Total Pageviews

Translate

Thursday, September 14, 2017

The ASEAN Tour: Laos

Everybody has a wish list of countries that they'd like to visit. For me, Laos is always part of that list. I was curious about it because it seemed to be a quiet country that made almost no international news, especially when it was compared with its neighbours such as Myanmar or Cambodia. The fact that it is the only landlocked country in Southeast Asia only enhanced its charm. I had to visit the Laos and it eventually happened in 2010.

At Wattay International Airport, Vientiane.

It wasn't easy for us to get there back then. My Indonesian colleague Benny (who rushed to airport immediately after work) and I actually had to fly to Kuala Lumpur to catch the next flight to Vientiane. Upon arrival, I became aware for the first time that Indonesian passport was less powerful than Malaysian passport. A Malaysian in front of us could immediately get his passport stamped while we were redirected to do a visa on arrival. It was also at Wattay International Airport that I heard about the existence of Luang Prabang, another city in Laos that was known for its historical site. One would have to take a domestic flight to get there and, as it wasn't part of the plan, we didn't make it. Perhaps I'll return to Laos for Luang Prabang one day.

We took a cab from airport to the city center. It wasn't that far, actually, as it took only around 10 to 15 minutes to reach our hotel. Through the taxi ride, we had the first glimpse of Vientiane. It was unlike any capital city I had seen before. The roads were so quiet that even my hometown, Pontianak, looked more crowded than Vientiane. After exploring around on foot, we noticed that Swensen's was the only international food chain there. We didn't try that and we had the local food instead. Some of the cuisines were very French and they also used a lot of herbs. The pork knuckles were brilliant and Beerlao did help to wash the heavy meal down!

Benny taking his bike, as we were leaving Pha That Luang (the golden temple at the back).

On the second day we were there, we decided to rent a bike, so after putting the deposit of 20K kip (around SGD 3), we were cycling from one temple to another. It had been years since I rode one and it was fun to be on a bike again, but there were times when I was caught off guard by the sudden appearance of another vehicles in front of me. This was because they drove on the opposite direction while we were used to left-hand traffic.

We first visited Pha That Luang. The gilded temple was the biggest in Vientiane. It was nothing like the grand Angkor Wat, but it was quite alright. From there, we rode to Patuxai. This was something like the mini Arc de Triomphe or the Southeast Asian version of it. Wat Sisaket was the next destination and after that I lost track of other temples we visited, because they were plenty! Anyway, Benny and I had a walk along the great Mekong river after we returned the bikes. Just like everywhere else in Vientiane, it was also a bit quiet. There was this statue at riverside, seemed to be out of nowhere, perhaps it was part of the ongoing development plan of the waterfront.

Browsing at Talat Sao Mall

The last day we were there, we visited the one and only shopping centre (I can't remember if it was really Talat Sao Mall), a three storey and modest plaza in the capital city of Laos, just to buy some souvenirs. After that, on our way to Tha Naleng train station, we detoured a bit to Buddha Park. It was a very strange park that combined both Buddhism and Hinduism sculptures. From there, we headed to the train station and crossed to Nongkhai, Thailand, officially ending our visit to Laos. Sabaidee! Until we meet again, Laos!

The Reclining Buddha at Buddha Park. 

Tur ASEAN: Laos

Setiap orang memiliki daftar negara yang ingin dikunjunginya. Bagi saya, Laos adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang berada di daftar kunjungan ini. Saya selalu penasaran tentang Laos, sebab negara ini hampir tidak pernah terdengar beritanya di kancah internasional, apalagi jika dibandingkan dengan negara tetangganya, misalnya Myanmar atau Kamboja. Fakta bahwa Laos adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang tidak memiliki laut semakin membuat saya tertarik. Di tahun 2010, akhirnya saya berkelana ke Laos.

Di kala itu, tidak mudah bagi kami untuk berangkat ke Laos. Benny, kolega saya yang juga orang Indonesia, dan saya harus terbang dulu dari Singapura ke Kuala Lumpur, setelah itu baru naik pesawat berikutnya menuju Vientiane. Saat tiba di sana, untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa paspor Indonesia ternyata kalah saing dengan paspor Malaysia. Seorang warga Malaysia di depan kita bisa langsung dicap paspornya sedangkan kita diarahkan ke loket visa kedatangan. Sewaktu kita di bandara internasional Wattay, saya mendengar tentang keberadaan Luang Prabang, kota lain di Laos yang merupakan situs UNESCO. Untuk pergi ke sana, kita masih perlu naik penerbangan domestik. Karena kendala waktu dan bukan merupakan bagian dari rencana awal, kita tidak ke sana. Mungkin saya akan kembali lagi suatu hari nanti ke Laos untuk mengunjungi Luang Prabang.

Jalan di Vientiane yang luar biasa sepi untuk ukuran ibukota negara. 

Dari bandara ke pusat kota, kita menggunakan jasa taksi dengan durasi kurang lebih 15 menit untuk mencapai hotel. Sepanjang perjalanan, kita melihat Vientiane untuk pertama kalinya: benar-benar berbeda dengan ibukota negara-negara lain yang pernah saya kunjungi. Jalanan di sana sangat sepi, bahkan Pontianak terlihat lebih ramai. Setelah berjalan kaki di pusat kota, kami menyadari bahwa Swensen's adalah satu-satunya restoran internasional yang ada di kota ini. Selama berada di sana, kita mencoba makanan lokal. Citra rasa kuliner di Laos boleh dikatakan bergaya Perancis dan juga banyak memakai bumbu dari dedaunan. Pork knuckles-nya enak dan berbeda dengan yang biasa disajikan di restoran Jerman, cocok dimakan bersama Beerlao.

Di hari kedua, kita memutuskan untuk menyewa sepeda. Vientiane adalah kota kecil dengan kondisi jalan yang lengang, oleh karena itu tentunya enak dijelajahi dengan sepeda. Setelah memberikan jaminan sebesar 20.000 kip (atau sekitar 30.000 rupiah), kita akhirnya bersepeda dari satu tujuan ke tujuan lain. Sudah bertahun-tahun lamanya saya tidak mengendarai sepeda, jadi rasanya seru juga. Akan tetapi, dikarenakan arah lalu-lintas mereka yang terbalik dengan Indonesia, saya sering kali dikagetkan oleh kendaraan yang muncul di depan.

Mengamati Patuxai dari atas sepeda, hehe. 

Pertama-tama kita mengunjungi Pha That Luang. Kuil Buddha bersepuh emas ini adalah kuil terbesar di Vientiane. Walau tidak semegah Angkor Wat di Kamboja, kuil ini tetap memiliki daya tarik tersendiri. Dari sana, kita berpindah Patuxai, semacam gerbang yang mirip dengan Arc de Triomphe di Paris. Wat Sisaket adalah kuil yang kita kunjungi selanjutnya, setelah itu saya tidak ingat lagi nama-nama kuilnya karena terlalu banyak kuil di sana, haha. Setelah kita selesai dengan kuil dan mengembalikan sepeda, kita menyusuri pesisir sungai Mekong. Ada sebuah patung yang terkesan dibangun begitu saja di tepi sungai, tapi mungkin itu bagian dari rencana pembangunan tepi sungai. Seperti jalanannya, daerah ini pun sepi nian, hehe.

Pemandangan dari atas Patuxai.

Hari terakhir kita di Laos diisi dengan kunjungan ke satu-satunya pusat perbelanjaan berlantai tiga di Vientiane (saya tidak ingat apakah itu Talat Sao Mall atau bukan) untuk membeli cinderamata. Setelah itu, sewaktu kita menuju stasiun kereta api Tha Naleng, kita mampir sebentar ke Buddha Park. Taman yang agak aneh dan bernuansa mistis ini dipenuhi oleh patung-patung Buddha dan Hindu. Sejam kemudian, kita berangkat ke stasiun dan menyeberang dari sungai Mekong ke Nongkhai, Thailand, mengakhiri petualangan kita di Laos. Sabaidee, Laos! Sampai bertemu lagi!

Di stasiun kereta api Tha Naleng.


Tuesday, September 12, 2017

Supa Camp

(co-written with Bernard Lau)

I have this close friend of mine whom is a Singaporean and I have known him for more than a decade. As he is a couple of years older and a much smarter man than I am, I tend to look up to him like a big brother I never had. We do meet up on a regular basis and always have a lot to talk about, practically anything under the sun, from nonsense to way of life.

In my humble opinion, he is definitely one charming fellow, a grand master of hyperbole and exaggeration. He loves to integrate the word supa (This word is derived from popular Japanese animation called One Piece and was introduced by the human cyborg, Franky) into most of his sentences/phrases. It suits him well, for he always has so many fascinating stories to share and the word supa simply amplifies the creativity and imagination behind his stories. It was also through one of these stories that I came to know about the existence of this profound terminology called Supa Camp

Supa Camp is a way of life and the antithesis of Ultra Spends (while all these Singlish jargons may sound confusing, but all will be clear in the latter part of this article, so bear with me). To put things in perspestive, these two terms, Supa Camp & Ultra Spends, come as a close resemblance to the Yin & Yang philosophy. Having said that, before one can really understand the abstract meaning of Supa Camp, one has to know about the evil counterpart: Ultra Spends.

