Total Pageviews

Translate

Saturday, September 2, 2017

The Divine Intervention

You know the saying that God works in a mysterious way? I think I had such an experience. Mind you, by my own admission, I'm not a very religious person. In life, I quote Lennon-McCartney better than I quote Bible. That, apparently, doesn't mean that I am not part of His greater plan. This is the story where He used me to deliver His plan. Personally, the role was like less as a messenger but more of as a middle man. It was revealed to me much later on as hindsight, that I was part of a beautiful love story written by Him in a way only He could do.

It began as a day in a life for me, where I was struck by ideas. It was quite common for me to be brimming with ideas, where some would then be realized and some would stay forever as ideas. On that occasion, I was thinking of a road trip to meet some old friends that lived on a road less traveled. Once I made a simple plan for our trip to Bekasi and Karawang, I posted the event on Facebook page and see how it went. At the same time, I nudged them all the time on our alumni group chat. Eventually I formed a gang of seven, consisting of some familiar faces, some that I hadn't seen in years and one that I never met before until the existence of Whatsapp. Three of them were already in Jakarta, alright, but as I flew in from Singapore, the other three also made their way from other towns, namely Bogor, Pontianak and Ketapang.

The day that started all.
Picture credit: Endrico Richard

We had a small gathering of perhaps around 20 people the night before our departure, just friends having dinners and talked about our lives for the past 18 years, since the day we left high school. That was a fun prelude before the trip! Then, on the following morning, we began our ride. I was on the driver seat, driving with a rusty skill and an outdated memory about the roads in Jakarta. The traffic jam was killing my knee, as I had this bad habit of stepping on the clutch pedal to switch gears very often. A painful ride though it was, the trouble was worth it, because after few hours, we eventually arrived at the house of our long lost friend.

The road trip team members, four out of seven.

Now, if I could trust my instinct, this was the very first time our main characters met. Prior to this, I believe there was no interaction whatsoever between the two, because they never crossed path, be it at school or after graduation, and they lived worlds apart from each other. Anyway, let me introduce them first: she was our host, a beautiful woman from who had gone through some of the toughest things in life. The man beneath the scruffy look was formerly a close friend of mine in high school and during the first year of college before we sort of drifted apart as years went by. He was easily one of the nicest, most polite, and gentlemanly guy around (he got the best handwriting ever for a man!), albeit a bit quiet and definitely not the loudmouth, rock n' roll type like me.

I remember her saying that she never thought we would really make it, because after all these years, only her closest friend ever visited her once or twice. After having no visitors for the longest time, it was a very unprecedented lovely surprise that our gang arrived at her doorstep. I remember having few slices of nice pudding as I observed a living room full of cheerful friends, where what was a seemingly casual conversation between the two took place (she asked what he was doing and he said he was in the same construction materials business as her). There was nothing unusual about it, certainly not a love at first sight if you asked me, but hey, what did I know? Haha. We had an early dinner afterwards and off we went for the second leg of our journey to Karawang.

Fast forward to months later, we started hearing that some friends spotted the two of them together, but as curious as I was, I thought of not saying anything until they told us themselves, just to give them some privacy. And that they eventually did. In early June this year, roughly a year after they first met, each of the road trip member received a personal wedding e-invitation. I jokingly told the rest that I almost spit out my spaghetti during my lunch time as I was so surprised by it and they mockingly replied that I simply couldn't accept it because I was jealous.

But I wasn't jealous, of course. On the contrary, I was very much amused, because it got me thinking, so all this wouldn't happen if I didn't plan the trip in the first place? As tempting as it sounds, I don't think I want to claim that credit. I am not that great, anyway. For the fact that I never guessed the two would end up together, it only goes to show that what we did was only the first part of the divine intervention. For some strange reason, I was used by Him to bring them, the two souls made in heaven, together on this earth. The others and I were were chosen to take part and witness the unknown beginning of the story that was unraveled to us a year later.

It was a beautiful love story. It's also a privilege to be a part of the blessing. I'm excited for them and I hope you can feel it, too, through this writing. Let's join me in wishing them a happy life ahead...

Early dinner at Bebek Kaleyo, the spiciest duck ever, before heading to Karawang.

Kuasa Yang Di Atas

Saya sering mendengar bahwa Tuhan bekerja secara misterius. Secara pribadi, saya rasa saya tidaklah terlalu religius. Di dalam hidup ini, terus-terang saya lebih mahir mengutip lirik Lennon-McCartney daripada ayat kitab suci. Akan tetapi, meski saya memiliki kekurangan, ini ternyata tidak berarti bahwa saya tidak dipakai Tuhan untuk rencana-Nya. Cerita berikut ini adalah cerita yang, menurut saya, mengisahkan bagaimana saya dan teman-teman berpartisipasi dalam rencana Yang Maha Kuasa. Ketika itu saya sama sekali tidak tahu, terlebih lagi karena peran saya yang lebih mirip perantara daripada pembawa pesan. Setelah saya lihat kembali, barulah saya tahu bahwa saya adalah bagian dari kisah cinta yang ditulis oleh Tuhan menurut kehendak-Nya.

Semua ini bermula seperti hari biasa, dimana saya selalu memiliki beberapa ide yang saya pikir bisa diwujudkan. Pada kesempatan itu, terbersit di benak saya bahwa mungkin saya bisa melakukan perjalanan darat bersama teman-teman lama dan mengunjungi mereka yang sudah lama tidak ditemui. Sesudah saya membuat sebuah rencana sederhana (kumpul, makan malam, berangkat besok pagi, singgah di Bekasi dan menginap semalam di Karawang), saya membuat event di halaman Facebook alumni angkatan '98. Kemudian, sambil menjelang hari-H, saya berulang kali menyinggung acara dalam berbagai kesempatan di chat grup alumni. Pada akhirnya terbentuklah anggota perjalanan yang cukup untuk satu mobil, dengan komposisi berikut: tiga teman yang masih sering bertegur-sapa, dua teman yang sudah lama tidak berjumpa dan satu teman yang sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan saya sampai kita bertemu di grup Whatsapp. Tiga dari mereka memang sudah tinggal di Jakarta, namun tiga yang lain datang dari Bogor, Pontianak dan Ketapang hampir bersamaan waktu dengan saya yang terbang dari Singapura menuju Jakarta.

Alumni angkatan '98.

Setibanya di Jakarta, kita makan malam di Sun City. Sekitar 20an alumni berkumpul dan berbagi kisah selama 18 tahun terakhir, terhitung sejak kita lulus SMA. Senang rasanya bisa berkumpul lagi! Kemudian, keesokan harinya, kita pun memulai perjalanan. Saya berada di kursi pengemudi, menyetir lagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dengan ingatan yang memudar tentang jalan-jalan di Jakarta. Macetnya perjalanan sungguh menyiksa lutut saya karena kebiasaan buruk saya dalam menginjak kopling selama mengendarai mobil, tapi upaya yang kita tempuh akhirnya terasa membuahkan hasil saat kita akhirnya tiba di rumah teman lama yang sudah puluhan tahun tidak berjumpa.

Walau saya tidak tahu pasti, saya selalu berpikir bahwa inilah pertama kalinya pemeran utama kita saling bertemu. Sebelum ini, saya rasa mereka hampir tidak mengenal satu sama lain dan saya berasumsi bahwa mereka tidak pernah berinteraksi di masa sekolah dan setelah lulus. Oh ya, mari saya perkenalkan mereka dulu: tuan rumah yang kita kunjungi adalah seorang wanita tegar yang sudah menjalani berbagai cobaan hidup, sedangkan sang pria adalah seorang lelaki yang sopan, baik dan tipe pria sejati (dengan tulisan tangan pria yang paling bagus yang pernah saya lihat!), namun tergolong pendiam.

Saya ingat ketika tuan rumah kita berujar bawah dia tidak pernah menyangka bahwa kita benar-benar akan berkunjung, soalnya setelah bertahun-tahun lamanya, hanya seorang sahabat karibnya yang pernah mampir. Setelah lama tidak dihampiri tamu, kunjungan kita seakan sulit dipercaya. Saya juga ingat saat saya menyantap beberapa potong puding sambil mengamati wajah-wajah ceria di ruang tamu, tempat yang sama dimana percakapan antara kedua tokoh utama ini terjadi (sang wanita bertanya apa pekerjaannya dan sang pria menjawab bahwa dia juga mengurus toko bangunan). Tidak ada yang istimewa dari perbincangan mereka, jadi saya tidak memiliki kesan bahwa itu adalah cinta pada pandangan pertama. Akan tetapi saya memang sering salah menduga, jadi anggap saja saya memang tidak becus dalam menilai, haha. Sesudah itu, kita pun berangkat untuk makan malam dan melanjutkan petualangan ke Karawang.

