Total Pageviews

Translate

Wednesday, April 22, 2020

Before It's Too Late, Too...

A while ago, we did something called Before It's Too Late. It was basically a collation of appreciation from one friend to another. You see, people our age die, so instead of speaking what's good about the person at his or her funeral, it'll be better to appreciate our high school friends while they're still around. But it turned out that I was too busy gathering positive feedback that I hadn't written any myself by the time I finished collating them.

Here's the sequel, exclusively from me to you. The experiences we went through together enriched my life. They made me who I am today. The continuous learning from my generation is always a humbling experience. I mean, it's easy to look back and get a little too proud of what I had achieved so far. The thought that I'm just one of the guys is what keeps me in check.

Mul in Singapore. 

My story began with Mul. When we were in high school, I was as good as an orphan because I didn't stay with my parents. When you were in such a situation, it was heart-warming to be frequently invited to have a dinner prepared by a loving mother. His Mum, may God rest her soul, cooked the best meals ever. A few years later, when I was in college, HM and family did the same, too. They were kind to me and HM was like brother I never had.

With HM in Pontianak. 

Talk about brothers, Eday was definitely there throughout the years, from high school till now. We were the two rascals that were involved in many pranks and he used to be one that got away! We travelled together to Jakarta and Temajoh, long before I knew how much I loved travelling. I'm not sure if Eday ever realized this or not, but he was always the talented one, even since our formative days, and I idolized him. Now that we're entering our fourth decade in life, Eday is still a very good friend that often nudged me and voiced his opinion when he thought I'd gotten too impulsive or took a wrong turn. In this time of day when an honest friend is hard to come by, I'm glad that I still have him around.

With Eday in Hong Kong.

Then there was Ardian, another close friend during college days. We were from the same high school, but I didn't know him then. With HM, there was never a doubt that he was the smarter one and I always looked up to him. But Ardian was the first that I'd consider as an equal. We'd hang out, make music or just talk about life, but his biggest contribution was perhaps the time we spent practicing English. We didn't have many people speaking English willingly then and the only other choice was Parno who started speaking French, so Ardian was obviously a better choice, haha.

Parno and Ardian at Melda, Pontianak.

Oh yeah, now that Parno was mentioned, let's talk about him. I tend to think that everyone had a bit of Parno's story in their lives. That's how influential the man is and he wasn't even trying, haha. In my case, Parno was the one with actions that made me laugh, upset, worried, etc. He is like a constant reminder how flawed we are as human beings, but we'll eventually be fine. Parno is ever hopeful and I always remember his innocent comment about life: "because we're contented." If you put the sentence in the right context (you can read the story here), it is as philosophical as it gets!

The next person, the one behind the greatest friendship story ever told, was Endrico. I might have not said this very often, but he was a great person and it was an honor to be his friend. It's one thing to have a lot of friends during happier times, but he'd proven himself time and again that he was around when things got tough. If you've been following Roadblog101 for a while, you'll see him featured in many stories, so I'll keep it short here.

Anthony, Endrico and Jimmy in Kuala Lumpur.

By the way, there were times when you couldn't talk about Endrico without mentioning Jimmy Lim, too. They were like twins then. Though we aren't that close anymore these days, I was fortunate to have Jimmy around when I needed friends the most. Together with Endrico, he paved my way to Singapore and he showed me around. Come to think of it, perhaps that's what his role was in my life. The one that showed me around, from my visit to Kuching to my arrival in Singapore.

And this wouldn't be a complete story with the following two names: another Jimmy and a nice chap named Rudy. Both are my oldest friends. We hung out in many occasions since childhood days, but the last time we ever got together thus far, just the three of us, was last July in Pontianak. I went home after my Dad passed away and Jimmy happened to be in town. As I listened to them talking, I couldn't help thinking how far we had gone our separate ways, but yet there we were, the three friends since kindergarten, still sharing the same table for our supper. If miracles did happen in life, this must be one of them...

Jimmy and Rudy in Surabaya. 


Sebelum Terlambat Juga...

Beberapa waktu yang lalu, saya dan teman-teman mengerjakan artikel yang berjudul Before It's Too Late. Ini adalah semacam kumpulan apresiasi dari beberapa teman untuk teman-teman lainnya. Ide ini lahir setelah saya melihat bahwa teman-teman yang seumuran pun sudah ada yang meninggal, jadi daripada mengenang kebaikannya saat kita mengobrol di rumah duka, tentunya lebih baik bila kita mengungkapkan langsung selagi orangnya masih ada. Nah, ketika saya sibuk merangkai tulisan teman-teman, saya ternyata tidak sempat untuk menulis.

Berikut ini adalah lanjutan dari apa yang telah kita kerjakan sebelumnya, kali ini dari saya untuk beberapa teman seangkatan. Pengalaman yang kita lalui bersama memungkinkan saya untuk mencapai hari ini. Pembelajaran dari teman-teman seangkatan juga merupakan hal berharga yang senantiasa membuat saya rendah hati.

Mul di Singapore. 

