Total Pageviews

Translate

Friday, April 13, 2018

Filipino Fiesta

When it comes to food porn, pork is the temptation that I find it hard to resist. My earliest recollection about it was Grandma's braised pig trotter. I remember staring at the oily cuisine, having my fair share of doubt in putting the meat into my mouth. Then I looked at my Granddad whom was there with me in the dining room and, as he was busy chewing, he muttered that it was the best dish ever. Upon hearing that and seeing how he enjoyed it so much, I was encouraged to take a bite and that was it. Sinful though those layers of fat were, I had no regrets. Let there be pimples and stomach upset! I'd take all the risks for a plate of Grandma's recipe!

Fast forward to many years later, I was a lanky young man in Jakarta. Soedjoko, a friend of mine, brought me to this eatery called Lapo Ni Tondongta. He introduced me to saksang and panggang, the Batak cuisines. They tasted really good! Up until then, I always thought that only Chinese knew how to deal with pork, hence the experience was an eye-opener. There were a lot of good pork-based cuisines out there and it didn't have to be Chinese food to be delicious!

Sisig.

Then came the day when I had my dinner with my girlfriend at an open space dining place in Boracay. Under the well-lit night sky, as the sea waves caressed the beach playfully, I had my first plate of sisig and washed it down with a can of San Miguel. Conclusion? I knew Grandma's recipe would always be in my heart, Lapo was a lifetime favourite and German pork knuckle that I tried during my stay in Singapore was mouth-watering, but the Filipino really upped the game to an entirely different level! Best feeling ever. It was the sum of many things: good ambience, great food and unforgettable moment.

It was so surreal that it was like a dream, really. Hence after the excitement subsided, I was a bit skeptical. Was it actually overrated? Five years after that, I was once again in the Philippines. That's when I tried lechon kawali. It was... how to put it? An enlightenment, really. If heaven was a place on earth, I was convinced there and then. I'm a proud Chinese Indonesian, but since that moment onwards, I'd humbly say just leave the pork to the Filipino for they'd cook you something good out of it.

Lechon kawali served with a plate of rice. 

I was a fan since then. If I went for the quick one, I'd normally have either lechon kawali or one of the tapa menus (consisted of tapa king, queen, prince and other variants of tapsilog). Lechon is a crispy pork, as crispy as a good pork dish should be. Tapa is fried cured meat, often served together with garlic fried rice (sinangag) and egg (itlog), which is shortened as tapsilog.

The proper meal is even more interesting. Recently I had a chance to go with my colleague Carl Barlis to Filipino Fiesta and as the host, he ordered what were good for our lunch. We had ginisang munggo (soup with green bean and bitter gourd), chicharon bulaklak (fried ruffle fat), lechon kawali, sisig (grilled pig head and liver with a tinge of sour taste) and pork adobo (pork belly cooked with vinegar and soy sauce). Needless to say, a splendid time was guaranteed for all. It was a good lunch, closed with dessert a called flan. A Filipino fiesta indeed!

Ginisang munggo.


Makanan Filipina

Kalau bicara soal makanan, daging babi adalah godaan yang sulit saya tolak. Kenangan yang paling awal tentang masakan ini adalah kaki babi yang dimasak oleh Nenek. Saya ingat bahwa saat itu saya menatap masakan yang berlemak itu dan merasa ragu untuk mencicipinya. Saya lantas memandang Kakek yang sibuk mengunyah. Tiba-tiba dia bergumam dengan mulut penuh bahwa ini adalah makanan terlezat di dunia. Setelah menyaksikan bagaimana dia menikmatinya, saya langsung tergerak untuk mencoba begitu saya mendengar kesaksiannya. Sejak itu hidup saya tidak pernah sama lagi. Lapisan lemak dan tetesan minyaknya sungguh menggoyahkan iman! Biarlah nantinya tumbuh jerawat atau sakit perut, saya siap mengambil resiko demi kaki babi yang dimasak oleh Nenek.

Bertahun-tahun kemudian, saya adalah seorang pemuda kurus di Jakarta. Soedjoko, teman yang saya kenal dari sejak di Kalbe, mengajak saya makan di Lapo Ni Tondongta. Dia memperkenalkan saya pada saksang dan panggang, masakan Batak. Rasanya sungguh luar biasa! Sebelumnya, saya kira hanya orang Tionghoa yang pandai mengolah masakan berbasis daging babi, tapi pengalaman ini sungguh membuka wawasan saya. Ternyata ada begitu banyak masakan non-Chinese yang mengandung babi dan lezat.

Saksang dan panggang.

