Total Pageviews

Translate

Monday, April 30, 2018

The Wish List

This story began with me wondering, where exactly I could go using Indonesian passport without the need of applying visa. If such need was unavoidable, then it'd be great if it was visa on arrival. The result was ranging from those obscure countries such as Gambia and Belarus to interesting destinations such as Peru, Uzbekistan and Qatar. Then of course there was Armenia in the list.

Armenia means a lot to me, because it was the latest one that went into my wish list. I have this habit of browsing Wikitravel just to read about places and dream that I'll be there one day. I had even planned for the trips, too, but for some reason, the visits weren't materialised.

It was all started with Darwin in Australia. There was a Jetstar promo back in 2009 and the return tickets were unbelievably cheap. Upon seeing that, I read about Darwin and was very much fascinated by the salt water crocodiles in the wild. I imagined sitting on a beach and saw one crawling out nonchalantly from the sea. That'd be one hell of an experience! I immediately formed a travel group and booked the flights. But the trip wasn't meant to happen, unfortunately. As we were approaching the departure date, one by one bailed out. The tickets were burnt and the price was never that cheap again since then. I've been asking my wife if she's keen to go Darwin, but it may take visits to Sydney, Melbourne, Brisbane and Perth before Darwin got its turn.

The next one that came to mind was Bhutan. I was intrigued by the fact that the country is based on Gross Happiness Index. People must be smiling a lot there! So I read about places in Bhutan such as Paro and Thimphu. I found out about Tiger Nest Dzong, a monastery that sits on the cliff. Then there was takin, a strange looking animal (that I eventually saw in Guangzhou zoo). Bhutan was a place of wonders! Apart from reading a lot, I even visited Druk Asia, the official Bhutan travel agency in Albert Street. I learnt that not only it'd be quite an expensive trip, but the nearest airport for me was the one in Bangkok (we could only fly with Druk Air to Bhutan and the Bhutan-Singapore flight route only started in September 2012). That's when the plan to Bhutan was canned. Up until now, my friend Steva would often ask jokingly, "so when are we going to Bhutan again?"

After Bhutan was Mongolia. After the cancelled Paul McCartney concert in Japan, I planned a trip to Mongolia. Suddenly the idea of the bright blue sky meeting the land of green was very appealing. Further it's the country of Genghis Khan, the great warrior. What's not to like? I remember planning to go from Beijing. Once we reached the capital city of China, we'd do a road trip to Erenhot in Inner Mongolia, then stay one night there (the small town happened to be a place where dinosaurs lived million years ago) before crossing to Zamyn-Üüd in Mongolia. Then on our way back, we could take Trans-Siberian train from Ulaanbaatar to Beijing. It sounded exciting, until I heard of Paul McCartney's concerts being rescheduled. The plan was immediately scrapped to make way for another Japan trip.

Kazakhstan came after my trip to Myanmar. I bought a book about Myanmar and its neighbours. The book talked a lot about beautiful places in Yunnan province, from Kunming to Shangri-la. It was very inspiring that I toyed with the idea of travelling from Yunnan to Xinjiang, another province in China that I'd like to visit, too, simply because the people there that don't look very Chinese (or Han, to be precise). It was either that route or flying from Guangzhou to Ürümqi. Then, from Xinjiang, I could do a road trip to Almaty in Kazakhstan. Central Asia is like a road less travelled, that's why I'm very curious about Kazakhstan. But the visa was very hard to get! I'd need an invitation letter and even obtaining it didn't mean that the visa would be automatically approved. I just gave up there and then. May be next time, when the visa requirement gets easier.

Indonesian passport got a better luck with Armenia, apparently. I almost couldn't believe it when I realized that I only needed visa on arrival. I was excited by the thought of visiting a country at the intersection of Europe and Asia, so beautiful and rich in history. Then further reading showed that I could also have a short getaway to Georgia, the neighbouring country, perhaps for a bite of khinkali, the Georgian dumpling. Armenia seemed like my next destination! I remember trying my best to figure out how to transfer my luggage from Emirates to flydubai without crossing the checkpoint. But while I was on fire, the enthusiasm wasn't shared by many. I eventually relented and came up with more mainstream destinations instead.