Ultra Spends is basically anything which concerns your expenditures and to certain extent, if uncontrolled, will lead to a life of a spendthrift and possibly edge closer to bankruptcy. In the case of my buddy, it is simply inevitable. Over the decade of our friendship, I had witnessed more than a couple of unfortunate life events which devastated his financial situation. He also carried the burden of being the only child as well as the sole breadwinner for his two ailing parents. Coming out through these events, there were several habits which he had indulged further such as food, booze, parties, holidays, gambling, etc. 

Initially, I expected that he would sooner or later overcome his setbacks and snap out of it. I think it was quite obvious that he was heading into troubles. Being a smart man himself, he was very much aware of the situation, too. Much to my surprise, he actually carried on with the extravagant activities, associating himself deeper and deeper into the abyss of Ultra Spends. It was puzzling and I was wondering why. We eventually discussed about it and the reason behind his actions was rather bizarre. It was a strange and convoluted logic, but not without good and intriguing explanation.

My friend told me that, close though we are as friends, it doesn't change the fact that me being an Indonesian and him being a Singaporean results in the two us having different sets of life values. This is the fundamental difference between us. When I first came to Singapore, the idea was to make a better living. My original priorities fixated in earning and saving as much as I could, therefore I subconsciously developed this constant reminder in me that I didn't come here to spend. Knowing fully well that I have a natural choice to return to my home country to retire for old age one day (although this subject is pretty much debatable these days, since both of my daughters were born and growing up here now), I don't conform to the lifestyle which the locals are doing.

The same can't be said about my friend's life because this is his home country. His whole life is bounded here and, by his own admission, he grew up conforming to the Ultra Spends lifestyle here. That being said, life in Singapore is indeed that peaceful and to the boundary of getting bored, so a little bit of booze will definitely help to generate some excitement and alleviate any stress. This delicate situation of Ultra Spends persisted for a couple of years and with him living in a state of denial, he was oblivious to his financial independence. Come one fine day where the gloomy clouds dispersed and the cold hard reality kicked back into his brain, this was when Supa Camp came into action. 

Supa Camp is simply a desperate act to adopt a series of extreme drastic measures in order to cut down on expenses. It is a self-imposed economic austerity. Some known actions involved: consuming the free cup noodles from company's pantry for lunch or dinner; having 6 pieces of kaya bread for dinner at home (three pieces each night); abstaining from all holiday trips; making known to all the friends that you do not have much money for Ultra Spends after paying off the usual family and personal commitments on monthly expenses; requesting for more Supa Chia (it means lavish treats regardless of lunch or dinner) sessions from some friends; and being home bound for almost everyday for free online dramas/animes.

The duration of Supa Camp exercise is pretty much dependent on how dire the economical situation is. In his case, several months of Supa Camp are likely to restore some life back to his balance of incomes and expenditures. One of the beauty perks of Supa Camp is that you will be sober and be practical for a long time. It's not without any downside, though. You may end up as a binge-watching addict that lacks of sleep and is zombified from the uncontrolled dramas/animes chasing through the late nights.  

The moral of the story is, living in a first world country does not mean anyone will be free from problems and worries. In fact, life can be more complicated, all thanks to the fast-paced and futuristic lifestyle here. There are always problems everywhere, and some, like the case study we have here, are genuinely self-inflicted. However, it is also good to know that there is always a way to counter that. And so, there you goes, the way of Supa Camp, which can be tailor-made to reach new heights of enlightenment in this modern world...

Yours Truly and Mr. Lau.

Supa Camp
(ditulis bersama Bernard Lau)

Saya memiliki seorang teman akrab berbangsa Singapura yang sudah saya kenal lebih dari sepuluh tahun lamanya. Karena dia beberapa tahun lebih tua dan tentunya lebih pintar, saya selalu memandangnya sebagai seorang abang yang tidak pernah saya miliki. Kita sering bertemu dan berbicara tentang apa saja, mulai dari banyolan hingga pandangan hidup.

Menurut pendapat saya, Bernard ini seorang yang memiliki kepribadian menarik. Dia jagonya hiperbola dan seringkali berlebihan sehingga terlihat lucu. Dia paling suka menambahkan kata supa (kata yang biasanya diucapkan oleh Franky dari serial One Piece) dalam setiap kalimatnya. Gaya bahasa ini cocok untuknya, sebab dia memiliki banyak cerita dan kata supa tepat sekali untuk membumbui kreativitas dan imajinasinya. Dari salah satu ceritanya inilah konsep Supa Camp terlahir. 

Supa Camp adalah gaya hidup sekaligus obat penawar dari Ultra Spends (ya, kadang Singlish memang semena-mena dan membingungkan, tapi semua ini akan jelas nanti, jadi baca saja terus). Sebagai perbandingan, Supa Camp & Ultra Spends itu tak ubahnya seperti Yin dan Yang. Oleh karena itu, sebelum seseorang bisa memahami Supa Camp, terlebih dahulu ia harus belajar tentang sisi jahatnya: Ultra Spends.  

Pada dasarnya, Ultra Spends adalah semua hal yang berkaitan dengan pengeluaran dan bila tidak terkontrol, bisa menjadi besar pasak daripada tiang atau bahkan menyebabkan kebangkrutan. Dalam kasus teman saya ini, boleh dikatakan Ultra Spends tidak bisa terelakkan olehnya. Selama lebih dari sepuluh tahun kita bersahabat, saya menyaksikan bagaimana beberapa kisah yang kurang menyenangkan menimpa hidupnya, membuat dia terjepit dalam masalah keuangan. Dia juga menanggung beban sebagai seorang anak tunggal dan satu-satunya pencari nafkah untuk kedua orang tuanya yang sakit-sakitan. Sebagai akibat dari berbagai peristiwa ini, timbul beberapa kebiasaan seperti hobi makan, minum minuman keras, pesta-pora, jalan ke luar negeri, berjudi dan lain sebagainya. 

Awalnya saya mengira dia akan bisa keluar dari masalah finansial ini. Saya rasa cukup jelas bahwa dengan gaya hidupnya ini, cepat atau lambat dia akan kesulitan keuangan. Sebagai orang yang cerdas, dia sendiri sadar akan situasinya. Yang mencengangkan adalah dia justru terjerumus semakin dalam ke jurang Ultra Spends. Ini sangat membingungkan dan saya tidak habis berpikir kenapa. Kita lantas berdiskusi dan alasan kenapa ia semakin terpuruk sungguh aneh tapi nyata. Logikanya campur-aduk, tapi memiliki penjelasan yang menarik untuk disimak. 

Bernard mengatakan kepada saya, walaupun kita adalah teman dekat, ini tidak mengubah kenyataan bahwa saya adalah orang Indonesia dan dia adalah orang Singapura. Dalam segi pemikiran dan gaya hidup, kita jelas berbeda. Ini adalah perbedaan paling mendasar di antara kita sebagai dua orang teman. Ketika saya pertama datang ke Singapura, tujuan saya adalah untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Prioritas utama saya ketika itu adalah mencari uang dan menabung, karena itu secara tidak sadar saya selalu mengingatkan diri saya sendiri bahwa saya tidak di sini untuk berfoya-foya. Adanya pemikiran bahwa suatu hari nanti saya akan pensiun di negeri sendiri (topik ini agak rumit sekarang, terutama karena dua anak saya lahir dan tumbuh di Singapura) membuat saya tidak mengikuti gaya hidup orang Singapura. 

Hal yang sama sayangnya tidak bisa diterapkan oleh teman saya karena dia adalah orang Singapura di negaranya sendiri. Seluruh hidupnya berakar di sini dan dia tumbuh, berpikir dan berpola hidup seperti orang Singapura pada umumnya, termasuk bergaya hidup Ultra Spends. Ini juga tidak lepas dari fakta bahwa Singapura adalah negara yang sangat aman sampai mendekati ambang batas membosankan, karena itu sedikit alkohol pasti membantu untuk menyegarkan suasana dan membuang stress. Terjebak dalam pola hidup seperti ini sementara dia terombang-ambing dengan berbagai peristiwa yang menimpanya, dia mengabaikan keadaan finansialnya. Ketika tiba harinya ia terbangun dari mimpi buruknya, dia tahu dia harus melakukan sesuatu. Di saat seperti inilah Supa Camp menjadi pedoman dan gaya hidup.

Supa Camp adalah aksi dalam mengambil beberapa langkah drastis yang ekstrim dalam rangka memotong anggaran pengeluaran. Dengan kata lain, ini adalah gerakan pengencangan ikat pinggang. Beberapa aksi nyata yang diambil adalah sebagai berikut: makan Pop Mie yang tersedia di kantor; makan enam potong roti srikaya sebagai santapan malam (tiga potong per malam); tidak keluar negeri; memastikan semua teman dekat tahu bahwa kita sedang tidak punya uang untuk Ultra Spends setelah membayar pengeluaran bulanan; meminta Supa Chia (ditraktir baik makan siang maupun malam) dari teman; dan tinggal di rumah setiap sehari, sepulang dari kantor, untuk menyaksikan drama atau anime gratis. 

