang lain. Mungkin dia sedang mencurahkan isi hatinya tanpa keinginan untuk dinasehati, apalagi disalahkan. Jadi anda cukup berperan sebagai pendengar saja. Mungkin dia sedang menceritakan pengalaman agar anda memujinya. Pujilah dengan spontan dan tulus. Mungkin juga dia sedang mengajak anda masuk dalam komunikasi yang lebih akrab dan terbuka. Kalau anda mau, mulailah melakukan komunikasi dua arah.
  10. Belajarlah mendengarkan dengan tulus. Semua kiat tersebut di atas tidak akan membuat anda menjadi pendengar yang baik bila anda tidak melakukannnya dengan tulus. Anda tidak akan menjadi pendengar yang baik bila anda terbiasa berpura-pura menjadi pendengar yg baik.
Kadang kita cukup duduk diam dan dengarkan.
Photo by Ignasia Susan

Friday, July 7, 2017

Japan 101: Family Trip

When I think of Japan, I remember a very beautiful country inhabited by nice people that served excellent food. My trips to Japan had always been interesting. I had visited the country twice so far at the time of this writing and they were due to the same reason. It's also worth mentioning that for both visits that I had, Japan was never the original destination that I'd like to go to, but due to the spectacular turn of events, I ended up there.

Linda, around Harajuku.

The first time we were there, we went there as a family of three, when my daughter Linda was not yet two years old. We were supposed to go to Australia, but because Paul McCartney had a series of concerts there, I changed the trip to Tokyo instead. It took me a while to muster enough courage to step into the reality that I could actually watch Paul McCartney playing live. I mean, he was a Beatle! For the longest time, I didn't even dare to entertain the thought of being in the same building as the living legend. It was just too far-out! I eventually cancelled the Australia trip and switched direction to Japan instead once I got the concert ticket!

Linda wasn't feeling well when we flew to Tokyo, but she was such a sweet little girl that she didn't give us much trouble at all during the seven hours flight. As we were cruising up in the air, I couldn't help noticing that the sun was shining bright at 3am in the morning, long before we arrived at Haneda. The country of the rising sun wasn't just a name that was made up out of thin air, it was real! Oh, talk about the airports, I had a chance to try both Haneda and Narita. Given the proximity to Tokyo, I think I like Haneda better than Narita (do take note that Haneda is actually located between Tokyo and Yokohama). There is a monorail that will bring you to Hamamatsuchō Station within 20 minutes ride.

At Yotsuya station, learning how to buy tickets.

We went only to Tokyo and Hakone at that time. As we brought along our daughter, we couldn't travel lightly. The fact that I had to bring a baby stroller and two luggage was quite nightmarish. Unlike Singapore, the train platform in Tokyo was very long to the extent that it was difficult to see on which end the lift was. We could have walked very far to the left only to realize that the lift was actually on the right side of the platform. If you are wondering why we didn't just follow the sign, that was because we didn't see one. There were also times when there wasn't any escalator or lift at all, so I had to literally do the heavy-lifting one by one. Some stations such as Shinjuku or Tokyo were extremely huge and crowded, so it could be quite stressful if you had to find your way with so many baggage in tow (and the train map didn't help, because it was so convoluted with so many lines criss-crossing one another).

Mitsui Garden Hotel in Yotsuya was where we stayed when we first arrived. I chose the hotel because it was close to the National Stadium, the venue where the concert would take place. The hotel room was fine, except it was kind of narrow that Linda bumped her head once or twice. The hotel was also within the walking distance to the train station. I seem to recall that we had to pass by KFC before we crossed the street. Judging from the menu, KFC in Japan didn't seem to offer anything special as compared with other countries, where it serves rice and perkedel in Indonesia or gravy in the Philippines.

Linda and Mama, in front of Mitsui Garden Hotel.

Yotsuya is only few stops away from Shinjuku, so we went there and some other places nearby. I always thought of Jackie Chan's Shinjuku Incident when I was on my way there, but the place actually looked pretty safe and wasn't exactly prone to incident. Shinjuku was like a maze-like Orchard, complete with Takashimaya, but much more chaotic. There was a big garden called Shinjuku Gyoen somewhere around the area. I didn't do much of the sightseeing on the first day because I brought Linda back to rest at the hotel, but my wife went out with her camera in hand.

We went to Meiji Shrine on the following day. It was grand, big and very Japanese. There was also this green tea ice cream counter on the way out. Well, they must be aplenty in Japan, but placing one at the corner, a spot that we easily found after a long hot morning walk was brilliant! Then there was this sea of people in Harajuku afterwards. As if that was not crazy enough, there was a Daiso shop in the middle of the street, making it more hectic than it had already been. The only times I put my daughter on the ground was when she had her pictures taken. Other than that, I would hold her tight!

Linda at Takeshita Street, Harajuku.

We alighted at Shibuya for a while after that to have a glimpse of Hachiko, then came the time for the concert. Paul arrived in Japan few days before us and I was so excited to see the Japanese concertgoers staying at the same hotel (they carried banners and stuff). However, Paul was ill that he gotta cancel the first concert. The one I was about to attend was on the second day and I could only hope that he would make it.

Along the way to stadium, I saw so many fans walking to the same direction. My family was with me until we reached the venue, then my wife, who understood how important this milestone was, wished that I'd have a good time attending the concert. It was very nice of her, but much to my dismay, the concert didn't happen. There were people, which I assumed were the coordinators, announcing something in Japanese. After asking around (I learnt that asking in a formal sentence simply didn't work, but it was more effective to say, "Paul, cancel?"), it was confirmed that the concert was cancelled. To think that I went all the way from Singapore, what happened was hard to swallow.

I was understandably disappointed, but I still had many days in Japan, so no point ruining the holiday mood by feeling bitter about it. We visited Tama Zoo on the next day and I was cheered up by the sight of African elephants and Indian rhino. While the zoo was quite far from Tokyo, it was worth the traveling time to see the animals that I haven't seen before. The thing with zoos are, there are certain animals that you can only find at certain zoos, a fact that is often overlooked by many.

Checking out the giraffes at Tama Zoo.

Hakone was the next destination for us. We planned to stay there one night, so there I was, dragging the luggage again. From Shinjuku, we took Odakyu Romancecar which was roughly a one and half an hour ride. Hakone was like the olden days Japan that one could see from the movie, populated by small wooden shop houses with a shallow and fast current river flowing at the side. We opted to stay at ryokan to try out the typical Japanese tatami-matted bedroom, similar with Nobita's from the famous cartoon Doraemon.

Once we were done with check in, we began our journey in Hakone. It was started with a bus ride, then we walked through the pine forest to a small town where we took a pirate ship to cross Lake Ashi. Once we reached the other side of the lake, we continued with rope way to Owakudani. It was a peak famous for the black color eggs (but it was already finished when we reached there). While we were there, we could see Mount Fuji from afar. On our way down, we took the cable car (I always think that the terms for the transportation vehicles were rather odd. What was referred to as rope way was actually a cable car and what they meant by cable car was supposed to be a tram).

