Total Pageviews

Translate

Sunday, March 26, 2023

The Japan Trip: Day Five, In Yokohama

I often used the analogy of Jakarta and Bekasi (though I should have used Tangerang as it's more accurate) to illustrate Tokyo and Yokohama. Both cities are sharing the same airport and Yokohama is not very far from Tokyo. Due to this, I couldn't help comparing how similar these cities in Indonesia and Japan are.

This is also the reason why we woke up much later than usual on the day we visited Yokohama. For the first time ever throughout our stay in Japan, we actually had enough sleep! Unlike the previous days, we only reached Ueno Station at 8:37 AM. 

Shanti in Yokohama.
Art by Eday.

Yokohama Station is only about half an hour away from Ueno. When we arrived in Yokohama, the weather was pleasant. It was nice for morning walk, so we headed to Rinko Park, passing by the Anpanman Children's Museum. Rinko Park is on the seaside. It is green and beautiful, so the ladies (and some guys) spent time taking pictures here.

Those who waited got creative with Parno. The man had been carrying popcorn around from Indonesia to Japan on daily basis because a friend asked him to take pictures for promotional purpose. It was quite irritating to have such a task during holiday, hence we decided to have some fun. There was a bench in the park, so we got Parno to pose like a homeless with popcorn on his crotch, haha.

Parno, the homeless in Yokohama.

From there, we walked to the Cupnoodles Museum. We couldn't be loving Indomie so much without getting some knowledge about the humble beginning of instant noodles! After that, we had a brisk walk to Hard Rock Cafe Yokohama for a quick t-shirt shopping.

While we were here, we got a glimpse another Parno's original behavior. We laughed so hard as we listened to Eday recounting the story. What Parno did was, he approached Eday who was in the midst of eating a burger and innocently asked, "is that a burger?" Eday froze, too shocked to continue eating as Parno was pointing at his burger and stating the obvious. He eventually gave one to Parno, haha. 

With Muliady, HRR and Shanti.

Then we resumed the journey and headed to Gundam Factory. Eday and the others walked so fast and they took the route via Cupnoodles Museum. Muliady, Shanti, HRR, Surianto and I took a longer route instead because we snapped a picture or two in front of Nippon Maru, a training vessel that is permanently docked in Yokohama Harbour.

The rendezvous happened around 1:34 PM. I was queueing for the tickets when Eday and friends appeared. It was kind of surprising that they were behind us, considering that they left Hard Rock Cafe first. It was revealed later on that the route they took was quite scenic, hence they stopped more often to take pictures, haha.

With Gundam.

Now, Gundam Factory. I was sitting on a bench, staring at Gundam. Images from anime such as Voltes, Mazinger and Getter Robo (oh yeah, throughout my life, I had never watched Gundam, haha) were playing in my head as I observed the sheer size of the robot in front of me. The anime made it so easy for the robots to move, ignoring all the physics laws. The real deal such as this got me thinking for the first time ever, how complex a robot design actually was. 

Next stop was Chinatown. The Yokohama Chūkagai is a very commercialized area. When we were there, it was swarmed by tourists. We ended up eating our late lunch at Kafuku Hanten (華福飯店), a restaurant that had no queue. Now, in our group chat, we have this rule that you can only comment after experiencing it at least twice. As a person who had eaten twice in this Chinatown (first time was back in 2015), I could safely tell you that the food was never delicious, haha. It's just after too many servings of Japanese cuisines, you tend to crave for something Chinese.

Muliady in Chinatown. Can you spot Parno and HRR?

It was late in the afternoon when we finished our lunch. Still too early to go back, we visited one last stop: Yokohamabashi, a shopping street. It was almost dark when we reached there. Most of the shops had closed, so we didn't spend too much time there and headed back to Yokohama Station. 

The thing with our fast-paced group was, some members were ill-suited for it. When most of us made it to the train platform, we then realized that Parno was missing. He was nowhere to be found. Even Muliady that came last also didn't see Parno, so I exited the ticket gate to look for him. Turned out that he was stuck because he got too many used tickets in his pocket. As a result, he wasn't sure which one to use to get out from the rapid transit line. 

We eventually boarded the train and returned to Tokyo. In Asakusa, Surianto and I decided to try out the KFC in Japan. The portion was generous, but wasn't really special. After dinner, I went back to Sake no Daimasu Kaminarimon, this time with Surianto. Eday, Gunawan and Ardian joined us a moment later and we tried out Instagram Live, haha. Taty, Susan and Cicilia happened to pass by and Eday saw them, so all three came in as well. We hung out till the bar closed. Time really flies when we have good times, because tomorrow's destination was already our last one: Hakone!

KFC in Japan.



Liburan Ke Jepang: Hari Kelima, Di Yokohama

Saya sering menggunakan analogi Jakarta dan Bekasi (meskipun harusnya Tangerang karena lebih akurat) untuk menggambarkan Tokyo dan Yokohama. Bandara Haneda terletak di antara dua kota ini dan Yokohama tidak jauh dari Tokyo. Karena persamaan inilah saya jadi teringat dengan Jakarta dan Bekasi. 

Apa yang saya jabarkan barusan juga menjelaskan kenapa kita bangun lebih siang dari biasanya di hari kita mengunjungi Yokohama. Untuk pertama kalinya sejak liburan ke Jepang dimulai, saya merasa cukup tidur! Berbeda dengan biasanya, di hari ini kita mencapai Stasiun Ueno jam 8:37 pagi. 

Shanti di Yokohama.
Ilustrasi oleh Eday.

Stasiun Yokohama bisa dicapai dalam setengah jam. Ketika kita tiba di Yokohama, cuacanya sangat nyaman. Cocok untuk berjalan pagi, jadi kita pun menuju Rinko Park dan melewati Anpanman Children's Museum. Rinko Park terletak di tepi laut. Kawasannya hijau dan indah sehingga banyak yang berhenti untuk berfoto-foto.

