Total Pageviews

Translate

Saturday, March 31, 2018

Lunch Time With Wawa

I always have lunch with my friend and ex-housemate Wawa every once in a while. There are good reasons for this, of course. First of all, there is this delicious kampong fried rice nearby where she stays. As if this isn't good enough, the meal is often free because she'll buy me lunch. Then, finally, she always has some stories to tell. Her stories, for some strange reason, are often sad. This makes the fried rice taste even better, because for that one hour, you'll cling onto the only good thing that you can count on.

Our last lunch was supposed to be no different, but the fried rice stall was closed! That must be an omen and I should have taken it seriously, but we carried on and hung out at the chicken rice stall instead. I wouldn't mind a change of menu for once because the chicken rice was good and I hadn't had it for quite some time. Then came Wawa and, as we started having our lunch, the storytelling began.

This chicken rice was one helluva bad news! Just kidding, haha.

Much to my surprise, Wawa got four sad stories. That's like whole lotta bad news to take in one go. By the end of story, Wawa sighed and wondered why many things happened in a way she didn't understand. Death came by without any warning, reminding her how fragile life could be. Having said that, she wondered why she was even here on earth. It was like, what for?

I had to admit that I was stunned to see that. Of all the ex-housemates, me included, Wawa was the most God-fearing and faithful one. I always looked up to her when it came to this aspect. But then it must be too much for her to bear that she cracked a little bit, so we had a discussion that I never thought we would be having, especially when I'm so specialised in talking nonsense. But it was a good discussion and looking back, I think it's worth summarising and sharing it here.

About things that happened, regardless how bad the experiences were when we went through them, they did happened for a reason. However, it might take us some time to finally get the right perspective. We might find it unfair and confusing at first, but all would be revealed when the time had come. If my life was any indicator, it took all the unpleasant events to bring me where I am today. Hence when bad thing happens, accept it and move on. Asking, "why me," won't make you feel better. It's not like you are going to know why, anyway.

The kampong fried rice that we normally had.

As for the death, Wawa's stories that day covered both ends of the spectrum. You either got really sick and died or you were healthy but dropped dead just like that. I quoted John Lennon that, "life is what happens to you while you are making other plans." Since we don't get to know when our time is up, why bother worrying about it? We better follow our dreams and chase what counts while we can.

And this eventually brought us to the final questions. Why are we here? Do we actually make a difference? I remember telling Wawa that we were here to make a dent in the universe! Okay, that was probably too over-confident, but even if we weren't destined to cause any dent, we still touched other people's lives. It's just the way of the of the world that people don't stop and tell us we actually matter, alright, but don't stop believing it. 

That three points above, they were lingering in my mind until now. It feels good to get rid of them in the form of writing. I think I'm ready for another free lunch now...

Wawa and Setia, waiting for the fried rice.


Makan Siang Bersama Wawa

Setiap kali ada kesempatan, saya selalu menyempatkan diri untuk makan siang bersama teman dan mantan teman serumah saya, Wawa. Ada alasan-alasan kuat kenapa saya dengan senang hati menempuh perjalanan sejauh 20 menit dengan MRT ini. Pertama-tama, di dekat rumahnya ada nasi goreng kampung yang lezat dan saya gemari. Selain itu, santap siang bersama Wawa seringkali gratis karena saya biasanya ditraktir. Alasan terakhir adalah, selain makan gratis, Wawa juga selalu memiliki beraneka cerita yang entah kenapa sering berakhir tragis. Paket nasi goreng gratis plus cerita sedih ini adalah sesuatu yang sulit saya lewatkan. 

Makan siang kita minggu lalu seharusnya kurang-lebih sama dengan sebelumnya, tetapi siapa sangka kedai nasi gorengnya ternyata tutup. Seharusnya saya menyadari bahwa ini adalah pertanda buruk, tapi berhubung saya sudah tiba di sana, kita pindah lokasi dan akhirnya menikmati nasi ayam. Saya tidak keberatan sesekali berganti menu karena nasi ayam ini juga terkenal enak dan saya sudah lama tidak mencicipinya. Setelah menunggu beberapa saat, tibalah Wawa dengan satu nampan nasi ayam. Ketika kita mulai makan siang, dongeng Wawa pun dimulai.