When the night came, we went to a restaurant next door. In hindsight, it seems like my daughter's love for ramen started in Japan. She wouldn't eat any other food except ramen and that night wasn't an exception. The problem with this was, because she wouldn't be able to finish the whole bowl, I wouldn't order a meal for myself because someone would have to finish what she couldn't. I ate so much ramen until I got sick of it and started developing the ramen phobia. That aside, food in Japan was splendid. Even a small dining place served delicious food. The Japanese people must be very particular and meticulous when it comes to cuisines.

Dragging the luggage back to Tokyo again.

We went back to Tokyo and spent the last leg of our family trip by staying at Hotel Ryumeikan, a hotel nearby the Tokyo station. I had an impressive encounter with a Japanese at the Nihombashi station. We couldn't find our way out when we first got there and I asked a passerby. He seemed to understand me, but couldn't reply in English. He eventually gave the hand signal for us to follow him and he brought us to the correct exit before he went back to his own direction. That was very nice of him!

We had a short stop to Akihabara on that day, a rather interesting place where comics were sold. I stepped into a basement of the shop where hentai (seijin manga, the adult comics) filled up the book shelf. It was quite funny that everybody looked at me (they were all guys, no girls) when I entered and then their eyes rolled back to focus on the manga. The collection, I must say, was second to none. You got all sorts of porns that you can imagine, from teacher porn to alien porn, but I ended up buying a new luggage at Akihabara instead of porn, haha.

At Disneyland with Papa.

We spent one day at Disneyland and another day at DisneySea. It was quite a distance from Tokyo station so we had to commute, but it was alright and convenient. Disney was like a childhood dream came true. I mean, the moment we stepped out from the train station, we could already hear all those familiar tunes, so it was like a blast from the past. Every part of Disney was so cartoon-like and animated. The only slight problem was suddenly we had Donald Duck and friends speaking Japanese so it was as if they were being overdubbed. When the night came, there were laser show and fireworks. Very magical.

By the end of the day, when we had a dinner there, I remember telling my wife that Japanese people were so friendly like Indonesian and hardworking like Singaporean, multiplied by two. I seriously doubted that we'd experience the same level of hospitality and efficiency like that anywhere else in the world. Japan was a nice place to be, not for work, but for holiday. The next day, we flew back from Narita...

The family picture at Owakudani, with Mount Fuji at the back.


Japan 101: Liburan Keluarga 

Ketika saya berpikir tentang Jepang, saya teringat dengan sebuah negara yang indah dan dihuni oleh orang-orang ramah yang menyajikan makanan yang luar biasa lezatnya. Liburan saya di Jepang selalu terasa menyenangkan. Saat artikel ini ditulis, saya sudah mengunjungi Jepang sebanyak dua kali dikarenakan oleh alasan yang sama. Perlu disebutkan juga bahwa dalam dua kesempatan ini, Jepang sebenarnya bukan merupakan tujuan wisata pertama, tapi karena satu dan lain hal, akhirnya saya pun berada di sana.

Kita pergi bertiga dalam kunjungan saya yang pertama, ketika Linda belum lagi genap dua tahun. Sebenarnya kita sudah merencanakan liburan ke Australia, namun karena Paul McCartney akan konser di Jepang, saya pun beralih ke Tokyo. Setelah mendapatkan tiket konser, saya melupakan kunjungan ke Australia dan berbelok arah ke Jepang! 

Tiket konser yang tidak pernah dipakai.

Kesehatan Linda sedang tidak prima saat kita terbang ke Tokyo, tapi dia adalah balita yang tidak rewel sehingga penerbangan selama tujuh jam itu tergolong lancar. Saat kita mengudara, saya perhatikan bahwa matahari sudah bersinar terang pada jam tiga pagi, beberapa jam sebelum kita mendarat di Haneda. Negeri Matahari Terbit ternyata bukan julukan semata bagi Jepang! Oh, bicara soal bandara, saya berkesempatan untuk mencoba baik Haneda maupun Narita. Karena jaraknya yang dekat dengan Tokyo, saya cenderung lebih menyukai Haneda (perlu dicatat juga bahwa Haneda terletak di antara Tokyo dan Yokohama). Kalau anda ke Tokyo, ada monorel yang akan membawa anda ke Hamamatsuchō Station dengan waktu tempuh sekitar  20 menit.

Pada kesempatan ini, kami hanya berlibur ke Tokyo dan Hakone. Karena kami membawa putri yang masih berusia balita, barang-barang yang dibawa pun cukup banyak. Satu kereta bayi dan dua koper tidaklah mudah untuk dibawa saat bepergian! Berbeda dengan Singapura, stasiun kereta di Tokyo sangat panjang sehingga sulit untuk melihat di mana lift sebenarnya berada. Kami bisa saja berjalan jauh ke arah kiri hanya untuk menyadari bahwa lift sebenarnya berada di sebelah kanan stasiun. Jika anda membayangkan kenapa kami tidak mengikuti petunjuk jalan, itu karena kami tidak melihatnya. Selain itu, beberapa pintu keluar di stasiun tidak memiliki lift dan eskalator sehingga saya harus bolak-balik mengangkat koper. Stasiun seperti Shinjuku dan Tokyo sangat besar dan ramai sehingga bepergian dengan membawa-serta banyak koper sangatlah repot. Perlu saya ingatkan pula bahwa jalur kereta di Tokyo terlihat cukup rumit bagi yang tidak terbiasa.

Di Kuil Meiji. Lihat kereta bayi di samping saya? 

Mitsui Garden Hotel di Yotsuya merupakan hotel tempat tinggal kita saat pertama tiba di Tokyo. Saya memilih hotel ini karena letaknya yang dekat dengan National Stadium, tempat konser Paul McCartney. Kamar hotelnya bagus, cuma agak kecil sehingga Linda sempat terbentur beberapa kali. Hotel ini juga tidak jauh dari stasiun kereta. Seingat saya, kami melewati KFC sebelum menyeberang jalan. Kalau dilihat dari menunya, KFC di Jepang tidak menawarkan sesuatu yang istimewa. Berbeda halnya dengan KFC di negara lain, misalnya nasi dan perkedel di Indonesia atau kuah kaldu kental di Filipina.

Yotsuya hanya beberapa stasiun jauhnya dari  Shinjuku, jadi kita ke sana dan sekitarnya. Film berjudul Shinjuku Incident yang dibintangi oleh Jackie Chan selalu terngiang di benak saya, tetapi begitu tiba di sana, Shinjuku terlihat sangat aman dan tidak rawan kecelakaan, haha. Sebagai perbandingan, Shinjuku mirip Orchard di Singapura, lengkap dengan Takashimaya, tapi lebih hirup-pikuk. Taman bernama Shinjuku Gyoen terletak di sekitar situ. Setelah beberapa waktu, saya membawa Linda untuk pulang dan beristirahat di hotel. Istri saya kemudian keluar lagi sambil membawa kamera.

Saatnya makan malam!

Kami pergi ke Kuil Meiji pada keesokan harinya. Bangunan ini luas, megah dan sangat bergaya Jepang. Di depan pintu keluar, ada kios yang menjajakan es krim teh hijau. Saya rasa es krim teh hijau bisa ditemukan di seluruh Jepang, tapi posisi kios ini sangat strategis dan mengundang, terutama setelah saya berjalan di pagi yang panas. Setelah Kuil Meiji, kita melewati lautan manusia di Harujuku. Ada Daiso di pertengahan jalan sehingga tambah ramai kawasannya. Sekali-kalinya saya menurunkan putri saya di jalan adalah saat berfoto. Selebihnya saya peluk dia erat-erat!