Out of all places that i'd really love to visit, I'd only been to Vientiane, Hiroshima and Liverpool. But that's life, really. Even though the trip has been planned, sometimes it just doesn't happen. But it's alright. I'll revisit the list again someday. May be when I'm 40. I hope the big 40 is a valid reason, because visa application starts at home, haha...

No, it's not Bhutan, but at Ion Orchard!

Daftar Keinginan

Kisah ini dimulai dari satu pertanyaan di benak saya, bisa ke mana sebenarnya pemegang paspor Indonesia tanpa visa. Kalau memang butuh visa, lantas negara-negara apa saja bisa dikunjungi dengan visa setelah ketibaan (visa on arrival). Dari Wikipedia, jawabannya berkisar antara negara-negara yang jarang menjadi tujuan wisata seperti Gambia dan Belarus sampai negara-negara yang terdengar menarik seperti Peru, Uzbekistan dan Qatar. Kemudian tentu saja ada Armenia di daftar tersebut.

Armenia mempunyai arti tersendiri bagi saya, sebab negara tersebut baru saja masuk daftar keinginan saya. Saya memiliki kebiasaan membaca Wikitravel dan terkadang saya bayangkan bahwa saya akan pergi ke tempat yang saya baca ini. Saya bahkan telah membuat rencana untuk bepergian ke sana, namun terkadang tidak terlaksana.

Daftar ini dimulai dengan Darwin di Australia. Di tahun 2009, Jetstar mengadakan promosi dan tiket pulang-perginya luar biasa murah. Saya lantas membaca tentang Darwin dan saya rasa pengalaman melihat buaya air asin merangkak keluar dari laut dengan acuh tak acuh pasti akan tidak terlupakan. Saya lekas mengajak mereka yang berminat dan membeli tiket. Akan tetapi perjalanan itu tidak ditakdirkan terjadi. Mendekati hari-H, satu persatu teman batal dan merelakan tiketnya hangus. Sejak itu harga penerbangan ke Darwin tidak pernah lagi semurah itu. Saya kadang bertanya kepada istri saya, apakah dia mau ke Darwin, namun tampaknya dia baru berminat ke sana setelah Sydney, Melbourne, Brisbane dan Perth dikunjungi.

Negara berikutnya yang menjadi fokus saya adalah Bhutan. Saya tergelitik oleh fakta bahwa negara ini berdasarkan filosofi Indeks Kegembiraan. Kalau begitu, penduduk di sana pasti senantiasa tersenyum. Oleh karena itu, saya baca tentang tempat-tempat seperti Paro dan Thimphu. Dari situ saya tahu tentang Dzong Sarang Harimau, kuil terkenal yang berada di tebing curam, dan juga tentang takin, hewan berbadan sapi tapi bermuka kambing (yang akhirnya saya lihat di kebun binatang Guangzhou). Bhutan benar-benar tempat yang menakjubkan. Selain banyak membaca, saya juga pergi ke Druk Asia, biro perjalanan resmi dari Bhutan yang berkantor di Albert Street. Dari situ saya tahu bahwa perjalanan ke Bhutan ini bukan saja cukup mahal, tapi juga repot karena bandara terdekat buat saya adalah di Bangkok (kita hanya bisa ke Bhutan dengan maskapai Druk Air dan rute penerbangan Bhutan-Singapura baru dimulai bulan September 2012). Karena alasan-alasan tersebut, akhirnya perjalanan ke Bhutan dibatalkan. Sampai saat ini, teman saya Steva masih sering iseng bertanya, "jadi kapan kita ke Bhutan?"