Yang menunggu pun kreatif menghabiskan waktu bersama Parno. Teman kita ini sudah menenteng popcorn dari Indonesia sampai Jepang setiap hari karena seorang teman di Pontianak minta agar produknya difotokan di Jepang untuk tujuan promosi. Agak menjengkelkan sebenarnya, jadi kita pun iseng berkarya. Melihat bangku taman, kita meminta Parno berbaring seperti tuna wisma dan menaruh popcorn di selangkangannya, haha. 

Parno, tunawisma di Yokohama.

Dari taman, kita berjalan menuju Cupnoodles Museum. Oh, kita tidak mungkin mencintai Indomie tanpa mengerti asal-usul mie instan, jadi kita masuk dan menambah wawasan. Sesudah itu, kita mampir ke Hard Rock Cafe Yokohama untuk berburu kaos.

Selagi berada di sana, sekali lagi kita dibikin tergelak oleh tingkah Parno yang spontan tapi jenaka. Kisah kali ini dialami Eday dan diceritakan ulang kepada kita. Sambil menunggu di depan Hard Rock, Eday menikmati burger yang dibelinya. Siapa sangka Parno malah mendekat dan bertanya dengan polos, "ini burger?" Eday tertegun saat burgernya ditunjuk dan ditanyai, padahal itu sudah jelas-jelas burger. Akhirnya dia merelakan satu burger untuk Parno, haha. 

Bersama Muliady, HRR dan Shanti di depan Nippon Maru.

Dari Hard Rock kita lantas bertolak ke Gundam Factory.  Eday dan yang lain berjalan kembali ke arah Cupnoodles Museum sementara Muliady, Shanti, HRR, Landak dan saya mengambil jalur memutar karena kita berfoto sejenak di depan Nippon Maru, kapal yang kini berlabuh permanen di Pelabuhan Yokohama. 

Kita semua bertemu kembali sekitar jam 1:34 siang. Saya sedang antri tiket ketika Eday dan kawan-kawan muncul dari belakang. Saya sempat heran kenapa mereka lebih lambat, padahal mereka lebih dulu bergegas ke Gundam Factory. Setelah ditanyakan lebih lanjut, ternyata rute yang mereka ambil banyak pemandangan indah, jadi mereka sering berhenti untuk berfoto, haha. 

Bersama Gundam.

Di Gundam Factory, saya duduk di bangku dan menatap Gundam yang tinggi menjulang. Saat itu adegan-adegan dari Voltes, Mazinger dan Getter Robo (oh ya, sampai hari ini, saya tidak pernah menonton Gundam, haha) berputar kembali di benak saya. Robot-robot di kartun yang saya tonton di masa kecil terlihat lincah gerakannya. Gundam di depan saya ini, yang dirancang sesuai dengan hukum fisika, memberikan gambaran betapa kompleks robot itu sesungguhnya. 

Pemberhentian berikutnya adalah Chinatown. Yokohama Chūkagai ini adalah tempat yang sangat komersil dan dipadati oleh turis. Kita akhirnya makan siang di Kafuku Hanten (華福飯店) yang kebetulan tidak ada antrian. Nah, di grup kita ini ada aturan bahwa yang boleh komentar cuma mereka yang telah berpengalaman minimal dua kali. Sebagai orang yang sudah dua kali bersantap di Chinatown (kali pertama terjadi di tahun 2015), saya bisa berkata bahwa makanan di sini tidak enak, haha. Hanya saja karena kita sudah terlalu sering menyantap makanan Jepang, maka masakan Cina terasa cocok di lidah.

Muliady di Chinatown. Bisakah anda menemukan Parno dan HRR?

Hari sudah sore ketika kita selesai makan siang. Karena matahari masih belum terbenam, kita mengunjungi satu tempat terakhir: Yokohamabashi, jalan yang dipenuhi toko di kiri-kanannya. Sewaktu kita tiba, banyak toko sudah tutup, jadi kita tidak lama di sana dan meneruskan perjalanan ke Stasiun Yokohama. 

Yang masalah dengan grup kita yang cepat langkahnya adalah, tidak semua anggotanya bisa segesit itu. Ketika kita sudah sampai di tempat menaiki kereta, baru kita sadari bahwa Parno telah hilang. Entah di mana dia sekarang. Bahkan Muliady yang muncul paling akhir pun tidak melihatnya, jadi saya keluar lagi untuk mencarinya. Ternyata Parno tertinggal karena dia menyimpan banyak karcis yang sudah terpakai, jadi dia sempat kebingungan mencari karcis untuk keluar dari kereta jalur biru di Yokohama. 

KFC in Japan.

Setelah Parno ditemukan, kita akhirnya kembali ke Tokyo. Di Asakusa, saya dan Landak memutuskan untuk mencoba KFC di Jepang. Besar porsinya, tapi tidak terlalu istimewa. Setelah makan malam, saya singgah lagi di Sake no Daimasu Kaminarimon, kali ini bersama Landak. Eday, Gunawan dan Ardian datang tidak lama kemudian dan kita pun mencoba iseng fitur Instagram Live, haha. Taty, Susan dan Cicilia kebetulan lewat di depan dan Eday melihat mereka, jadi mereka pun bergabung pula. Kita nongkrong sampai bar tutup, berbincang tentang berbagai cerita. Waktu cepat berlalu ketika kita bersenang-senang. Tidak terasa besok sudah hari terakhir liburan. Tujuan selanjutnya: Hakone! 

Monday, March 20, 2023

The Japan Trip: The Snowy Fourth Day

Up until one week before our trip, I was still oblivious to the fact that we were going to Gala Yuzawa. I always thought that Niigata was where we were going to see the snow, but Susan suggested Gala Yuzawa a while ago and all agreed, though everyone seemed to have a hard time remembering the name for the longest time, haha. 

At Ueno Station, waiting for the train.

