Total Pageviews

Translate

Monday, January 1, 2018

The Reunion

We graduated exactly two decades ago this year. While it is definitely a milestone that is worth celebrating, I'm not entirely sure if we will ever have a reunion party because no committee is even formed yet thus far. Compared with other schools, I'm afraid we are certainly lagging behind, haha.

This got me thinking about the day I organized Reunion 2014. I know the year I chose to hold such event was rather odd (who on earth held a reunion 16 years after graduation, anyway? Wouldn't a 15 years anniversary sound better?), but it was not without a reason. My motivation was rather straightforward. Prior to that, when I was browsing the news feed on Facebook, I saw this ex-housemate of mine having his school reunion. This guy, for some strange reason, seemed to find it funny when he cursed my flights to crash, so upon seeing him, I was like, "oh my, even a lame guy like this can attend a reunion."

The site visit and briefing, one day before the event.

Then the next question immediately came to my mind: if he could, why couldn't we? We certainly could! Someone just needed to do it. Perhaps it was me? While the idea was hot, I bounced it off Endrico. He was game, so we discussed further about it. We talked about how, what, where, when and who.

If the reunion was just a quick and dirty gathering of school friends over dinner or lunch, it certainly could be done. However, an event without programmes would be very dry. We'd end up having friends hanging out only with their own groups. The togetherness would be sorely lacking.

The music performance by Hardy and Muliady. 

That was something I'd like to avoid, so we should have something that came from us for us. Of course it had to feature some of us singing stuff that we did back in high school, so I definitely got to get Hardy and Muliady The. When I asked around, Parno was willing to participate and Alvin was keen to demonstrate some basic kung fu fighting. Now that was interesting!

Everybody watched the kung fu fighting!

For video montage that showed our school days, Endrico and I had a rather comprehensive collection of photos, so it was the easiest part for me to complete. We also adopted Denny's idea of having our high school backdrop for photo taking purpose. Apart from that, I had this idea of doing a talkshow, simply because I thought it was good to hear the stories from successful friends (it was too bad that I miscalculated the time we had and eventually failed to execute it). As a closure, I came up with a quiz game about things that happened back when we were in school and boy, was I glad that San San was able to lead the game. She was so lively that she really nailed it!

The hilarious and animated situation during the quiz game. Watch out for the shoe!

When it came to the location, I never had a doubt that it had to be in Jakarta. Not only it'd be easier for those who stayed overseas, but you could be sure that those who were willing to attend would go the extra mile to go to Jakarta, too. The problem was, where should the venue be? Susan had the solution for this, so she proposed her workplace, Sun City. We quickly took up the offer.

Now that things were shaping up, we had to choose the date. We had several options and school holidays were surely considered, but we eventually decided that Sunday, 30/03/2014, would be good, because the guests could come on Saturday and go back on Monday, which was a public holiday. 

The invaders! We weren't originally from the school, but we definitely graduated from there!

By then, the committee members were pretty much confirmed, too. Endrico was there as the sounding board and photographer. Surianto was there, too, as a backup photographer. Susan was the hostess and she took care of the food and the venue. Anni was our trusted treasurer. San San, Hardy, Alvin, Muliady and Parno were there as well, playing the roles they were supposed to play. Then there were a couple of investors, too, but perhaps they should remain anonymous for the sake of their privacy, haha.  

While we were on this subject, I probably should share a bit about the expenses. The reunion wasn't meant to be a profitable project. It was the other way around. The fee per person was heavily subsidised so that it was affordable. It was envisioned to be a happy event and thanks to our dear investors, it was made possible. The rest, as they said, was history.

I didn't think it was perfect. There were minor glitches here and there, but from one friends to another, they didn't feel like mistakes. In fact, it'd been too long since we ever gathered like this that we refused to part ways. When the reunion ended, we shifted to a coffee shop to carry on talking. We left high school 16 years ago so we definitely had a lot to talk about! 

And we hung out here until late in the evening!


Reuni

Tahun ini adalah dua dekade lulusnya saya dan teman-teman dari SMA. Saya rasa ini adalah sesuatu yang pantas dirayakan di dalam hidup ini, tapi saya tidak sepenuhnya yakin jika tahun ini ada reuni sebab sampai sekarang panitianya bahkan belum terbentuk. Dibandingkan dengan sekolah lain, saya rasa kita jauh tertinggal dalam segi persiapan, haha. 

Saya jadi teringat lagi tentang saat-saat dimana saya mengorganisir Reuni 2014. Ya, tahun yang saya pilih memang agak janggal (mana ada orang yang mengadakan reuni 16 tahun setelah kelulusan? Bukankah 15 tahun terdengar lebih standar?), namun ini bukannya tanpa alasan. Saya mendadak termotivasi tatkala melihat melalui Facebook bahwa mantan teman serumah saya sedang menghadiri reuni sekolahnya. Teman yang satu ini punya kebiasaan mengucapkan selamat jalan dan berharap semoga pesawat yang saya tumpangi tidak jatuh, seakan-akan ini adalah hal yang lucu dan enak didengar. Oleh karena itu, ketika saya melihat fotonya, saya langsung bergumam sendiri, "wah, bahkan teman yang seperti ini pun bisa menghadiri reuni." 