Dari Harujuku, kita singgah sebentar di Shibuya untuk melihat patung Hachiko, kemudian tibalah waktunya untuk menonton konser. Paul tiba di Jepang beberapa hari lebih awal dan saya sangat bersuka-cita saat melihat para penggemar Paul yang tinggal di hotel yang sama (mereka membawa spanduk dan sebagainya). Akan tetapi Paul ternyata sakit sehingga harus membatalkan konser di hari pertama. Yang akan saya tonton adalah konser kedua dan saya hanya bisa berharap bahwa dia sudah cukup sehat untuk tampil.

Di sepanjang jalan menuju stadion, saya melihat begitu banyak orang berjalan ke arah yang sama. Keluarga saya turut serta sampai kami mencapai stadion, kemudian istri saya yang mengerti betapa pentingnya konser ini pun mengucapkan selamat menonton. Sayang sekali, konser ini tidak pernah terjadi. Ada beberapa orang yang terlihat seperti koordinator mengumumkan sesuatu dalam bahasa Jepang di setiap sudut stadion. Setelah bertanya ke sana kemari (saya segera menyadari bahwa bertanya dalam kalimat yang panjang tidaklah efektif. Mereka lebih gampang memahami pertanyaan singkat seperti, "Paul, cancel?") Setelah dikonfirmasi bahwa konsernya batal, saya pun pulang. Rasanya sulit untuk diterima. Jauh-jauh dari Singapura namun batal konsernya.

Happy face before the concert was cancelled.

Saya sangat kecewa, tapi liburan di Jepang baru saja dimulai, jadi tidak ada gunanya bersedih terus-terang. Di hari berikutnya kami mengunjungi Tama Zoo dan saya pun merasa lebih gembira setelah melihat gajah Afrika dan badak India. Sungguh binatang-binatang raksasa yang mengagumkan! Tama Zoo terletak agak jauh dari Tokyo, tapi memiliki beberapa jenis binatang yang belum pernah saya lihat. Bagi yang belum tahu, terkadang binatang tertentu hanya bisa dilihat di kebun binatang tertentu.

Hakone menjadi tujuan wisata di hari selanjutnya. Kami telah merencanakan untuk menginap semalam di sini, jadi saya pun kembali menyeret koper-koper lagi di jalan. Dari Shinjuku, kami menaiki kereta Odakyu Romancecar yang menempuh durasi selama satu setengah jam. Hakone terlihat mirip seperti Jepang zaman kuno yang biasa kita lihat di film. Tempat ini dipadati oleh ruko kayu dan dilintasi oleh sungai yang dangkal tapi deras arusnya. Kali ini kami mencoba ryokan, rumah tradisional Jepang yang beralaskan tatami seperti rumah Nobita dalam serial Doraemon.

Setelah menaruh koper di hotel, kami pun memulai petualangan di Hakone. Perjalanan dimulai dengan menaiki bis, kemudian kami berjalan menembus hutan pinus dan tiba di kota kecil. Dari sini kami menyeberang Danau Ashi dengan menaiki kapal bajak laut. Begitu tiba di seberang danau, kita menaiki kereta gantung menuju ke Owakudani. Puncak gunung ini terkenal dengan telurnya yang berwarna hitam, namun tidak sempat kita coba karena sudah habis saat kita sampai di sana. Dari Owakudani, kita bisa melihat Gunung Fuji yang menjulang di kejauhan. Menjelang senja, kita pun turun menggunakan tram.

Di Hakone.

Saat malam tiba, kami makan di restoran sebelah. Kalau saya lihat kembali, sepertinya kecintaan putri saya pada ramen bermula di Jepang. Selama kami berada di sana, dia hampir tidak mau mencoba makanan lain kecuali ramen. Masalahnya adalah, dia tidak bisa menghabiskan semangkuk ramen sendiri, jadi saya tidak memesan apa-apa karena salah satu dari kami harus menghabiskan sisanya supaya tidak mubazir. Saya memakan begitu banyak ramen sampai merasakan fobia! Kendati begitu, perlu diakui bahwa makanan di Jepang sangat lezat. Bahkan kios kecil di tepi jalan pun sedap masakannya. Orang Jepang tidak alang-alang dalam menyiapkan makanan. Mereka memberikan yang terbaik!

Setelah semalam di Hakone, kita kembali ke Tokyo untuk menghabiskan sisa liburan di sana. Kali ini kita tinggal di Hotel Ryumeikan, sebuah hotel di dekat stasiun kereta Tokyo. Saat mencari lokasi hotel, saya mendapatkan sebuah pengalaman menarik. Di stasiun Nihombashi, saya menanyakan arah pada seorang pejalan kaki. Sepertinya dia mengerti, tapi tidak bisa memberikan petunjuk dalam bahasa Inggris. Akhirnya dia memberikan isyarat bagi kami untuk mengikutinya dan dia membawa kita ke pintu keluar yang mengarah tepat ke hotel!

Linda dan koper yang dibeli di Akihabara.

Di hari itu, kita mampir ke Akihabara, sebuah tempat menarik yang menjual beragam komik. Saya masuk ke lantai bawah tanah sebuah toko khusus menjual hentai, komik porno Jepang. Lucu rasanya ketika semua orang langsung menoleh ketika saya masuk, lalu kembali menyibukkan diri dengan komik yang mereka baca. Koleksi di sana sungguh beragam, mulai dari porno guru sampai porno makhluk luar angkasa, tapi yang saya dibeli di Akihabara adalah koper, bukan komik porno, haha.

Dua hari berikutnya adalah kunjungan Disneyland dan DisneySea. Jaraknya cukup jauh dari stasiun Tokyo, tapi lumayan praktis dan gampang untuk ke sana. Taman bermain Disney ini bagaikan kebahagiaan masa kecil yang menjadi nyata. Begitu kami keluar dari kereta, kami sudah bisa mendengar lagu-lagu Disney yang tidak asing di telinga. Setiap bagian Disney sangat menyerupai kartun yang hidup. Jika ada sedikit masalah bagi saya, maka itu adalah bahasa yang digunakan oleh Donal Bebek dan kawan-kawan. Mereka semua berbahasa Jepang! Namun kami tetap bisa menikmati suasana di sana. Ketika malam tiba, kami pun menyaksikan pertunjukan laser dan kembang api. Spektakuler!

Linda and Mama at Disneyland.

Sebelum pulang, kami bersantap malam di sana. Saya ingat bahwa saya berkata pada istri saya kalau orang Jepang itu ramah seperti orang Indonesia dan pekerja keras seperti orang Singapore. Saya sangsi bahwa kita akan menikmati keramahtamahan dan efisiensi serupa di bagian lain di dunia ini. Jepang benar-benar menyenangkan untuk liburan, walau mungkin tidak demikian halnya untuk bekerja di sana. Setelah DisneySea, kita pulang ke Singapura lewat Narita pada keesokan harinya...