Selanjutnya tiba hari dimana saya menikmati makan malam bersama pacar saya di sebuah tempat makan terbuka di Boracay. Di bawah langit malam yang terang, tatkala ombak menyapa pantai dengan mesranya, saya menikmati sepiring sisig dan membilasnya dengan sekaleng San Miguel. Kesimpulannya? Saya tahu bahwa resep Nenek saya akan selalu di hati, Lapo merupakan favorit seumur hidup dan babi panggang Jerman yang saya coba saat tinggal di Singapura sangatlah menggiurkan, tapi orang Filipina membawa seni memasak daging babi ke level yang melebihi semua yang pernah saya coba. Pokoknya menakjubkan. Suasana yang santai, makanan yang sedap dan saat yang tidak terlupakan.

Rasanya seperti mimpi. Ketika perasaan takjub itu reda, saya jadi sedikit ragu. Apa penilaian saya terlalu berlebihan dan terbawa suasana, ya? Lima tahun setelah kunjungan ke Boracay, saya kembali lagi ke Filipina. Saat itu saya mencoba lechon kawali. Apa yang saya rasakan bagaikan pencerahan. Jika memang ada surga di dunia, maka saat itu juga saya percaya. Terus-terang saya bangga menjadi Tionghoa Indonesia, tetapi sejak itu saya dengan rendah hati mengakui keunggulan orang Filipina dalam hal kuliner daging babi.

Tapa pangeran.

Setelah pengalaman tersebut, saya menjadi seorang penggemar. Jika saya ingin menyantap menu Filipina, biasanya saya akan memesan lechon kawali atau tapa, mulai dari tapa raja, tapa ratu, tapa pangeran sampai beraneka ragam tapsilog lainnya. Lechon adalah daging babi yang digoreng hingga benar-benar garing. Tapa adalah daging yang dikeringkan, biasanya disajikan bersama nasi goreng bawang (sinangag) dan telur (itlog). Nama-nama ini lantas disingkat menjadi tapsilog. 

Baru-baru ini saya juga berkesempatan untuk pergi bersama rekan kerja saya Carl Barlis ke Filipino Fiesta. Sebagai tuan rumah, dia memesan menu yang kiranya enak untuk makan siang kami. Kita lantas menikmati ginisang munggo (sup kacang hijau yang dimasak bersama pare), chicharon bulaklak (urat sendi babi yang digoreng), lechon kawali, sisig (kepala dan hati babi yang dicincang dan dipanggang dengan sedikit rasa asam) serta adobo (perut babi yang dimasak dengan cuka dan kecap), kemudian kita tutup dengan pencuci mulut yang disebut flan. Sungguh makan siang yang memuaskan. Benar-benar Filipino Fiesta, pesta makanan Filipina! 

Chicharon bulaklak.


Monday, April 9, 2018

The True Memories

Perkenalkan, nama saya Hendra. Saat ini saya hidup di daerah Jawa Barat bersama keluarga kecil saya, tepatnya di kota Karawang. Beberapa tahun ini saya lebih familiar dipanggil oppa karena saya menyukai film-film drama Korea. Saya bukan seorang penulis blog, bahkan jujur saja, ini pertama kali saya menulis di blog. Ini pun karena desakan dari banyak teman. Hahaha, kidding. Ok, cukup perkenalan saya. Mari, masuk ke cerita. 

Hari ini saya termotivasi untuk meluangkan sedikit waktu saya untuk berbagi kisah pendek di sini. Kepulangan saya ke kota Pontianak, kampung halaman saya, di awal tahun 2018 ini bisa dikatakan tidaklah sia-sia. Rasanya lebih baik dari situasi sebelumnya. Mungkin karena kali ini berpapasan dengan momen hari raya Imlek atau Chinese New Year. Tidak mudah bagi saya untuk mencapai kota tujuan. Karena saya dan keluarga mengejar pesawat pagi, otomatis kami harus berangkat kebandara tengah malam. Singkatnya semua perjuangan saya untuk pulang terbayarkan di saat saya dan keluarga bisa merayakan Imlek bersama sanak keluarga di sana (biasanya kami pulang tidak bertepatan dengan hari raya Imlek). Tapi kebahagiaan saya kali ini bukan hanya momen dengan keluarga, namun juga momen bersama teman.

Bersama Ahau, Meliana dan Budi Hendra.

Ya, TEMAN! Tepatnya teman lama.. Teman sekolah. Teman-teman yg luar biasa. Di sini saya ingin sekali menuliskan semua momen yg saya ingat. Ini bisa menghabiskan banyak kata dan banyak cerita. Waktu pun berlalu dan liburan terasa sangat singkat. Belajar dari yang sebelumnya, kali ini saya tidak sepolos sebelumnya. Daftar kuliner dan beberapa pertemuan kecil telah saya rancang. Tentunya saya tidak merancangnya sendiri. Saya dibantu oleh hopeng bernama Harry alias Ahau.