Dan tamu mulai berdatangan!

Kemudian terpikir oleh saya, kalau dia bisa menghadiri reuni, kenapa kita tidak? Tentu saja kita bisa! Salah satu dari kita, mungkin saya sendiri, tinggal mengorganisir acara serupa! Ketika ide ini masih hangat, saya lantas berbincang dengan Endrico untuk mendengar pendapatnya. Dia setuju, jadi kita berdiskusi lebih jauh lagi tentang bagaimana, apa, di mana, kapan dan siapa. 

Jadi bagaimana reuni itu seharusnya? Jika acaranya hanya sekedar kumpul-kumpul sambil makan siang atau makan malam, ini tentu saja tidak sulit untuk diselenggarakan. Namun masalahnya adalah, karena tiadanya rangkaian acara yang bisa disaksikan bersama, reuni ini bisa jadi terasa hampa karena semua menjadi sibuk sendiri.


Santap siang.

Ini adalah sesuatu yang ingin saya hindari, oleh karena itu saya menginginkan sesuatu yang berasal dari kita untuk kita. Tentu saja harus ada acara pertunjukan musik seperti yang kita lakukan sewaktu sekolah dulu, jadi saya harus menggaet Hardy dan Muliady untuk turut serta. Ketika saya bertanya sana-sini, ternyata Parno juga tidak keberatan untuk tampil dan Alvin juga bersedia untuk mempertunjukkan seni bela diri!

Untuk video klip yang berisi foto-foto kita di bangku sekolah, saya dan Endrico memiliki koleksi yang cukup ekstensif, jadi tidak sulit untuk dikerjakan. Kita juga mengadopsi usul Denny untuk menyewa photo booth dengan latar belakang sekolah kita. Selain itu, saya juga terpikir untuk menyelenggarakan talkshow karena tentunya menarik bagi kita untuk mendengarkan kisah teman yang lebih sukses, namun acara ini terpaksa dibatalkan karena tidak cukupnya waktu. Sebagai penutup, saya juga merancang kuis yang bertema kisah-kisah sekolah. Saya beruntung karena San San bersedia membawa acara. Dia benar-benar luar biasa dan suasana menjadi lebih hidup dan heboh karenanya. 

Ketika kuis berlangsung.

Berbicara tentang lokasi, saya tidak pernah ragu bahwa reuni harus diadakan di Jakarta. Ini akan memudahkan mereka yang tinggal di luar negeri. Selain itu, mereka yang berminat tapi tinggal di luar daerah sudah pasti tidak akan keberatan untuk berangkat ke Jakarta juga. Masalahnya adalah, di mana tempatnya? Susan mempunyai solusi dan dia menawarkan tempat kerjanya, Sun City. Idenya pun segera disetujui. 

Ketika rencana kian terwujud, kita pun harus menentukan tanggalnya. Saat itu kita memiliki beberapa pilihan, termasuk liburan sekolah di bulan Juni, akan tetapi kita akhirnya memutuskan untuk mengadakan acara pada hari minggu, tanggal 30/03/2014. Para tamu bisa datang di hari Sabtu dan pulang di hari Senin karena bertepatan dengan hari libur Nyepi. 

Para tamu menikmati acara. 

Para panitia pun kurang-lebih sudah terbentuk ketika itu. Endrico bergabung sebagai seksi sibuk dan fotografer. Surianto juga menjadi fotografer. Susan adalah tuan rumah yang menangani makanan dan tempat acara. Anni adalah bendahara yang terpercaya. San San, Alvin, Hardy, Muliady juga hadir dan memainkan peran masing-masing. Bersama-sama kita menyebarkan undangan. Selain itu, ada para investor juga, tapi demi privasi mereka, maka nama mereka tidak perlu disebutkan di sini, haha. 

Selagi kita membahas topik ini, mungkin ada baiknya saya berbagi sedikit tentang masalah biaya. Reuni ini tidak dimaksudkan sebagai ajang cari untung. Justru sebaliknya. Biaya registrasi tiap orang sebenarnya sudah disubsidi sehingga terjangkau. Reuni ini dimaksudkan sebagai acara kumpul-kumpul yang penuh kegembiraan dan tidak terbebani dengan masalah uang. Semua ini akhirnya bisa terwujud berkat bantuan dana dari para donatur. 

Acara reuninya sendiri, saya kira tidaklah sempurna. Ada kesalahan di sana-sini, tapi ini adalah acara yang diselenggarakan secara sukarela dari satu teman ke teman lainnya, jadi hal yang keliru pun tidak dipermasalahkan lagi. Sudah lama kita tidak berkumpul seperti ini sehingga ketika acara selesai pun kita tidak langsung berpisah. Banyak di antara kita yang berpindah ke warung kopi di dekat Sun City. Setelah 16 tahun meninggalkan sekolah, kita memiliki banyak hal yang musti diperbincangkan! 

Para hadirin berkumpul melihat hasil cetakan foto bersama. 




Friday, December 29, 2017

Malaysia Boleh: Malacca

Of all the places in Malaysia, Malacca is always my favorite destination for short getaway. A weekend trip, arriving on Saturday and departing on Sunday will be just nice. While Malaysia was used to be well-known for the inconvenient public transport (this is now changing thanks to Uber and Grab), Malacca is the one place that is pedestrian friendly. Well, at least the city center is best explored on foot!