Beberapa bulan kemudian, kita mulai mendengar berita dari teman-teman lain yang konon melihat mereka berdua. Walau saya juga penasaran, sekali ini saya diam saja untuk memberikan pasangan ini privasi sampai mereka sendiri siap untuk memberikan kabar gembira pada kita. Akhirnya, awal Juni tahun ini, mereka mengirimkan undangan nikah kepada setiap anggota tim Karawang. Setelah undangan saya terima, sambil bercanda saya katakan bahwa spaghetti yang saya makan pas jam makan siang hampir saja muncrat karena berita heboh ini. Teman-teman tim Karawang pun dengan iseng menggoda bahwa itu karena saya iri dan tidak bisa terima.

Tentu saja saya tidak iri. Bahkan sebaliknya, saya sangat terkesan, sebab saya jadi berpikir betapa menariknya hidup, bahkan yang seperti ini pun bisa terjadi. Saya membayangkan, jika saya tidak merencanakan perjalanan ini, apa mereka lantas tidak akan bersama? Saya tidak tahu, tapi yang jelas saya tidak berani berbangga hati dan beranggapan bahwa ini adalah ide saya. Kenyataannya sederhana saja, kalau saya tidak pernah menyangka bahwa mereka akan jadian dan menikah, itu  berarti apa yang saya lakukan hanya langkah awal dari kuasa Yang Di Atas. Untuk sesuatu alasan yang mungkin tidak akan pernah saya pahami, saya dipakai untuk mempertemukan dua insan yang terpisah di bumi ini. Teman-teman dan saya terpilih untuk mengambil bagian sebagai saksi dari awal dari sebuah kisah yang kemudian diakhiri dengan sedemikian indahnya.

Seperti kata pepatah lainnya, semua indah pada waktunya. Saya dan teman-teman merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari kisah penuh berkat ini. Semua turut bergembira untuk pasangan ini dan saya harap anda pun bisa merasakannya. Mari bergabung dengan saya untuk mengucapkan doa dan harapan yang terbaik untuk mereka...

Event 2016.



Positif Terhadap Setiap Masalah Dan Sesama

Lingkungan, masalah dan sesama kita adalah pikiran kita

Lingkungan kita adalah pikiran kita

Suatu ketika seorang pria menelepon Norman Vincent Peale. Ia tampak sedih. Tidak ada lagi yang dimilikinya dalam hidup ini. Norman mengundang pria itu untuk datang ke kantornya.

“Semuanya telah hilang. Tak ada harapan lagi,” kata pria itu. “Aku sekarang hidup dalam kegelapan yang amat dalam. Aku telah kehilangan hidup ini.”

Norman Vincent Peale, penulis buku the Power of Positive Thinking, tersenyum penuh simpati. “Mari kita pelajari keadaan anda.” 

Pada selembar kertas ia menggambar sebuah garis lurus dari atas ke bawah tepat di tengah-tengah halaman. Ia menyarankan agar pria itu menuliskan apa-apa yang telah hilang dari hidupnya pada kolom kiri, sedangkan pada kolom kanan, ia menulis apa-apa yang masih tersisa.

“Kita tak perlu mengisi kolom sebelah kanan,” tatap pria itu. “Aku sudah tak punya apa-apa lagi.”

“Lalu kapan kau bercerai dari istrimu?” tanya Norman.

“Hei, apa maksudmu? Aku tidak bercerai dari istriku. Ia amat mencintaiku!”

“Kalau begitu bagus sekali,” sahut Norman dengan penuh antusias.

“Mari kita catat itu sebagai nomor satu di kolom sebelah kanan “Istri yang amat mencintai.”

“Nah, sekarang kapan anakmu masuk penjara?”

“Anda ini konyol sekali. Tak ada anakku yang masuk penjara!”

“Bagus! Itu nomor dua untuk kolom sebelah kanan “Anak-anak tidak berada dalam penjara.” kata Norman sambil menuliskannya di atas kertas tadi.

Setelah beberapa pertanyaan dengan nada yang serupa, akhirnya pria itu menangkap apa maksud Norman dan tertawa pada diri sendiri. “Menggelikan sekali. Betapa segala sesuatunya berubah ketika kita berpikir dengan cara seperti itu.” 

Kata orang bijak, bagi hati yang sedih, lagu yang riang pun terdengar memilukan. Sedangkan orang bijak lain berkata, sekali pikiran negatif terlintas di pikiran, duniapun akan terjungkir balik. Maka mulailah hari dengan selalu berpikir positif.

Tuliskanlah hal-hal positif yang kita pernah dan sedang miliki dalam hidup ini, bebaskan pikiran-pikiran kita dari hal-hal negatif yang hanya akan menyedot energi negatif dari luar diri kita. Dengan berpikir positif, kehidupan ini akan terasa amat indah dan tidaklah sekejam yang kita bayangkan. Obyek-obyek yang berada di sekitar kita akan sangatlah tergantung dari bagaimana cara kita memandang dan mempersepsikannya. Lingkungan kita adalah pikiran kita. Lingkungan akan berbuat positif kepada kita jika kita mempersepsikannya baik, sebaliknya lingkungan akan berbuat negatif kepada kita ketika kita mempersepsikan sebaliknya.

Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya

Di dalam hidup kita, yang perlu kita ingat adalah setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Jangan kita mengharapkan, apalagi mengharuskan seseorang itu sempurna, begitu pun seseorang yang kita idolakan. Pernahkah anda mengenal orang yang serba bisa? Yang sempurna? Setiap orang dilahirkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tidak ada orang yang sempurna dan tidak ada yang bisa melakukan semua hal sendirian. Maka dari itu kita manusia disebut makluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri karena kita saling melengkapi satu sama lain. Berpikir positif terhadap orang lain artinya kita melihat kelebihannya dan mencoba menjadikan kelebihan itu menjadi inspirasi kita untuk lebih baik, bukan memandang kekurangan seseorang dan merendahkannya.

Kita akan lihat sebuah cerita di bawah ini yang menggambarkan kelebihan dan kekurangan setiap orang:

Suatu hari bertemulah dua orang sahabat lama di kampung pesisir sebuah pantai. Keduanya dulu sahabat di bangku SD dan SMP. Seiring dengan berjalannya waktu dan kesempatan, maka selepas dari SMP maka mereka menjalani kehidupan masing-masing, yang satu pergi merantau ke kota untuk meneruskan jenjang pendidikannya hingga menjadi profesor dan satunya tetap tinggal di kampung nelayan dan menjalani kehidupan menjadi nelayan sejati.

Setelah waktu beberapa puluh tahun maka suatu hari Sang Profesor pulang kampung mengunjungi sanak-saudara dan keluarga beserta teman-teman lamanya. Bertemulah kedua sahabat itu dan kemudian saling melepas kangen. Sebagai bentuk reuni mereka, teman yang berprofesi sebagai nelayan mengajak temannya yakni Sang Profesor untuk naik perahu kecil memancing ikan ke tengah lautan. Dalam perjalanan ke tengah laut terjadilah dialog yang menarik antara dua kawan lama ini.

“Apa kamu bisa berbahasa inggris?” tanya Sang Profesor kepada si nelayan.

“Wah, terus terang saja saya tidak sempat belajar bahasa Inggris karena aku hanya belajar sampai SMP dan kemudian menjadi nelayan setiap pagi dan sore.” jawab si nelayan dengan ringan dan sedikit malu-malu.

“Rugi sekali kamu tidak bisa bahasa Inggris, dengan bahasa Inggris kamu bisa mempelajari aneka ilmu, berkeliling dunia, merantau dan bisa menjadikan kamu kaya raya. Sebaliknya jika kamu tidak bisa bahasa Inggris berarti kamu sudah kehilangan 50% hidupmu,” kata Sang Profesor dengan nada yang mulai menampakkan keunggulan dan kesombongannya.

Kemudian profesor itu bertanya lagi, “kalau ilmu matematika kamu bisa, tidak?”

Dengan rasa malu yang kian besar, nelayan itu menjawab parau, “apalagi ilmu matematika, kamu tentu tahu sendiri, dengan bekalku yang cuma lulusan SMP, pasti tidak tahu banyak tentang matematika.”