Anyway, that morning, we boarded a jam-packed shinkansen from Ueno Station to the snowy resort. We stood in the train for about an hour, barely able to move, and sat down only for the last five minute. Yeah, lots of empty seats after most passengers alighted at Echigo-Yuzawa, one station before our destination. 

Now, seeing snow was Gunawan's dream, so I had no idea what to expect. I only thought that, after going through my coldest night in Japan thus far, I had to wear something warmer than what I had now. Beanie and gloves included! And they were best bought in Gala Yuzawa, which was supposed to be sub-zero. 

Inside the cable car.

And it was sub-zero, all right. But the mountaintop surprisingly had no wind blowing, so it wasn't that cold. And the view was so breathtaking. Coming from a small town that sits right on the equator line, I never saw such a beautiful landscape before. It was all white, perfectly curved at some places, so peaceful, like a wonderland. 

I would say that we didn't quite know what to do once we got off the cable car, but we adapted pretty quick. We occupied the empty space next to the ski slope and got busy. It began with a tame photo-taking activity and it immediately escalated to pelting each other with snow balls and one body slam for Parno. BL said we got few heads turning and smiling, but I guess that's the beauty of our childlike innocence.

And Parno is down!

It didn't last long, though. Let's not forget that we're in our 40s now and it was actually quite tiring to keep moving in the snow. Every misstep could result in falling down and that's what happened to me once. And those guys, instead of helping, they showed no mercy! The moment I lost my footing, they came and trashed me, the action that would eventually dubbed as baptism by ice.

Once we were done playing snow, we went inside the resort to have our lunch and coffee. We were not going back out there for another round, so we went back to where we came from and walked to Echigo-Yuzawa Station. Simple though it was, the experience was unforgettable. I simply couldn't help touching the puffy wall of snow along the roadside. Once it was formed into a snow ball, I'd throw it at the person in front of me, haha. 

BL and HRR, holding a snow ball on the road side.

We stopped at 7-Eleven for a snack and some of us then dipped their feet into the hot spring in front of Echigo-Yuzawa Station. We then took the shinkansen to Niigata. Upon seeing not much snow as we approached the city, we felt glad that we had visited Gala Yuzawa. But Niigata was not without surprises. It was there that we experienced sleet, a mixture of rain and snow. 

Niigata was like a sleepy town if compared with Tokyo. From the station, we walked towards Bandai Bridge to have a glimpse of its waterfront, then turned to Minato Marche Pier Bandai. It was a quiet market in the afternoon. We went to the organic food store, then the wet market to buy some local snack such as raw squids and dried scallops. The sea wind in Niigata was quite cold that we eventually took a break at Hyakuichizen, a hut that sold donburi (and played only songs by the Beatles). Niigata is famous for its rice, but in all fairness, I don't think I could tell the difference, haha. 

With BL in Niigata.

We left Niigata around 5 PM and reached Ichiran Asakusa in the evening. There was a queue, which was common for Ichiran, and by the time we had our ramen in our booth (instead of tables, because eating in a booth was a unique Ichiran experience), it was already 8 PM. I wanted to buy extra warm clothes and therefore rushed to Uniqlo, but by the time I got there, it was already closed.

That's when Eday and I went to Sake no Daimasu Kaminarimon, a bar in Asakusa that serves many varities of sake. We tried almost everything, from the hot sake to cold sake, but we eventually settled with Snow Drop from Akebono Brewery in Fukushima. The liquor uses sake and yoghurt as its base, very tasty and delicious. 

Snow Drop.

But what made it all the more special was the moments we spent there as two old friends who are so similar and yet so different at the same time. We had known each other for so long that not only we could reminisce the past, laugh at the present and look forward to the future, but most importantly, we also could talk openly about anything. 

All good things must come to an end, though. We had our last order and the bar eventually closed. Just like many magical moments that happened throughout the trip, we couldn't replicate them again even if we wanted to. 

Still I can tell you this much: these two kids who went to the same high school in Pontianak, they would never, in their wildest dream, imagine that they'd sit together at a bar in Tokyo one day. It was crazy. It was unbelievable. But yet there we were. That night will stay forever as one of the best times of my life...

At Sake no Daimasu Kaminarimon.
Photo and art by Eday.



Liburan Ke Jepang: Hari Ke-4 Yang Bersalju

Dari awal hingga seminggu sebelum liburan, saya tidak ada gambaran bahwa kita akan ke Gala Yuzawa. Saya selalu mengira bahwa tujuan kita untuk melihat salju adalah Niigata. Setelah saya cek kembali di grup Jepang, ternyata Susan sudah mengusulkan Gala Yuzawa dari jauh hari dan semua setuju, meski tampaknya semua kesulitan mengingat nama tempatnya, haha.

Di Stasiun Ueno, menanti datangnya shinkansen.

Di pagi itu, dari Stasiun Ueno kita menaiki shinkansen yang penuh sesak. Kita berdiri sejam lamanya di kereta, nyaris tak bisa bergerak, dan hanya duduk selama lima menit terakhir. Ya, banyak kursi kosong setelah para penumpang turun di Echigo-Yuzawa, satu stasiun sebelum tempat tujuan kita.

Melihat salju adalah impian Gunawan, jadi saya tidak memiliki ekspektasi apa pun. Saya hanya tahu bahwa, setelah malam paling dingin di Jepang di hari sebelumnya di Shinjuku, saya harus memakai pakaian yang lebih hangat lagi dari apa yang saya kenakan pada saat ini. Kupluk dan sarung tangan adalah perlengkapan wajib! Dan semua ini paling tepat dibeli Gala Yuzawa yang suhunya di bawah nol. 

Di dalam kereta gantung.

Dan cuacanya sungguh di bawah nol. Namun puncak gunung ternyata tidak begitu dingin karena angin tidak bertiup. Pemandangannya benar-benar menakjubkan. Bagi orang yang datang dari kota yang terletak di garis Khatulistiwa, saya tidak pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya. Semua serba putih, melengkung bundar sempurna di pojok-pojok tertentu, begitu damai, seperti negeri dongeng. 