Monday, July 3, 2017

The Wonderland

A friend of mine, a Hong Kong citizen these days, is into everything vintage. He got himself an old TV and games from all those years ago. Then we reminisced a bit about the good old days and the games we were playing then, including Final Fight and Cody's infinite combo. While it's true that we can have the same arcade games via MAME, we tend to agree that experience can't be replicated.

During our formative years in Pontianak, there was this place called Orbit Wonderland. It was basically a gaming arcade that made it big after the release of Street Fighter II. It was a rowdy place that none of the parents would be too happy to hear that their children were associated to it, but it was the amusement centre that most of the boys would like to go to. Visited by boys from all walks of life, the place was as dangerous as it got. Bikes might get stolen and, if you were a little Chinese boy, the risk could be doubled: you could be threatened, extorted or beaten up.

I experienced both the threat and extortion. The first one was a verbal abuse followed by lousy options, which was to lose the game or got beaten up by the opponent's older brother, which was actually nowhere to be seen. That was how Ryu could ever lose to Honda, played by this boy who couldn't play at all. The second trouble left me visibly shaken and costed me IDR 500, which was a lot of money for a Primary School student (I could have played five times as each game only required one coin of IDR 100). I was outside Orbit early in the morning, waiting for the place to open, when this juvenile delinquent approached me and emptied my pocket.

Orbit Wonderland could be an intimidating place to visit, alright, but we kept coming back for more, even when we had game consoles at home. One good reason to visit the arcade was because it offered exciting games with graphics better than any game consoles at that time. Even the arcade version of Tetris looked much better than, let's say, Nintendo's version. And Orbit Wonderland had many more of these, from aircraft games such as 1942 to those from beat 'em up games like Golden Axe and Double Dragon, the game that started the craze for this genre. However, frequenting Orbit was addictive simply because of the thrill we had there. You either got excited to see those masters playing or you were the master yourself, with a lot of audience watching behind you.

The word master was used a form of respect among the gamers. The masters were those who were really good in gaming, especially the fighting games, from standards such as Street Fighter II or King of Fighters to the exotic ones like Art of Fighting or Samurai Showdown. It was always quite a show when things began to heat up after the banter and suddenly one master was challenging another. That was when we all gathered to watch. You could sense the excitement in the air! While we're still on this subject, one other thing worth mentioning is the benefit of befriending the masters. When we got unwanted challenges in fighting games (normally it came from a bully) and we were losing, the masters would always be happy to sit in and help out. In a wild world out there, one gotta be street-smart. Calling a master was valid for a kid who wanted to defend his IDR 100 and prolong his playing time!

Now, my days in Orbit Wonderland began when my elder cousin brought me there. I saw the original Street Fighter at that time, so it must be in the late 80s that I first got hooked. I was never a master in fighting games, so I played only the less popular fighting games such as World Heroes or Fatal Fury 2 and those beat 'em up games, such as Captain Commando or Warriors of Fate.

Cody and Guy, Final Fight
Image owned by gamefaqs.com

A particular favorite of mine, the one I got really good at, was Final Fight. IDR 100 would normally bring me to the last stage, right before Belger appeared. I'd use Cody if I played alone, but was flexible enough to use Guy or Haggar if the second player knew what to do with Cody (Agus Yanto was my preferred partner in Final Fight and we often played together, spending a coin or two before we went across the street to eat what was locally known as Shanghai ice). It's important to emphasize that whoever that used should Cody know what to do with the most versatile character in the game or else, both players would get slaughtered by the enemies. If I happened to play alongside some dumbass, I'd be definitely screwed, especially when I used Haggar.

Final Fight was a game with a rhythm to follow. You went step by step, fully expecting who'd come up and you beat the hell out of them. When you went too fast or a step too far than you should, all hell broke loose. With Andore waiting for his chance to grab you, El Gado stabbing you and Wong Who running amok, you'd have to be very good to survive the riot and took control of the situation. This was where the infinite combo would come handy.

The infinite combo, usually performed by either Guy or Cody, was actually a system glitch. It was done by turning away from the enemies after punching them rapidly. Such a sudden move would reset the combo sequence, fast enough for the player to resume and carry on punching while the enemies were still recovering. This was how one could get very far, because neither the bosses or the henchmen could escape this routine (strictly speaking, only a few such as Poison or Axl could walk away from the infinite combo).

Back to the conversation I had with my friend, I was referring to this infinite combo when we talked about Final Fight. Thanks to how the joystick was designed, the infinite combo could be done effortlessly at the arcade, but it was a feat to repeat at home. The gaming experience was never the same once you played at Orbit Wonderland. That was true, at least for me, even after I played Neo Geo, which was supposed to be identical as those latest games at the arcade then. The atmosphere and satisfaction just couldn’t be replicated.

As we finally grew up, Orbit Wonderland lost its charm and eventually closed down. Kids these days will never know the fun we had back then. When I moved to Singapore, I saw a gaming arcade at Bugis and gave it a try for old time's sake. I was playing Street Fighter (can't remember what version that was now) but my Ryu was quickly wiped out by somebody else's Zangief. It was so embarrassing it became a wake up call that I should have retired long ago. That part of my life ended the day Orbit ceased operation. All good things must come to an end, I guess. That was the last time I ever went to the arcade.

At the gaming arcade with Endrico, Singapore 2005


Orbit Wonderland

Teman saya, seorang warga Hong Kong sekarang, menyukai segala sesuatu yang bernuansa zaman dulu. Baru-baru ini dia membeli sebuah TV tua dan video game yang populer bertahun-tahun silam. Kita lantas bernostalgia tentang beberapa game yang kita mainkan dulu, salah satunya adalah Final Fight yang terkenal dengan tinju balik Cody (nanti saya jelaskan lagi tentang istilah ini, haha). Kesimpulannya, walau kita bisa memainkan game klasik lewat MAME, kita tidak mengulang pengalaman yang serupa.

Di masa kecil kita di Pontianak, ada satu tempat yang bernama Orbit Wonderland. Tempat ini adalah pusat permainan video game, istilahnya ding-dong atau bobo (jangan tanya kenapa disebut bobo). Orbit menjadi sangat populer setelah dirilisnya Street Fighter II. Suasananya ramai dan riuh. Tidak ada orang tua yang senang anaknya bermain ke Orbit, tapi hampir setiap anak ingin bermain ke wahana tersebut. Dikunjungi oleh bocah laki-laki dari berbagai kalangan, Orbit tidaklah tergolong aman. Sepeda mungkin saja dicuri dan kalau anda adalah bocah Tionghoa, resiko anda bisa berlipat ganda. Anda mungkin diancam, dirampas uangnya atau bahkan dihajar.

Saya mengalami ancaman dan perampasan. Yang pertama adalah ancaman verbal yang disertai dengan pilihan konyol, yakni mengalah dalam game Street Fighter II atau dihajar oleh abang pelaku yang sebenarnya tidak terlihat di mana pun.  Kemlangan kedua terus-terang membuat saya gemetar dan kehilangan Rp. 500, jumlah yang cukup besar untuk anak SD (saya bisa bermain lima kali karena satu permainan hanya senilai Rp. 100). Saat itu saya berada di halaman Orbit, menunggu tempat ini dibuka. Tiba-tiba saja saya dihampiri oleh seorang berandalan yang langsung mendesak saya untuk mengosongkan isi kantong. 