Jawaban si nelayan menjadikan Sang Profesor makin besar kepala dan merasa lebih dari sahabat lamanya. Tiba di tengah laut, mendadak cuaca berubah menjadi mendung dan ombak hujan bercampur angin lebat menerpa perahu kecil kedua sahabat tersebut. Melihat kondisi ini Sang Profesor menjadi sangat ketakutan dan memegang erat-erat tepian perahu.

“Tenang saja, kawan, ombak ini insyaallah tidak akan membinasakan kita. Ini biasa terjadi kalau cuaca seperti ini,” celetuk si nelayan, memberikan penerangan kepada Sang Profesor. “Kita tidak usah takut. Jika ombak menghempaskan perahu ini maka kita tinggal berenang beberapa ratus meter dari sini dan kita akan sampai ke daratan pantai,” tambah nelayan tersebut. 

Mendengar ucapan itu, maka makin takutlah Sang Profesor dan ia mendekap erat si nelayan. Sang Profesor kemudian berkata dengan penuh ketakutan, “justru karena saya tidak bisa berenang maka saya takut jika perahu ini terbalik dan ombak menghempaskan kita di tengah laut.”

“Wah, percuma kamu jadi profesor tapi tidak bisa berenang. Kalau tidak bisa bahasa Inggris dan Matematika, tadi kamu katakan akan kehilangan 50% hidupmu, tapi jika saat ini kamu tidak bisa berenang maka kamu akan kehilangan 100% hidupmu.”

Dari cerita pendek di atas kita bisa tahu bahwa jika kita mempunyai kelebihan maka kita tidak boleh mencela dan menghina kekurangan orang lain karena bisa jadi kita banyak kelebihan di satu sisi tapi banyak juga kekurangan di sisi lainnya. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Hiduplah dengan saling mengisi agar kehidupan ini menjadi saling melengkapi dan semakin indah.

Di dalam setiap jiwa manusia selalu ada mawar yang tertanam. Tuhan yang menitipkannya kepada kita untuk dirawat. Tuhan 'lah yang meletakkan kemuliaan itu di setiap kalbu kita. Layaknya taman-taman berbunga, sesungguhnya di dalam jiwa kita, juga ada tunas mawar dan duri yang akan merekah.

Namun sayang, banyak dari kita yang hanya melihat duri yang tumbuh. Banyak dari kita yang hanya melihat sisi buruk dari orang lain dan diri kita yang akan berkembang. Kita sering menolak keberadaan orang lain dan diri kita sendiri. Kita kerap kecewa dengan orang lain maupun diri kita dan tak mau menerimanya. Kita berpikir bahwa hanya hal-hal yang jelek dan melukai yang akan tumbuh dari kita. Kita menolak untuk melihat dan menyirami hal-hal baik yang sebenarnya telah ada di dalam orang lain dan diri kita. Dan akhirnya, kita kembali kecewa, kita tak pernah memahami potensi orang lain yang bisa membantu kita berkembang dan potensi diri kita yang kita miliki.

Banyak orang yang tak menyangka, mereka juga sebenarnya memiliki mawar yang indah di dalam jiwa. Banyak orang yang tak menyadari, keberadaan mawar itu. Kita sering disibukkan dengan duri-duri kelemahan orang lain dan diri kita serta onak-onak kepesimisan dalam hati ini. Kadang kita bukan saja perlu mencatat hal-hal positif yang kita miliki, tapi juga yang orang lain miliki. Seperti yang kita bahas sebelumnya bahwa lingkungan kita adalah pikiran kita, begitu juga dengan orang-orang sekitar kita. Mereka akan berbuat positif kepada kita jika kita mempersepsikannya baik, sebaliknya mereka akan berbuat negatif kepada kita ketika kita mempersepsikan sebaliknya.

Kita akan membaca ilustrasi berikut ini :
Suatu ketika, ada seseorang pemuda yang mempunyai sebuah bibit mawar. Ia ingin sekali menanam mawar itu di kebun belakang rumahnya. Pupuk dan sekop kecil telah disiapkan. Bergegas disiapkannya pula pot kecil tempat mawar itu akan tumbuh berkembang. Dipilihnya pot yang terbaik dan diletakkannya pot itu di sudut yang cukup mendapat sinar matahari. Ia berharap bibit ini dapat tumbuh dengan sempurna.

Disiraminya bibit mawar itu setiap hari. Dengan tekun dirawatnya pohon itu. Tak lupa pula jika ada rumput yang menganggu, segera disianginya agar pohon mawar itu terhindar dari kekurangan makanan. Beberapa waktu kemudian, kuncup bunga itu mulai tumbuh. Kelopaknya tampak mulai merekah, walau warnanya belum terlihat sempurna. Pemuda ini pun senang, kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Diselidikinya bunga itu dengan hati-hati. Ia tampak heran, sebab tumbuh pula duri-duri kecil yang menutupi tangkai-tangkainya. Ia menyesalkan mengapa duri-duri tajam itu muncul bersamaan dengan merekahnya bunga yang indah ini. Tentu, duri-duri itu akan menganggu keindahan mawar-mawar miliknya.

Sang pemuda tampak bergumam dalam hati, “Mengapa dari bunga seindah ini, tumbuh banyak sekali duri yang tajam? Tentu hal ini akan menyulitkanku untuk merawatnya nanti. Setiap kali kurapikan, selalu saja tanganku terluka. Selalu saja ada bagian dari kulitku yang tergores. Ah, pekerjaan ini hanya membuatku sakit. Aku tak akan membiarkan tanganku berdarah karena duri-duri penganggu ini.”

Lama kelamaan, pemuda ini tampak enggan untuk memperhatikan mawar miliknya. Ia mulai tak peduli. Mawar itu tak pernah disirami lagi setiap pagi dan petang. Dibiarkannya rumput-rumput yang menganggu pertumbuhan mawar itu. Kelopaknya yang dahulu mulai merekah, kini tampak merona sayu. Daun-daun yang tumbuh di setiap tangkai pun mulai jatuh satu-persatu. Akhirnya, sebelum berkembang dengan sempurna, bunga itu pun meranggas dan layu.

Apakah kita akan seperti itu? Jika kita bisa menemukan mawar-mawar indah yang tumbuh dalam diri orang lain, kita akan dapat mengabaikan duri-duri yang muncul. Kita akan terpacu untuk membuatnya lebih merekah dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul baik di dalam diri orang tersebut maupun dalam diri kita. Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita. Kenikmatan yang terindah adalah saat kita berhasil untuk menunjukkan diri orang lain dan diri kita tentang mawar-mawar itu dan mengabaikan duri-duri yang muncul. Mungkin kita akan juga berjumpa dengan onak dan duri dalam diri orang lain maupun dalam diri kita, tapi janganlah itu membuat kita berputus asa. Mungkin, tangan-tangan kita akan tergores dan terluka, tapi janganlah itu membuat kita bersedih nestapa. Itulah perjuangan hidup kita.

Biarkan mawar-mawar indah itu merekah dalam hati kita. Biarkan kelopaknya memancarkan cahaya kemuliaan-Nya. Biarkan tangkai-tangkainya memegang teguh harapan dan impian kita. Biarkan putik-putik yang dikandungnya menjadi bibit dan benih kebahagiaan baru bagi kita. Sebarkan tunas-tunas itu kepada setiap orang yang kita temui dan biarkan mereka juga menemukan keindahan mawar-mawar lain dalam jiwa orang lain dan dalam diri mereka.

Sekali lagi yang perlu kita ingat adalah setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Terkadang kita mengagumi orang lain dari sisi kelebihannya ataupun kehebatannya namun ketika kita kenal lebih dekat dengan orang tersebut, tentu kita akan banyak tahu juga tentang segala kekurangannya. Janganlah segala kekurangannya itu membuat kita melupakan kelebihannya, seharusnya kita belajar dari kelebihan orang-orang yang kita kenal bukan berpikir negatif terhadap kekurangannya. Kita akan lihat cerita di bawah ini yang menggambarkan betapa mudahnya melupakan kelebihan atau kebaikan orang:

Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apa pun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Ia lantas melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.

Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata, “Nona,, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?” 

“Ya, tetapi, aku tidak membawa uang,” jawab Ana dengan malu-malu. 

“Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu,” jawab si pemilik kedai. “Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu.”

Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang. 

“Ada apa, Nona?” Tanya si pemilik kedai. 

“Tidak apa-apa. Aku hanya terharu,” jawab Ana sambil mengeringkan air matanya. “Bahkan seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi, tetapi ibuku sendiri setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah. Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri,” katanya kepada pemilik kedai.

Setelah mendengar perkataan Ana, pemilik kedai itu menarik nafas panjang dan berkata, “Nona, mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini. Aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu dari sejak kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya.”