I had a couple of visits since a decade ago. The first trip was with a Malaysian ex-colleague, Swee Hin, my travel buddy during this period. The beauty of travelling with a local was we could do it the Malaysian way, so we headed to Larkin Sentral, the bus terminal located in Johor Bahru, and took a bus from there. The journey to Malacca was roughly around three hours ride. Once we reached there, as this visit was before the rise of agoda.com, we did a walk-in to book our hotel room.

The riverside, when the evening came.
Photo by Evelyn Nuryani.

So what to do in Malacca? The two days, one night routine pretty much involved a walk around the city center, visiting various tourist spots ranging from the museum (that's where I refreshed my history lesson about Hang Tuah and Admiral Zheng He), the big Portuguese ship that also happened to be another museum, to Jonker Walk that was famous for its night market. However, as this was a trip with a Malaysian, we had this unlikely chance to visit the Malacca Zoo. It was alright, quite decent, but not exactly memorable, haha.

The next trip to Malacca happened to be from Kuala Lumpur. Together with a bunch of friends, I departed from Puduraya to Melaka Sentral, the main bus station. Oh yeah, if we took bus, be it from Singapore, Johor Bahru or Kuala Lumpur, we always alighted at this bus station. It was from here that we should take a cab to reach the city centre, where the main attractions were. The visit itself was a basically a repetition of the routine, described in the previous paragraph, minus the zoo, haha.

Eko and Suresh, when we stopped for a short break.

The third one was rather interesting because we drove from Singapore to Malacca. Chia was on the driver's seat while Suresh, Eko and I took turn on the front seat, if I remember correctly. Apart from the city center, we managed to explore some other places, but the most memorable one was the A'Famosa resort. We stayed at the apartment and we visited the theme park and the Old West, a rather charming Red Indians and cowboys show. Too bad that the one above was the only picture I could find. This is when we had our breakfast at the resting area, when we were on our way to Malacca.

The last time I went there was like a big, extended family trip. It was their first visit, so I did spend quite a fair bit of time with my daughter in our hotel room (we were staying at Hatten hotel, one of the newer hotels in town) in order to allow my wife, her sisters and mum to roam the city centre freely. A quality time well-deserved by the best wife ever! Later that night, I joined them for dinner where we had Korean food instead of the local peranakan cuisine or chicken rice ball, haha.

Overall, Malacca is a nice city with enough entertainment and eateries for all ages. The city center, the main tourist attraction, has this relaxed ambience, especially when it is not too hot. Here's one place that's great for us to walk around and yet it is neither confining nor restrictive like resorts. Highly recommended and satisfaction guaranteed for first timers!

Family time in Melacca.


Malaysia Boleh: Melaka

Dari berbagai tempat di Malaysia, Melaka adalah tempat tujuan favorit saya. Melaka sangat cocok untuk kunjungan singkat di akhir pekan, dimana kita datang pada Sabtu siang dan pulang pada Minggu sore. Transportasi di Malaysia biasanya tidak praktis (walau ini mulai berubah sejak adanya Uber dan Grab), tapi Melaka tidak terlalu terganggu oleh ketidaknyamanan ini karena pusat kotanya tergolong ramah pejalan kaki.

Saya mengunjungi Melaka berulang kali terhitung sejak 10 tahun yang lalu. Swee Hin, teman sekantor yang menjadi teman seperjalanan saya dalam kunjungan perdana ini. Karena dia adalah orang Malaysia, maka saya berkesempatan untuk bertualang dengan gaya lokal. Saat itu kita berangkat dari Larkin Sentral, stasiun bis yang terletak di Johor Bahru. Lamanya perjalanan berkisar tiga jam. Begitu sampai di sana, karena ini adalah perjalanan sebelum populernya agoda.com, kita masuk dan memesan kamar hotel secara langsung di meja resepsionis.

Swee Hin, lagi antri buat pesan kamar.
Foto dari Sony Ericsson K630, sebelum era BlackBerry, haha.

Jadi apa saja yang bisa dilakukan di Melaka? Rutinitas dua hari satu malam ini biasanya mencakup kunjungan ke berbagai daerah turis, misalnya museum (di sini saya diingatkan kembali tentang Hang Tuah dan Laksamana Cheng Ho), kapal Portugis yang juga merupakan sebuah museum dan juga pasar malam di Jonker Walk. Yang sedikit berbeda di kali pertama ini adalah kesempatan untuk mampir di kebun binatang Melaka. Tidak terlalu buruk, tapi juga tidak terlalu berkesan, haha.

Saya bertolak dari Kuala Lumpur saat mengunjungi Melaka untuk kali kedua. Bersama beberapa teman, saya naik bis dari Puduraya ke Melaka Sentral, stasiun bis utama di Melaka. Oh ya, kalau kita naik bis, baik dari Singapura, Johor Bahru maupun Kuala Lumpur, bis yang kita tumpangi akan merapat di stasiun Melaka Sentral. Dari sini barulah kita naik taksi ke pusat kota, dimana atraksi turis berada. Kunjungan kali ini mirip dengan rutinitas yang dideskripsikan di atas, akan tetapi kebun binatang tidak lagi termasuk dalam rangkaian acara.