Kebetulan hanya hanya dia yang bisa bantu? Hahaha, bukan. Hanya dia yang bisa saya persulit hahaha. Bersama Ahau, saya ikut jalan-jalan singkat, sincia ke beberapa tempat dan kami akhirnya bisa membuat reuni kecil. Saya berhasil bertemu dengan Budi Hendra dan istrinya, Meliana. Kami sempat makan-makan dan berbagi cerita. Saya kemudian berhasil berkumpul dengan tiga teman paling siap bila diajak kumpul, yaitu Parno, Gek Hui dan Novi di sebuah kafe.

Ngafe bersama teman-teman.

Saya dan Ahau berhasil juga berhasil membuat pertemuan yang mengesankan di rumah Tuty. Di situ hadir Fedian, Lidia, Lenda, Tjhui Sang, Novi, Gunawan, Parno, Wiwi dan tentunya Ahau. Kami bersantap sate dan berkaraoke-ria, berfoto dan saling merekam saat-saat lucu dan berlomba foto candid. Apakah kalian tahu, momen seperti itu, meski sesaat, tapi sungguh berkesan. Semua itu takkan terulang, meski kita mencoba mengulanginya, semua itu takkan sama.  

Jadi berlalu begitu saja? Iya. Hilang? Iya, tapi... semua tersimpan dalam hati, menjelma menjadi memori yang sangat nyata dan indah, dimana sewaktu-waktu akan terkenang, sewaktu-waktu akan sangat dirindukan. Sebuah memori yang nyata. Ingatlah, meski hanya sebuah kenangan sederhana, anda bisa merasakan kebahagiaan hidup yang indah. Jadi mengapa kita tidak mencoba untuk membuat lebih banyak lagi? Tidak harus dengan banyak orang, namun tidak juga hanya berdua, hahaha. Di saat kita tua nanti, hanya saat-saat seperti ini yang akan bisa dikenang. Tapi apakah anda mempunyai memori indah untuk dikenang? Memori seperti seperti apa yg anda ingat? Hei, wujudkanlah selagi anda masih punya banyak waktu dan masih punya teman. Anda tidak akan pernah tahu kapan mereka akan meninggalkan anda dan kapan kamu yang akan meninggalkan mereka. Renungkanlah...

Di depan rumah Tuty.

Sunday, April 8, 2018

The Unforgettable New Zealand (Part 1)

My best friend once told me this popular quote: "when you are young, you have time and energy but no money. As an adult, you have money and energy but no time. And finally, when you are old, you have money and time but you don't have energy." We were lucky enough to make this BFF trip when we were still quite young (early 30's), while we had energy and enough money for travelling. Time might be our constraint back then, but I am glad that we managed to take two weeks leave from our busy working life and flew to New Zealand.

We visited only the South Island, starting from Christchurch, Akaroa, Mt Cook, Queenstown, Arrowtown, Lake Wanaka, Fox Glacier, Franz Josef Glacier, Hokitika and then we were back to Christchurch. We missed Milford Sound because on the day we planned to go, the road to Milford Sound was blocked by snow so the tour agent cancelled that day trip. For Part One, I wrote only the journey from Christchurch to Queenstown.
                                     
I came one day earlier than my best friend. I took a shuttle van from Christchurch airport to the city. Along the way, I saw pretty houses with garden and trees. The city was very quiet and peaceful. Very different than Jakarta where I lived last time. No traffic jam and no air pollution here. After I put down the luggage at Ibis Hotel, I went to Cathedral Square that was just five minutes walk from my hotel.

Christchurch just suffered from earthquake few months before we came. Some parts of Christchurch cathedral were destroyed by the quake so it was closed for public. But nevertheless, the gothic style cathedral was still very attractive. I took my selfie picture with Christchurch cathedral as the background and then sat in the Square, looking at my surrounding. There were many people in the Square that afternoon. The street musician played his instrument and was watched by many people, some people just sit in the cafe and had chit chat. The Christchurch city tram was parking on the street. Based on the information from city tour centre, we could book Christchurch City tour combo by tram, punt and gondola so we could get the view of the city from many perspectives. We could also walk or ride a bicycle around the city. Christchurch is such a small city that I could explore by foot.

The cathedral of Christchurch.

The following day, I walked around the city. It was still autumn but the weather was already cold especially for me who came from a tropical country. I spent some time sitting beside the Avon River, looking at some pretty ducks that were sunbathing in the grass just next to the river. They were so lovely with their colourful feathers. I also enjoyed looking at beautiful cherry blossoms and exotic trees along the river. Another way to enjoy the river is by punting and that's what we did by the end of our trip. 

Avon River.

The wild ducks, resting at the riverside. 