Saya kira kita tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah turun dari kereta gantung, tapi kita beradaptasi dengan cepat. Kita menempati lahan kosong di samping tempat ski dan mulai sibuk sendiri. Pertama-tama kita hanya berfoto, tapi tak lama setelah itu, kita mulai iseng melempar bola salju dan Parno pun dibanting ke tumpukan salju. BL berkata bahwa ada beberapa pengunjung lain yang mengamati dan tersenyum melihat ulah kita. Mungkin karena kepolosan dan kegembiraan kita membuat mereka ikut tergelak di dalam hati. 

Dan Parno pun terhempas!

Akan tetapi aktivitas di puncak salju tidak berlangsung lama. Bagaimanapun kita sudah di kisaran umur 40an dan bergerak di tempat bersalju itu cukup melelahkan. Kita bisa tergelincir setiap kali salah langkah dan saya sempat jatuh terjerembab pula. Dan yang saya panggil teman-teman ini bukannya membantu, tapi malah langsung mengeroyok saya. Bola salju melayang dan saya ditimbun dengan salju. Semua akhirnya mendapatkan giliran serupa dan dibaptis dengan salju. 

Seusai bermain salju, kita masuk ke kantin untuk bersantap siang. Sesudah itu, kita putuskan untuk meneruskan perjalanan, jadi kita menaiki kereta gantung dan kembali ke tempat semula, lalu berjalan ke Stasiun Echigo-Yuzawa. Meski sederhana, pengalaman di Gala Yuzawa sungguh membekas dan tidak terlupakan. Sambil berjalan, saya suka menyentuh tumpukan salju di tepi jalan. Setelah terkumpul dan dibentuk sebagai bola salju, saya pun menimpuk orang yang ada di depan, haha. 

BL dan HRR, memegang bola salju di tepi jalan.

Kita berhenti sejenak di 7-Eleven untuk membeli cemilan, lalu beberapa di antara kita duduk berendam kaki di sumber air panas di depan Stasiun Echigo-Yuzawa. Dari sana, kita naik shinkansen to Niigata. Setelah melihat salju yang tidak seberapa saat kita mendekati kota, ada rasa bersyukur bahwa kita sudah mampir ke Gala Yuzawa. Kendati begitu, Niigata bukannya tidak memiliki kesan tersendiri. Di kota ini kita mengalami hujan air bercampur salju. 

Niigata terasa seperti kota yang sepi bila dibandingkan dengan Tokyo. Dari stasiun, kita berjalan ke Jembatan Bandai untuk melihat kawasan tepi sungai. Kemudian kita melanjutkan perjalanan ke Minato Marche Pier Bandai. Kawasan pasar ini terbilang sepi di sore hari. Kita singgah ke toko barang-barang organik, lalu ke pasar untuk membeli cemilan lokal seperti sotong mentah dan kerang yang sudah dikeringkan. Tadinya kita sempat duduk di depan pasar, tapi angin laut yang dingin akhirnya memaksa kita masuk ke Hyakuichizen, pondok kecil yang menjual donburi (dan hanya memutar lagu-lagu the Beatles). Oh ya, Niigata terkenal dengan berasnya, tapi setelah dicicipi, terus-terang saya tidak bisa bedakan rasanya bila dibandingkan dengan beras biasa, haha. 

Bersama BL di Niigata.

Kita meninggalkan Niigata sekitar jam 5 sore dan tiba reached Ichiran Asakusa di senja hari. Ada antrian di depan restoran, lazim untuk setiap cabang Ichiran, dan ketika kita duduk di konter masing-masing (ini adalah sesuatu yang unik di Ichiran), jam sudah menunjukkan pukul delapan. Setelah santap malam, saya bergegas ke Uniqlo untuk membeli setelan baju hangat, tapi pusat perbelanjaan tersebut sudah tutup saat saya sampai di sana.  

Eday dan saya lantas berjalan ke Sake no Daimasu Kaminarimon, sebuah bar di Asakusa yang menjual berbagai macam sake. Kita coba hampir semua yang tersedia, mulai dari sake panas sampai sake dingin, tapi akhirnya berulang-kali memesan Snow Drop, sake yang diproduksi oleh Akebono Brewery di Fukushima. Minuman beralkohol ini menggunakan sake dan yogurt sebagai basisnya, rasanya lezat dan enak untuk diminum. 

Snow Drop.

Namun yang paling istimewa dari saat minum di bar ini adalah waktu yang kita habiskan sebagai dua teman yang mirip tapi juga bertolak-belakang karakternya. Kita sudah mengenal satu sama lain begitu lama sehingga kita bukan saja bisa mengenang masa lalu, menertawakan apa yang kita lewati hari ini dan berandai-andai tentang masa depan. Yang lebih penting lagi, kita juga bisa berbicara terbuka satu sama lain tentang apa saja. 

Akan tetapi semua hal harus berlalu. Kita akhirnya memesan botol terakhir dan bar pun tutup. Seperti begitu banyak kenangan luar biasa yang terjadi sepanjang liburan, kita tak pernah bisa lagi mengulangi kebersamaan yang terjadi secara spontan ini, meskipun kita kembali ke tempat yang sama di malam berikutnya.

Kalau saya lihat kembali lagi, berikut ini pendapat saya: 25 tahun silam, ketika dua remaja ini masih duduk di kelas yang sama di SMU Santu Petrus Pontianak, tidak pernah sedikit pun terbayangkan oleh mereka kalau mereka berdua akan duduk berbincang di Tokyo suatu hari nanti. Ini benar-benar sulit untuk dipercaya, tapi di sanalah dua teman lama itu berada, menenggak sake dan tertawa. Kenangan malam itu akan abadi selamanya di dalam hati saya... 

