Total Pageviews

Translate

Thursday, April 2, 2020

Indulgence In The Time Of Corona

When I heard about the closure of pubs and cinema until further notice, one question immediately came to my mind: what's the meaning of life? It was bad enough that I couldn't travel. If I couldn't drink with friends and watch movies as well, what should I do, then? 

I was made aware by COVID-19 that these three activities had been my favourite pastimes. Over the years, I had subconsciously taken them for granted, as if the indulgence had always been part of my life. Once they were taken away, it became apparent that I had a hole in my life I gotta fill. 

The time of corona changed everything. It was like a rude awakening, but it wasn't necessarily bad. I thought I'd be depressed, but I wasn't. In fact, I was amused by how adaptable human beings could be. At first, it was admittedly unpleasant, but once the reality sank in, it turned out that I could take it quite well.

A happier moment before the closing time.

A rather interesting experience, I would say. During the cold turkey period, I remember having this inexplicable desire to spend. I had this lingering sadness that BlackBerry would be no more this year and I suddenly had this strong urge to buy Google Pixel 4 (by the way, just in case you are wondering, I'm still using my KEY2 now). At the same time, I also did online shopping, buying a book about an Indian who cycled to Sweden for love. I also got myself some Hard Rock Cafe t-shirts, a water filter and other stuff.  

It also didn't help that I got to work from home. I disliked this. To me, home used to be the last sanctuary, my only escape from the madness of the world. Now the worlds collided and everything was commingling. I was unhappy until I reconciled to the fact that it was the reality I had to live with. 

Once I made my peace, it's amazing how the situation improved. For example, I re-discovered that I could play music while working from home. That was surely a bargain! Listening to Stayin' Alive by the Bee Gees while working my ass off in the midst COVID-19 season was definitely what I needed! And the list went on. I always hated waking up early and it was quite a good deal to wake up late on weekdays. I could also call it a day just by shutting down my laptop and voila, I was already at home. It was magical!

Working from home.

The moral of the story? You see, sometimes we clung too dearly to what we had. We liked things to happen our way and it might get just a little too much. I had been spoiled and I fell into the same trap, too. This shake-up made me realize how trivial some things in my life could be. More importantly, I was reminded, or probably forced to re-learn, that I was already blessed with the ability to adapt and be relatively happy. Life is funny that way. I mean, how it teaches us the lesson we need...


Kesenangan Di Musim Corona

Ketika saya mendengar tentang penutupan pub dan bioskop selama musim corona, satu pertanyaan langsung muncul di benak saya: apa arti hidup ini? Sudah cukup buruk bahwa saya tidak bisa berlibur dan berjalan-jalan. Jika saya tidak bisa mengobrol dan menikmati bir bersama teman-teman serta ke bioskop, lantas apa yang mesti saya lakukan? 

COVID-19 membuat saya sadar bahwa tiga aktivitas ini adalah hal yang paling gemar saya lakukan. Bertahun-tahun lamanya kesenangan ini mengisi hidup saya sehingga saya terlena, seakan-akan kegiatan ini selalu menjadi bagian dari hidup saya. Ketika tiga hal ini direnggut oleh corona, tiba-tiba ada lubang menganga yang kini harus saya timbun.

Musim corona mengubah segalanya. Rasanya seperti dibangunkan secara paksa, tapi ada hikmahnya. Tadinya saya mengira bahwa saya akan depresi, tapi ternyata saya baik-baik saja. Saya justru tertegun dengan kemampuan manusia dalam beradaptasi. Ya, awalnya memang terasa tidak menyenangkan, namun setelah fakta pahit ini diterima sebagai bagian dari hidup, ternyata saya bisa melewatinya.

Sebelum pub tutup.

Ini adalah sebuah pengalaman yang menarik. Sewaktu saya merasa bahwa kesenangan saya dirampas secara paksa oleh corona, entah kenapa saya memiliki keinginan untuk berbelanja yang begitu menggebu-gebu. Sejak bulan Februari, saya menyimpan kesedihan karena BlackBerry tidak akan keluar lagi dan tiba-tiba saja saya ingin membeli Google Pixel 4 secara impulsif (oh ya, kalau anda penasaran, saya masih menggunakan KEY2 sekarang). Pada saat yang sama, saya juga banyak berbelanja online, mulai dari membeli sebuah buku tentang Indian yang bersepeda ke Swedia demi cinta sampai memborong beberapa kaos Hard Rock Cafe, saringan air dan barang-barang lain. 

Kerja dari rumah juga turut memperburuk suasana. Saya tidak suka kerja dari rumah karena saya memiliki sudut pandang bahwa rumah bukanlah tempat untuk bekerja, tapi tempat untuk beristirahat dari gilanya dunia. Kerja dari rumah membuat semuanya terasa seperti campur aduk. Saya merasa tidak gembira karenanya. Perasaan ini baru sirna setelah saya memutuskan untuk menerima bahwa inilah kenyataan hidup di masa corona. 

Setelah saya merasa damai di hati, situasi dan kondisi pun membaik dengan cepat. Sebagai contoh, saya menemukan kembali kegembiraan dalam mendengarkan musik dan saya bisa melakukan itu saat bekerja dari rumah. Ini adalah hal yang positif. Kapan lagi saya bisa mendengarkan Stayin' Alive dari Bee Gees saat bekerja membanting tulang di musim corona? Contoh lainnya, saya tidak pernah menyukai bangun pagi dan kini saya bisa tidur lebih siang di hari kerja. Selain itu, saya cukup mematikan laptop untuk berhenti kerja dan hei, saya sudah ada di rumah. Seperti suatu keajaiban!

Kerja dari rumah.

Jadi apa inti dari cerita kali ini? Anda perhatikan bahwa terkadang kita memegang terlalu erat apa yang kita sangka sebagai hak milik kita. Kita selalu berharap bahwa semua terjadi menurut kehendak kita dan ada kalanya harapan kita itu terlalu berlebihan. Saya akui bahwa saya sudah dimanjakan di dalam hidup ini sehingga saya pun tak luput dari jebakan ini. Perubahan yang terjadi karena corona ini membuat saya sadar betapa hal-hal yang menjadi kesenangan saya ini sebenarnya tidaklah terlalu penting. Yang lebih penting adalah fakta bahwa saya diingatkan kembali, atau dipaksa belajar ulang, bahwa saya sudah sedari dulu diberkati dengan kemampuan untuk beradaptasi dan bergembira dengan apa yang ada. Hidup ini lucu, terutama caranya dalam mengajari kita tentang pelajaran hidup yang kita butuhkan...

No comments:

Post a Comment