Ana terhenyak mendengar hal tersebut. “Mengapa aku tidak berpikir tentang hal tersebut? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.”

Segera Ana menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya yang menampakkan wajah letih dan cemas. 

Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulut Sang Ibu adalah, “Ana, kau sudah pulang, cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur. Makanan akan menjadi dingin jika kau tidak memakannya sekarang.”
ada saat itu Ana tidak dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.

Kita bisa lihat dari cerita ini bahwa betapa mudahnya kita melupakan kelebihan dan kebaikan orang hanya karna masalah kecil atau melihat sisi negatifnya dan bahkan kadangkala segi negatif seseorang itu pun kita yang ciptakan dengan kata lain kita yang mengada-gada. Dan dari cerita di atas pula, saya secara pribadi ingin berpesan kepada kita semua sebagai anak; janganlah melupakan jasa orangtua kita. Seringkali kita menganggap pengorbanan mereka merupakan proses alami yang biasa saja, tetapi kasih dari orang tua kita adalah hadiah yang paling berharga. 

Ingatlah, semakin kita mengenal seseorang semakin banyak kekurangan orang itu yang kita tahu. Saya ulangi lagi kalau setiap orang mempunyai kekurangan dan kelebihannya. Belajarlah dari kelebihan setiap orang yang kita kenal. Dan itu bisa terjadi jika kita berpikiran positif terhadap orang lain terlebih dahulu.

Nah, sebaliknya kalau kita berpikir negatif terus, apa pun yang dilakukan, apapun kebaikannya, kita sudah tidak mau tahu. Terus apa yang bisa kita pelajari? Jadi, berpikirlah positif terhadap orang lain. Tentu saja setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya, jadi mari kita belajar dari kelebihan orang-orang lain untuk mengembangkan diri kita.

Ingat, mengembangkan diri kita bukan berarti untuk membanding-bandingkan dengan kekurangan dalam diri kita. Apa gunanya mengeluhkan kelebihan orang lain dan menyiksa diri sendiri dengan selalu melihat kekurangan dalam diri kita?

Untuk berhasil, kita tidak harus mempunyai segala fasilitas atau kemampuan yang terbaik, tapi menggunakan atau memanfaatkan apa yang ada di dalam diri kita dengan sebaik-baiknya. Contoh: banyak orang selalu berpikir bahwa mereka akan berhasil jika mereka mempunyai papa yang kaya raya atau mempunyai kepintaran yang luar biasa, oleh karena itu mereka hanya mengeluh dengan segala situasi yang ada dalam hidup mereka. Dan mereka mulai dengan berandai-andai dengan kata JIKA: “Jika saya mempunyai papa yang kaya seperti Bill Gates, jika saya pintar seperti Albert Einstein dan lain-lain.”

Terus apa yang akan terjadi? apakah mereka akan berhasil? Tentu saja mereka akan berhasil namun dalam khayalan, tidak dalam kenyataan di dalam hidup mereka. Kalau kita mau berpikir positif dan realitis, kenapa kita tidak mencoba menjadi papa yang kaya raya sehingga anak-anak kita tidak perlu berkhayal untuk mempunyai papa yang kaya raya.

Apa yang tidak mungkin dalam hidup kita selama kita berusaha, berdoa untuk sesuatu yang lebih baik? Semuanya pasti mungkin. Jika kita telusuri dari mana orang mempunyai papa yang kaya raya dan orang yang mempunyai kepintaran lebih, kita akan menemukan semuanya itu adalah dari hasil usaha, kerja keras, perencanaan, doa dan penantian yang tidak kenal putus asa sehingga orang-orang tersebut mencapai apa yang mereka inginkan. Misalnya: ada pertanyaan, darimana orang mempunyai papa yang kaya raya? Jawabannya adalah dari kakeknya, terus kakeknya darimana kaya raya nya? Jawabnya dari papa kakeknya. Jika kita bertanya terus, maka kita akan tahu bahwa itu dari usaha, kerja keras, doa dan penantian yang panjang sehingga dia menjadi papa yang kaya raya.

Bagi sebagian orang, anak-anak adalah masalah, tapi sebenarnya mereka adalah anugerah.


Wednesday, August 30, 2017

Symphony Of The Goddesses

If it was entirely up to me, my younger daughter would have been named Zelda. As the elder one was called Linda, their names would have rhymed perfectly. The idea of the name Zelda, of course, came from the game. I fell in love with it at first sight and now, 30 years later, I still do. It is no ordinary game. It is, as the name says it all, a legend. Almost every game in the series was beautifully crafted, bringing us a brilliant adventure like no other.

Then there is the music, an important aspect and integral part of Zelda. The theme song is majestic, giving an impression that you are into something epic. When Link meets Zelda, the familiar background music is calm and gentle, convincing us it is one moment in time when a princess grants us an audience. The jingle that plays as Link discovers something sounds curiously satisfying. Then we have Link learning all sorts of tunes with his ocarina or flute, depends on which game you are playing.

In my case, the kid who played the Legend of Zelda, the Adventure of Link and a Link to the Past is the same person as the adult who played Phantom Hourglass, Spirit Tracks, Ocarina of Time, Majora's Mask, a Link Between Worlds and many more. When I said 30 years as I began writing this, I wasn't kidding. It has been that long and its music, too, has been an important aspect and integral part of my life.

So imagine how I felt when I found out that Symphony Of the Goddesses was coming to town. I was tempted, but at the same time hesitated. My one and only experience with the likes of concerto was, perhaps, 10 years ago, when I tried out Mozart, and it wasn't a pleasant experience. I mean, I read about Mozart and I always admire the man who is forever known as a musical genius, but when it comes to his art, I fail to appreciate it for I don't understand it at all. Classical music is no Rock n' Roll and when I attended the Mozart piece, I had no idea which song the musicians were playing.



As I was in doubt, I just posted the link on Facebook and wrote the word tempting as a status. Hady, a friend of mine, picked up the mixed signal, saying that he'd like to go, too, so it became a done deal. More than a month later, we were sitting inside the MasterCard Theatres at the Marina Bay Sands, waiting for the show to begin.

There was a short introduction from Shigeru Miyamoto before the music started. The man who spearheaded the creation of the game offered an insight that the theme song sounds like what we hear today due to the limitation of Nintendo sound chips at that time. It's amazing that the Nintendo team could come up with something this good even when the odds were not in their favor!

Then conductor Jessica Gethin came on stage. I'm no expert in music conducting and always puzzled by what conductors do (they seem to be just stand there and wave the baton with no specific pattern), but as this was a Zelda, it was as if she was holding the magical Windwaker baton. She moved seamlessly and at ease, enjoying the music as she prompted the musicians to play and the choir to sing. At the background, the screen showed the original Legend of Zelda in the glorious 8-bit format. As I listened to the theme song, I watched with an excitement of that kid who played the game many years ago. All those good times I had felt like coming back to me.

As the show progressed, the scenes on the screen were changing every time the music ended. As for the tunes, some were familiar enough for me to recognize it immediately, but for those from the games that I never played, that was where the visuals came handy. It went to show that Windwaker was one legendary adventure with phoenix and dragon, told in a cartoon style, whereas the Twilight Princess and Skyward Sword were more serious. During the encore, I was surprised that they'd do something obscure such as Link's Awakening. Then, as we're having the coolest thing going on with Nintendo Switch, of course they had to close it with Breath of the Wild.

A personal favorite? I was glad that Symphony of the Goddesses did a medley from a Link to the Past at the end of the show, before the encore. I was especially ecstatic when they played the theme from Dark World, an upbeat theme worthy of the adventure. It was great. I have the fondest memories of the game (believe me, it was the best game in the 90s) and the cherished moments were multiplied by the release of a Link Between Worlds. The whole performance was like a quick recap of the journey, started from the time Link woke up to his final battle with Ganon. It was perfect!

And as we left the theatre, I found myself whistling the tune. I just couldn't help it. This was Zelda we were talking about. It was irresistible, wasn't it?

Before the symphony began.

Simfoni Dewi-Dewi

Jika proses pemberian nama sepenuhnya bergantung pada saya, putri kedua kami pasti sudah bernama Zelda hari ini. Kakaknya bernama Linda, jadi nama mereka akan memiliki rima yang sama. Bagi yang bisa menerka, nama Zelda sudah pasti berasal dari game the Legend of Zelda. Game ini langsung menjadi favorit sejak saya memainkannya dan sekarang, setelah 30 tahun berlalu, saya masih menyukainya. Bagi saya, ini bukan game biasa, melainkan sebuah legenda. Hampir setiap game Zelda membawa kita ke sebuah petualangan yang tidak tertandingi oleh game lainnya. 