At Sake no Daimasu Kaminarimon.
Photo and art by Eday.

Friday, March 17, 2023

The Japan Trip: The Third Day

The term third day was an inside joke. Back when we were planning for the trip, anything that couldn't fit into the itinerary, we'd brush it aside and say, "we'll do it on the third day." This is why the third day was jam-packed with all sorts of destinations, haha. 

Visiting Tsukiji Market.

The day began with a visit to Tsukiji Market (or Kamakura for Surianto as he went there alone). We were going to have breakfast there, so we went there early (as in punishing early, the recurring theme throughout the Japan trip) then walked from Ginza Station. Susan and friends instinctively joined the queue to buy tamago because the food has to be good if the queue is long. Eday and I walked a bit further and ended up having chirashi don. BL joined us later on.

When we met with the rest of the gang again, Gunawan dragged us to a mochi shop and insisted that we should try it out. The motive behind it was revealed immediately: Gunawan thought the mochi girl was kind of cute because she was shorter than him. He got even more mesmerized when they took a picture together. Parno grumbled when that happened, but much to anyone's surprise, he quickly seized the moment right after Gunawan's turn! 

"Bank of Japan."

After a visit to the fish market, we walked towards Tsukiji Station. We passed by and went into a big building nearby the station, thinking it was Bank of Japan because Parno said so. In retrospect, it was Tsukiji Hongwanji, an unusual Buddhist Temple in the heart of Tokyo. I thought it was a Shinto shrine. Anyway, people were praying, so we went off quietly.

Next stop was Akihabara. We parted ways with the ladies and did the boys stuff, such as drinking coffee at Excelsior Caffé and checking out action figures and book collections at Tamashii Nation, Radio Kaikan and Mandarake respectively. Oh yes, things from our childhood that we couldn't get back then, but we had the money and we were in the right place now! 

Playing Final Fight again!

But what I enjoyed the most there was playing Final Fight again. Nothing beats playing it at the arcade, the way it should be, with a joystick. It felt right to be able to do Cody's infinite combo again. And it was good to know I wasn't that rusty! I reached Rolento on my first try and the second attempt brought me to Abigail! Not bad for a person who hadn't played it for the past 20 years!

After having lunch at Akihabara, we went to Roppongi Hills for another Hard Rock moment. Yeah, t-shirt shopping time! At the same time, Eday was having a call there, so we had a drink at Hard Rock Cafe while waiting for him. Eday joined us and, upon seeing nobody else was on the premises, he hosted an impromptu event. It turned out to be an evening to remember, one that was so genuine, it got us teary. Well, almost all of us as Surianto was having dinner alone in Shibuya while waiting for us there.

Hachiko. You barely see it at the back!

From Hard Rock Cafe, we went to Shibuya because Gunawan would like to see the gambling dog, Pachinko. Eday warned him that unless he wanted to be beaten by the crowd at Shibuya crossing, he better got the name right. It's Hachiko, not Pachinko! Again we split off and together with a couple of us, I went to the Nintendo Tokyo. The iconic red t-shirt was sold out, though. 

At night, the weather had become pretty extreme, I'd say. I wanted to go to Uniqlo and got me something warm, but I never made it there throughout the trip, haha. We stopped by for a while at ABC-Mart instead because BL and HRR wanted to check out the shoes. They moved to another store while the rest of us regrouped. It was suggested that we better rushed to Shinjuku, so off we went. The whole thing was quite chaotic and it didn't help that Shibuya was so crowded. Little did we know that BL was left behind.

HRR, posing with Ryu in Shibuya.

By the time I saw the messages on the chat, we were already in the train. I texted BL back and we went to Don Quijote in Shinjuku. I bought a neck warmer that I eventually wore as a beanie as it was unbearably cold that night. It was freezing, so cold that I was more interested in another warm shelter rather than exploring Shinjuku. At first we went to Osakaya (BL managed to find us here) and had okonomiyaki for our dinner, then we went to Omoide Yokochō to drink sake. 

Our table was on the second floor, next to the staircase. We fitted ourselves in a place so tiny, so crammed, so Japanese and most importantly, so warm. The sake was warm, too, best enjoyed with edamame beans. So there we were, drinking sake and talking about any topics anyone could bring to the table. Now that the moments had passed, we also made fun of Parno for being such a crybaby, haha!

The night in Shinjuku.



Liburan Ke Jepang: Hari Ketiga

Istilah hari ketiga ini adalah sebuah lelucon tersendiri bagi kita yang ikut-serta dalam liburan kali ini. Sewaktu kita merencanakan liburan ini, semua tempat yang tidak berhasil disepakati, kita masukkan ke hari ketiga. Alhasil, hari ketiga jadi paling padat rutenya, haha. 

Pagi di Pasar Ikan Tsukiji.

Hari ketiga ini dimulai dengan kunjungan ke Pasar Tsukiji (atau Kamakura bagi Landak yang bepergian sendiri). Rencananya kita akan sarapan pagi di sana, jadi kita berangkat pagi-pagi (sebelum matahari terbit, seperti yang kita lakukan hampir setiap hari selama berada di Jepang) dan berjalan dari Stasiun Ginza ke pasar ikan. Susan dan kawan-kawan secara naluriah ikut antri untuk membeli tamago karena yang antriannya panjang harusnya enak. Eday dan saya berjalan lebih jauh lagi dan akhirnya memesan chirashi don. BL pun menyusul ke tempat yang sama.

Ketika kita bergabung lagi dengan yang lain, Gunawan menggiring kita ke toko mochi dan bersikeras bahwa kita harus mencobanya. Motifnya segera terkuak: Gunawan ternyata terpukau oleh gadis penjual mochi karena dia lebih pendek dari Gunawan. Dia bahkan kian terpincut ketika sang gadis bersedia untuk foto bersama. Parno mengomeli Gunawan yang mau-maunya foto berdua, tapi tidak sangka dia sendiri pun langsung menyerobot dan minta difoto juga!