Dari kiri: Anthony, Sudarto, Markus, Tommy dan Setia.

Di kali ketiga, kita berangkat dari Singapura menggunakan mobil. Chia mengemudikan mobilnya sementara saya, Suresh dan Eko silih berganti tempat duduk di sepanjang perjalanan. Selain pusat kota, kita juga pergi ke berbagai tempat lain yang biasanya hanya bisa dituju dengan mobil. Yang paling mengagumkan adalah A'Famosa. Kita bermalam di apartemen dan di sore hari, kita pergi ke taman bermain dan menyaksikan pertunjukan koboi dan Indian Amerika.

Terakhir kali saya ke sana adalah sebagai peserta dari rombongan keluarga besar. Karena ini adalah kunjungan pertama mereka, saya menjaga anak di kamar hotel (kita tinggal di Hatten yang masih tergolong di tahun 2013) supaya istri saya lebih leluasa menjelajah pusat kota bersama saudari-saudari dan ibunya. Saya bergabung dengan mereka untuk makan malam, dimana kita justru menyantap makanan Korea, bukannya makanan peranakan lokal atau nasi bola ayam Hainan yang terkenal di Melaka, haha. 

Dari beberapa kunjungan bersama berbagai teman seperjalanan ini, saya rasa bisa disimpulkan bahwa Melaka adalah kota yang nyaman dan lengkap dengan hiburan untuk berbagai usia. Pusat kotanya, daerah atraksi selalu dipadati oleh turis, memiliki suasana yang santai, terutama saat cuaca tidak terlalu panas. Sangat direkomendasikan dan dijamin merupakan pengalaman yang memuaskan, terutama bagi mereka yang pertama kali berkunjung! 

Yani di depan benteng A Famosa. 

Wednesday, December 27, 2017

A Life Less Ordinary (Part 1)

Hello, it's been a while! It's me again, Parno, and here's the story of my life. I was born in a simple family and I grew up on Nusa Indah street. In my younger days, just like any other kids in Pontianak during the 80s, I spent time watching anime such as Kamen Rider, Google V, Space Cops series from Gavan to Saider and there were also Getter Robo and Mazinger Z.

I had a good time watching all of them, but as time went on, I found it hard to follow all the series. At that time, anime and movies for children were in the form of video tape and one actually had to rent them. 

Nusa Indah Street that I knew was surrounded by a lot of entertainment! It was easy for boys to have some fun. The game arcade wasn't very far, so after I stopped watching anime, frequenting the game arcade became my next hobby. Loved it there! Was so engrossed until I forgot to keep track of time. It was as if I lived my life just for this very moment.

Everyday, when my mother was at home, I'd always ask for money. Father was often far away from home because he ran a private ship expedition where he delivered goods to customers from those remote and rural areas. While he was doing that, here I was, playing the games at the arcade. I couldn't care less. My adolescence years were great!

Me, during school days...


Saturday, December 23, 2017

The Bucket List

My wife once said that I had so many friends. I took it as a compliment, though it might or might not be a good thing. In a world where everybody had only 24 hours, I might have sacrificed one thing over another. Sometimes I did it right, but there were also times when I made foolish and selfish choices. Nonetheless, this one, a story that took two years in the making, definitely felt right.

In order to understand this, let me begin by revealing one of the greatest things in life: the bucket list. The very existence of it gets you going and gives you something to look forward to. I've been lucky enough to strike off some entries, such as marrying the woman I love, watching a Paul McCartney concert and crossing Abbey Road. They were like the wildest dreams came true! Some, however, were more down-to-earth, but they were still the pleasant memories that were worth telling. This story was one of them.

Like I said previously in the blog post called Love Thy Parents, the dawn of WhatsApp changed the way we made friends. I got reacquainted with old friends and, through a natural selection, I ended up having this group of friends with the same sense of humour. We actively shared thoughts, jokes and every lingo that only friends from the same school would understand.

From left: Susanti, Tuty, Endrico and Rudiyanto in Jakarta. And, yes, that's the same Endrico from almost every story I had. 

It was funny how we could chat as though we'd known each other forever, especially when I actually never met some of them before and hadn't seen the others for a long time. It could have stayed that way, but then opportunity knocked. What was started as a casual talk about school holiday was transformed into a trip to Karawang.

That's when I met Susanti for the first time. For your information, I'd been blessed with a good memory about anything and anybody that I encountered during high school days, but yet I didn't have any recollection about her. As far as I was concerned, the day we met in Jakarta was the first time I ever saw and spoke to her in person. My first impression of her was her voice: it was as if she was going to cry, haha. But she was a nice person and we got along immediately. She was like an old friend with a clean slate: nothing in the past for us to reminisce about, haha.

When we reached Karawang, we were welcome by Hendra. Back in the days, he was like this fellow classmate that always got on my nerves. Let's just say that he was this friend that was not exactly friendly. But easily two decades had passed since then and I was actually surprised to see how polite he was. When we were there, he was the host that constantly tried to ensure everything was okay for us. What a nice chap, really. He was surely a living proof that boys wouldn't always be boys. Sometimes we grew up, too, haha.

From left: James, Anthony, Harry, Vivi, Tuty and Lawrence in Pontianak.