Berbicara tentang Zelda berarti juga berbicara tentang musiknya, bagian yang penting dan tidak terpisahkan dari game itu sendiri. Lagu utamanya begitu menggugah, seakan-akan kita benar-benar sedang menjalani sebuah petualangan. Sewaktu Link bertemu Zelda, lagu yang mengiringi pertemuan tersebut bernuansa tenang, mengingatkan kembali bahwa ini adalah sebuah momen ketika seorang tuan putri sedang menerima tamunya. Lagu pendek yang terdengar tatkala Link menemukan rahasia memberikan kesan bahwa misteri telah terungkap. Lantas ada juga penggalan lagu-lagu pendek yang dipelajari Link dengan ocarina atau seruling, tergantung game apa yang kita sedang mainkan.

Bagi saya pribadi, bocah yang dulu bermain game the Legend of Zelda, the Adventure of Link dan a Link to the Past kebetulan adalah orang yang sama dengan pria dewasa yang bermain game Phantom Hourglass, Spirit Tracks, Ocarina of Time, Majora's Mask, a Link Between Worlds dan masih banyak lagi. Ketika saya menuliskan 30 tahun di paragraf pertama, saya tidak sedang bercanda. Sudah selama itu saya bertualang bersama Zelda dan tentu saja musiknya pun menjadi bagian yang penting dan tidak terpisahkan dari hidup saya.

Oleh karena itu, bisa dibayangkan bagaimana rasanya ketika saya tahu bahwa Symphony Of the Goddesses akan tampil di Singapura. Saya ingin menyaksikan pertunjukannya, tapi di satu sisi saya juga merasa ragu. Satu-satunya pengalaman saya dalam menonton konserto ada sekitar 10 tahun yang lalu, ketika saya menghadiri konser musik Mozart, dan itu bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Saya sering membaca dan selalu mengagumi Mozart yang jenius, tetapi saat mendengarkan gubahannya secara langsung, saya gagal paham. Musik klasik ternyata berbeda jauh dengan Rock n' Roll dan saat mendengarkannya, saya tidak ada ide sama sekali, ini sebenarnya lagu apa.



Saya tidak yakin dan iseng menuliskan kata tempting sebagai status di Facebook sekaligus menampilkan cuplikan konser di bawahnya. Rupanya Hady, teman saya, melihat status ini dan berkomentar bahwa dia juga berminat, maka kita pun membeli tiketnya. Satu bulan kemudian, kita duduk di MasterCard Theatres di Marina Bay Sands, menanti dimulainya pertunjukan. 

Acara dibuka oleh kata sambutan dari Shigeru Miyamoto. Orang yang menciptakan game ini membeberkan rahasia bahwa lagu utama yang terdengar gegap-gempita ini sebenarnya diciptakan seperti itu karena keterbatasan komponen suara di mesin Nintendo. Ini satu hal yang patut dikagumi dan dicontoh dari orang Jepang karena keterbatasan yang ada tidak membuat mereka mencari jalan pintas, tapi justru membuat yang terbaik dari keterbatasan tersebut.

Setelah itu, konduktor Jessica Gethin pun naik ke panggung. Saya tidak pernah mengerti apa sebenarnya peran seorang konduktor musik karena mereka sepertinya hanya melambai kiri-kanan secara sembarangan, tapi berhubung ini adalah Zelda, dia terlihat seperti sedang mengayunkan tongkat Windwaker, salah satu senjata utama di game dengan nama yang sama. Wanita tinggi berambut pirang ini terlihat begitu santai dan menikmati saat ia memimpin lagu, mengarahkan musisi untuk memainkan instrumen tertentu dan memberi isyarat bagi penyanyi kur untuk bernyanyi. Sementara itu, di layar yang ada di latar, game pertama dalam format 8-bit yang khas Nintendo itu pun ditampilkan. Saya menikmati pertunjukan itu dengan kegembiraan seorang anak kecil yang memainkan game tersebut puluhan tahun silam, bagaikan terbuai oleh kenangan masa lalu. 

Selama pertunjukan berlangsung, tampilan di layar senantiasa berubah setiap kali musik berakhir. Akan halnya musik yang dimainkan, beberapa di antaranya bisa langsung dikenal, tapi untuk musik yang berasal dari game yang tidak pernah saya mainkan sebelumnya, tampilan di layar menjadi sangat membantu. Dari situ juga bisa dilihat bahwa Windwaker adalah petualangan legendaris yang melibatkan naga dan phoenix, namun dikisahkan dalam animasi kartun yang lucu dan santai, sedangkan Twilight Princess dan Skyward Sword memiliki kesan yang lebih serius. Ketika konduktor kembali ke panggung untuk dua lagu terakhir, mereka memainkan lagu dari Link's Awakening, game Zelda dari era Game Boy yang tidak begitu dikenal. Sebagai penutup, karena sekarang Nintendo Switch sedang ramai dibicarakan, tentu saja mereka harus memainkan lagu dari Breath of the Wild.

Tentang momen favorit selama pertunjukan, saya senang mereka memainkan rangkaian musik a Link to the Past. Saya tersenyum ketika musik utama yang mengiringi perjalanan Link di Dark World melantun. Benar-benar luar biasa. Saya memiliki kenangan tersendiri tentang game ini (saya percaya ini adalah game terbaik di dekade 90an) dan kenangan ini seperti berlipat ganda ketika lanjutannya, Link Between Worlds, dirilis. Kembali ke pertunjukan di teater, rasanya seperti menyaksikan rangkuman singkat dari petualangan Link, mulai saat dia dipanggil Zelda dalam tidurnya sampai pada pertarungannya melawan Ganon. Sempurna! Dan musiknya masih terngiang-ngiang ketika saya meninggalkan aula, membuat saya bersiul tanpa sadar...

Symphony of the Goddesses
(Photo credit: Symphony of the Goddesses - Facebook page)

Sunday, August 27, 2017

The Salted Egg Fish Ball Saga

Nothing lasts forever, even cold November rain. Of all the people I know, nobody could relate to the lyrics more than this friend of mine. Hardy sang the song wholeheartedly when he was in the band and he knew what it meant when his was in such situation. The construction materials business that he had done for a decade went down the drain in a blink of an eye. Whatever work and effort that followed afterwards also failed. Suddenly his future looked bleak and uncertain, especially when he got a family to take care of. Then he thought of something that could be done within his means and fast depleting savings: food business. On October 2014, he opened his salted egg fish ball stall at Pasar Delapan Alam Sutera, making use of a small kiosk with the size of 2.5 x 2.5 meters.

At a glance, his foray into food and beverages world seemed like an odd choice, but apparently Hardy always had a lifelong culinary hobby. It also helped that he had a brother-in-law, Handoko, who ran this little-known salted egg fish ball eatery in Pontianak. At wit's end and with no better options in hand, Hardy went back home to learn the 18-year-old family recipe. Once he mastered it, he crossed the sea again to make good use of the skill. It was his last resort. He wasn't sure, but he knew he just got to try it.

Yours truly, enjoying salted egg fish balls soup and a bowl of noodles.

Back to Tangerang, his stomping ground, he did his survey. With no car as a mean of transport, it only made sense that he started somewhere nearby and familiar. He chose Pasar Delapan due to its close proximity and the fact that there was quite a significant number of West Kalimantan people there. As salted egg fish ball was a rather unusual cuisine for the locals, having some potential customers that might have heard about it was definitely a plus point.

As expected from the beginning of every good story, it was a rough ride. The early routine was punishing, but at least he didn't have to do it alone. Supported by his faithful wife, Henny, the couple would wake up at 3.30am to transport the homemade fish balls to the market and made sure that the broth was already boiling before 7am. Once he had finished selling for the day, they would spend their late afternoon at home to prepare the next batch of fish ball for tomorrow. Upon the task completion at around 10 pm, Hardy then rushed to Muara Angke fish market to buy his ingredients. He'd really call it a day at around 1am to catch few hours sleep before starting the next cycle of his daily routine. This monotonous activities would last for about six months.

He learnt the ropes afterwards. At the same time, his business was also picking up, therefore it was possible for him to improve. He rented a shop house and shifted his stall there, making it more presentable for him and comfortable for the customers. He also hired the staff to help him out at the eatery and at home, where he would prepare the fish paste for them to make the fish balls. He, too, had the permanent vendors for fish and other cooking ingredients now.

The man...