Meskipun tidak aman, kita tetap kembali ke Orbit Wonderland. Menarik untuk dicatat bahwa tidak sedikit dari kita yang memiliki video game di rumah, tapi tetap saja kita ke sana. Satu alasan utamanya adalah karena Orbit menawarkan game yang berbeda dan lebih bagus gambarnya. Bahkan Tetris di Orbit terlihat lebih menarik dari versi Nintendo. Orbit memiliki beraneka game, mulai dari game pesawat seperti 1942 sampai game pertarungan seperti Golden Axe dan Double Dragon. Akan tetapi yang paling membuat kita ketagihan mengunjungi Orbit adalah asyiknya suasana di sana. Anda bisa terkagum-kagum melihat seorang master bermain atau anda sendiri adalah sang master dengan banyak penonton di belakang anda. 

Julukan master adalah bentuk penghormatan antara sesama pemain game. Yang namanya master itu adalah mereka yang jago bermain game, biasanya game pertarungan, mulai dari yang standar seperti Street Fighter II atau King of Fighters sampai game eksotik seperti Art of Fighting atau Samurai Showdown. Pertunjukan dadakan ini biasa dimulai dari candaan ringan yang akhirnya diselesaikan dengan berlaga lewat game. Anda bisa merasakan tegangnya suasana saat pertandingan berlangsung! Hal lain yang patut dikenang tentang berteman dengan para master ini adalah, ketika kita ditantang (biasanya oleh mereka yang suka menindas) dan kita dalam posisi kalah, master biasanya dengan sukarela membantu kita mengalahkan lawan. Di dunia anak-anak yang penuh tantangan dan marabahaya, kita harus cerdas dalam menyikapi situasi. Meminta bantuan master adalah hal yang wajar bagi bocah yang ingin mempertahankan seratus rupiah miliknya!

Hari-hari saya di Orbit Wonderland bermula ketika sepupu saya membawa saya berkunjung. Saya ingat bahwa saat itu Street Fighter yang pertama baru dirilis, jadi mungkin kisaran akhir tahun 80an. Saya tidak pernah menjadi master dalam game pertarungan, jadi biasanya saya hanya main game yang kurang populer seperti World Heroes atau Fatal Fury 2 untuk menghindari resiko ditantang. Game lainnya yang kadang saya mainkan adalah Captain Commando dan Warriors of Fate.

Cody dan Guy, Final Fight
Foto dari gamefaqs.com

Favorit saya, satu-satunya game yang boleh dikatakan saya kuasai, adalah Final Fight. Rp. 100 biasanya akan membawa saya ke level terakhir, tepat sebelum kemunculan Belger. Saya menggunakan Cody ketika bermain sendiri, namun saya juga bisa menggunakan Guy atau Haggar dengan leluasa bila pemain lainnya tahu apa yang harus dilakukan dengan Cody. Agus Yanto adalah rekan saya dalam Final Fight dan kita sering bermain bersama, menghabiskan satu atau dua koin sebelum pergi menikmati es Shanghai di seberang jalan. Penting untuk ditekankan bahwa yang menggunakan Cody hendaknya bisa benar-benar bermain. Kalau tidak, dua-duanya bisa celaka dan terbantai oleh musuh. Jika saya bermain bersama mereka yang tidak mengerti apa-apa, kecil kemungkinan saya akan selamat, apalagi jika saya menggunakan Haggar.

Final Fight adalah game yang teratur ritmenya. Anda maju selangkah demi selangkah dan menghabisi musuh yang muncul. Jika anda dengan maju dengan gegabah, semua musuh akan bermunculan dan sulit bagi kita untuk keluar dari keroyokan Andore yang datang menerjang dan El Gado yang beraksi dengan pisaunya sementara Wong Who menabrak ke sana kemari. Anda harus benar-benar sakti untuk bisa selamat dari kerusuhan tersebut dan mengambil alih situasi. Di sinilah tinju balik berperan besar. 

Tinju balik yang bisa dilakukan baik oleh Cody maupun Guy ini sebenarnya adalah kesalahan pemrograman. Pemain bisa melakukannya dengan cara berpaling dari musuh setelah melakukan pukulan bertubi-tubi. Gerakan mendadak ini akan membuat rangkaian pukulan kembali ke titik awal, dan pas waktunya bagi pemain untuk mengulang gerakan yang sama sebelum musuh pulih dari efek pukulan. Dengan cara inilah kita bisa bermain sampai jauh, sebab hampir semua musuh tidak bisa lolos dari serangan maut ini (hanya Axl dan Poison yang bisa menjauh dari tinju balik). 

Kembali lagi ke percakapan saya dengan teman, inilah tinju balik yang saya maksudkan ketika kita berbincang tentang Final Fight. Karena keunikan rancangan kontrol pemain di Orbit, tinju balik bisa dikerahkan dengan lancar, namun sulit untuk dilakukan dengan kontrol video game biasa di rumah. Inilah alasannya kenapa pengalaman bermain game yang sama tidak bisa terulang di mana pun. Bahkan Neo Geo yang seharusnya sama dengan game Orbit Wonderland pun terasa beda karena tidak memiliki suasana Orbit Wonderland.

Ketika saya beranjak dewasa, kepopuleran Orbit Wonderland pun perlahan-lahan memudar. Anak-anak zaman sekarang tidak akan mengerti betapa hebohnya pengalaman kita dulu. Ketika saya pindah ke Singapura, saya sempat mencoba bermain lagi di ding-dong yang ada di Bugis. Saya bermain Street Fighter saat itu dan Ryu saya dengan cepat ditaklukkan oleh Zangief yang dimainkan oleh orang lain. Sejak saat itu, saya sadar bahwa sudah seharusnya saya pensiun sejak lama. Kunjungan tersebut akhirnya mengakhiri kenangan masa kecil yang penuh dengan gegap-gempita itu...

Di ding-dong bersama Endrico, Singapura, tahun 2005.

Sunday, July 2, 2017

Mempertegas Citra Diri

“Citra diri yang diciptakan dengan tidak kuat bisa dihancurkan dengan mudah oleh orang-orang dan lingkungan sekitar kita.”

Hello, it's me, Alvin...
Apakah masih ingat tulisan-tulisan bersambung saya yang berjudul Pentingnya Citra Diri PositifHukum Pikiran Positif serta Di Manakah Saya, bagian 1,2 dan 3?

Nah, ini adalah penutupnya. Mengungkapkan masalah tanpa solusi hanya membebani, jadi yang berikut ini adalah solusi dari hal-hal yang kita bahas dari judul-judul di atas. Maaf, nih, lama tidak menulis dikarenakan satu dua hal, tapi si admin kasih semangat terus, jadinya minimal 1 judul untuk membuka bulan ini.

Judul-judul di atas sudah membahas masalah dan cara menyelesaikannya. Sekarang saatnya kita bukan hanya menyelesaikan, namun juga membentengi diri kita dengan lebih memberikan arti citra diri kita supaya kita tidak terombang-ambing ke zona-zona yang lain. Suka atau tidak suka, ada saja orang-orang di sekitar kita yang secara sadar atau tidak akan menjatuhkan atau mendorong diri kita ke zona-zona lainnya.