Durasi Supa Camp tergantung dari seberapa kritisnya situasi ekonomi yang sedang terjadi. Dalam kasus teman saya ini, beberapa bulan Supa Camp bisa membantu memulihkan situasi ekonominya. Keunggulan dari Supa Camp antara lain adalah, pelakunya cenderung sangat waras karena tidak mabuk oleh alkohol dalam waktu yang lama. Ini lantas tidak berarti bahwa Supa Camp tidak memiliki kekurangan. Pelaku Supa Camp sangat mungkin menjadi pecandu film drama dan anime dan kurang tidur akibat menonton hingga larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. 

Moral dari cerita adalah, tinggal di negara maju tidak berarti kita bebas dari masalah. Justru sebaliknya, hidup bisa menjadi lebih rumit karena dampak kemajuan teknologi dan cepatnya kehidupan di sini. Masalah selalu ada di mana-mana dan, dalam studi banding kita ini, kasus ini adalah karena ulah sendiri. Akan tetapi untungnya kita ada cara untuk mengatasinya. Kita persembahkan di sini, Supa Camp, gaya hidup yang bisa membantu seseorang mencapai pencerahan di dunia modern...  





Sunday, September 10, 2017

When She Calls

My daughter cried just now when I was about to leave home. It was Saturday night and she didn't understand why I had to go back to office. As I tried to explain to her why, it felt good knowing that my daughter needed her father, but at the same time it was heart wrenching to see her weep.

Linda is five now. She is at this stage where she will run towards the door when I'm home and wave me goodbye as I go to work. Sometimes, as she stand at the door until I walk into the lift, she will shout from afar, "I love you, Papa." When I'm not home yet, she often uses the video-call feature on her Mum's phone to call and ask why I haven't come home yet. She did that when I was on overseas trips, too. That’s how lovely she is and how blessed I am.

She has grown up a lot and, while she still retains her childlike innocence, that tiny little brain is much smarter than before now. I always find it amusing when she has this inquisitive look and then proceeds to ask if I was kidding. This means she actually starts thinking and is able to digest what I just said when she hears me saying things that don't make sense (oh yeah, being nonsensical is my job, because her Mum is a serious person).

Making funny faces!

Linda is also very talkative and she asks many questions these days. However, of all the questions that she asks, there is one that leaves a lasting impression in my mind. That's when she asks if I will play dolls with her once I finish doing my stuff, be it office work or writing. It is a very touching and understanding request that every time I say no (like the other day, when there was an IT production issue), I feel like an asshole.

More importantly, there is also a hidden meaning that she herself may not realize it: the fact that she's not going to stay this age forever. There'll be days when she grows up and needs her Papa less. By then, I may not hear that question again. When that day comes, she may say no even if I volunteer to play with her, because that one moment in life has passed, the relationship has changed and it's no longer relevant.

Slipping through my fingers.

At times like this, I remember a song from ABBA called Slipping Through My Fingers. The lyrics are poignant, telling us about the feeling of a parent as he/she watches the daughter growing up. The song was so well written and I especially like these particular lines: Each time I think I'm close to knowing, she keeps on growing.

Not even money can buy back the time we missed and things we didn't do. I always believe that by the end of the day, what we have are memories. The time we have together definitely means a lot to me, therefore it's only fair that I'll also make it a mission to give her the quality time she'll treasure one day: that once in her life, she ever had a father that did with her all the childish stuff in her childhood, carried her when she was tired, hugged her and be her first shoulder to cry on when she was sad and told her that things were going to be alright...

Who else that will hold her hands to explore the world, if not her Papa?


Ketika Dia Memanggil

Putri saya menangis tadi, ketika saya hendak meninggalkan rumah. Hari ini adalah hari Sabtu dan dia tidak mengerti kenapa saya harus kembali ke kantor di malam hari. Sewaktu saya jelaskan alasannnya, ada rasa haru karena menjadi seorang ayah yang dibutuhkan anaknya, tapi di satu sisi, pilu juga rasanya melihat dia menangis. 

Linda sudah berumur lima tahun sekarang. Dia sekarang sering berlari ke pintu ketika saya pulang ke rumah dan juga akan melambai mengucapkan selamat tinggal ketika saya berangkat kerja. Saat dia berdiri di depan pintu dan melihat dari kejauhan sampai saya masuk ke dalam lift, terkadang dia tiba-tiba berteriak, "saya menyayangi kamu, Papa." Bilamana saya belum pulang, dia sering menggunakan fitur panggilan video di handphone ibunya untuk menghubungi saya dan bertanya, kenapa saya belum pulang. Dia juga melakukan hal yang sama tatkala saya berada di luar negeri. Sungguh dia anak yang manis dan saya merasa bersyukur menjadi ayahnya.

Dia sekarang sudah tumbuh lebih dewasa dari sebelumnya. Meski dia masih tetap polos, dia jauh lebih cerdas dari setahun sebelumnya. Saya selalu tersenyum ketika dia bertanya dengan tatapan menyelidik, apakah saya sedang bercanda. Ini berarti dia mulai berpikir dan mampu mencerna apa yang baru saja saya katakan, apakah itu masuk akal atau tidak (oh ya, menjadi orang tua yang konyol adalah tugas saya karena ibunya terlalu serius).

Main air di Bintan.

Linda sangat ceriwis dan banyak bertanya sekarang. Akan tetapi, dari semua pertanyaannya, ada satu yang benar-benar berkesan di benak dan hati saya. Ini adalah ketika dia bertanya apakah saya bisa bermain boneka bersamanya setelah saya selesai dengan pekerjaan saya, entah itu pekerjaan kantor atau menulis. Pertanyaan yang lugu itu sangat menyentuh. Setiap kali saya berkata tidak (misalnya tempo hari, ketika ada masalah di kantor sehingga saya harus kerjakan dari rumah di malam hari), saya merasa seperti ayah paling buruk di dunia.

Lebih penting lagi, sebenarnya ada arti tersembunyi dari pertanyaan tersebut yang tidak dipahami bahkan oleh dirinya sendiri: fakta bahwa dia tidak selamanya berumur lima tahun. Akan ada hari di mana dia tumbuh kian dewasa dan tidak lagi terlalu membutuhkan Papanya. Di saat itu, mungkin saya tidak akan mendengar pertanyaan tersebut lagi. Tatkala hari itu tiba, dia bahkan mungkin berkata tidak walaupun saya dengan sukarela menyempatkan waktu untuk bermain dengannya. Ini tidaklah aneh, sebab momennya sudah lewat, hubungan ayah dan anak pun sudah berubah menjadi lebih dewasa, sehingga tidak lagi relevan untuk bermain boneka bersama.

Dalam pelukan papa.

Di saat seperti ini, saya sering teringat dengan lagu ABBA yang berjudul Slipping Through My Fingers. Liriknya sungguh mengena, bercerita tentang perasaan orang tua yang menyaksikan anaknya tumbuh dewasa. Saya suka penggalan lirik ini: Each time I think I'm close to knowingshe keeps on growing. Saat saya merasa mulai mengenalnya, dia lantas tumbuh menjadi lebih dewasa lagi.

Bahkan uang pun tidak membeli kembali waktu yang terbuang dan hal yang tidak kita kerjakan bersama anak kita. Saya selalu percaya bahwa jauh setelah semua ini berlalu, yang tersisa hanyalah kenangan. Sewaktu saya bersama Linda, saya mengingatnya sebagai bagian terbaik dalam hidup saya, maka dari itu saya pun harus berusaha untuk memberikan waktu baginya, waktu yang suatu hari nanti akan ia kenang kembali, bahwa suatu ketika di dalam hidupnya, dia memiliki Papa yang bersamanya melakukan semua hal yang kekanak-kanakan di masa kanak-kanaknya, Papa yang menggendongnya ketika dia lelah berjalan, Papa yang memeluknya ketika ia sedih dan menangis, lalu berkata padanya bahwa semua akan baik-baik saja...

Papa akan gendong sampai tidak sanggup lagi, suatu hari nanti.



Friday, September 8, 2017

Starr Time!

Many of us have our own favorite group band, but do we actually know who the drummer is? Now, if I change the question a bit, do we ever notice the man behind the drum kit and think that the guy really rocks? Unless you are a fellow drummer, chances are you don't really care who that guy is. Drummer is such an obscure role that is often overshadowed by others such as lead vocalist or guitarist. For example, how many of us here ever heard of Buddy Rich?

The fate of drummers would have stayed that way if not for Ringo Starr. Say all you like about his drumming skills, but it's not going to change the fact that he was there on a raised platform, playing drums with the most popular band in the world. For the first time ever, a drummer was seen by the world, not as a guy who made some noise at the back, but as an equal in a band. On top of that, there was Starr Time where Ringo would perform his one song quota per concert while sitting behind his kit and maintaining the beat. Thanks to Ringo, suddenly a drummer was cool. He paved the way for many after him. I think it's safe to that after Ringo hit the big time, people started paying attention to the likes of Charlie Watts, Keith Moon, Ginger Baker, etc.