Christchurch.

When my friend arrived in Christchurch, we continued our city tour to Christchurch Botanical Garden. This place is a must visit place when you come to Christchurch. Founded over 150 years ago, it is the green heart of the Garden City. It's a huge garden with many trees and a lot of colourful beautiful flowers that I never saw before. We strolled around this big garden and took some pictures. Just across the Botanical Garden is Christchurch Art Gallery, a home to New Zealand's most important public art collections. Do a visit if you're an art lover.

At Christchurch Botanical Garden.

From Botanical Garden, we went to Gondola Base Station by bus. Gondola is basically the same with cable car. The gondola brought us to the top of Mt. Cavendish (the Summit Station). Unfortunately it was a cloudy and foggy afternoon, otherwise we could see Christchurch cityscape as well as the stunning Southern Alps and the hills of Banks Peninsula from the Canterbury Plains. 

My friend, Dewi, a moment before we boarded the gondola. 

The view from Canterbury Plains.

On Day 3, we took one day tour to Akaroa, a small town on the Banks Peninsula that is famous by its beautiful bays and harbour. Our bus departed early in the morning. Along the way we enjoyed Banks Peninsula's beautiful scenery. When we arrived in Akaroa two hours later, we walked around the city. If Christchurch was quiet, this town was even quieter. We barely saw any people in the street. After lunch, we joined the cruise, sailing on the deep sparkling blue water and saw the rarest and smallest dolphin in the world, Hector's dolphin, swimming joyfully near our boat. They were so cute. We also saw some seals sunbathing on rock platforms in the middle of the bay. Our tour guide told us that sometimes the penguins also appeared but we weren't lucky enough to see them that time.

Welcome to Akaroa!

A pier in Akaroa.

A Hector's dolphin.

The following day, we continued our journey from Christchurch to Queenstown by bus. The 11 hours scenic drive via Aoraki/Mount Cook included sightseeing and lunch break at Hermitage Hotel, Mount Cook Village. Along the way, we saw the stunning view of Lake Tekapo and the magnificent Aoraki/Mount Cook Mountain. At 3,724 metres, Aoraki/Mount Cook Mountain is the highest mountain in New Zealand and is one of the popular tourist destinations. It is also a favourite for mountain climbers including Sir Edmund Hillary who made his first ascent here in January 1948. Unfortunately, when we arrived in Hermitage Hotel, it was raining and foggy. We couldn't see the mountain clearly. Looking back now, I think we should spend at least 1 day in Mount Cook to explore the area and enjoy the scenery. One or two hours is definitely too short! We missed one of the best views one can experience in NZ. 

View of Mt Cook from the back of Hermitage hotel

The turquoise blue water of Lake Tekapo.

Another highlight of the trip was the iconic Church of the Good Shepherd. Located at the shore of Lake Tekapo and with Southern Alps as the background, this church is one of the favourite object for photographers. Close to the church is a well-known bronze statue of the Collie sheepdog. The statue was commissioned by Mackenzie country residents in recognition of the important role of the sheepdogs in their livelihood. 

Church of the Good Shepherd. 


Lindis Pass.

After these stops, we continued the trip to Queenstown, passing the stunning view of Lindis Pass with its unique yellow brownish grasses. I tried to take a picture from inside the fast moving bus but the result was a bit blur. How I wish we had rented a car and gone by ourself so we could stop for a while and take as many picture as we wanted. I made a note to myself, if I have the opportunity to visit this beautiful island again with my family one day, I will book a caravan so we can really enjoy the nature at our pace. And the sun was going down when we finally reached Queenstown...  

Photo from Lonely Planet.



Saturday, April 7, 2018

Kebhinnekaan

Indonesia adalah negara yang luar biasa dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Saya mencoba membayangkan bagaimana orang dulu mencetuskan Bhinneka Tunggal Ika ini. Luar biasa sekali para nenek moyang kita bisa memiliki ide seperti ini. Mereka sudah menyadari bahwa kita memang beraneka ragam dan kita harus bersatu. Keberagaman ini terjadi mulai dari komunitas terkecil sampai yang terbesar, yaitu kebhinnekaan dalam keluarga, dalam komunitas, dalam masyarakat bahkan dalam negara.

Nenek moyang kita sangat menghargai perbedaan yang ada dan mereka menyadari juga bahwa pasti ada orang-orang yang tidak menghargai perbedaan dan mau memecah-belah, maka dari itu mereka mencetuskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di bawah ini saya akan coba memberikan pandangan saya satu persatu tentang kebhinnekaan, mulai dari dalam keluarga sampai pada kehidupan bangsa.