Hardy paid a special attention to the fish because it was the base of what he was selling. He used yellow tailed snapper because the meat was firm and it didn't or smell taste too fishy. In order to give the best for the customers, he used only the export grade quality, which meant the fish was skinned and frozen right away on the fishing boat after it was made into fillet, hence the fresh result. This was then made into fish balls, bitter gourd fish balls, stuffed tofu, fish stick and, of course, the special variant of fish ball that became the brand name.

The brand...

All these were combined to make up various dishes such as Pontianak fish porridge, fish soup, assorted noodles, kway teow, etc. Sitting on top of the menu list was the enigmatic salted egg fish balls. It was such a strange name that many food lovers would find it irresistible. As it started gaining an unprecedented popularity, Trans 7, a TV channel, sent their food detectives, Sasha Sylvia and Lolita, to investigate. Chef Adzan Budiman also tagged along for the mission. After that, Hardy was invited to a TV programme called Pagi Pagi by Net TV to discuss about the salted egg fish ball with the hosts Hesti and Andre Taulany. Since then, the particular menu had been enjoyed not only by regular customers, but also the likes of Vice Governor of West Kalimantan, Mayor of Singkawang and so forth.

The signature...

Nothing lasts forever, even cold November rain. And Hardy can finally take a breath and look back. All the hard work he had done definitely paid off. Nevertheless, what's next for the man? He is toying with an idea of a second stall to cater for the customers that are staying far from Alam Sutera. We will definitely hear from him via Facebook and Instagram (you can search using the keyword: bakso ikan telur asin Ahan), but until then, perhaps we can drop by and have a bowl of salted egg fish balls first. How about that, eh?

At the TV Programme, Pagi Pagi by Net TV

Sebuah Kisah Bakso Ikan Telur Asin

Nothing lasts forever, even cold November rain. Dari semua orang yang saya kenal, rasanya tidak ada yang lebih memahami lirik lagu Guns n' Roses ini selain teman saya yang satu ini. Hardy menyanyikan lagu ini dengan sepenuh hati ketika dia berada di band dan dia tahu apa artinya ketika hidupnya dirundung masalah. Bisnis bahan bangunan yang sudah digelutinya selama 10 tahun kandas begitu saja dalam sekejap mata karena sesuatu dan lain hal. Apa pun usaha yang ia lakukan setelah itu tetap tidak membuahkan hasil. Tiba-tiba saja masa depannya terasa suram, apalagi saat ia teringat dengan keluarga yang harus ia nafkahi. Setelah lama berpikir, ia merasa bisa melakukan sesuatu yang sesuai dengan kemampuan dan modal yang tersisa: bisnis makanan. Pada bulan Oktober 2014, ia pun berjualan bakso ikan telur asin di Pasar Delapan Alam Sutera di kios mungil KV 12 yang berukuran 2,5 x 2,5 meter.

Menu-menu yang tersedia.

Sekilas pandang, terjunnya Hardy ke dunia makanan terasa janggal, tapi ternyata dia memang memiliki hobi memasak dari sejak dulu. Hardy pulang ke Pontianak untuk belajar dari adik iparnya, Handoko, yang telah mewarisi usaha ayahnya dalam berjualan bakso ikan telur asin. Setelah menguasai resep keluarga yang sudah hampir berusia 20 tahun, Hardy menggunakannya sebagai jurus pamungkas. Di kala itu ia tidak ada pilihan lain, jadi dia hanya bisa mencoba dengan sepenuh hati dan segenap upaya.

Sekembalinya ia ke Tangerang, Hardy lantas melakukan survei. Karena tidak memiliki mobil sebagai sarana transportasi, dia memutuskan untuk memulai dari tempat yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Selain dekat, Pasar Delapan juga merupakan tempat di mana banyak orang Kalimantan beraktivitas. Karena bakso ikan telur asin bukanlah menu yang dikenal baik oleh orang lokal, adanya calon pelanggan yang pernah mendengar tentang masakan ini tentunya layak dipertimbangkan sebagai nilai tambah.

Seperti yang bisa ditebak dari setiap permulaan cerita sukses, yang terjadi pada awalnya adalah kerja keras. Rutinitas Hardy benar-benar melelahkan, tapi syukurlah ia tidak perlu menjalaninya sendiri. Didukung oleh istrinya, pasangan ini bangun jam 3.30 pagi untuk mempersiapkan dan membawa bakso ke pasar. Setelah itu, kuah ikan harus dipastikan mendidih sebelum jam 7 pagi, sebab pelanggan pertama akan segera datang untuk sarapan. Seusai berjualan dari pagi hingga siang menjelang sore, Hardy dan Henny kemudian pulang ke rumah untuk membuat bakso yang akan dijual keesokan harinya. Setelah itu, Hardy akan bergegas ke pasar Muara Angke untuk membeli bahan-bahan masakannya. Biasanya ia baru bisa terlelap sekitar jam 1 pagi. Beberapa jam kemudian, mereka sudah harus bangun lagi untuk memulai aktivitas yang sama di hari berikutnya. Kegiatan yang monoton ini berlangsung kurang-lebih enam bulan lamanya.

Beraneka bakso dan tahu, siap untuk dimasak dan disajikan.

Lambat laun Hardy mulai mengerti seluk-beluk pekerjaan baru yang ditekuninya. Pada saat bersamaan, bisnisnya pun mulai membaik, karena itu ia bisa melaksanakan berbagai terobosan yang sudah dipikirkannya. Ia menyewa ruko yang lebih besar sebagai tempat yang lebih layak dan nyaman untuk berjualan. Selain itu, dia juga mempekerjakan karyawan, baik di toko maupun di rumah. Dengan demikian, Hardy cukup mempersiapkan adonan bakso dan karyawannya bisa lanjut membuat bakso sementara dia berjualan di toko. Dia kini berlangganan di suplier tetap untuk ikan, telur asin dan bahan-bahan lainnya.

Hardy sangat serius dengan mutu ikan yang ia pakai untuk membuat bakso. Dia menggunakan ikan ekor kuning karena dagingnya yang tidak terlalu lembek dan amis. Untuk kepuasan pelanggan, Hardy hanya memakai kualitas ekspor, dimana ikan yang ditangkap langsung diproses menjadi fillet dan dibekukan di kapal ikan untuk menjamin kesegaran ikan tersebut. Bahan dasar ini kemudian diolah menjadi bakso ikan polos, bakso pare, tahu isi ikan dan tentu saja bakso ikan telur asin.

Detektif Rasa, Sasha Sylvia dan Lolita.

Semua bahan-bahan makanan ini kemudian dikombinasikan menjadi berbagai menu, mulai dari bubur ikan Pontianak, sup ikan, yam mie, yam kwetiau dan yam bihun, lengkap dengan minum tradisional bernuansa segar seperti es jeruk nipis dan es cincau. Dari daftar menu, sudah bisa dipastikan bahwa yang paling menarik perhatian adalah bakso ikan telur asin. Nama hidangan yang tidak lazim ini menarik perhatian banyak pencinta makanan dan kian lama kian terkenal. TV swasta Trans 7 bahkan mengirimkan Detektif Rasa, Sasha Sylvia dan Lolita, untuk melakukan investigasi. Misi itu mereka emban bersama koki Adzan Budiman. Setelah itu, Hardy juga diundang untuk mengisi acara Pagi Pagi di Net TV untuk berdiskusi tentang bakso ikan telur asin bersama pembawa acara Hesti dan Andre Taulany. Sejak itu, menu laris ini bukan saja dinikmati oleh khalayak ramai, tetapi juga figur publik seperti Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Walikota Singkawang dan bos besar Ace Hardware/Living World Mall.

Foto bersama rombongan pejabat dan pengusaha. 

Nothing lasts forever, even cold November rain. Dan Hardy akhirnya bisa berhenti sejak untuk menoleh kembali apa yang telah dicapainya. Setelah pengalaman pahit yang menimpanya, ia tetap bisa bangkit dan berdiri tegak. Semua kerja kerasnya tidak sia-sia. Jadi apa rencana ke depannya? Hardy seringkali berpikir tentang untuk membuka cabang di tempat lain yang memudahkan para pelanggan yang sulit menghampiri Alam Sutera. Kita nantikan kabarnya lewat Facebook dan Instagram (bisa dicari dengan kata kunci: bakso ikan telur asin Ahan). Sambil menunggu, mungkin kita bisa mampir dan mencicipi semangkok bakso ikan telur asin dulu. Ya, nggak?

Oh ya, pakar bakso kita ini juga jagonya gitar, makanya sering pakai kaos the Rolling Stones atau John Lennon sewaktu berdagang. 