Contoh: Saat ini kita ada di zona dewasa dalam arti kita mempunyai keberanian dan kecerdasan. Seperti yang kita tahu, kesalahan bisa saja terjadi pada siapa pun. Saat kita melakukan sesuatu dengan percaya diri tapi hasilnya kurang bagus, ada saja orang yang mengatakan kita sombong. Nah, jika kita tidak memperkuat arti citra diri kita, kita bisa saja berpikir bahwa diri kita memang sombong.

Contoh lain: Saat kita ada tujuan dan bertindak tapi ada kesalahan yang terjadi sehingga hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, akan ada orang yang akan melukai citra diri kita dengan mengatakan kita salah tindak, tujuan tidak jelas, tujuan tidak benar dan seterusnya. Memang akan banyak juga orang-orang yang akan mendukung kita dengan mengatakan yang positif, namun jika kita tidak memperkuat arti citra diri kita, kita cenderung akan menerima pemikiran yang negatif. 

Jadi bagaimanakah kita memperkuat arti citra? Ada beberapa cara yang bisa dibagikan di sini. Di bawah ini ada beberapa pertimbangan yang bisa kita gunakan sebagai modal dasar. Mari kita lihat:

1.      Penuh dengan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan
Apakah yang bisa kita lakukan untuk membalas kebaikan Tuhan kepada kita? Jika kita mau melihat kebaikan-kebaikan-Nya, ini tidak ada habisnya. Secara sederhana, berapa banyak oksigen yang kita hirup setiap hari tanpa membayar? Apakah kita pernah membayangkan orang-orang di rumah sakit yang susah bernafas dan harus membayar mahal hanya untuk tabung oksigen? Rasa syukur dan terima kasih adalah senjata yang paling dasyat untuk mencapai hidup bahagia yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Ungkapan syukur bukan hanya saat kita senang, tapi ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa jika saat kita menghadapi masalah, kita masih bisa bersyukur. Ungkapan syukur itu akan membuat hati kita lebih lapang dalam menghadapi segala masalah yang ada.

2.      Kesabaran
Rasa syukur bisa terwujud jika kita mempunyai kesabaran yang besar dalam hidup ini. Semua masalah dalam hidup kita akan hancur dengan adanya kesabaran dalam diri kita.

3.      Ketulusan
Ketulusan adalah sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura-pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya ya berarti ya dan tidak berarti tidak. Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.

4.      Rendah hati
Rendah hati sangatlah berbeda dengan rendah diri. Rendah diri merupakan kelemahan, namun rendah hati merupakan ungkapan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang di atasnya merasa nyaman dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder. Dia bisa bergaul bersama siapa saja.

5.      Kesetiaan
Ini adalah kriteria yang sudah menjadi barang langka dan sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

6.      Bersikap positif
Selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekali pun. Lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan sebagainya. Energi positif adalah kekuatan untuk terus berkembang.

7.      Keceriaan
Tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, ada orang yang mukanya kurang ceria meskipun dia dalam keadaan bahagia. Maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh, tetapi sikap hati. Namun demikian, marilah kita selalu berusaha tersenyum setiap hari, diawali dari bangun tidur. Senyum itu obat yang dashyat untuk banyak penyakit, maka tersenyumlah. Bukan saat bahagia saja kita tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kita akan terasa bahagia.  Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia dapat mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri tapi bukan dalam arti negatif. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

8.      Bertanggung jawab
Dia yang melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh adalah orang yang bertanggung jawab. Kalau melakukan kesalahan, orang tipe ini berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapa pun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apa pun yang dialami dan dirasakannya.

9.      Percaya diri
Siapakah yang akan percaya kita jika kita tidak percaya diri kita sendiri? Ini adalah salah satu pertanyaan yang membuat kita harus percaya diri. Percaya diri tidaklah sama dengan sombong walaupun kelihatannya perbedaannya tipis. Percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

10.  Kebesaran jiwa
Dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

11.  Easy-going
Orang yang menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia hanya melakukan yang terbaik yang bisa dia lakukan dan yakin Tuhan akan melakukan yang tak mampu dia lakukan untuk membuat hasilnya sempurna. Dia tidak mau pusing dan tertekan dengan masalah-masalah yang berada di luar kendalinya.

12.  Empati
Ini adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik tetapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Suka membantu adalah sifat dari orang yang empati. Ketika terjadi konflik, dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

Mari kita memperkuat arti citra diri kita dengan beberapa cara yang sederhana berikut:

Buatlah daftar
1.      Menurut kamu, apakah kelebihan/kebaikan kamu (minimal 10)?
2.      Menurut kamu, apakah kekurangan/kejelekan kamu (tidak ada minimalnya)?
3.      Menurut teman-teman kamu, apakah kelebihan/kebaikan kamu (minimal 10)?
4.      Menurut teman-teman kamu, apakah kekurangan/kejelekan kamu?

Buatlah kepanjangan dari inisial nama kita yang positif yang mencerminkan diri kita dan yakin akan hal tersebut. Kepanjangan dari inisial nama kita bisa dari kelebihan kita ataupun kata-kata untuk merubah kekurangan kita. Dan berikan definisi yang jelas yang kita mau dari kepanjangan inisial kita.
 Contoh : ALVIN ALEXANDER
Amirable person                                  Always be great  
Love family                                          Last but not least
Victory by God                                     Empower myself
Impossible is possible                           X-tra energi
Never give up                                       Amen for my life
                                                                Nothing is something
                                                                Do the best
                                                                Enlightening others
                                                                Receiving blessings

Definisi:
Amirable person: orang yang bisa dikagumi bukan maksudnya menjadi gila hormat tapi maksudnya orang yang disukai oleh orang-orang. Di saat teman ada masalah, dia akan teringat pada saya dan berkata, “kalau ada dia, pasti keadaan lebih baik,” atau saat teman-teman lagi senang, mereka akan berkata, “kalau ada saya, pasti lebih ramai.”

Love family: mencintai keluarga, disini bukan saja keluarga kecil saya yaitu orang tua dan saudara, tapi juga keluarga besar yakni teman-teman, murid-murid saya dan semua orang yang saya jumpai.

Victory by God: ini mempunyai arti bahwa saya sudah merdeka karena Tuhan telah membayar lunas kebebasan saya  dengan darah-Nya.

Impossible is possible: ini menunjukkan bahwa untuk segala sesuatu yang mau saya capai, saya selalu punya keyakinan ada kemungkinan untuk mencapainya meskipun ada yang bilang tidak mungkin. Tidak mungkin bagi orang lain, belum tentu tidak mungkin bagi saya.

Never give up: yang ini saya berarti saya adalah orang yang tidak mau menyerah namun tidak berarti dalam membabi buta. Ini lebih ke arah tidak pernah putus asa.

Always be great: ini mempunyai arti bahwa dalam situasi apa pun, keadaan tertekan, keadaan banyak masalah, semua itu tidak akan menganggu rasa senang di dalam hati.

Last but not least: ini memberikan arti bahwa dalam segala hal yang mau saya lakukan atau capai, selalu ada sesuatu yang bernilai meskipun kecil.

Empower myself: ini maksudnya saya selalu mencoba mengembangkan diri sendiri, baik dengan kemampuan diri sendiri ataupun bantuan orang lain.