Few months after that, I had a chance to go back to my hometown again. I met Harry, the man behind the cake, and passed him the MRT card that he won after participating in the silly competition that I organized. A friend of mine since primary school or earlier than that, Harry was good looking and tall, a popular student back then. While we were in the same class for a couple of times, we weren't close friends as we hung out with a different group of friends, but the arrival of WhatsApp changed all that. The day I visited him was the first time I saw him since 12 years ago.

Then Vivi came visiting us. In high school, she was a friend I always saw from afar, but never talked with, so the moment she stepped out from the car and walked towards us, I had a blast from the past. It was as if she was walking in slow in slow motion while I was having all the high school memories replaying in my mind, serenaded by Irene Cara's What a Feeling. Haha, I just overdid it, didn't I? So there we were, talking face to face for the first time ever since 1995, when I first noticed that I had a schoolfriend named Vivi. 

After meeting almost everyone of them, I realized this felt like a bucket list entry called meeting a bunch of funny old friends from WhatsApp era. That's when I jokingly told Wiwi, whom I never crossed path with during school days, that I'd travel more than 300km just to meet her. It sounded bombastic and ridiculous at the same time, but that was just what I needed. It was the kind of nonsense that got me excited, so I hopped on the train and went the distance to make it happen. As luck would have it, CP was visiting Malaysia, too. By the time we had a dinner together that night, the entry from the bucket list that had gotten me travelling from Singapore to Jakarta, Karawang and Pontianak was finally fulfilled in Kuala Lumpur

It was another milestone completed in life. What's next for me? A trip to Armenia? I don't know, but what I do know is, we shouldn't stop dreaming and filling up our bucket list. It's okay if we failed to execute some entries in the list (I failed going to Bhutan, Mongolia and Kazakhstan so far, if you know what I mean, haha), but the bottomline is, you don't stop believing and trying. If life isn't about chasing our dreams and making some of the adventures come true, then it's just a routine that's not worth living...

From left: Wiwi, Anthony and CP in KL.


Daftar Keinginan

Suatu ketika istri saya berkomentar tentang betapa banyaknya teman yang saya miliki. Saya anggap itu sebuah pujian, walaupun hal tersebut belum tentu merupakan sebuah berkah. Di dunia dimana setiap orang hanya memiliki 24 jam, ini berarti saya sibuk berbagi waktu antara keluarga dan teman. Terkadang saya melakukannya dengan baik, tapi ada juga saat dimana saya keliru. Yang berikut ini, sebuah kisah unik yang bersinambungan selama dua tahun terakhir, bukan saja terasa benar, tetapi juga istimewa.

Untuk mengerti maksud saya di atas, saya perlu sebutkan satu dari beberapa hal yang menarik dalam hidup ini: daftar keinginan. Keberadaan sesuatu yang abstrak ini memberikan dorongan bagi kita untuk berusaha mencapai apa yang kita inginkan. Saya beruntung sudah berhasil menggapai beberapa hal yang saya inginkan, misalnya saja menikahi wanita yang saya cintai, menonton konser Paul McCartney dan menyeberangi zebra-crossing di Abbey Road, London. Rasanya seperti impian-impian terbesar dalam hidup yang akhirnya menjadi kenyataan! Beberapa kisah lainnya (termasuk yang satu ini), walau tidak seheboh yang baru saja saya jabarkan, tetap merupakan pengalaman yang menarik untuk dikenang dan diceritakan.

Bersama Parno, teman jenaka yang tidak pernah absen dari dunia maya.
Foto oleh: Endrico.

Seperti yang saya bahas sebelumnya dalam artikel berjudul Cintailah Orang Tuamu, munculnya WhatsApp betul-betul mengubah cara kita dalam berteman. Bagi saya sendiri, saya berkesempatan untuk berinteraksi lagi dengan teman-teman lama. Melalui proses seleksi yang terjadi begitu saja tanpa saya sadari, saya sekarang memiliki sekelompok teman yang sama selera humornya. Kita aktif bertukar pikiran dan berbagi cerita lucu menggunakan istilah yang hanya bisa dipahami oleh teman-teman yang berasal dari sekolah yang sama. 

Satu hal yang unik dari interaksi ini adalah betapa kita bisa berbincang seakan kita sudah kenal begitu lama, walau kenyataannya saya bahkan belum bertemu atau sudah lama tidak bersua dengan mereka. Saya kira pertemanan kita akan seperti ini adanya, tetapi kemudian muncul kesempatan untuk bertemu. Apa yang bermula dari percakapan biasa tentang liburan sekolah anak-anak kemudian berkembang dan berubah menjadi perjalanan ke Karawang.

Dari kiri: Alvin, Anthony, Endrico, Eddy, Hendra dan Rudiyanto sewaktu kunjungan ke Karawang.

Pada kesempatan itulah saya bertemu Susanti untuk pertama kalinya. Sekedar informasi untuk pembaca, saya memiliki ingatan yang cukup baik tentang apa yang terjadi dan siapa yang pernah saya temui di masa SMA, namun saya sama sekali tidak ada gambaran tentang Susanti. Saat di Jakarta itulah saya pertama kalinya berjumpa dan berbicara langsung dengannya. Kesan pertama saya adalah suaranya yang lucu, seperti orang yang akan menangis, haha. Meskipun demikian, dia ramah orangnya dan kita pun langsung akrab sepanjang perjalanan kita ke Karawang. Dia seperti teman lama tanpa sedikit pun kenangan di masa lalu, haha. 