World's Great Drummers Salute Ringo Starr
Video credit: Rock & Roll Hall of Fame

Oh, just in case you still have no idea whom I was talking about, he was Ringo Starr of the Beatles. The group had disbanded almost 50 years ago, but that turned out to be fine, because being an ex-Beatle is like having a really high privilege in music world, perhaps only one rank below the King of Rock n' Roll. While there used to be four of them, now we have only two left, so yeah, it's really a big deal. But that royal title aside, it was the man himself that inspired many of us, including your truly.

The thing with the Beatles is, while the four members are equally charming, there are always moments in life when you feel that you can relate with one better than the other. With Ringo, it's always his good nature that is endearing. He's smart, funny, confident and yet humble at the same time, knowing well that he's an ex-Beatle, but comfortable enough to be himself. I'm not just saying it because I am a fan. You can always check it out on YouTube, just search for his interviews, be it with Ellen Degeneres or other talk show hosts.

In Liverpool, drumming 101 with Ringo!

Back in the days, when he was riding high on the toppermost of the poppermost, he sang stuff like Act Naturally and With a Little Help from My Friends. Coming from him, not only the lyrics sounded very convincing, but they also meant a lot to his fans. He's not multi-talented like his bandmate Paul McCartney, but perhaps he doesn't have to, for he certainly gets by with a little help from his friends.

I tend to think that only the Beatles could bring out his best in drumming, but that doesn't mean that he doesn't have a good solo career. Time Takes Time, my first Ringo album, is my favorite. I found the cassette in Kenyalang, Kuching, when I visited the city with Parno (I think the guide was Jimmy, because Endrico failed to appear until much later on). The album opens with Weight of the World, a good song with delicious drumming and brilliant lyrics (totally love these lines: Maybe I haven't always been there just for you; Maybe I try but then I got my own life, too), definitely an album with all killers and no fillers. VH1 Storytellers is also another favorite. This was Ringo playing live in an intimate environment, where he also told the story behind each song in a relaxed and humorous manner. Very lovely, very underrated recording.

Weight of the World - Time Takes Time.

And at age 77, Ringo still shows no sign of retiring. His new album, Give More Love, will be released soon on September 15, 2017.  I've pre-ordered mine, of course, haha. Based on his recent outputs, I have doubts that it will be a chart topping album, but I don't think that's really relevant here. What we'll get for sure is another Ringo album, one where we can listen to his love for rock n' roll and the fun he had while he was making it. Peace and love!



Waktunya Ringo!

Banyak dari kita yang memiliki grup band favorit, tapi kenalkah kita yang dengan pemain drumnya? Kalau saya ganti pertanyaannya sedikit, apa pernah kita memperhatikan pemain yang duduk di belakang drum ini dan berpikir bahwa orang ini memang handal? Rasanya hanya sedikit yang peduli. Penabuh drum itu profesi yang seringkali kalah pamor dari anggota band lainnya, misalnya vokalis atau gitaris. Sebagai contoh, seberapa banyak yang kenal dengan Buddy Rich?

Jika bukan karena Ringo Starr, mungkin para pemain drum akan selamanya tidak dikenal. Orang bisa berpendapat apa saja tentang kemampuan Ringo, tapi itu tidak akan mengubah fakta bahwa dia duduk di atas panggung yang tinggi, bermain drum bersama grup paling populer di dunia. Ketika Ringo tampil, untuk pertama kalinya dunia menyaksikan seorang pemain drum, bukan sebagai pembuat gaduh di belakang, tetapi anggota dari sebuah band. Yang lebih unik lagi, Ringo memiliki kuota satu lagu per konser, dimana ia bernyanyi sambil memainkan drum. Berkat Ringo, drummer akhirnya menjadi profesi yang bergengsi. Dia membuka jalan bagi para penabuh drum yang muncul belakangan. Ketika Ringo sukses, para penonton pun mulai memperhatikan pemain lain seperti Charlie Watts, Keith Moon atau Ginger Baker.


<
Ringo Starr memberikan demonstrasi drum dari lagu Ticket to Ride dan lain-lain.
Video credit: Dato1955

Oh, kalau anda masih belum mengerti siapa yang saya maksudkan di sini, dia adalah Ringo Starr dari the Beatles. Grup ini sudah bubar hampir 50 tahun yang lalu, tapi hasil akhirnya tetap saja positif, sebagai menjadi ex-Beatle itu memiliki nilai tersendiri di dunia musik, mungkin posisinya hanya satu tingkat di bawah Raja Rock n' Roll. Dulunya ada empat mantan Beatles di dunia ini, namun sekarang hanya tersisa dua, jadi, benar-benar langka. Meski begitu, yang benar-benar penting adalah bagaimana Ringo memberikan inspirasi pada begitu banyak orang, termasuk saya.  

Yang menarik untuk dicatat tentang the Beatles adalah, walau keempat anggotanya memiliki daya tarik masing-masing, selalu saja ada saat di dalam hidup di mana seorang penggemar merasa lebih dekat dengan yang satu daripada yang lain. Bicara tentang Ringo, dia pintar, lucu dan percaya diri, tetapi juga rendah hati. Dia jelas paham posisi pentingnya sebagai seorang ex-Beatle, tetapi dia juga cukup santai untuk menjadi dirinya sendiri. Saya tidak berkata seperti ini hanya karena saya adalah seorang penggemar. Anda bisa lihat sendiri di YouTube. Cari saja wawancaranya, baik oleh Ellen Degeneres atau pembawa acara obrolan yang lain.

Bertahun-tahun silam, ketika dia masih menjadi anggota the Beatles, dia menyanyikan lagu-lagu seperti Act Naturally dan With a Little Help from My Friends. Karena dia adalah Ringo, lirik yang dinyanyikannya bukan saja terdengar meyakinkan, tetapi juga sangat berarti bagi para penggemarnya. Perlu dipahami bahwa dia hanya seorang pemain drum dan bukan musisi yang paling berbakat seperti rekannya, Paul McCartney, tapi justru karena itulah With a Little Help from My Friends menjadi masuk akal.

Parno menyanyikan lagu Act Naturally di reuni 2014. 

Saya sering merasa bahwa hanya the Beatles yang memberikan cukup tantangan baginya untuk memberikan permainan drum terbaik, tetapi itu tidak berarti dia mempunyai karir yang bagus ketika the Beatles bubar. Time Takes Time, album Ringo saya yang pertama, adalah album favorit saya juga. Saya menemukan kasetnya di Kenyalang, Kuching, ketika saya mengunjungi kota tersebut bersama Parno (kalau tidak salah ingat, saat itu yang menemani kita adalah Jimmy, sebab Endrico baru muncul setelah malam tiba). Album ini mulai dengan Weight of the World, lagu bagus dengan permainan drums yang cantik dan lirik yang cerdas (saya suka bagian ini: Maybe I haven't always been there just for you; Maybe I try but then I got my own life, too), benar-benar album dengan lagu-lagu yang terseleksi dengan baik. Album lainnya, VH1 Storytellers, juga album yang menarik. Ringo tampil di pentas yang dekat dengan penonton dan dia berkisah tentang cerita yang melatarbelakangi lagu yang dimainkannya. 

Dan di usianya yang ke-77, Ringo masih belum menunjukkan tanda-tanda akan pensiun. Album barunya, Give More Love, akan segera dirilis tanggal 15 September ini. Saya sudah memesan satu dari amazon.com, haha. Ditinjau dari beberapa album terakhirnya, saya tidak yakin bahwa ini akan menjadi album nomor satu, tapi saya rasa ini tidaklah relevan. Yang bisa saya pastikan adalah, kita akan mendapatkan sebuah album Ringo, dimana kita bisa mendengarkan kecintaannya pada rock n' roll dan kegembiraan yang ia rasakan selama pembuatan albumnya. Seperti kata Ringo, peace and love!

Give More Love, album terbaru Ringo.







Tuesday, September 5, 2017

That Comedy Show

I finished That '70s Show recently, the third sitcom I ever completed so far. At first, because I'd heard about it many times, I thought of having a peek at one episode just to satisfy my curiosity. However, it was so good that I was hooked on it immediately. The casting and characterization were right from the beginning. When the show first started, Eric, Donna, Hyde, Kelso, Jackie and Fez (a foreign kid with an unknown origin, haha) were unbelievably young, they definitely cut it as high school students. That aside, the series actually featured the parents prominently and I was surprised that I was okay with that. In fact, I think the coolest character of the show was Red Forman. I was very much impressed that the bad guy in RoboCop could be that funny. The only problem I had with That '70s Show was how it was marred by the problem of actors leaving the show. Even the main character, Eric Forman, left and only came back for a good 10 minutes on the last episode. Anyway, it was a small issue as compared with the fun I had throughout that '70s ride. 

Since That '70s Show was the third, what was the first, then? Well, I got a long history with sitcom and it was started with Friends. Still the greatest show on earth, I guess. My friend Ardian and I watched it during our college days in Pontianak and it was constantly discussed and heavily referenced in our conversation. I watched the latter half of the series, including the last one, in Jakarta, sharing the fun with my colleague Rusli this time. Then we were Pheng iuthe Teochew version of Friends, and as a bunch of bachelors living together in Singapore, we would spent time watching the rerun of Friends (oh yeah, we reran it ourselves, as I owned the complete set) at night in our living room. Years later, Emily, a name of my favorite character in Friends, ended up as the middle name of my daughter. 

Friends and How I Met Your Mother.