Thursday, August 24, 2017

Book Review: Hotel K

Hotel K is like Woodstock in the sense that it has sex, drugs and rock n' roll, except it's a prison, not a concert venue. I first heard of it when I had a drink with an Australian of Indian descent and, as we talked about life and culture, Bali was mentioned. While the two of us agreed that Bali is a paradise island, he told me the dark side of Bali that I never heard of. It was a notorious jail called Kerobokan. A few days later, he passed me the book about it.

It wasn't a kind of book that I would normally pick up, but when a book is crazy enough to open its story with something as extreme as sex night, then it must have enough materials that are engaging enough for one to keep on reading. That was when I learnt about the existence of such a sleazy, corrupt and evil place in Bali. Hotel K is a strange ecosystem where drugs and sex are thriving, where the inmates and their jailers are making use of each other as they co-exist and it's also a place where all sorts of shady characters were locked together.

The book wasted no time to get to the point. After a shocking opening, it went on to introduce who the inmates were, from drug dealers to murderers. It also spent some chapters giving us insight of how drug smuggling was done and how the drug mules were usually captured. It was beyond the sanest mind to ever think of inserting drugs into anus or vagina, or even swallowing them for that matter, only to excrete them out later on. What's more impressive is, these unthinkable methods are actually quite common for those drug dealers, whom could be men or women, locals or foreigners, from white to black and whatever skin colors in between.


Then it talked about the prison itself. It was a chaotic mad house that was over capacity, famous for its cell tikus and run by the sadistic but yet easily-bribed jail guards. It failed to anticipate a prison break back in 1999, but was still used as a prison for the most hated terrorist in Bali, whom successfully orchestrated the bombing in Jimbaran from behind the iron bars. It was also the jail where the inmates, especially those who had money, could check out and check in as they liked, hence the name, Hotel K. It was also the place where one could either ended up at the dirtiest and the most inhumane cell ever or getting what was like a five stars hotel room instead, when he or she was able to pay. It was actually amusing to read about how the guards would sell drugs to the inmates only to catch them using it some other day. It also had women's cell block that never lacked of not-so-girlie antics, especially during the time when the Black Monster was incarcerated. Rape and murder cases also happened from time to time.

It became more like a story, albeit a crazy one, when certain inmates were established as the so-called main characters. These were mainly the foreigners and they were interacting with the forces to reckon with at Hotel K, from likes of Saidin the cold blooded killer, Iwan Thalib who ran a furniture workshop as a camouflage of his drugs factory in prison, Arman the drug lord, the terrorists Amrozi and Imam Samudra, the Bali King, the infamous Bali Nine, the brother of Gordon Ramsay, to the fearsome Laskar Bali, who would rule the jail by overpowering the jail guards. The writer did a good job in making these characters fascinating that as a reader, I would almost care about them as I carry on reading.

Hotel K is an eye-opener and a reminder that a world full of vices and its vicious cycle actually exist. It's in Bali, our doorstep for the world to come in. As an Indonesian, it was a bitter pill for me to swallow (pun intended, I guess) when I read about our law and order. The whole system, from court to jail, can be so unbelievably twisted. The fact that a convict that carried hundreds of pills could be sentenced less severe than those who carried only two pills only goes to show how the justice in Indonesia can fail us sometimes. The moral of the story? Don't do drugs in Bali and don't do drugs ever!

Hotel K, the unusual book that turned out to be fantastic.


Hotel K

Apa yang terjadi di Hotel K boleh dikatakan mirip semboyan Woodstock: seks, obat-obatan dan rock n' roll. Yang membedakan keduanya adalah tempatnya, karena Hotel K adalah penjara, bukan panggung konser. Saya pertama kali mendengar tentang Hotel K saat saya minum dengan seorang Indian berbangsa Australia dan, sewaktu kita berbicara tentang kehidupan dan budaya, pulau Bali pun disebut. Kita berdua setuju bahwa Bali adalah Pulau Dewata, tetapi ternyata ada sisi lain yang tidak saya ketahui sebelumnya. Sisi kelam ini adalah penjara bernama Kerobokan. Beberapa hari kemudian, kolega saya ini pun meminjamkan bukunya kepada saya.

Topik seperti ini tidak pernah masuk dalam daftar buku yang ingin saya baca, tapi ketika sebuah buku cukup gila untuk memulai bab pertamanya dengan sesuatu yang ekstrim seperti pesta seks di malam hari, tentunya buku ini memiliki cukup bahan yang bisa membuat kita sibuk membaca. Dari sinilah saya mengetahui tentang keberadaan penjara yang korup dan penuh perzinahan serta kejahatan. Hotel K adalah sebuah ekosistem yang sangat aneh dimana obat-obatan dan seks merajalela. Berbagai macam pelaku kejahatan ditahan di sana, menjalani hidup bersama sipir penjara dan saling memanfaatkan satu sama lain. 

Buku ini tidak membuang-buang waktu dalam bercerita. Setelah bab pertama yang mengejutkan, bab berikutnya langsung membahas tentang para tahanan, mulai dari pengedar narkoba sampai pembunuh. Bagian selanjutnya memberikan gambaran tentang penyelundupan obat terlarang dan bagaimana para pengedar ini ditangkap. Sebelum ini, saya tidak pernah tahu bahwa obat-obat ini bahkan dimasukkan ke dalam lubang pantat atau vagina. Yang lebih dashyat lagi, kadang kurir narkoba ini bahkan menelan bawaannya yang telah dibungkus secara profesional dan baru dikeluarkan dengan cara buang air besar setelah tiba di tempat tujuan. Apa yang tidak pernah terpikirkan saya ini sebenarnya hal yang biasa di dunia narkoba. Karena teriming-iming oleh uang, banyak pria dan wanita, orang lokal atau asing, kulit putih, hitam atau apa saja, terjerumus menjadi pemakai dan penyelundup. 

Hal selanjutnya yang dideskripsikan dengan detil adalah penjara itu sendiri. Hotel K adalah sebuah tempat yang penuh dengan residivis dan kekacauan, terkenal dengan sel tikusnya yang kecil, sempit dan tidak manusiawi. Penjara terbesar di Bali ini dikelola para penjaga yang sadis tetapi gampang disogok. Penjara ini berhasil dibobol oleh tahanannya di tahun 1999, tapi masih juga digunakan untuk memenjarakan teroris pemboman Bali. Dari balik jeruji besi di penjara ini, para teroris berhasil mengorganisir pemboman di Jimbaran. Yang lebih unik lagi, para tahanan bisa keluar masuk penjara, terutama bila tahanan tersebut sanggup untuk membayar atau tergolong penjahat kelas kakap. Hotel K juga merupakan tempat dimana sel penjara bisa sedemikian kotornya sehingga tidak manusiawi, tapi di satu sisi memiliki sel semewah hotel bintang lima. Para sipir penjara biasa menjual obat bius kepada tahanan kemudian menangkap mereka karena menggunakannya. Hotel K juga memiliki blok penjara wanita dimana berbagai kasus bisa terjadi, terutama saat si Monster Hitam masih dipenjara. Pembunuhan dan pemerkosaan bisa dikatakan lumrah di situ.  

Memasuki pertengahan buku, alur ceritanya kian menyerupai fiksi, terutama karena beberapa tahanan yang sering ditampilkan berulang kali mulai terasa akrab di mata pembaca. Orang-orang ini kebanyakan adalah orang asing dari mancanegara, mulai dari Brazil, Nigeria, Amerika, Inggris, Perancis, Austria sampai Australia, dan mereka berinteraksi dengan para penguasa di penjara serta tokoh-tokoh lainnya, mulai dari Saidin si pembunuh berdarah dingin yang memenggal kepala korbannya, Iwan Thalib yang membuka pabrik mebel sebagai kamuflase dari pabrik obat terlarang, Arman si pengedar nomor satu yang brutal, teroris Amrozi dan Imam Samudra, Raja Bali, Bali Nine, adik dari koki terkenal Gordon Ramsay, sampai dengan Laskar Bali yang terkenal sangar dan akhirnya menguasai penjara. Penulis berhasil menampilkan para karakter ini dengan luar biasa sehingga sebagai pembaca, kita jadi terbawa untuk peduli bagaimana nasib mereka selanjutnya.