Cerita saya dimulai dengan Mul. Semasa SMU, saya tidak jauh berbeda dengan yatim piatu karena tidak tinggal bersama orang tua. Dalam situasi seperti ini, saya sungguh merasa diterima saat diajak untuk makan malam bersama. Almarhum ibu Mul menyediakan makanan yang fantastis! Beberapa tahun kemudian, ketika saya kuliah, HM dan keluarganya juga sangat baik pada saya. HM sendiri bagaikan seorang abang yang tidak pernah saya miliki.

Bersama HM di Pontianak. 

Bicara tentang persaudaraan, Eday selalu hadir, dari masa sekolah sampai sekarang. Kita dulu sering bertindak iseng dan seringkali dia yang lolos dari hukuman! Kita bertualang ke Jakarta dan Temajoh jauh sebelum saya menyadari bahwa saya suka berjalan-jalan. Saya tidak tahu apa Eday pernah menyadari hal ini atau tidak, tapi dia sungguh berbakat dan saya mengagumi talentanya. Sekarang kita memasuki dekade ke-4 di dalam hidup ini dan Eday masih tetap merupakan seorang teman baik yang siap menegur saya bilamana dia merasa saya salah langkah atau terlalu gegabah. Di dunia di mana teman baik begitu langka, saya senang bahwa masih ada seorang teman yang mau memberikan saran dan pendapat.

Bersama Eday di Hong Kong.

Kemudian ada Ardian, seorang teman akrab di masa kuliah. Kita berasal dari SMU yang sama, tapi saya tidak pernah sekelas dengannya pada saat itu. Sebagai teman, HM itu tidak diragukan lagi kepintarannya dan saya selalu salut dengannya. Namun Ardian berbeda. Dia lebih terasa seperti satu level dan sama pula hobinya. Kita sering menghabiskan waktu bersama, bersantai, menulis lagu dan lain-lain, tapi kontribusinya yang terbesar mungkin adalah sebagai lawan bicara dalam berbahasa Inggris. Pada masa itu, tidak banyak yang mau berkomunikasi dalam Bahasa Inggris di Pontianak. Pilihan lainnya cuma Parno yang mulai gemar berbahasa Perancis, jadi Ardian pastilah merupakan pilihan yang lebih tepat, haha.

Parno dan Ardian di Melda, Pontianak.

Oh ya, bicara soal Parno, saya kadang berpikir bahwa setiap orang memiliki kisah Parno dalam hidupnya. Betapa berpengaruhnya Parno, padahal dia sama sekali tidak berusaha untuk tenar, haha. Bagi saya pribadi, Parno adalah teman yang membuat saya tertawa, kesal, cemas dan beragam perasaan lainnya. Dia ini seperti sebuah peringatan yang konstan bahwa manusia itu tidak sempurna, tapi pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Parno selalu penuh harapan dan saya ingat komentarnya yang polos tentang kehidupan: "karena kita sudah merasa cukup." Jika kalimat ini diuji dalam konteks yang benar (anda bisa baca ceritanya di sini), maka akan terasa sangat filosofis! 

Orang berikutnya, yang menjadi inspirasi cerita persahabatan terdashyat yang pernah dikisahkan, adalah Endrico. Saya mungkin jarang mengatakan hal ini, tapi Endrico adalah seorang teman yang luar biasa dan saya bangga menjadi temannya. Adalah suatu perkara biasa kalau kita memiliki banyak teman di kala senang, tapi beda cerita kalau kita sedang dirundung kesulitan. Endrico sudah membuktikan bahwa dia tetap hadir di kala teman susah dan membutuhkan. Jika anda sudah mengikuti Roadblog101 cukup lama, pastilah anda sudah banyak membaca tentang dirinya yang sering muncul di berbagai cerita, jadi paragraf tentang Endrico saya persingkat hingga di sini saja.

Anthony, Endrico dan Jimmy di Kuala Lumpur.

Ada suatu ketika di mana kita pasti menyebut nama Jimmy Lim kalau sedang berbicara tentang Endrico. Mereka seperti kembar dan selalu bersama. Walau Jimmy tidak lagi dekat dengan kita sekarang, saya tetap bersyukur bahwa Jimmy hadir di kala saya membutuhkan bantuan kawan. Bersama Endrico, dia membuka jalan saya ke Singapura. Kalau saya pikirkan kembali, mungkin memang demikianlah peranannya. Dia adalah penunjuk jalan, mulai dari saat kunjungan saya ke Kuching sampai tibanya saya di Singapura. 

Dan cerita kali ini tidak akan lengkap tanpa dua nama berikut ini: seorang Jimmy lagi dan seorang teman lain bernama Rudy. Dua orang ini adalah teman saya yang paling lama. Kita berteman cukup dekat, berpisah dan bertemu lagi di berbagai kesempatan dalam hidup ini. Terakhir kali kita berkumpul bertiga adalah bulan Juli lalu di Pontianak. Saya pulang ke rumah setelah Papa meninggal dan Jimmy kebetulan mampir ke Pontianak. Saat saya menyimak perbincangan mereka, saya jadi membayangkan betapa jauh kita sudah menempuh jalan hidup masing-masing. Menakjubkan rasanya bahwa kita masih bisa bersama, tiga teman dari sejak TK, menikmati sotong di malam hari. Jika keajaiban memang terjadi di dalam hidup ini, pertemuan ini pastilah salah satunya...

Jimmy dan Rudy di Surabaya. 

No comments:

Post a Comment