What's so special about Friends that it was deeply entrenched in me? Well, the show was about the hilarious and lovely friends (Joey and Chandler were the funniest, Phoebe was weird, Monica was loud and we rooted for the love story between Ross and Rachel) as they went thru stages in life, certainly something that I could relate with. Another plus point that I always loved from Friends was the friendly hugging, something that we Asians don't normally do. The simple gesture went along way to show that as friends, after things are said and done, we forgive and forget. It was in line with what the theme song was singing about: I'll be there for you.

After Friends, the next one that came into the picture was How I Met Your Mother. While the title might not sound convincing, it did convey the whole premise of the show: one long story about how the titular character, Ted, together with Barney, Robin, Marshall and Lily, met the mother. It was like an updated and modernized version of Friends, with Ted and Robin filling in the shoes of Ross and Rachel. Also worth mentioning is Neil Patrick Harris as Barney Stinson, whose performance was legen... wait for it... dary! He was just awesome, thanks to his over-the-top antics, the Playbook, Bro Code and so forth. He was also inspirational. I mean, only Barney could say stuff like, "when I get sad, I stop being sad and be awesome instead." As crazy as it sounded, I actually laughed and agreed with that. While it didn't say I'll be there for you, it was definitely brimming with optimism.

Now, as I wrote this, I realized that what interesting here is the thin red line among those three. While I was progressing up and down from a bunch of friends who hung out at the cafe, drinking coffee (Friends) to a bunch of friends who hung out at the bar, drinking beer (How I Met Your Mother), to a bunch of friends who hung out at the basement and weren't old enough to drink beer (That '70s Show), the idea behind it remains the same. All of them were about the friendship, the love and the fun in life. If a person's character is ever defined by what one likes, watches and is influenced by, this may explain why I am who I am today...


Pertunjukan Komedi Itu

That '70s Show adalah sitcom ketiga yang saya tonton sampai habis baru-baru ini. Pada mulanya, saya cuma coba-coba satu episode untuk menghilangkan rasa penasaran saya, terutama karena saya sering mendengar tentang serial komedi ini. Setelah menyelesaikan satu judul pertama, ternyata saya malah menjadi ketagihan. Para aktor yang membintangi seri ini sangat pas dalam memerankan karakternya. Eric, Donna, Hyde, Kelso, Jackie dan Fez (pelajar asing yang tidak jelas asal-usulnya, haha) masih sangat muda di awal cerita, sehingga terlihat meyakinkan sebagai murid SMA. Di samping itu, serial ini juga unik karena menampilkan para orang tua secara konstan sebagai bagian dari setiap cerita. Saya tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya, tetapi saya ternyata menyukainya dan favorit saya adalah Red Forman. Pemerannya adalah orang yang membintangi penjahat di film RoboCop dan saya sangat terkesan bahwa dia bisa melucu dalam perannya yang tegas sebagai seorang ayah. Jika ada kekurangan That '70s Show, maka itu adalah masalah perginya aktor-aktor dari serial tersebut. Bahkan tokoh utamanya, Eric Forman, pergi dan kembali hanya untuk 10 menit di episode terakhir. Untung saja secara keseluruhan ceritanya masih tetap memikat. 

Nah, jika That '70s Show adalah yang ketiga, apa judul sitcom pertama yang pernah saya tonton? Saya telah menonton sitcom sejak puluhan tahun silam, dimulai dari Friends. Sewaktu kuliah di Pontianak, saya dan teman saya Ardian mengikuti serial ini dan kita sering berbagi cerita yang telah kita tonton. Ketika saya pindah ke Jakarta, saya lanjut menonton Friends hingga usai, kali ini bersama Rusli, kolega saya. Setelah itu, sebagai bagian dari kumpulan bujangan yang tinggal serumah di Singapura, kita secara kolektif bahkan sempat memerankan Pheng iuFriends versi Tiochiu. Di malam harinya, kita akan berkumpul di ruang tamu untuk menyaksikan pemutaran ulang serial Friends (oh ya, kita putar ulang sendiri, karena saya memiliki DVD Friends, satu set komplit). Bertahun-tahun kemudian, saya menamai anak saya Emily berdasarkan karakter favorit saya di Friends. 

That '70s Show di Netflix

Sebenarnya apa yang istimewa dari Friends sehingga serial ini benar-benar mengakar pada diri saya? Saya rasa karena topik yang diangkat, dimana serial ini menyoroti kehidupan enam orang sahabat yang lucu dan benar-benar dekat satu sama lain. Ada Joey dan Chandler yang paling lucu, Phoebe yang nyentrik, Monica yang nyaring dan tentu saja Ross dan Rachel, pasangan ideal. Bersama-sama mereka mengarungi setiap jenjang kehidupan, sesuatu yang tentunya relevan buat saya. Hal lainnya yang menarik dari Friends adalah budaya mereka dalam berpelukan sebagai teman, sesuatu yang jarang dilakukan oleh orang Asia. Saya selalu merasa bahwa cara menunjukkan simpati yang sederhana ini sebenarnya sangat luar biasa dampaknya, dimana setelah kita bersalah baik dalam perkataan maupun perbuatan, kita memaafkan dan melupakannya. Ini juga jelas senada dengan tema yang diusung di lagunya, bahwa saya akan selalu hadir untukmu.

Setelah Friends, yang saya tonton berikutnya adalah How I Met Your Mother. Walau terdengar konyol, judul ini betul-betul mewakili inti dari serial tersebut: satu cerita panjang dimana tokoh utamanya, Ted, bersama-sama dengan Barney, Robin, Marshall dan Lily, bertemu dengan Sang Ibu. Serial ini bagaikan versi baru dan modern dari Friends, dimana Ted dan Robin seperti menggantikan peran Ross dan Rachel. Yang juga wajib disebutkan di sini adalah akting Neil Patrick Harris sebagai Barney Stinson yang legendaris. Dia bukan saja luar biasa lucu di sini, tapi juga inspirasional. Hanya Barney yang bisa berkata, "ketika saya sedih, saya berhenti merasa sedih dan memilih untuk merasa keren." Walau kedengarannya gila, tapi kalau Barney yang berucap, rasanya bisa dimaklumi dan susah dibantah. Dengan segala kekonyolannya, serial ini sungguh terasa optimis. 

Sekarang, selagi saya menulis ini, saya jadi menyadari adanya benang merah antara tiga serial ini. Bermula dari sekumpulan teman yang nongkrong di kafe dan minum kopi (Friends), saya lanjut dengan sekumpulan teman yang nongkrong di bar dan minum bir (How I Met Your Mother) dan sekumpulan teman yang nongkrong di ruang bawah tanah dan masih terlalu muda untuk minum bir (That '70s Show), namun ide yang melatarbelakangi semua ini selalu sama. Semuanya selalu bercerita dengan persahabatan, cinta dan kegembiraan dalam hidup. Jika karakter seseorang sedikit banyak ditentukan dari apa yang ia sukai, ia tonton dan apa yang mempengaruhinya, mungkin ini bisa menjelaskan kenapa karakter saya seperti ini...

Saturday, September 2, 2017

The Divine Intervention

You know the saying that God works in a mysterious way? I think I had such an experience. Mind you, by my own admission, I'm not a very religious person. In life, I quote Lennon-McCartney better than I quote Bible. That, apparently, doesn't mean that I am not part of His greater plan. This is the story where He used me to deliver His plan. Personally, the role was like less as a messenger but more of as a middle man. It was revealed to me much later on as hindsight, that I was part of a beautiful love story written by Him in a way only He could do.

It began as a day in a life for me, where I was struck by ideas. It was quite common for me to be brimming with ideas, where some would then be realized and some would stay forever as ideas. On that occasion, I was thinking of a road trip with old friends to meet some old friends that lived on a road less traveled. Once I made a simple plan for our trip to Bekasi and Karawang, I posted the event on Facebook page and see how it went. At the same time, I nudged them all the time on our alumni chat group. Eventually I formed a gang of seven, consisting of some familiar faces, some that I hadn't seen in years and one that I never met before until the existence of Whatsapp. Three of them were already in Jakarta, alright, but as I flew in from Singapore, the other three also made their way from other towns, namely Bogor, Pontianak and Ketapang.

The day that started all.
Picture credit: Endrico Richard

We had a small gathering of perhaps around 20 people the night before our departure, just friends having dinners and talked about our lives for the past 18 years, since the day we left high school. That was a fun prelude before the trip! Then, on the following morning, we began our ride. I was on the driver seat, driving with a rusty skill and an outdated memory about the roads in Jakarta. The traffic jam was killing my knee, as I had this bad habit of stepping on the clutch pedal to switch gears very often. A painful ride though it was, the trouble was worth it, because after few hours, we eventually arrived at the house of our long lost friend.

The road trip team members, four out of seven.

Now, if I could trust my instinct, this was the very first time our main characters met. Prior to this, I believe there was no interaction whatsoever between the two, because they never crossed path, be it at school or after graduation, and they lived worlds apart from each other. Anyway, let me introduce them first: she was our host, a beautiful woman from who had gone through some of the toughest things in life. The man beneath the scruffy look was formerly a close friend of mine in high school and during the first year of college before we sort of drifted apart as years went by. He was easily one of the nicest, most polite, and gentlemanly guy around (he got the best handwriting ever for a man!), albeit a bit quiet and definitely not the loudmouth, rock n' roll type like me.