Setelah kita tiba di Karawang, kita disambut oleh Hendra. Di zaman sekolah dulu, dia ini bagaikan sebuah teror karena suka mengganggu. Namun dua dekade telah berlalu dan saya tertegun saat melihat betapa sopannya Hendra sekarang. Saat kita berada di Karawang, dia tidak ubahnya seperti tuan rumah yang selalu memastikan bahwa tamu-tamunya merasa nyaman selama kunjungan. Betul-betul salut. Dia adalah bukti nyata bahwa anak laki-laki tidak selamanya kekanak-kanakan. Ada kalanya kita tumbuh dewasa juga, haha.

Harry dan Budi Hendra, di depan rumah rumah Endrico, tahun 2005. 

Beberapa bulan setelah kunjungan ke Karawang, saya pulang ke kampung halaman. Saya bertemu dengan Harry, teman yang terkenal dengan kue lapisnya, untuk menyerahkan kartu MRT yang dimenangkannya dalam lomba menulis SMS cinta yang saya adakan. Harry adalah teman dari sejak SD atau mungkin sejak TK. Tinggi dan tampan, dia tergolong populer di sekolah. Meski kita sempat sekelas beberapa kali, kita tidak akrab karena masing-masing bergaul dengan kelompok teman yang berbeda. Era WhatsApp mengubah semua itu. Ketika saya berkunjung ke tempatnya, itu adalah pertama kalinya kita bertemu lagi sejak 12 tahun silam di rumah Endrico.

Kemudian Vivi datang berkunjung ke tempat Harry juga. Di masa sekolah, saya hanya sekedar tahu namanya dan pernah melihatnya dari jauh, tapi tidak pernah berbicara dengannya. Begitu Vivi turun dari mobil dan berjalan ke arah kita, setiap langkahnya bagaikan adegan lambat dalam film. Di saat bersamaan, semua kenangan SMA berputar kembali di benak saya sambil diiringi lagu What a Feeling yang dinyanyikan oleh Irene Cara. Haha, hiperbola yang luar biasa, ya? Dan kita pun bersantap siang sambil mengobrol untuk pertama kalinya sejak tahun 1995.

Bersama Wiwi dan CP di KLCC.

Setelah perjumpaan di Pontianak, saya menyadari bahwa saya sudah bertemu dengan hampir semua teman yang akrab di dunia maya, kecuali Wiwi, seorang teman lama yang juga tidak pernah bertegur sapa dengan saya dulu. Saya lantas bercanda dengannya dan berkata bahwa saya akan menempuh jarak lebih dari 300km untuk berjumpa dengannya. Ini mungkin terdengar seperti bualan yang konyol, tapi saya selalu tergelitik dengan hal-hal seperti ini dan seringkali tergerak untuk mewujudkannya. Saya lantas membeli tiket kereta dan, setelah tujuh jam perjalanan, kita pun berjumpa di KLCC. Kebetulan saat itu CP juga sedang berkunjung ke Malaysia. Di malam itu, ketika kita menikmati hidangan di restoran, saya terkenang lagi dengan perjalanan yang membawa saya berkelana dari Singapura ke Jakarta, Karawang dan Pontianak. Petualangan ini pun berakhir di Kuala Lumpur.  

Sebuah babak kehidupan pun terselesaikan. Apa lagi yang akan terjadi? Perjalanan ke Armenia? Saya tidak tahu, tapi yang bisa saya pastikan adalah, kita tidak boleh berhenti bermimpi dan mengisi daftar keinginan kita. Tidak masalah jika kita tidak berhasil mewujudkan beberapa di antaranya (saya sendiri masih belum berhasil menyelesaikan Bhutan, Mongolia dan Kazakhstan, jika anda tahu apa maksud saya, hehe), tapi yang penting adalah kita tidak pernah berhenti untuk percaya dan berusaha. Jika hidup tidak diisi dengan menggapai impian, maka hidup itu tidak ubahnya seperti rutinitas yang tidak menarik untuk dijalani...

Bersama Eday (paling kanan), Surianto dan Taty di Singapura. Eday juga teman baik dari sejak dulu yang kembali akrab setelah era WhatsApp.



Monday, December 18, 2017

Love Thy Parents

Since the era of WhatsApp, we had this group of 30 or 40 high school alumni (the number always fluctuated as some members came and went) that always talked about all sorts of stuff. The other day, after the usual greetings that began our morning, one of us brought up an interesting topics about parents. She recently encountered an old folk and she sympathised him for still selling soy milk at his age. She made a remark that he should have been retired and taken care of by his children.

To certain extent, that opinion rang true. In an ideal situation, this should be the scenario. Nevertheless, what if the children themselves were struggling? If they already had a hard time making ends meet, how on earth they were going to support their parents? In such cases, were they going to be deemed as irresponsible children?