Setelah Bhutan, negara selanjutnya adalah Mongolia. Rencana ke Mongolia ini mulai setahun setelah batalnya konser Paul McCartney di Jepang. Saat itu saya merasa bahwa berkunjung ke tempat dimana bumi dan langit bertemu adalah ide yang menarik. Lagi pula itu adalah negara asal Genghis Khan, tokoh sejarah yang tersohor. Saya lantas merencanakan sebuah petualangan yang bermula dari Beijing. Dari ibukota Cina ini, kita bisa menempuh perjalanan darat ke Erenhot di Mongolia Dalam dan menginap semalam di sana (berjuta-juta tahun silam, kota kecil ini merupakan tempat dinosaurus berlalu-lalang), kemudian barulah menyeberang ke Zamyn-Üüd di Mongolia. Pada saat pulang, kita bisa menaiki kereta Trans-Siberian dari Ulaanbaatar ke Beijing. Rencana ini terasa mantap sampai saya mendengar bahwa Paul McCartney kembali menggelar konser di Tokyo. Akhirnya Mongolia pun dicoret dan saya kembali ke Jepang.

Kazakhstan mulai muncul di benak saya setelah perjalanan ke Myanmar. Saat di bandara Yangon, saya membeli buku tentang Myanmar dan negara-negara tetangganya. Buku tersebut bercerita banyak tentang provinsi Yunnan, mulai dari kota Kunming sampai Shangri-la. Deskripsinya sangat memberikan inspirasi, sampai-sampai saya terdorong untuk berkelana dari Yunnan to Xinjiang, sebuah provinsi di Cina yang juga ingin saya kunjungi karena penduduknya tidak mirip orang Cina (atau orang Han, tepatnya). Jadi rute pilihan saya adalah, kalau tidak lewat Yunnan, maka alternatifnya adalah terbang dari Guangzhou ke Ürümqi. Sesudah itu, dari Xinjiang saya bisa menempuh perjalanan darat ke Almaty di Kazakhstan. Asia Tengah adalah kawasan yang jarang yang dikunjungi, oleh sebab itu saya sangat ingin tahu tentang Kazakhstan. Akan tetapi visa ke negara ini sangat susah didapatkan. Saya membutuhkan surat undangan dan seumpamanya bisa saya dapatkan, itu tidak berarti permohonan visa saya pasti dikabulkan. Saya langsung mengurungkan niat saya. Mungkin lain kali saja, kalau persyaratan visanya sudah menjadi lebih ringan.

Paspor Indonesia lebih mendapat kemudahan di Armenia. Saya nyaris tidak percaya ketika membaca bahwa saya bisa mengajukan visa setelah tiba di sana (visa on arrival). Bagi yang belum tahu, Armenia adalah sebuah negara yang terletak di persimpangan Asia dan Eropa, begitu eksotis dan kaya akan budaya yang sudah ribuan tahun lamanya. Lebih dari itu, setelah saya baca-baca lagi, ternyata saya juga bisa mengadakan perjalanan singkat dari Armenia ke Georgia (dan mencicipi khinkali, pangsit Georgia). Saya sempat bersibuk-ria mengirim email untuk mencari tahu bagaimana caranya memindahkan bagasi dari Emirates ke flydubai pada saat transit tanpa perlu keluar untuk cap paspor (karena ini juga membutuhkan visa Uni Emirat Arab). Meskipun saya bersemangat, namun tidak semua orang seantusias saya. Akhirnya saya mengubah tujuan liburan menjadi tempat yang lebih populer untuk berlibur. 

Dari berbagai tempat yang ingin saya kunjungi, saya hanya berkesempatan untuk pergi ke Vientiane, Hiroshima dan Liverpool. Namun beginilah hidup. Terkadang, walaupun sudah direncanakan, belum tentu terjadi. Tapi tidak apa-apa. Suatu hari nanti saya akan melihat kembali daftar saya ini dan ke sana, mungkin pada usia 40. Ya, saya harap alasan bepergian di usia 40 ini bisa diterima, sebab aplikasi visa bermula dari rumah, haha...

Perjalanan ke Darwin yang tidak kesampaian. 

No comments:

Post a Comment