Di "Bank Jepang."

Setelah kunjungan ke pasar ikan, kita berjalan ke Stasiun Tsukiji. Kita melewati gedung yang megah dan luas lapangannya, lalu masuk ke dalam untuk melihat-lihat. Sempat kita kira bahwa ini adalah Bank Jepang karena Parno bergumam dengan yakin. Ternyata gedung ini adalah Tsukiji Hongwanji, Wihara Budha yang tidak lazim arsitekturnya. Saya sendiri mengira bahwa ini adalah Kuil Shinto. Banyak yang sedang sembahyang di sana, jadi kita pun menyelinap pergi dalam hening.

Pemberhentian berikutnya adalah Akihabara. Kita berpisah dengan teman-teman wanita dan mengerjakan hal-hal maskulin seperti minum kopi di Excelsior Caffé dan melihat-lihat koleksi mainan dan buku di Tamashii Nation, Radio Kaikan dan Mandarake. Oh ya, ada begitu banyak pernak-pernik dari masa kecil kita di sana, dan sekarang kita memiliki uang dan berada di tempat yang tepat untuk membelinya.

Playing Final Fight again!

Yang paling saya nikmati selama berada di Akihabara adalah bermain Final Fight lagi. Tidak ada yang mengalahkan serunya bermain game ini di dingdong. Sudah paling benar caranya karena menggunakan joystick. Dengan demikian, saya bisa melakukan kombo yang dikenal dengan sebutan tinju balik di Pontianak. Dan ternyata saya masih luwes dalam mengeksekusi gerakan ini. Saya mencapai Rolento di kali pertama dan kalah melawan Abigail di kali kedua. Lumayan bagus untuk seseorang yang sudah tidak bermain Final Fight di dingdong selama 20 tahun!

Setelah menyantap ramen sebagai makan siang di Akihabara, kita pergi ke Roppongi Hills. Saatnya membeli kaos Hard Rock lagi! Sambil menunggu Eday yang ada rapat kantor, kita minum sejenak di Hard Rock Cafe. Tidak berapa lama kemudian dia datang dan setelah melihat ruangan kafe yang hanya diisi oleh kita, Eday lantas menggelar panggung dadakan. Siapa sangka kesempatan tersebut menjadi peristiwa yang akan kita kenang selalu? Begitu mengharukan, sampai-sampai tidak sedikit yang meneteskan air mata. Ya, hampir semua, kecuali Landak yang makan sendirian di Shibuya sambil menanti kita ke sana.

Bersama Hachiko yang nyaris tidak kelihatan di belakang.

Dari Hard Rock Cafe, kita beranjak ke Shibuya karena Gunawan ingin melihat anjing penjudi, Pachinko. Eday mengingatkannya lagi, kalau dia tidak mau dihajar massa yang berlalu-lalang di penyeberangan Shibuya, sebaiknya dia tidak salah nama. Anjing itu bernama Hachiko, bukan Pachinko! Setelah itu kita berpencar lagi. Saya dan beberapa teman pergi ke Nintendo Tokyo. Sayang kaos merahnya sedang terjual habis pada saat kita ke sana. 

Semakin malam, semakin ekstrim pula cuacanya. Saya ingin ke Uniqlo untuk membeli pakaian yang hangat, tapi tidak pernah tercapai sepanjang liburan, haha. Dari Parco, kira berhenti sebentar di ABC-Mart karena BL dan HRR ingin melihat sepatu. Mereka lantas berpindah ke toko berikutnya sementara kita berkumpul lagi dengan yang lain. Sewaktu diskusi diputuskan bahwa kita sebaiknya bergegas ke Shinjuku. Ramainya Shibuya membuat koordinasi terasa kacau dan tergesa-gesa. Tidak kita sadari bahwa BL masih tertinggal di Shibuya. 

HRR berpose dengan Ryu di Shibuya.

Ketika saya melihat grup WA lagi, kita sudah berada di dalam kereta. Saya kabarkan pada BL tentang tujuan kita ke Don Quijote di Shinjuku. Di sana saya membeli penghangat leher yang akhirnya saya pakai sebagai kupluk karena dinginnya malam itu sungguh menyengat. Begitu dinginnya angin malam sehingga saya lebih berminat dengan tempat hangat di dalam gedung daripada menjelajahi Shinjuku. Awalnya kita mampir ke Osakaya (BL berhasil menemukan kita di sini) dan menyantap okonomiyaki, lalu kita ke Omoide Yokochō untuk minum sake.  

Meja kita ada di lantai dua, tepat di samping tangga. Kita duduk berdempetan di tempat yang sempit khas Jepang, tapi yang lebih penting itu hangat tempatnya. Sakenya pun hangat dan enak dinikmati bersama kacang edamame. Di sana kita melewati malam di Tokyo, menenggak sake dan berbicara tentang topik apa saja yang terlontar. Karena momennya sudah berlalu, kita juga bercanda dengan Parno, bertanya kenapa dia cengeng, haha! 

Malam di Shinjuku.

Saturday, March 11, 2023

The Japan Trip: Day Two, In Kawazu

The biggest problem we faced during the recent Japan trip wasn't the distance we covered on foot. No, the worst parts, (yes, it was in plural), were waking up early and the cold weather. The first morning we were there, we woke up around 4:30am (that's 3:30am in Singapore). Freaking inhumane! 

Kawazu, a photo by Eday.

But it was either that or we lost the time as Kawazu is quite far from Tokyo. It also didn't help that JR East Pass didn't cover the Tokaido-Sanyo Shinkansen. So there we were, before the sunrise, walking towards Asakusa Station. The train was there and based on what we saw on Google Maps, it wasn't going to depart anytime soon, so Parno went to pee after asking if we still got time. 