I didn't just make it up. If parents ever got sick, the medical expenses could be astronomically high. I just went through that and as I saw my savings depleting rapidly, I still got to put on my brave face and say, "no worries, it's alright." But I was worried as hell at times because I was also the sole breadwinner for my wife and daughters. I wasn't being petty here, but such a problem was, apparently, as real as it got.

The insurance agent, the writer and the debt collector.

How should a person strike a balance here? I gave it a thought and did the survey based on the context above. My respondents were the man without fear, a homemaker, a bakery shop owner, a cargo businesswoman, an insurance agent and a debt collector. Much to my surprise, the people of my generation thought pretty much alike. Some answers were more refined than others, but they were basically the same.

The gist of it was something like this: when our parents were sick, it was only right that we footed the bill, especially when they couldn't afford it. It was our responsibility to do so. Out of love, we did it for our parents. We set aside our money for them, we could even spend our share if what we originally allocated for them wasn't enough, but we were certainly not sacrificing the savings meant for our spouse and kids. Rest assured that no ailing parents would like to see their children living miserably in debts due to their illness. If people ever questioned why we didn't do more, well, we simply couldn't stop people from commenting what they felt like saying, and that wasn't even important! As long as we'd done things answerable to our conscience and our parents knew it, that'd be it.

The cargo businesswoman. 

We also acknowledged that most of our parents were from the era where people worked hard, but often failed to understand the concept of getting insured and so forth. Now that some of us were parents ourselves, we surely didn't wish to burden our children by repeating the same vicious cycle made by the previous generations. We learnt things that our parents didn't, so we had to make a difference by having a better financial planning for our future.

While the respondents were from various walks of life, it was interesting to note that we had the same thought. Personally, I was relieved to know that I wasn't alone, because I originally thought I was cruel for thinking this way. Also worth mentioning was the comment from one of us about the fact that God provided in God's way, a unique insight that no one else seemed to mention. That, perhaps, was the missing link that eventually completed an idea that we wrote together here...

The homemaker.


Cintailah Orang Tuamu

Sejak era WhatsApp, kita memiliki sebuah grup beranggota 30 sampai 40 teman SMA (jumlahnya selalu fluktuasi karena ada anggota yang masuk dan keluar) yang selalu aktif membahas apa saja. Minggu  lalu, salah satu dari kita berkomentar tentang betapa dia bersimpati saat melihat ayah seorang kenalan lama yang masih berjualan susu kacang. Dia merasa sudah sepantasnya orang tua ini pensiun untuk menikmati masa senja yang dijamin oleh anaknya.  

Opininya terasa masuk akal. Di dalam situasi yang ideal, harusnya memang seperti itu. Akan tetapi, bagaimana jika anak-anak dari orang tua itu sendiri belum mapan? Bila hidup sendiri saja susah, bagaimana caranya untuk menunjang kehidupan orang tua? Jikalau mereka tidak mampu, apakah mereka lantas dituding sebagai anak tidak berbakti? 

Saya tidak sekedar mengada-ada. Hal yang paling nyata adalah, jika orang tua kita sakit, biaya pengobatannya tidaklah murah. Saya baru saja melewatinya. Di saat saya melihat tabungan saya terkuras, saya masih harus tersenyum dan berkata, "oh, tenang. Tidak apa-apa." Di balik semua itu, saya terus-terang khawatir karena saya adalah satu-satunya yang bekerja menafkahi istri dan anak-anak saya. Saya tidak berpikiran picik atau bahkan mengeluh, tetapi saya ingin menekankan bahwa masalah ini bisa terjadi pada siapa saja.

Terbersit di benak saya, apa yang harus diperbuat di dalam situasi ini supaya kita tidak mengabaikan orang tua kita dan juga tidak menelantarkan tanggung jawab terhadap keluarga kita sendiri. Kemudian saya melakukan survei berdasarkan lingkup permasalahan di atas. Para responden saya adalah seorang pria yang terkenal berani, ibu rumah tangga, pemilik toko kue, pengusaha jasa pengiriman, agen asuransi dan manajer bagian penagihan hutang. Di luar dugaan, orang-orang dari generasi saya ini ternyata berpikiran sama. Beberapa peserta memberikan jawaban lebih mendetil dari yang lain, tapi pada intinya semua saling melengkapi.

Pemilik toko kue. 

Pemikiran kita bisa dijabarkan seperti ini: ketika orang tua kita sakit, sudah selayaknya kita menanggung biayanya, terlebih lagi jika mereka memang tidak mampu membayar sendiri. Itu adalah tanggung jawab kita sebagai seorang anak. Sebagai ungkapan cinta dan bakti kepada orang tua sudah mengasihi kita sejak kita lahir, kita melakukan apa yang kita bisa untuk orang tua kita. Kita menyisihkan uang untuk mereka dan kita bahkan mungkin mengorbankan bagian tabungan yang sebenarnya kita cadangkan untuk diri sendiri, tetapi kita tidak seharusnya menghabiskan simpanan dana untuk masa depan istri dan anak-anak kita. Alasannya sederhana: tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya hidup susah dan terbelit hutang karena penyakit yang mereka derita. Jika orang lain bertanya, kenapa kita tidak menjual rumah atau menggunakan seluruh tabungan kita, percayalah bahwa kita tidak bisa menghentikan orang lain untuk berkomentar seenaknya. Kita bahkan tidak perlu meladeni mereka. Selama kita sudah melakukan apa yang kita bisa sesuai dengan hati nurani kita, orang tua akan memakluminya. Posisikan diri anda sebagai orang tua dari anak-anak anda dan anda akan mengerti pemikiran ini.