Pertama kita akan lihat kebhinnekaan dalam keluarga. Untuk mengawali ini, saya teringat suatu saat pernah ada teman yang masih single berujar pada saya untuk membantunya mencari jodoh karena sudah umur 37 pun belum ada pacar. Saya lantas bertanya, mau jodoh yang bagaimana? Saya terkejut saat dia berkata bahwa dia mau mencari pasangan yang sifatnya sama dan intinya memiliki banyak persamaan. Akhirnya saya bilang kalau begitu, dia mesti cari sesama jenis, yaitu cowok juga. Dia langsung melengos, "huh, masa dijodohkan sama cowok?"

Saya jelaskan jika kita mau mencari yang banyak persamaannya, yang paling mungkin ya sesama jenis dan itu pun pasti masih ada perbedaan. Menurut saya, mencari pasangan bukanlah mencari yang banyak persamaan, tapi cari yang bisa komunikasikan perbedaan itu sehingga akan berwarna-warni dalam keluarga. Saya mengambil contoh, saat kita mau membeli pensil warna, mana yang kita pilih? Pensil warna yang banyak warnanya atau pensil warna yang hanya satu warnanya? Tentu kita mau yang banyak warnanya. Kalau begitu, kenapa jadi masalah ketika dalam keluarga sifatnya maupun tindakannya warna-warni? Sifat-sifat yang berbeda dalam keluarga itu yang akan membentuk keluarga kita dan menjadi sesuatu yang mengejutkan untuk kehidupan kita.

Tetapkan tujuan keluarga dan biarkan semua anggotanya berkreasi untuk menwujudkan tujuannya. Jika ada anggota keluarga yang tindakannya menyimpang dari tujuan keluarga, mari didiskusikan, siapa tahu tindakan tersebut malah merupakan cara yang tepat untuk mencapai tujuan namun dengan warna yang berbeda. Hal yang paling mendasar dalam berkeluarga adalah bagaimana peran kita dalam melayani keluarga. Kendati begitu, jangan sampai apa yang telah kita lakukan membuat kita merasa paling penting sehingga telunjuk akan menunjuk anggota keluarga lain seakan-akan diri kita paling cape dan paling berjasa. Kita juga mempunyai kewajiban untuk mengantar keluarga kita menjadi lebih baik lagi dalam hubungan dengan Tuhan dan hendaknya kita juga mengamalkan agama yang kita anut sehingga menjadi teladan bagi keluarga.

Hal kedua adalah kebhinnekaan dalam komunitas. Di komunitas apa pun tetap saja ada perbedaan walaupun dinamakan misalnya komunitas biker atau komunitas keagamaan. Di dalam komunitas kita bukan belajar untuk menjadi sama tapi belajar untuk berkomunikasi tentang perbedaan, menghargai perbedaan dan bahkan menggunakan perbedaan tersebut untuk menghasilkan karya yang tidak bisa kita kerjakan sendiri sehingga hasilnya bisa melampaui bayangan kita. Di dalam komunitas juga kita belajar untuk patuh akan keputusan bersama, belajar mengatur diri, mengatur orang dan diatur, belajar menjadi lebih dewasa, belajar negosiasi saat mengambil keputusan, belajar bekerja sama dan yang penting komunitas harus membuat kita semakin bersemangat dan awet muda.

Dalam kehidupan masyarakat juga, akui saja kita memang berbeda dalam hal yang detil. Dalam kehidupan masyarakat kita harus sadari bahwa ada yang hakiki dan ada yang pilihan. Yang dimaksudkan dengan hakiki adalah hal yang mutlak dari Tuhan, misalnya saya diciptakan terlahir sebagai Chinese dan teman saya ada yang Jawa dan sebagainya. Bagi yang masih suka mengumpat, "dasar Cina, dasar tiko, dasar Jawa," secara tidak langsung mereka sudah menghina Tuhan-nya. Tentu kita semua percaya bahwa kita semua diciptakan oleh Tuhan sehingga menghina satu suku sama artinya dengan menghina pencipta-Nya, yaitu Tuhan. Berbicara tentang pilihan, agama adalah pilihan dan namanya pilihan itu berarti bebas memilih. Ketika ada yang memaksakan suatu agama dengan tidak memperbolehkan orang lain menjalankan doanya atau ritualnya, mereka ini mencoba mengubah kenyataan bahwa agama adalah pilihan. Orang-orang yang tidak menghargai perbedaan seperti ini harusnya tidak tinggal di Indonesia. Tipe yang seperti ini harusnya dikirim ke hutan Amazon karena di sana mereka tidak perlu berkomunikasi akan perbedaan yang ada. Mereka bisa menerapkan hukum rimba, jadi silahkan terkam-menerkam dengan harimau dan binatang buas lainnya.