We sat inside the train and waited for Parno. Much to our surprise, the doors closed and the train started chugging. As I sat directly across from Eday, I could see that he, too, was shocked. Clearly it wasn't part of Eday's plan, haha. So the chat group got busy, ensuring Parno knew what to do. It was only then we realized that Muliady was missing, too. And the two of them turned out to be sitting on the opposite side from each other, haha.

At Shimbashi Station, waiting for our train to Atami.

Eday and other JR Pass holders continued their trip as we waited for the Parno and Muliady before heading to another platform at Shimbashi Station to take the train to Atami. But we were here in Japan and once again we got lost in its convoluted train system. Surianto had this habit of going solo, Taty tried her best to follow him while BL and Parno were lagging behind due to some reasons. At Atami Station, only Gunawan, Muliady, Ardian and I made it to the next train. As a result, Eday and friends who took shinkansen waited twice the time than it should be. 

When we reached Kawazu, while waiting for the last group to arrive, I went to buy a postcard, a usual holiday tradition. Posted both this one and the one that was supposed to be mailed from Manila (the post office was closed when we were there) in Kawazu. After that, I went to look for the guys. 

In Kawazu, before the journey began.
Photo by HRR.

Now, prior to this, I never heard of Kawazu. It was Susan who came up with this destination after one of us said about experiencing Sakura Hanami (literally translated as viewing cherry blossom flower). And I am a proud Singaporean that always boasts about my country. But upon seeing how beautiful the panorama was in Kawazu (the morning sunlight, the bridge, the mountain, the river and the cherry blossom), I simply had to admit the view was beyond anything I had seen in Singapore.

So we continued walking towards the sea only to realize that the waterfall was on the other side. We stopped for a while at Lokanta Cafe for a quick bite and drink, then resumed our journey. The sakura trees lining up on the roadside and the next one we encountered was more beautiful than the previous one. A lot of photo-taking happening here!

Parno, after the leg cramp.

The sessions were only disrupted for a while by Parno sitting on a giant director's chair and posing with a big bottle of Biere des Amis 0%. From a certain angle, the sitting posture was so awkward that he looked like Stephen Hawking, but yet his leg cramp reminded us that this was the fake one, haha.

We quite had a long walk (or at least it felt very long because we walked slowly) before we reached another bridge. From here onwards, the road was less crowded and the farther we got, it became quieter. The cold wind was howling loudly and blowing nonstop. We could also see the faraway trees swaying. It was almost brutal! Talk about the force of nature!

The section with sakura trees on two sides.

As we pushed forwards, the more the road felt sloping upwards. When we passed by a bus stop, Susan deciphered the timetable written in Japanese. It was getting late, so we eventually hopped on the next bus instead. And what a wise decision it was! As the bus brought us to the top, we learnt that the pavement eventually disappeared!

The one we took was the second last bus. The last one would come about an hour later, so we quickly visited the Seven Waterfalls. In the end, we only managed to see three. The last one was the biggest and nicest, but it also had the most challenging route to get there and back. Eday was fit and Parno was right behind him, but Taty was panting badly. 

At Odaru Waterfall, the biggest of the seven.

And that would be the last of it. We went back to where we came from and took the bus to Kawazu Station. BL texted us that he and the other three friends had left Kawazu earlier and we would meet again at Ueno Station. Inside the train to Atami, we noticed the news of train breaking down somewhere between Atami and Ueno, so Eday swiftly got the buy-in from others to switch to shinkansen instead. That eventually brought us to the destination faster than BL and friends, haha. 

We had our dinner after one round of walking in Ueno. Surianto went by himself to try out wagyu beef while the rest of us ate at the eatery nearby. Gunawan, Eday and I happened to sit with Parno. After much persuasion, a historic moment took place there: we got a free dinner from Parno!

When Parno paid the bill!

Since the bill was still below budget, we parted ways with others and dragged Parno to spend some more. Surianto suddenly reappeared again and joined us at the right time, because what happened next turned out to be quite an extraordinary revelation. After the yakitori and sake celebration of kanpai, we eventually called it a night. It was 6° Celcius, the coldest I ever felt up until then, but the heartfelt moment we went through did help to keep me warm...



Liburan Ke Jepang: Hari Kedua, Di Kawazu

Masalah terbesar yang kita hadapi selama liburan ke Jepang bukanlah jarak yang kita tempuh dengan berjalan kaki. Tidak, bukan itu. Yang paling parah adalah bangun pagi dan cuaca dingin. Di pagi pertama kita di sana, kita bangun sekitar jam 4:30 pagi (ini sama dengan jam 2:30 pagi di Indonesia Barat). Sungguh tidak manusiawi! 

Kawazu, sebuah foto karya Eday.

Namun pilihannya memang hanya itu atau kita akan kesiangan karena Kawazu cukup jauh dari Tokyo. JR East Pass juga tidak mencakup Shinkansen Tokaido-Sanyo sehingga kita musti naik kereta biasa yang lebih lambat. Jadi sebelum matahari terbit, kita sudah berjalan menuju Stasiun Asakusa. Kereta pertama sudah menanti dan menurut apa yang kita lihat di Google Maps, kereta ini masih akan berada di stasiun untuk beberapa lama. Parno pun pergi kencing karena menyangka masih ada waktu. 

Kita duduk di dalam kereta dan menanti Parno. Di luar dugaan, pintu kereta mendadak tutup dan kereta mulai bergerak. Karena saya duduk tepat di seberang Eday, saya bisa melihat kalau dia juga terkejut. Jadi tampaknya ini bukan rencana Eday, haha. Grup WhatsApp Jepang pun langsung aktif. Kita sibuk memastikan bahwa Parno tahu apa yang ia harus kerjakan. Di saat itu baru kita sadari bahwa Muliady pun tidak bersama kita. Ternyata dua-duanya ketinggalan dan kini duduk berseberangan, haha. 

Di Stasiun Shimbashi, menanti kereta ke Atami.