I remember her saying that she never thought we would really make it, because after all these years, only her closest friend ever visited her once or twice. After having no visitors for the longest time, it was a very unprecedented lovely surprise that our gang arrived at her doorstep. I remember having few slices of nice pudding as I observed a living room full of cheerful friends, where what was a seemingly casual conversation between the two took place (she asked what he was doing and he said he was in the same construction materials business as her). There was nothing unusual about it, certainly not a love at first sight if you asked me, but hey, what did I know? Haha. We had an early dinner afterwards and off we went for the second leg of our journey to Karawang.

Fast forward to months later, we started hearing that some friends spotted the two of them together, but as curious as I was, I thought of not saying anything until they told us themselves, just to give them some privacy. And that they eventually did. In early June this year, roughly a year after they first met, each of the road trip member received a personal wedding e-invitation. I jokingly told the rest that I almost spit out my spaghetti during my lunch time as I was so surprised by it and they mockingly replied that I simply couldn't accept it because I was jealous.

But I wasn't jealous, of course. On the contrary, I was very much amused, because it got me thinking, so all this wouldn't happen if I didn't plan the trip in the first place? As tempting as it sounds, I don't think I want to claim that credit. I am not that great, anyway. For the fact that I never guessed the two would end up together, it only goes to show that what we did was only the first part of the divine intervention. For some strange reason, I was used by Him to bring them, the two souls made in heaven, together on this earth. The others and I were were chosen to take part and witness the unknown beginning of the story that was unraveled to us a year later.

It was a beautiful love story. It's also a privilege to be a part of the blessing. I'm excited for them and I hope you can feel it, too, through this writing. Let's join me in wishing them a happy life ahead...

Early dinner at Bebek Kaleyo, the spiciest duck ever, before heading to Karawang.

Kuasa Yang Di Atas

Saya sering mendengar bahwa Tuhan bekerja secara misterius. Secara pribadi, saya rasa saya tidaklah terlalu religius. Di dalam hidup ini, terus-terang saya lebih mahir mengutip lirik Lennon-McCartney daripada ayat kitab suci. Akan tetapi, meski saya memiliki kekurangan, ini ternyata tidak berarti bahwa saya tidak dipakai Tuhan untuk rencana-Nya. Cerita berikut ini adalah cerita yang, menurut saya, mengisahkan bagaimana saya dan teman-teman berpartisipasi dalam rencana Yang Maha Kuasa. Ketika itu saya sama sekali tidak tahu, terlebih lagi karena peran saya yang lebih mirip perantara daripada pembawa pesan. Setelah saya lihat kembali, barulah saya tahu bahwa saya adalah bagian dari kisah cinta yang ditulis oleh Tuhan menurut kehendak-Nya.

Semua ini bermula seperti hari biasa, dimana saya selalu memiliki beberapa ide yang saya pikir bisa diwujudkan. Pada kesempatan itu, terbersit di benak saya bahwa mungkin saya bisa melakukan perjalanan darat bersama teman-teman lama dan mengunjungi mereka yang sudah lama tidak ditemui. Sesudah saya membuat sebuah rencana sederhana (kumpul, makan malam, berangkat besok pagi, singgah di Bekasi dan menginap semalam di Karawang), saya membuat event di halaman Facebook alumni angkatan '98. Kemudian, sambil menjelang hari-H, saya berulang kali menyinggung acara dalam berbagai kesempatan di chat grup alumni. Pada akhirnya terbentuklah anggota perjalanan yang cukup untuk satu mobil, dengan komposisi berikut: tiga teman yang masih sering bertegur-sapa, dua teman yang sudah lama tidak berjumpa dan satu teman yang sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan saya sampai kita bertemu di grup Whatsapp. Tiga dari mereka memang sudah tinggal di Jakarta, namun tiga yang lain datang dari Bogor, Pontianak dan Ketapang hampir bersamaan waktu dengan saya yang terbang dari Singapura menuju Jakarta.

Alumni angkatan '98.

Setibanya di Jakarta, kita makan malam di Sun City. Sekitar 20an alumni berkumpul dan berbagi kisah selama 18 tahun terakhir, terhitung sejak kita lulus SMA. Senang rasanya bisa berkumpul lagi! Kemudian, keesokan harinya, kita pun memulai perjalanan. Saya berada di kursi pengemudi, menyetir lagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dengan ingatan yang memudar tentang jalan-jalan di Jakarta. Macetnya perjalanan sungguh menyiksa lutut saya karena kebiasaan buruk saya dalam menginjak kopling selama mengendarai mobil, tapi upaya yang kita tempuh akhirnya terasa membuahkan hasil saat kita akhirnya tiba di rumah teman lama yang sudah puluhan tahun tidak berjumpa.

Walau saya tidak tahu pasti, saya selalu berpikir bahwa inilah pertama kalinya pemeran utama kita saling bertemu. Sebelum ini, saya rasa mereka hampir tidak mengenal satu sama lain dan saya berasumsi bahwa mereka tidak pernah berinteraksi di masa sekolah dan setelah lulus. Oh ya, mari saya perkenalkan mereka dulu: tuan rumah yang kita kunjungi adalah seorang wanita tegar yang sudah menjalani berbagai cobaan hidup, sedangkan sang pria adalah seorang lelaki yang sopan, baik dan tipe pria sejati (dengan tulisan tangan pria yang paling bagus yang pernah saya lihat!), namun tergolong pendiam.

Saya ingat ketika tuan rumah kita berujar bawah dia tidak pernah menyangka bahwa kita benar-benar akan berkunjung, soalnya setelah bertahun-tahun lamanya, hanya seorang sahabat karibnya yang pernah mampir. Setelah lama tidak dihampiri tamu, kunjungan kita seakan sulit dipercaya. Saya juga ingat saat saya menyantap beberapa potong puding sambil mengamati wajah-wajah ceria di ruang tamu, tempat yang sama dimana percakapan antara kedua tokoh utama ini terjadi (sang wanita bertanya apa pekerjaannya dan sang pria menjawab bahwa dia juga mengurus toko bangunan). Tidak ada yang istimewa dari perbincangan mereka, jadi saya tidak memiliki kesan bahwa itu adalah cinta pada pandangan pertama. Akan tetapi saya memang sering salah menduga, jadi anggap saja saya memang tidak becus dalam menilai, haha. Sesudah itu, kita pun berangkat untuk makan malam dan melanjutkan petualangan ke Karawang.

Beberapa bulan kemudian, kita mulai mendengar berita dari teman-teman lain yang konon melihat mereka berdua. Walau saya juga penasaran, sekali ini saya diam saja untuk memberikan pasangan ini privasi sampai mereka sendiri siap untuk memberikan kabar gembira pada kita. Akhirnya, awal Juni tahun ini, mereka mengirimkan undangan nikah kepada setiap anggota tim Karawang. Setelah undangan saya terima, sambil bercanda saya katakan bahwa spaghetti yang saya makan pas jam makan siang hampir saja muncrat karena berita heboh ini. Teman-teman tim Karawang pun dengan iseng menggoda bahwa itu karena saya iri dan tidak bisa terima.

Tentu saja saya tidak iri. Bahkan sebaliknya, saya sangat terkesan, sebab saya jadi berpikir betapa menariknya hidup, bahkan yang seperti ini pun bisa terjadi. Saya membayangkan, jika saya tidak merencanakan perjalanan ini, apa mereka lantas tidak akan bersama? Saya tidak tahu, tapi yang jelas saya tidak berani berbangga hati dan beranggapan bahwa ini adalah ide saya. Kenyataannya sederhana saja, kalau saya tidak pernah menyangka bahwa mereka akan jadian dan menikah, itu  berarti apa yang saya lakukan hanya langkah awal dari kuasa Yang Di Atas. Untuk sesuatu alasan yang mungkin tidak akan pernah saya pahami, saya dipakai untuk mempertemukan dua insan yang terpisah di bumi ini. Teman-teman dan saya terpilih untuk mengambil bagian sebagai saksi dari awal dari sebuah kisah yang kemudian diakhiri dengan sedemikian indahnya.

Seperti kata pepatah lainnya, semua indah pada waktunya. Saya dan teman-teman merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari kisah penuh berkat ini. Semua turut bergembira untuk pasangan ini dan saya harap anda pun bisa merasakannya. Mari bergabung dengan saya untuk mengucapkan doa dan harapan yang terbaik untuk mereka...

Event 2016.



Positif Terhadap Setiap Masalah Dan Sesama

Lingkungan, masalah dan sesama kita adalah pikiran kita

Lingkungan kita adalah pikiran kita

Suatu ketika seorang pria menelepon Norman Vincent Peale. Ia tampak sedih. Tidak ada lagi yang dimilikinya dalam hidup ini. Norman mengundang pria itu untuk datang ke kantornya.

“Semuanya telah hilang. Tak ada harapan lagi,” kata pria itu. “Aku sekarang hidup dalam kegelapan yang amat dalam. Aku telah kehilangan hidup ini.”