X-tra energi: ini untuk menunjukkan tidak ada rasa lelah dalam mencapai sesuatu yang baik dalam hidup saya.

Amen for my life: ini menunjukkan bahwa saya selalu mensyukuri karunia hidup yang telah diberikan oleh Tuhan.

Nothing is something: ini artinya saya menerima kenyataan bahwa di saat saya mau mencapai sesuatu namun hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, tetap saja ada hasilnya. Mungkin bagi orang lain itu tidak ada hasil, namun saya yakin bahwa selalu ada hasil dari setiap usaha saya dalam mewujudkan mimpi saya, paling tidak pengalaman untuk memwujudkan mimpi saya, itulah hasil minimumnya.

Do the best: saya selalu mencoba melakukan yang terbaik dari diri saya. Lakukan yang terbaik dan serahkan selebihnya kepada Tuhan. Tidak mengkhawatirkan sesuatu yang di luar control saya.

Enlightening others: maksudnya apa yang saya punya harus juga dinikmati oleh orang lain dan terus berusaha membuat orang lain lebih baik lagi, terutama mereka yang membutuhkan. Ini seiring dengan ajaran-Nya untuk menjadi terang dan cahaya bagi yang membutuhkan.

Receiving blessings: saya selalu merasa menerima berkat dalam hidup walau dalam keadaan apapun. Merasa diberkati akan membuat saya benar-benar diberkati.

Buatlah alfabet yang mempunyai arti dalam hidup kita:

Accept, Brave, Care, Desire, Easy-going, Friendship, God, Honesty, Idea, Journey, Keep, Love, Miracle, Never, Optimist, Patience, Question, Respect, Smile, Tough, Understand, Value, Work, X-tra, Youthful, Zero.

Membantu sesama, sesuai dengan keahlian yang ada



Thursday, June 29, 2017

A Man Called Parno: Chapter 2 - Into The Society And Beyond

After reading the first part, what do you think about a man called Parno? For better or worse, he is really an interesting character, eh? Now that school days were done, what came next was a new phase for all of us. Things might be a bit hazy here for the fact that we weren't always together and, most of the time, we were worlds apart, literally. But you know what they said about a good friendship, it lasts! And I happened to be there when Parno began his working life so let's pick up where we left off.

Together with another guy called Jun Fui, the three of us took the first flight to Jakarta a day after my graduation ceremony in late 2002. Parno stayed at Kelapa Gading throughout his sojourn in Jakarta, the same place where Eday and I dropped him a few years earlier. He was employed by his relative, doing... alas, only God knows what he was doing. The only thing I remember about his work was how his Sundanese colleagues at work taught him some extremely naughty Sundanese words such as male ejaculation. That must be the highlight of his first job in Jakarta!

Parno and Soedjoko, posing at Gambir station.

Anyway, whatever the job was, it couldn't be that rosy, because Parno started dreaming of working in the USA. He could be quite adamant once he made up his mind on something and, for this particular moment, he kept muttering about this dodgy employment agency at Pasar Baru. In Parno's mind, he was convinced that he just had to be there, paid whatever amount that was requested and then got himself smuggled into America. My friend Soedjoko and I told him that it was too good to be true, but he wouldn't budge. Joko eventually gave up and drove him there. True enough, there wasn't any apparent result and his money was never to be seen again.

Wearing his Malpy uniform, the company he worked at in Brunei.

Realizing that he was going nowhere, Parno quit his job and left the capital city, ending his tenure in Jakarta. The next time he gave an update, he was already in Brunei, doing some menial jobs. A very hard working man, he lasted there for, perhaps, two years, surviving all oddities, including an accident where he got hit by a Mercedes-Benz.

By the time I migrated to Singapore in 2006, I heard him traveling to West Malaysia and Southernmost tip of Thailand. He was on another attempt to go to the USA, trying to fulfill his American dream. The trip itself was meant to be a camouflage and the passport stamps gathering was some sort of proof that he went places before he applied for his US visa. It was to become another failure and that, for all I know, was his last try.

Posing with Endrico at Kuching bus station.

Parno eventually settled in Pontianak, continuing the family business of selling salted fish and trading second hand oil containers. It was during this period he got to know his future wife. The wedding plan came afterwards and the four of us, Ardian, Endrico, Parno and I, spent time in Kuching for what was supposed to be our mild bachelor nights (Endrico was getting married, too, at that time).

He was a family man after that last trip together, but things would never be awfully quiet for Parno. There was a time when he protected his wife and got his neck chopped with a machete for his heroic act. He also had a near death experience when his boat capsized, almost drowning him in the process. Then I discovered the news (it was via BBM profile picture update, as he never told me until I asked) that his beloved younger brother had passed away due to a very rare viral infection.

Parno and Ardian at Melda.

Life was seldom easy for Parno, but he was stronger than anything that life threw at him. He always found his way to laugh, the best medicine to cast away all the sorrows. I remember that in the midst of all this, in one of my only handful visits to my hometown, he innocently blurted out a life lesson that I remember to this day. At that time, we were in Ardian's car and I was so pissed with the power failure that plagued Pontianak, so I asked them, why on earth they never thought of moving out from this horrible place.

Surianto, Endrico, Parno and Swiandy at Orchard.

His answer, said in a very calm tone that only Parno could, was because he already felt content. And I was stunned when I heard that. If it was said by other people, it could have meant anything, but I knew the man pretty well. Parno didn't mean to act smart. He was just being honest and his sincerity touched my heart. It got me thinking that it was never a matter of how far we went in life, because happiness came from within. Very zen, isn't it?

That is Parno for you, alright. He had his fair share of ups and downs, but for all the mistakes that he made, you'd end up laughing them off and forgive him instead, saying that, "well, it's only Parno." Of course he could be a pain in the ass, sometimes, like the time when he was again too stubborn to see that what he agreed to do in Hong Kong was wrong and, after we gave up persuading him, we actually wished to see him going to jail instead, haha.

Parno as Pakarporn in Hong Kong.

His shop had been demolished a while ago and he's into insurance these days. Out of sympathy, I bought the insurance for my parents from him. I'd say he was still going thru the learning curve at the moment, which could be troublesome for he was just too text book. There was at least one occasion where I lost my temper thanks to the difficulty in claiming and it was only resolved after our friend Andry, now his superior, stepped in.

Acting tough with Alvin, Muliady The and Muliady AW at the High School Reunion 2014.

By the end of the day, however, after all is said and done, there's no love lost between us. While I still fail to refrain from making him the butt of the jokes, I'm proud to say that he's a good friend of mine. More than that, he is a living reminder for our generation that life can actually be simple enough, so why complicates the matter? He had to be there at the High School Reunion 2014 because what kind of reunion would that be if our mascot wasn't there? Parno is well-loved not because of what he has, but simply because of who he is. Frankly speaking, not many people can achieve that in life...


Pria Bernama Parno: Bagian 2 - Terjun Ke Masyarakat

Setelah membaca bagian pertama, bagaimana pendapat anda tentang pria bernama Parno ini? Unik, bukan? Sekarang, setelah masa sekolah selesai, kita siap memasuki fase baru dalam kehidupan: dunia kerja. Ada beberapa bagian yang kurang jelas di masa ini karena saya dan Parno tidak lagi selalu bersama di satu daerah, melainkan berbeda kota dan negara. Akan tetapi persahabatan yang baik itu kekal adanya. Kebetulan saja saya juga bersama Parno ketika dia mulai terjun ke dunia kerja, jadi mari kita mulai kembali cerita kita.