Eday dan para pemegang JR Pass melanjutkan perjalanan dengan shinkansen sementara kita menanti dua teman yang tertinggal dan menuju ke sudut lain di Stasiun Shimbashi untuk naik kereta biasa ke Atami. Tapi pergantian kereta di stasiun memang agak membingungkan bagi yang baru tiba di Jepang. Landak memiliki kebiasaan menghilang sendiri sementara Taty berusaha mengikutinya dari belakang. Akan halnya BL dan Parno, mereka pun tertinggal karena membeli minum di mesin otomatis. Akhirnya hanya Gunawan, Muliady, Ardian dan saya yang berhasil naik ke kereta berikutnya. Eday dan kawan-kawan yang telah tiba duluan di Kawazu pun terpaksa menanti dua kali lebih lama.  

Saat di Kawazu, sambil menunggu tibanya rombongan terakhir, saya pergi membeli kartu pos, tradisi liburan sejak 2015.  Di Kawazu, saya mengirimkan kartu pos Jepang dan satunya lagi yang semestinya dikirim dari Filipina (kantor posnya tutup pas kita di Manila). Setelah itu, saya cari mereka yang sudah jalan duluan. 

Di Kawazu, sewaktu kita tiba.
Foto oleh HRR.

Nah, sebelum ini, saya tidak pernah mendengar tentang Kawazu. Susan yang mengusulkan tempat tujuan ini setelah salah satu dari kita ingin mencoba Sakura Hanami (secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai melihat bunga sakura). Perlu diingat pula bahwa saya adalah warga negara yang sangat bangga dengan Singapura. Tapi saat melihat betapa indahnya pemandangan di depan mata (sinar mentari pagi yang menerangi jembatan, gunung, sungai dan sakura), saya harus mengakui bahwa keindahan yang saya lihat ini tak ada di Singapura.  

Kita lantas terus berjalan sampai melihat laut di depan kita. Air terjun yang ingin kita tuju ada di arah sebaliknya, jadi kita mampir sebentar di Lokanta Cafe untuk bersantap dan minum sebelum melanjutkan perjalanan. Pohon-pohon sakura berderet di sepanjang jalan dan setiap pohon yang kita lihat terasa lebih bagus dari yang sebelumnya, jadi banyak yang berfoto-foto di sini. 

Parno, setelah kram kaki.

Sesi foto sakura hanya sempat terhenti, tergantikan sejenak oleh Parno yang duduk di kursi direktur raksasa sambil berpose dengan botol Biere des Amis 0% yang besar ukurannya. Dari sudut tertentu, postur duduknya terlihat janggal dan mirip Stephen Hawking, tapi kakinya yang sempat kram di kala duduk langsung mengingatkan kita kalau yang satu ini adalah Stephen palsu, haha. 

Dari situ, kita berjalan cukup jauh (atau terasa jauh karena kita berjalan sangat perlahan) dan sampai di jalan raya berikutnya. Deretan sakura di kawasan ini tidak seramai sebelumnya. Semakin jauh kita menelusurinya, kian sepi pula jalannya. Angin dingin menderu dan bertiup tiada henti. Dari kejauhan, kita bisa melihat pohon-pohon di gunung yang bergoyang. Hal ini mengingatkan saya bahwa kekuatan alam itu sebaiknya jangan dipandang remeh. 

Di satu-satunya bagian yang memiliki dua deretan sakura.

Jalan ke air terjun semakin lama semakin menanjak. Ketika kita melewati halte bis, Susan menerjemahkan jadwal yang ditulis dalam bahasa Jepang. Hari sudah sore, jadi kita menaiki bis berikutnya untuk menghemat waktu. Pilihan ini terbukti bijak, sebab trotoar tak lagi terlihat di jalan yang membawa kita ke atas gunung. Tampaknya memang tidak mungkin untuk berjalan dari kota sampai ke air terjun! 

Bis yang kita tumpangi adalah bis kedua terakhir. Yang berikutnya akan datang satu jam kemudian, jadi kita bergegas mencari Tujuh Air Terjun Kawazu. Akhirnya kita hanya sempat melihat tiga. Yang terakhir adalah yang paling tinggi dan bagus, tapi rute ke sana dan kembali pun naik-turun dan paling menantang. Eday memang bagus staminanya dan Parno yang tangguh pun mengikuti dari belakang, tapi Taty terengah-engah kehabisan napas. 

Di Air Terjun Odaru yang terbesar dari tujuh air terjun.

Dan akhirnya kita menunggu bis pulang dan langsung menuju Stasiun Kawazu. BL memberitahukan bahwa mereka berempat sudah meninggalkan Kawazu dan kita janjian untuk bertemu lagi di Stasiun Ueno. Selagi kita menyusul dengan kereta menuju Atami, terbaca berita tentang gangguan perjalanan antara Atami dan Ueno, jadi Eday mengajak yang lain untuk berpindah ke shinkansen. Dengan kereta super cepat, kita akhirnya tiba lebih dulu di tujuan, haha.

Kita makan malam setelah mengitari Ameya-Yokocho di Ueno. Surianto sekali lagi berpisah karena dia ingin mencoba sapi wagyu sementara yang lain singgah ke tempat makan terdekat. Gunawan, Eday dan saya kebetulan duduk semeja dengan Parno. Setelah dibujuk-rayu, peristiwa bersejarah pun terjadi: kita akhirnya ditraktir oleh Parno!

Ketika Parno membayar tagihan!

Karena tagihannya di bawah anggaran, kita berpisah pula dengan kawan-kawan dan menyeret Parno untuk lanjut traktir. Landak tiba-tiba muncul dan turut bergabung di saat yang tepat, karena apa yang terjadi selanjutnya adalah kisah persahabatan yang langka dan luar biasa. Setelah icip-icip yakitori dan kanpai sake, kita akhirnya pulang. Malam itu suhunya 6° Celcius, paling dingin yang pernah saya alami sampai saat itu, tapi kebersamaan sewaktu minum sake terasa hangat di hati...