Norman Vincent Peale, penulis buku the Power of Positive Thinking, tersenyum penuh simpati. “Mari kita pelajari keadaan anda.” 

Pada selembar kertas ia menggambar sebuah garis lurus dari atas ke bawah tepat di tengah-tengah halaman. Ia menyarankan agar pria itu menuliskan apa-apa yang telah hilang dari hidupnya pada kolom kiri, sedangkan pada kolom kanan, ia menulis apa-apa yang masih tersisa.

“Kita tak perlu mengisi kolom sebelah kanan,” tatap pria itu. “Aku sudah tak punya apa-apa lagi.”

“Lalu kapan kau bercerai dari istrimu?” tanya Norman.

“Hei, apa maksudmu? Aku tidak bercerai dari istriku. Ia amat mencintaiku!”

“Kalau begitu bagus sekali,” sahut Norman dengan penuh antusias.

“Mari kita catat itu sebagai nomor satu di kolom sebelah kanan “Istri yang amat mencintai.”

“Nah, sekarang kapan anakmu masuk penjara?”

“Anda ini konyol sekali. Tak ada anakku yang masuk penjara!”

“Bagus! Itu nomor dua untuk kolom sebelah kanan “Anak-anak tidak berada dalam penjara.” kata Norman sambil menuliskannya di atas kertas tadi.

Setelah beberapa pertanyaan dengan nada yang serupa, akhirnya pria itu menangkap apa maksud Norman dan tertawa pada diri sendiri. “Menggelikan sekali. Betapa segala sesuatunya berubah ketika kita berpikir dengan cara seperti itu.” 

Kata orang bijak, bagi hati yang sedih, lagu yang riang pun terdengar memilukan. Sedangkan orang bijak lain berkata, sekali pikiran negatif terlintas di pikiran, duniapun akan terjungkir balik. Maka mulailah hari dengan selalu berpikir positif.

Tuliskanlah hal-hal positif yang kita pernah dan sedang miliki dalam hidup ini, bebaskan pikiran-pikiran kita dari hal-hal negatif yang hanya akan menyedot energi negatif dari luar diri kita. Dengan berpikir positif, kehidupan ini akan terasa amat indah dan tidaklah sekejam yang kita bayangkan. Obyek-obyek yang berada di sekitar kita akan sangatlah tergantung dari bagaimana cara kita memandang dan mempersepsikannya. Lingkungan kita adalah pikiran kita. Lingkungan akan berbuat positif kepada kita jika kita mempersepsikannya baik, sebaliknya lingkungan akan berbuat negatif kepada kita ketika kita mempersepsikan sebaliknya.

Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya

Di dalam hidup kita, yang perlu kita ingat adalah setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Jangan kita mengharapkan, apalagi mengharuskan seseorang itu sempurna, begitu pun seseorang yang kita idolakan. Pernahkah anda mengenal orang yang serba bisa? Yang sempurna? Setiap orang dilahirkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tidak ada orang yang sempurna dan tidak ada yang bisa melakukan semua hal sendirian. Maka dari itu kita manusia disebut makluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri karena kita saling melengkapi satu sama lain. Berpikir positif terhadap orang lain artinya kita melihat kelebihannya dan mencoba menjadikan kelebihan itu menjadi inspirasi kita untuk lebih baik, bukan memandang kekurangan seseorang dan merendahkannya.

Kita akan lihat sebuah cerita di bawah ini yang menggambarkan kelebihan dan kekurangan setiap orang:

Suatu hari bertemulah dua orang sahabat lama di kampung pesisir sebuah pantai. Keduanya dulu sahabat di bangku SD dan SMP. Seiring dengan berjalannya waktu dan kesempatan, maka selepas dari SMP maka mereka menjalani kehidupan masing-masing, yang satu pergi merantau ke kota untuk meneruskan jenjang pendidikannya hingga menjadi profesor dan satunya tetap tinggal di kampung nelayan dan menjalani kehidupan menjadi nelayan sejati.

Setelah waktu beberapa puluh tahun maka suatu hari Sang Profesor pulang kampung mengunjungi sanak-saudara dan keluarga beserta teman-teman lamanya. Bertemulah kedua sahabat itu dan kemudian saling melepas kangen. Sebagai bentuk reuni mereka, teman yang berprofesi sebagai nelayan mengajak temannya yakni Sang Profesor untuk naik perahu kecil memancing ikan ke tengah lautan. Dalam perjalanan ke tengah laut terjadilah dialog yang menarik antara dua kawan lama ini.

“Apa kamu bisa berbahasa inggris?” tanya Sang Profesor kepada si nelayan.

“Wah, terus terang saja saya tidak sempat belajar bahasa Inggris karena aku hanya belajar sampai SMP dan kemudian menjadi nelayan setiap pagi dan sore.” jawab si nelayan dengan ringan dan sedikit malu-malu.

“Rugi sekali kamu tidak bisa bahasa Inggris, dengan bahasa Inggris kamu bisa mempelajari aneka ilmu, berkeliling dunia, merantau dan bisa menjadikan kamu kaya raya. Sebaliknya jika kamu tidak bisa bahasa Inggris berarti kamu sudah kehilangan 50% hidupmu,” kata Sang Profesor dengan nada yang mulai menampakkan keunggulan dan kesombongannya.

Kemudian profesor itu bertanya lagi, “kalau ilmu matematika kamu bisa, tidak?”

Dengan rasa malu yang kian besar, nelayan itu menjawab parau, “apalagi ilmu matematika, kamu tentu tahu sendiri, dengan bekalku yang cuma lulusan SMP, pasti tidak tahu banyak tentang matematika.”

Jawaban si nelayan menjadikan Sang Profesor makin besar kepala dan merasa lebih dari sahabat lamanya. Tiba di tengah laut, mendadak cuaca berubah menjadi mendung dan ombak hujan bercampur angin lebat menerpa perahu kecil kedua sahabat tersebut. Melihat kondisi ini Sang Profesor menjadi sangat ketakutan dan memegang erat-erat tepian perahu.

“Tenang saja, kawan, ombak ini insyaallah tidak akan membinasakan kita. Ini biasa terjadi kalau cuaca seperti ini,” celetuk si nelayan, memberikan penerangan kepada Sang Profesor. “Kita tidak usah takut. Jika ombak menghempaskan perahu ini maka kita tinggal berenang beberapa ratus meter dari sini dan kita akan sampai ke daratan pantai,” tambah nelayan tersebut. 

Mendengar ucapan itu, maka makin takutlah Sang Profesor dan ia mendekap erat si nelayan. Sang Profesor kemudian berkata dengan penuh ketakutan, “justru karena saya tidak bisa berenang maka saya takut jika perahu ini terbalik dan ombak menghempaskan kita di tengah laut.”

“Wah, percuma kamu jadi profesor tapi tidak bisa berenang. Kalau tidak bisa bahasa Inggris dan Matematika, tadi kamu katakan akan kehilangan 50% hidupmu, tapi jika saat ini kamu tidak bisa berenang maka kamu akan kehilangan 100% hidupmu.”

Dari cerita pendek di atas kita bisa tahu bahwa jika kita mempunyai kelebihan maka kita tidak boleh mencela dan menghina kekurangan orang lain karena bisa jadi kita banyak kelebihan di satu sisi tapi banyak juga kekurangan di sisi lainnya. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Hiduplah dengan saling mengisi agar kehidupan ini menjadi saling melengkapi dan semakin indah.

Di dalam setiap jiwa manusia selalu ada mawar yang tertanam. Tuhan yang menitipkannya kepada kita untuk dirawat. Tuhan 'lah yang meletakkan kemuliaan itu di setiap kalbu kita. Layaknya taman-taman berbunga, sesungguhnya di dalam jiwa kita, juga ada tunas mawar dan duri yang akan merekah.

Namun sayang, banyak dari kita yang hanya melihat duri yang tumbuh. Banyak dari kita yang hanya melihat sisi buruk dari orang lain dan diri kita yang akan berkembang. Kita sering menolak keberadaan orang lain dan diri kita sendiri. Kita kerap kecewa dengan orang lain maupun diri kita dan tak mau menerimanya. Kita berpikir bahwa hanya hal-hal yang jelek dan melukai yang akan tumbuh dari kita. Kita menolak untuk melihat dan menyirami hal-hal baik yang sebenarnya telah ada di dalam orang lain dan diri kita. Dan akhirnya, kita kembali kecewa, kita tak pernah memahami potensi orang lain yang bisa membantu kita berkembang dan potensi diri kita yang kita miliki.

Banyak orang yang tak menyangka, mereka juga sebenarnya memiliki mawar yang indah di dalam jiwa. Banyak orang yang tak menyadari, keberadaan mawar itu. Kita sering disibukkan dengan duri-duri kelemahan orang lain dan diri kita serta onak-onak kepesimisan dalam hati ini. Kadang kita bukan saja perlu mencatat hal-hal positif yang kita miliki, tapi juga yang orang lain miliki. Seperti yang kita bahas sebelumnya bahwa lingkungan kita adalah pikiran kita, begitu juga dengan orang-orang sekitar kita. Mereka akan berbuat positif kepada kita jika kita mempersepsikannya baik, sebaliknya mereka akan berbuat negatif kepada kita ketika kita mempersepsikan sebaliknya.