Ada beberapa kunci supaya kita menghargai semboyan kita yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yaitu:
  1. Kita harus menganggap perbedaan dalam keluarga, komunitas, masyarakat sebagai anugerah seperti halnya pensil warna, bukannya dianggap sebagai beban.
  2. Kita tidak perlu mencari persamaan secara detil karena pasti berbeda, namun kita mempunyai persamaan mendasar yakni kita sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama bisa berkomunikasi, sama-sama punya keinginan dan tujuan yang sama, yaitu keluarga yang bahagia, komunitas yang membangun, masyarakat yang damai dan lain-lain.
  3. Jika terjadi perbedaan, kembali ke tujuan awal baik di keluarga, komunitas maupun bernegara. Contoh: jika terjadi pertentangan di dalam masyarakat akan perbedaan yang ada, kita kembali kepada dasar negara dan semboyan negara untuk menyelesaikannya.
Kebhinnekaan!

Thursday, April 5, 2018

Friendship Version 2.0

When I wrote about friendship in our thirties and fleshed out the ideas in five episodes, I thought there was only so much to be written about such topics. A very recent experience proved me wrong. Just when I thought I'd seen everything, this unusual encounter happened and, looking back, I don't think I handled it well. In fact, I could have gotten it all wrong if not for the input from others. Suffice to say that it wised me up a bit. It was weird, but yet so interesting that it encouraged me to share it here.

The story began with a friend saying that another friend was in some difficult situation and wished to get help. When he was invited into our chat group, we noticed that the picture he posted about his whereabouts was rather odd. Somebody figured out that it was a prison and this peculiar friend eventually admitted that he was serving his time.

I barely knew the man, to be frank. The only time we ever hung out together was when we visited the haunted island 20 years ago. We had no contact whatsoever since then. Still I thought friends will be friends. I was intrigued by the idea of giving a second chance. I mean, people do make mistakes and aren't we supposed to forgive and forget? I was quick to think of a grand plan about what we could do and who could help him when he was released. 

But if only real life was ever that plain and simple. After discussing with a close circle of friends, I was informed that getting too involved in this matter didn't seem to be a very good idea. The guy was a bad news. The number of years he spent behind bars indicated that his case was quite severe. The fact that he could use a mobile phone and join our chat group while he was in jail meant he was well-adjusted and had means to buy his way in a corrupted environment. Lastly, a family didn't just disown its family member, unless he had committed repeated offences and was deemed as beyond saving.

That's when I realised how naive I was. I would have never thought of that. He claimed that he was now a changed man and I'd love to believe that, too. However, after hearing from others, I guess one couldn't be too cautious. I certainly didn't want any trouble, so I contacted a friend whom might have a chance to employ him, saying that I withdrew my request. It'd be awful if things turned out to be bad and I ended up inadvertently putting this helping hand into an unwanted situation.

We reached a consensus that the least we could do was to provide a one-off financial help. We were supposed to do that, but after realising how wrong my judgement was in my original response to this situation, I was very much in doubt. A friend who had brought him into our group eventually settled this himself. I'm not entirely sure what happened after this ex-convict friend of mine was released.

In hindsight, as much as I'd like to believe that people are naturally kind, I was also reminded again that real life is not always a fairy tale that ends happily ever after. The experience clearly showed me that I didn't exactly know how to react in such situations. I am often impulsive in getting things done, which may or may not be a good thing, depends on what the situation is. If I didn't seek a second opinion from others, I could have done something that I'd regret if it went horribly wrong in the future. In the scenario above, helping the man was supposed to be a calculated risk. If I were to go all out and help, it should have been something that I could manage and not at the expense of others...

That unusual picture...



Persahabatan Versi 2.0

Ketika saya menulis tentang persahabatan di usia 30an, saya kira saya sudah menuangkan semua pokok pikiran yang ada dalam lima episode. Sebuah pengalaman yang baru saja terjadi membuktikan bahwa ternyata masih ada hal yang terlewatkan. Kejadian ini sungguh tidak lazim dan, kalau saya lihat kembali, rasanya saya tidak menanganinya dengan baik. Jika bukan karena masukan dari teman-teman lain, bisa jadi saya akan salah langkah.

Cerita ini bermula dari seorang teman yang mengatakan bahwa ada teman SMA kita yang sedang dalam kesulitan dan ingin meminta bantuan. Teman ini pun lantas diundang ke dalam grup percakapan WhatsApp. Ketika dia mengirimkan foto yang menunjukkan lokasinya, saya sempat merasa bahwa ada yang aneh dengan foto tersebut. Akhirnya satu di antara kita berhasil menerka bahwa itu adalah foto lembaga permasyarakatan. Teman yang sedang dirundung masalah ini pun menjelaskan bahwa dia sedang dipenjara. 