Sudarpo, Wawa dan Endrico, saat membawa saya menikmati nasi ayam ini untuk pertama kalinya di tahun 2005. 

Saya agak terkejut saat menyadari bahwa saat itu Wawa memiliki empat cerita sedih. Rasanya terlalu banyak untuk ditanggung oleh sepiring nasi ayam. Saat cerita berakhir, Wawa pun menarik napas panjang sambil berujar, kenapa kabar buruk datang beruntun. Ia merasa gagal paham. Kematian datang tanpa peringatan, mengingatkannya kembali bahwa kehidupan bisa sedemikian rapuhnya. Dan Wawa pun jadi bertanya, apa sesungguhnya arti hidup ini? 

Terus-terang saya agak tertegun saat melihat Wawa seperti itu. Dari semua mantan teman serumah termasuk saya sendiri, Wawa adalah yang paling saleh. Saya selalu mengaguminya dalam aspek ini. Wawa selalu memiliki jawaban, jadi agak janggal rasanya melihat dia justru bertanya. Akhirnya kita pun terlibat dalam sebuah diskusi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, sebab saya selalu lebih cocok dalam bersenda-gurau, bukannya topik seperti ini. Itu adalah sebuah percakapan yang menarik dan terlalu sayang untuk tidak dibagikan sebagai buah pikiran, oleh karenanya saya tulis ulang di sini.

Wawa yang saleh, saat berperan sebagai Bathsheba di tahun 2007. 

Tentang kenapa sesuatu terjadi, meskipun pahit pengalamannya saat terjadi pada kita, semua yang buruk terjadi karena ada alasannya, hanya saja kita butuh waktu untuk menyadarinya dalam sudut pandang yang tepat. Pada awalnya mungkin kita merasa bahwa sesuatu yang menimpa kita ini sungguh tidak adil dan membingungkan, namun pada akhirnya kita akan mengerti setelah tiba waktunya. Jika hidup saya bisa dipakai sebagai indikasi, segala sesuatu yang buruk dan terjadi pada saya akhirnya membawa saya pada hari ini. Akan beda ceritanya kalau ini melenceng sedikit saja. Berdasarkan hal tersebut, jika sesuatu yang buruk terjadi, saya belajar untuk menerima dan mencari tahu, apa yang bisa dikerjakan selanjutnya. Percuma jika kita bertanya, "kenapa saya," sebab itu tidak akan membuat kita merasa lebih baik. Lagipula bertanya seperti itu tidak akan membuahkan jawaban apa-apa. 

Akan halnya kematian, cerita Wawa mencakup dua ujung spektrum yang bertolak belakang. Seseorang bisa saja sakit parah dan meninggal atau sehat-sehat saja sebelumnya, lantas meninggal begitu saja. Saya mengutip John Lennon saat itu, bahwa hidup adalah apa yang terjadi saat kita sibuk membuat rencana. Karena kita tidak pernah tahu kapan hidup kita berakhir, mungkin tidak sebaiknya kita terlalu khawatir tentang hal ini. Waktu yang kita dimiliki akan lebih berguna jika dimanfaatkan untuk mengejar impian. 

Dan dua hal tersebut akhirnya membawa kita ke dua pertanyaan terakhir yang saling berkaitan. Kenapa kita ada di sini? Apakah kita sebenarnya membuat perbedaan dengan keberadaan kita ini? Saya ingat bahwa menggunakan perumpamaan kalau kita di sini untuk meninggalkan sedikit lekukan di jagad raya ini. Mungkin saja ungkapan tersebut terlalu optimis, tapi walaupun kita tidak ditakdirkan untuk mengubah dunia, kita tetap saja menyentuh kehidupan orang-orang terdekat dan teman-teman kita. Meski kita hampir tidak pernah diberitahukan orang lain bahwa kita berarti bagi mereka, jangan pernah berhenti percaya bahwa sedikit banyak kita telah mengubah hidup mereka dengan apa yang kita ucapkan dan perbuat.

Tiga hal dalam tiga paragraf di atas terngiang-ngiang di benak saya sempai saat ini. Lega rasanya bisa menuangkannya dalam bentuk tulisan. Hmm, saya rasa saya sudah siap untuk ditraktir makan siang lagi...

Nasi goreng kampung, tampak atas. 

No comments:

Post a Comment