Kita akan membaca ilustrasi berikut ini :
Suatu ketika, ada seseorang pemuda yang mempunyai sebuah bibit mawar. Ia ingin sekali menanam mawar itu di kebun belakang rumahnya. Pupuk dan sekop kecil telah disiapkan. Bergegas disiapkannya pula pot kecil tempat mawar itu akan tumbuh berkembang. Dipilihnya pot yang terbaik dan diletakkannya pot itu di sudut yang cukup mendapat sinar matahari. Ia berharap bibit ini dapat tumbuh dengan sempurna.

Disiraminya bibit mawar itu setiap hari. Dengan tekun dirawatnya pohon itu. Tak lupa pula jika ada rumput yang menganggu, segera disianginya agar pohon mawar itu terhindar dari kekurangan makanan. Beberapa waktu kemudian, kuncup bunga itu mulai tumbuh. Kelopaknya tampak mulai merekah, walau warnanya belum terlihat sempurna. Pemuda ini pun senang, kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Diselidikinya bunga itu dengan hati-hati. Ia tampak heran, sebab tumbuh pula duri-duri kecil yang menutupi tangkai-tangkainya. Ia menyesalkan mengapa duri-duri tajam itu muncul bersamaan dengan merekahnya bunga yang indah ini. Tentu, duri-duri itu akan menganggu keindahan mawar-mawar miliknya.

Sang pemuda tampak bergumam dalam hati, “Mengapa dari bunga seindah ini, tumbuh banyak sekali duri yang tajam? Tentu hal ini akan menyulitkanku untuk merawatnya nanti. Setiap kali kurapikan, selalu saja tanganku terluka. Selalu saja ada bagian dari kulitku yang tergores. Ah, pekerjaan ini hanya membuatku sakit. Aku tak akan membiarkan tanganku berdarah karena duri-duri penganggu ini.”

Lama kelamaan, pemuda ini tampak enggan untuk memperhatikan mawar miliknya. Ia mulai tak peduli. Mawar itu tak pernah disirami lagi setiap pagi dan petang. Dibiarkannya rumput-rumput yang menganggu pertumbuhan mawar itu. Kelopaknya yang dahulu mulai merekah, kini tampak merona sayu. Daun-daun yang tumbuh di setiap tangkai pun mulai jatuh satu-persatu. Akhirnya, sebelum berkembang dengan sempurna, bunga itu pun meranggas dan layu.

Apakah kita akan seperti itu? Jika kita bisa menemukan mawar-mawar indah yang tumbuh dalam diri orang lain, kita akan dapat mengabaikan duri-duri yang muncul. Kita akan terpacu untuk membuatnya lebih merekah dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul baik di dalam diri orang tersebut maupun dalam diri kita. Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita. Kenikmatan yang terindah adalah saat kita berhasil untuk menunjukkan diri orang lain dan diri kita tentang mawar-mawar itu dan mengabaikan duri-duri yang muncul. Mungkin kita akan juga berjumpa dengan onak dan duri dalam diri orang lain maupun dalam diri kita, tapi janganlah itu membuat kita berputus asa. Mungkin, tangan-tangan kita akan tergores dan terluka, tapi janganlah itu membuat kita bersedih nestapa. Itulah perjuangan hidup kita.

Biarkan mawar-mawar indah itu merekah dalam hati kita. Biarkan kelopaknya memancarkan cahaya kemuliaan-Nya. Biarkan tangkai-tangkainya memegang teguh harapan dan impian kita. Biarkan putik-putik yang dikandungnya menjadi bibit dan benih kebahagiaan baru bagi kita. Sebarkan tunas-tunas itu kepada setiap orang yang kita temui dan biarkan mereka juga menemukan keindahan mawar-mawar lain dalam jiwa orang lain dan dalam diri mereka.

Sekali lagi yang perlu kita ingat adalah setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Terkadang kita mengagumi orang lain dari sisi kelebihannya ataupun kehebatannya namun ketika kita kenal lebih dekat dengan orang tersebut, tentu kita akan banyak tahu juga tentang segala kekurangannya. Janganlah segala kekurangannya itu membuat kita melupakan kelebihannya, seharusnya kita belajar dari kelebihan orang-orang yang kita kenal bukan berpikir negatif terhadap kekurangannya. Kita akan lihat cerita di bawah ini yang menggambarkan betapa mudahnya melupakan kelebihan atau kebaikan orang:

Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apa pun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Ia lantas melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.

Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata, “Nona,, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?” 

“Ya, tetapi, aku tidak membawa uang,” jawab Ana dengan malu-malu. 

“Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu,” jawab si pemilik kedai. “Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu.”

Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang. 

“Ada apa, Nona?” Tanya si pemilik kedai. 

“Tidak apa-apa. Aku hanya terharu,” jawab Ana sambil mengeringkan air matanya. “Bahkan seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi, tetapi ibuku sendiri setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah. Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri,” katanya kepada pemilik kedai.

Setelah mendengar perkataan Ana, pemilik kedai itu menarik nafas panjang dan berkata, “Nona, mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini. Aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu dari sejak kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya.”

Ana terhenyak mendengar hal tersebut. “Mengapa aku tidak berpikir tentang hal tersebut? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.”

Segera Ana menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya yang menampakkan wajah letih dan cemas. 

Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulut Sang Ibu adalah, “Ana, kau sudah pulang, cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur. Makanan akan menjadi dingin jika kau tidak memakannya sekarang.”
ada saat itu Ana tidak dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.

Kita bisa lihat dari cerita ini bahwa betapa mudahnya kita melupakan kelebihan dan kebaikan orang hanya karna masalah kecil atau melihat sisi negatifnya dan bahkan kadangkala segi negatif seseorang itu pun kita yang ciptakan dengan kata lain kita yang mengada-gada. Dan dari cerita di atas pula, saya secara pribadi ingin berpesan kepada kita semua sebagai anak; janganlah melupakan jasa orangtua kita. Seringkali kita menganggap pengorbanan mereka merupakan proses alami yang biasa saja, tetapi kasih dari orang tua kita adalah hadiah yang paling berharga. 

Ingatlah, semakin kita mengenal seseorang semakin banyak kekurangan orang itu yang kita tahu. Saya ulangi lagi kalau setiap orang mempunyai kekurangan dan kelebihannya. Belajarlah dari kelebihan setiap orang yang kita kenal. Dan itu bisa terjadi jika kita berpikiran positif terhadap orang lain terlebih dahulu.

Nah, sebaliknya kalau kita berpikir negatif terus, apa pun yang dilakukan, apapun kebaikannya, kita sudah tidak mau tahu. Terus apa yang bisa kita pelajari? Jadi, berpikirlah positif terhadap orang lain. Tentu saja setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya, jadi mari kita belajar dari kelebihan orang-orang lain untuk mengembangkan diri kita.

Ingat, mengembangkan diri kita bukan berarti untuk membanding-bandingkan dengan kekurangan dalam diri kita. Apa gunanya mengeluhkan kelebihan orang lain dan menyiksa diri sendiri dengan selalu melihat kekurangan dalam diri kita?

Untuk berhasil, kita tidak harus mempunyai segala fasilitas atau kemampuan yang terbaik, tapi menggunakan atau memanfaatkan apa yang ada di dalam diri kita dengan sebaik-baiknya. Contoh: banyak orang selalu berpikir bahwa mereka akan berhasil jika mereka mempunyai papa yang kaya raya atau mempunyai kepintaran yang luar biasa, oleh karena itu mereka hanya mengeluh dengan segala situasi yang ada dalam hidup mereka. Dan mereka mulai dengan berandai-andai dengan kata JIKA: “Jika saya mempunyai papa yang kaya seperti Bill Gates, jika saya pintar seperti Albert Einstein dan lain-lain.”

Terus apa yang akan terjadi? apakah mereka akan berhasil? Tentu saja mereka akan berhasil namun dalam khayalan, tidak dalam kenyataan di dalam hidup mereka. Kalau kita mau berpikir positif dan realitis, kenapa kita tidak mencoba menjadi papa yang kaya raya sehingga anak-anak kita tidak perlu berkhayal untuk mempunyai papa yang kaya raya.

Apa yang tidak mungkin dalam hidup kita selama kita berusaha, berdoa untuk sesuatu yang lebih baik? Semuanya pasti mungkin. Jika kita telusuri dari mana orang mempunyai papa yang kaya raya dan orang yang mempunyai kepintaran lebih, kita akan menemukan semuanya itu adalah dari hasil usaha, kerja keras, perencanaan, doa dan penantian yang tidak kenal putus asa sehingga orang-orang tersebut mencapai apa yang mereka inginkan. Misalnya: ada pertanyaan, darimana orang mempunyai papa yang kaya raya? Jawabannya adalah dari kakeknya, terus kakeknya darimana kaya raya nya? Jawabnya dari papa kakeknya. Jika kita bertanya terus, maka kita akan tahu bahwa itu dari usaha, kerja keras, doa dan penantian yang panjang sehingga dia menjadi papa yang kaya raya.

Bagi sebagian orang, anak-anak adalah masalah, tapi sebenarnya mereka adalah anugerah.