Saya tidak mengenal teman ini dengan baik karena jarang bergaul dengannya sewaktu SMA. Sekali-kalinya kita bersama adalah saat kita mengunjungi Pulau Temajo 20 tahun yang lalu. Kita tidak pernah saling kontak lagi semenjak itu. Meskipun demikian, saya berpikir bahwa seorang teman tetaplah teman. Di satu sisi, saya juga tertarik dengan konsep memberikan kesempatan kedua bagi yang membutuhkan. Maksud saya, setiap orang bisa berbuat salah, jadi bukankah kita sepatutnya saling memberikan maaf dan kesempatan? Saya lekas memikirkan apa yang bisa dilakukan dan siapa saja yang bisa membantunya setelah dia dibebaskan. 

Andai saja kehidupan nyata sesederhana itu. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman, saya diberitahukan bahwa terlalu melibatkan diri dalam hal ini bukanlah ide yang baik. Pertama-tama, dari lamanya masa tahanan, bisa disimpulkan bahwa kasus yang membuatnya dibui ini bukanlah kasus yang enteng. Fakta bahwa dia bisa menggunakan telepon genggam saat sedang menjalani hukuman di lembaga permasyarakatan menunjukkan bahwa dia cukup leluasa dan juga lihai dalam menyesuaikan diri di lingkungan penjara yang korup. Hal lainnya yang harus dipertimbangkan adalah kenapa dia tidak lagi dianggap oleh keluarganya. Yang namanya darah daging itu tidak dikucilkan begitu saja, kecuali kalau ini sudah kejadian yang berulang kali sehingga dianggap tidak bisa ditolong lagi. 

Saya jadi sadar bahwa saya terlalu naif. Terus-terang saya tidak akan pernah berpikir sampai sejauh itu. Teman yang dipidana ini berkata bahwa dia kini sudah berubah dan saya ingin percaya bahwa dia telah bertobat, namun setelah mendengar pemaparan di atas, saya rasa tidak ada salahnya untuk lebih berhati-hati dalam bersikap. Saya tentunya tidak ingin bermasalah, jadi saya hubungi lagi teman saya yang memiliki kemungkinan untuk mempekerjakan teman yang ditahan ini dan saya berujar bahwa sebaiknya ide saya dilupakan saja. Saya tidak ingin niat baik disalahgunakan dan akhirnya malah membuat teman lain terjerumus dalam situasi yang serba salah dan tidak terduga. 

Pada akhirnya saya sepakat bahwa yang bisa kita lakukannya untuknya hanyalah bantuan dana satu kali saja. Kita harusnya melakukan itu, namun setelah saya menyadari betapa saya telah salah dalam menilai situasi, saya jadi merasa ragu. Teman yang pertama membawa kabarnya kepada kita akhirnya menyelesaikan urusan ini sendiri. Saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan teman mantan narapidana ini. 

Kalau saya renungkan lagi, saya percaya bahwa setiap orang itu pada dasarnya baik, tapi saya juga diingatkan kembali bahwa hidup ini bukanlah dongeng yang senantiasa berakhir bahagia. Pengalaman ini membuka mata saya bahwa saya ternyata belum cukup bijak dalam menyikapi situasi seperti ini. Saya seringkali bertindak cepat tapi impulsif dan sikap ini bisa saja berakibat baik atau buruk, tergantung situasi apa yang saya hadapi. Jika bukan karena masukan dari yang lain, saya bisa saja melakukan hal yang akan saya sesali di kemudian hari jika apa yang saya lakukan ternyata malah berdampak buruk. Di skenario di atas, membantu teman yang kembali ke masyarakat adalah resiko yang harus dikalkulasi. Seandainya saya memutuskan untuk terlibat, maka apa yang saya perbuat hendaknya bisa saya tanggung sepenuhnya tanpa menyusahkan orang lain...

Sunday, April 1, 2018

Ancient Architecture - Advance Civilization - Beyond Human

Hello,


I have never really written any stories or blog, because I love to talk more than typing. But this time, I shall do something different. ☺

It all began in my secondary school days, around 1991-1992. There was a school assignment, a group assignment. We all gathered at my friend's house, whose dad is a very religious person and collects many books. Most of the books are related to Muslim.


Out of curiosity, I picked the thickest book, with green color cover on it. What attracted me was the book title:  Hubungan antara Islam dan Segitiga Bermuda (The Link between Muslim and Bermuda Triangle). It is an extremely old book.


I started to read, and read, going through the content, and I was getting more excited and curious. After the group assignment completed, my friend's dad allowed me to bring his collection back and I started to read it everyday.

The book is really thick, and it will be too long for me to share everything, so the summary is Bermuda Triangle exists because of some vengeful souls. 