Kesimpulannya, Hotel K membuka mata pembaca dan mengingatkan kita kembali bahwa dunia kejahatan seperti ini sungguh nyata dan terjadi di Bali, gerbang pariwisata Indonesia bagi dunia luar. Sebagai orang Indonesia, rasanya pahit untuk membaca tentang sistem pengadilan di negara kita. Korupsinya luar biasa mengakar, mulai dari pengadilan sampai penjara. Fakta bahwa seorang pelaku yang membawa dua ratusan butir pil bisa dihukum lebih ringan dari mereka yang tertangkap membawa dua butir adalah peringatan bagi kita bahwa hukum di Indonesia kadang berpihak pada mereka yang memiliki uang. Moral dari kisah ini? Jangan mau membeli narkoba di Bali dan jangan pernah mau memakai narkoba!
  



Tuesday, August 22, 2017

The ASEAN Tour: Brunei

The visit to Brunei was part of my Malaysia-Brunei trip in 2009. Since we were heading to Sabah, I thought we could spare two days one night in Bandar Seri Begawan, too. Furthermore, my buddy Swee Hin and I had an ex-colleague who just returned to Brunei, so he could show us around. After a short stop in Kota Kinabalu to explore the city on foot, we headed back to airport and began what would be the shortest flight in my life thus far.

The flight duration from Kota Kinabalu to Bandar Seri Begawan was roughly around 45 minutes. It was as good as taking off, filling up your immigration card then the crew would immediately prepare the passengers for landing right after that. The first impression I had was, even though the country's currency was pegged to Singapore Dollar, the airport didn't look like Changi at all. Perhaps there wasn't a need for that.

At the airport, with Chian Kai (middle) and Swee Hin (right).

Our friend picked us up and drove us to some budget hotel nearby Sultan Omar Ali Saifuddin Mosque. It was around BND 100 per night and we checked in there, a decision that I soon regretted because the Empire Hotel was only less than BND 300, but more to that later.

As we were on our way to the hotel, it dawned on me that the strong currency had not much to do with the country's development. In my opinion, Brunei looked more like any other place in Kalimantan than Singapore, but it had a profound Islamic influence that became part of its culture. And that was what made the trip more interesting, because I never saw anything like this before. Even in Indonesia, where we have the biggest Muslim population in the world, the culture is uniquely mixed. In Brunei, we could see the Jawi writing everywhere.

In front of Sultan Omar Ali Saifuddin Mosque.

As we were waiting for Chian Kai, our local friend, to pick us up for dinner, we explored the surroundings and happened to see Teng Yun Temple on the riverside. From there, we walked to Sultan Omar Ali Saifuddin Mosque and the mall nearby the landmark. We met our friend there and he brought us somewhere for a fancy dining that included ostrich meat in the menu. Exotic, eh? But I had actually tried it in Batam, though, haha.

From there we went to Jerudong Park, the venue where Michael Jackson performed a free concert in the celebration of the 50th birthday of the Sultan. For an amusement park, Jerudong Park was awfully quiet. I wasn't entirely sure if it was because it had been quite late when we went there. We didn't stay long and quickly made our way to the Imperial Hotel. This was one impressive hotel that directly faced the South China Sea on one side. It was so grand, a really fine architecture. If I remember correctly, it even had a cinema there. For the fact that it could have been our one and only visit to Brunei, we should have stayed there! Chian Kai then said we should hang out at the cafe. It was an interesting experience. Because alcohol was banned, we actually had coffee that night. I was told that if the locals would like to go for a drink, they would have to drive to Miri, Sarawak. That must be one helluva effort to get drunk!

The next day, I realized that the public transport was actually not well developed. I was wondering if that was because almost everyone had cars and petrol was quite cheap down there. As a result, it wasn't exactly tourist friendly. We had to wait for our friend to fetch us again, this time to Gadong for lunch. For the remaining time that we had, we went to have a look at Kampong Ayer from afar, then it was followed by another visit to another mosque, I think it was the one called Jame'Asr Hassanil Bolkiah. It had many glorious golden domes, easily one of the most modern looking mosque ever. Next, it was the airport and we flew back to Sabah...

Swee Hin and Chian Kai at the chicken rice shop, Gadong.


Tur ASEAN: Brunei

Kunjungan ke Brunei merupakan bagian dari perjalanan Malaysia-Brunei di tahun 2009. Karena kita sudah kepalang tanggung ke Sabah yang bersebelahan dengan Brunei, maka kita rencanakan pula wisata dua hari satu malam ke Bandar Seri Begawan. Keputusan ini masuk akal mengingat saya dan Swee Hin, teman seperjalanan saya, memiliki kolega dari Brunei yang baru berhenti kerja dan pulang ke tempat asalnya. Oleh karena itu, setelah eksplorasi singkat di Kota Kinabalu dengan berjalan kaki, kita langsung kembali ke bandara dan memulai penerbangan paling singkat yang pernah saya tempuh.

Penerbangan dari KK ke BSB berkisar 45 menit. Begitu kita lepas landas, pramugari langsung membagikan kartu imigrasi dan setelah selesai diisi, tidak lama kemudian langsung terdengar pengumuman untuk menegakkan sandaran kursi karena pesawat akan segera mendarat. Saat kita tiba, kesan pertama adalah, walaupun dolar Brunei memiliki nilai tukar satu banding satu dengan dolar Singapura, bandaranya sama sekali tidak semaju Changi.

Di Kompleks Yayasan Sultan Haji Hasannal Bokiah.

Chian Kai, tuan rumah kita, menjemput dan mengantarkan kita ke hotel murah di dekat mesjid Sultan Omar Ali Saifuddin. Harga per malam sekitar BND 100, sebenarnya tidak terlalu murah juga, dan saya langsung menyesalinya setelah saya tahu bahwa biaya per malam di Empire Hotel berada di kisaran kurang dari BND 300.

Berdasarkan apa yang saya lihat dari sepanjang perjalanan ke hotel, saya lambat laun menyadari bahwa mata uang yang kuat bukan berarti berjalan sebanding dengan pembangunannya. BSB lebih mirip kota di Kalimantan daripada metropolis seperti Singapura. Lebih dari itu, BSB memiliki nuansa Islam yang kental, yang menjadi bagian dari daya tarik negara tersebut. Bahkan Indonesia, dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, terasa majemuk budayanya, sedangkan di Brunei, kita benar-benar bisa melihat tulisan Jawi di mana-mana.

Selagi kita menunggu Chian Kai untuk santap malam bersama, kita berjalan-jalan di sekitar hotel. Ternyata ada kuil Teng Yun di tepi sungai. Dari situ, kita beranjak ke mesjid Sultan Omar Ali Saifuddin dan mal di sebelahnya. Chian Kai menjemput kita di situ dan membawa kita ke sebuah restoran yang menyajikan daging burung unta. Eksotis, tapi saya sudah pernah coba sebelumnya di Batam, haha.

Di Imperial Hotel.

Dari restoran, kita menuju ke Jerudong Park, tempat di mana Michael Jackson tampil di konser perayaan 50 tahun Sultan Brunei. Untuk taman hiburan, Jerudong Park tergolong sepi, entah karena sudah cukup malam tatkala kita bertandang ke sana atau memang kurang diminati. Kita tidak tinggal lama di sana dan bergegas ke Imperial Hotel. Bangunan ini benar-benar mengesankan dan satu sisinya langsung menghadap Laut Cina Selatan. Kalau tidak salah, bahkan ada bioskop di sana. Jika teringat kembali bahwa kunjungan ke BSB itu mungkin satu-satunya kunjungan kita ke Brunei, seharusnya kita tinggal semalam di hotel tersebut! 

Sewaktu kita berada di Imperial Hotel dan merencanakan tempat berikutnya yang hendak dituju, Chian Kai lantas mengusulkan bahwa kita bisa pergi ke kafe. Pengalaman di kafe menjadi unik karena alkohol dilarang di Brunei dan sebagai gantinya, kita justru minum kopi. Di situ baru dikisahkan oleh Chian Kai bahwa penduduk lokal yang hendak minum bir harus mengendarai mobil sampai ke Miri, Sarawak. 

Keesokan harinya, saat kita berkeliling di dekat hotel, saya mengamati bahwa transportasi umum tidak terlalu berkembang. Saya rasa itu karena hampir setiap orang di sana memiliki mobil. Lagi pula bahan bakar juga luar biasa murah di sana, kira-kira seharga 50 sen. Akibatnya, karena masalah transportasi, BSB tidak terlalu ramah bagi turis untuk bepergian. Saat Chian Kai datang menjemput, kita dibawa ke Gadong untuk makan siang. Setelah itu, kita melihat Kampong Ayer dari tepi jalan dan mengunjungi mesjid berkubah emas, Jame'Asr Hassanil Bolkiah. Dari situ, kita pun menuju ke bandara dan berpamitan dengan Brunei...

Di depan Kampong Ayer.