Bersama seorang teman lain bernama Jun Fui, kita bertiga berangkat ke Jakarta dengan menaiki penerbangan pertama di pagi hari, sehari setelah saya diwisuda. Parno tinggal di rumah relasinya di Kelapa Gading, tempat yang sama dimana Eday dan saya mengantarnya beberapa tahun silam. Dia dipekerjakan oleh saudara ibunya. Entah apa pekerjaannya, yang saya ingat justru cerita Parno tentang bagaimana rekan kerjanya mengajari kata-kata kotor dalam bahasa Sunda. Hanya itu yang berkesan dari pekerjaan pertamanya di Jakarta!

Parno, Junaidi and Sudarman, di dalam kereta menuju Bandung.

Apa pun pekerjaan Parno saat itu, sepertinya ia tidak begitu berminat, sebab ia mulai bermimpi untuk kerja di Amerika. Parno bisa jadi kepala batu kalau dia sudah terpaku pada satu hal dan di kala itu, ia kerap kali berbicara tentang agen tenaga kerja di Pasar Baru. Di benaknya, ia cukup datang, bayar dan kemudian diberangkatkan ke Amerika. Soedjoko, seorang kenalan di Jakarta, dan saya sudah menasihatinya bahwa kenyataan tidaklah semulus itu, tapi Parno tetap bersikeras. Joko akhirnya menyerah dan mengantarnya ke sana. Benar saja, hasilnya tidak jelas dan uang pun tidak kembali.

Di kebun binatang Bandung.

Sadar bahwa karirnya tidak berkembang, Parno berhenti kerja dan mengakhiri perantauannya di Jakarta. Di kali berikutnya dia memberikan kabar, dia sudah bekerja di Brunei. Seorang pekerja keras, Parno berkelana di negeri orang kira-kira dua tahun lamanya dan mengalami berbagai cobaan hidup di sana, termasuk mengalami kecelakaan karena ditabrak oleh mobil Mercedes.

Ketika saya pindah ke Singapura di tahun 2006, terdengar kabar bahwa Parno berwisata ke Malaysia Barat dan Thailand Selatan. Setelah ditelusuri, ini adalah upayanya untuk hijrah ke Amerika. Sebelum ia memohon visa dari kedutaan Amerika, ia dinasehati untuk mengumpulkan beberapa cap paspor untuk menandakan bahwa dia sering berjalan-jalan sebelum ke Amerika. Upaya ini tidak berhasil dan, sejauh yang saya tahu, ini adalah kali terakhirnya mengadu nasib ke Amerika.

Parno akhirnya menetap di Pontianak dan melanjutkan bisnis keluarga. Ia berdagang ikan asin dan drum oli bekas. Di masa ini dia juga berkenalan dengan calon istrinya. Setelah ada rencana menikah, Parno, Endrico, Ardian dan saya berlibur ke Kuching sekaligus merayakan pelepasan masa lajang Parno dan Endrico.

Setelah menikah, kehidupan Parno sebagai kepala keluarga tetap saja diwarnai beraneka kejadian. Lehernya pernah dibacok dengan parang ketika melindungi istrinya dari penjambretan. Ia juga nyaris tenggelam ketika perahu yang ditumpanginya terbalik di sungai Kapuas. Sesudah itu, ada kabar bahwa adiknya meninggal karena terjangkit virus yang sangat langka.

Parno si pawang ular.

Hidup tidaklah mudah bagi Parno, tetapi dia lebih kuat dari segala macam terpaan hidup. Ia selalu bisa tertawa, cara terbaik untuk menghadapi kesulitan hidup. Di tengah berbagai kejadian ini, saya ingat pelajaran hidup yang tanpa sengaja ia ucapkan. Ini terjadi sewaktu saya pulang kampung. Saat itu kita berada di mobil Ardian dan saya sedang jengkel dengan kondisi Pontianak yang lagi-lagi mati lampu. Kemudian saya pun bertanya, kenapa mereka masih saja betah di tempat seperti ini.

Foto terakhir kunjungan Parno ke Singapura di tahun 2015.

Jawabannya, yang diucapkan dengan gaya khas Parno yang pelan dan polos, adalah karena dia sudah merasa bahagia dengan apa yang ada. Saya terpana saat mendengarnya. Jikalau diucapkan oleh orang lain, kalimat tersebut bisa berarti apa saja, tergantung penafsiran. Tapi ini Parno dan saya yakin dia tidak berpura-pura sok tahu. Dia hanya berkata dengan jujur dan kepolosannya sungguh menggugah. Perkataannya membuat saya merenung, bahwa hidup bukanlah tentang sejauh apa kita berada, sebab kegembiraan sebenarnya berasal dari dalam diri sendiri.

Bersama Lawrence Liew, orang Singapura, di A. Yani Mall.

Itulah Parno. Seperti halnya setiap orang, dia pun tidak luput dari masalah hidup. Kendati begitu, kesalahan apa pun yang ia lakukan, pada akhirnya kita akan tertawa dan memaafkannya sambil berkata, "ya, ini 'kan Parno. Mau bagaimana lagi?" Seringkali begitu, walau pun tidak dipungkiri bahwa ia terkadang benar-benar mengesalkan, misalnya saja ketika ia tetap berniat memberikan kesaksian palsu di Hong Kong, meski pun ia tahu bahwa itu perbuatan yang salah. Saat kita berhenti menasehatinya, sempat terpikir kalau mungkin sebaiknya dia masuk penjara saja, wahaha.

Oh ya, tokonya sudah dirobohkan beberapa waktu yang lalu dan dia sibuk dengan asuransi sekarang. Karena bersimpati, saya membeli asuransi darinya untuk kedua orang tua saya. Sebagai nasabah, saya merasa dia masih butuh banyak pengalaman karena terlalu kaku dalam sepak terjangnya sebagai agen. Paling tidak ada satu kejadian di mana saya dibuat marah karena merasa dipersulit dalam klaim. Hanya ketika teman kita Andry turun tangan, barulah masalah dapat ditangani.

Berpose lucu-lucuan bersama Endrico di Reuni 2014.

Pada akhirnya, setelah tawa, canda dan masalah yang datang silih berganti, teman tetaplah teman. Saya akui bahwa setelah puluhan tahun mengerjainya, tidak mudah bagi saya untuk berhenti begitu saja. Biar pun begitu, saya bangga bisa mengenal dan memanggilnya sebagai seorang sahabat. Lebih dari itu, Parno merupakan lambang bagi generasi kita yang akan selalu mengingatkan kita bahwa hidup sesungguhnya bisa dipermudah, lalu kenapa kita sering menyulitkan diri sendiri dengan hal-hal yang tidak perlu? Parno adalah maskot, karena itulah dia hadir di Reuni SMU 2014. Akhir kata, Parno disayang bukan karena apa yang dimilikinya, tetapi karena kelebihannya dalam menjadi diri sendiri. Dalam hidup ini, percayalah ketika saya berkata bahwa tidak banyak dari kita yang bisa tampil apa adanya seperti Parno...