In America - ancient time, the white army would capture the blacks, and would throw them to the sea (the current Bermuda Triangle) - and feed them alive to the sharks. This caused the souls to be restless, hence the curse: whoever and whichever crosses by the Bermuda Triangle to disappear. The only person who could pass by the Bermuda Triangle (as mentioned on that book) was a priest, who saw the vengeful souls, kept his prayer and strong faith. He could not save the souls, but at least with his prayer, he calmed the souls and passed the Bermuda Triangle.


I was not fully convinced with this, as I am someone who seek the fact and evidence. I started to read more about the conspiracy theory books, go to warnet (warung internet) - the internet cafe which was Rp.8000 per hour (extremely expensive with Dial-Up speed in year 1996). 

Okay, above are just a "appetizer" to start my stories here. Now I will start with the main course. There are a lot and really a lot of mysteries on this planet. UFO & Aliens are common mysteries that everyone heard of. Let me just cover the Nazca Lines, The Time Traveler, and World Pyramid(s). 

1. Nazca Lines


A huge huge scratches on earth's land - Peru

Nazca Lines are only visible when we look from the top and only discovered by human when they are flying with plane and helicopter.


Archaeologists suggest the line has been there since 500 BC. Here are the Nazca Lines that have been discovered so far. The shapes could only be seen from the top of the sky.




Ancient Henky - Saying Hello

This picture was taken from helicopter's view. They called it the Astronauts.

This gets interesting, ain't it? How did it happen? Why is there a scratch on the earth surface with a sign of hands waving to the sky? And if it really is an astronaut waving hand, who is he communicating to?

Nazca lines mystery remains unsolved. One of my bucket list is to fly over with helicopter and wave back 😆 Who knows I am the person that they have been waiting to waive back 😋

2. The Time Traveler


Albert Einstein has confirmed the possibility of time travel. If we can travel faster than the speed of light, there will be a quantum of energy that we never know, and then we will time travel.

But it remains as a theory. Where are the evidences? There are many evidences that have been published, but some are hoax too. But now, I present to you the greatest mystery which happened in real life - year 2003.


andrew carlssin a time traveller who got busted for insider trading xx photos 6 Andrew Carlssin; a time traveller who got busted for insider trading (8 Photos)

Andrew Carlssin, who won USD 350 millions in 2 weeks with all straight wins on trading floor. He was later caught & investigated by police. He told the police, someone from year 2256 visited him and has gave him all future's information. Later, he was bailed by someone mysterious and both have vanished since then.

Where are they? Travel back to future?

3. World Pyramid(s)


Pyramids do not only exist in Egypt. But they are all over the world and are indeed connected.



The magnificent pyramid(s) have too many similarities - despite of the locations and cultural differences: the architecture and building structures, the golden mask for the death, the obelisk and also the animals and symbols from the time when the ancient civilizations worshipped the SUN.



If the similarities across the continents of all mentioned above with evidences might not convince you yet, what if I tell you that if you connect all these ancient structures (Easter Island Moai statues, the pyramids across globes), they'll line up a straight line which forms a perfect round of circle. For me, this is something that is definitely guided - by advanced civilization.

Below is for your shocking fact & references:

3.1 The list of ancient structures & mysteries - location on earth.

Pay attention on the To Axis point. The miles, are almost identical!!


The Perfect Line - when we see on top of the globe - on those ancient structures, it is linked and formed the famous The Great Circle



Okay, I guess some of you might feel sleepy on these conspiracy theories - which I strongly believe and craft in my DNA.

This is the end of my introduction for few world's mysteries. Many of us believe that God creates everything. But there is one thing that I also believe, which is an advance civilization that has influenced, supported and guided us since the past.

On my next story, probably I shall share about: The real MIB (Man In Black), The visitors from space and probably about Moai Statue in Easter Island.

GRAB: My Life

Why do I choose GRAB for living? Because at my age now and after all these years, I... I barely accomplished anything useful for my family. Apart from getting married and having two children, the only thing I feel proud of is making my Mum a grandma. Now she has grandchildren at home.

Anyway, with GRAB, I can ensure myself to fulfill my duty. I learnt stuff along the way, from motorcycle, insurance, gadgets, etc. that were required to be a GRAB biker. Well, at least I can contribute in paying the monthly expenses. My Mum had been smiling a bit since then.

Beside that, GRAB can help people who need it, especially in Pontianak. The first time I started to work, I felt a little bit embarrassed to wear the official GRAB jacket, but I eventually got used to it. Now I feel proud wearing it, even though my job is just to get and drop passengers on time. I feel privileged in driving them safely to their destination.

People think GRAB bikers only earn pennies, but if we work properly, we can actually earn more and more cash. It's a decent job and I'm proud to be a GRAB biker...