Dari jawaban-jawaban yang ada, bisa dikatakan bahwa kita juga sepakat bahwa orang tua kita berasal dari generasi pekerja keras yang menabung sebisa mereka, namun tidak semuanya memahami cara mengasuransikan diri mereka. Sekarang, di kala beberapa di antara kita telah menjadi orang tua, tentunya kita tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Kita belajar beberapa hal yang mungkin tidak diketahui oleh orang tua kita dulu, jadi sedapat mungkin kita harus membuat perubahan dalam segi jaminan di hari tua supaya tidak membebani anak-anak kita suatu hari nanti. 

Sekali lagi, menarik untuk dicatat bahwa orang-orang yang menanggapi survei ini berasal dari berbagai kalangan dan memiliki pekerjaan yang berbeda-beda, ternyata pemikiran kita cenderung sama. Saya merasa lega setelah mengetahui bahwa pola pikir di atas bukan saja dianut oleh saya sendiri, sebab pada awalnya saya bertanya-tanya, apakah saya ini kejam karena telah berpikir seperti ini? Hal lain yang perlu disinggung juga adalah, ternyata ada satu yang berpendapat bahwa Tuhan menyediakan segalanya sesuai dengan cara dan kehendak-Nya. Pendapat ini mungkin adalah bagian yang hilang, yang akhirnya melengkapi sebuah pemikiran yang kita tulis bersama ini...

Pria pemberani. 


Thursday, December 14, 2017

Rock Show

If you look at my CDs collection, you'll notice that I'm not really a big fan of rock music. Nevertheless, I'm certainly not immune to it. When it's good, it's really good. There's no denying it, therefore I still love bands such as Bon Jovi and Guns N' Roses. They had a lot of great songs that I grew up with, from Livin' on a Prayer to November Rain.

When I heard Bon Jovi was coming to Asia, I knew I got to go. I could have just attended their concert in Singapore, but the band was sharing the stage with other acts during F1 event. I reckoned it wouldn't be a full-fledged concert, therefore I opted for their concert in Indonesia instead. Together with friends from Singapore, we flew to Jakarta on September 11, 2015.

It was my first concert experience in Indonesia since Mr. Big came to my hometown 15 years ago. Jakarta's traffic jam was notorious, so we went to Pacific Place and had early dinner at Hard Rock Cafe, then walked from there to Gelora Bung Karno. It was not exactly near, but doable.

From left: Steven, Hendra, Anthony, Muliady and Franky, taking wefie in front of the entrance gate!
Photo by Hendra. 

The most memorable moment before the concert started was the queue to the entrance. It wasn't chaotic, but it was packed to the extent that we were literally stuck there for easily an hour. There wasn't a space to wriggle freely at all! It was so bad that I remember glancing at those with backpacks, half thinking if one of them was ever a suicide bomber, we would have died at the very spot where we stood.

But we didn't die and we got to watch the concert instead. When the lights were on and the music began, I look around to find Jon Bon Jovi, never realising that the white haired man on the stage was actually him! It was only when he started singing that I noticed he was Jon.

Bon Jovi, live in Jakarta!
Photo by Franky.

He looked much older than the last time I saw him on TV. It seemed like he also never expected that the night in Jakarta would be so hot and humid. I mean, he was sweating profusely from the start, gasping for some air at times that I cringed and hoped he wasn't going to faint.

It took him quite long to adjust and the new songs that I didn't recognise clearly didn't help. Richie Sambora was notably absent, so the concert featuring a struggling front man was rather boring. Jon also had this habit of shoving the mic to the audience when he was supposed to be singing the high notes. In hindsight, I jokingly told some friends that he might have regretted writing the songs that could tear his larynx apart. Jon Bon Jovi could belt out those songs easily when he was much younger, but he couldn't sing them anymore these days.

The singer only got back to the top of the game from Keep the Faith onwards, which was like the second last song before the encore. As Jon got himself busy with maracas, he transformed into this Bon Jovi we knew and loved. The concert was eventually ended with a brilliant performance of Livin' on a Prayer. The song started slow in acoustic, then switched into full band, rocking the stadium and giving us a satisfying closure. It redeemed Bon Jovi's reputation as a world class rock band.

After the concert.
Photo by Franky. 
Having gone through such experience, you'd understand why I was a bit wary of Guns N' Roses. First of all, the concert venue was like in the middle of nowhere. On top of that, we had this unknown opening band blasting their unrecognisable loud music from afar while we were lining up for the worst queue arrangement ever in 2017 for our... hotdogs, if I remember correctly. Then came Axl Rose, putting on so much weight and looking totally different from the young man I saw on MTV back in the 90s. I immediately had doubts that he could do what he used to do. I thought this was it, I'd been Bon Jovi-ed again.

That's when I was in for a nice surprise. Axl was not only very agile, but his voice was also still solid. He ran, he jumped and he sang throughout the concert. Duff McKagan was as cool as a bass player could be. Then of course there was Slash. His curly hair, his seasoned and battered looking guitar and his legendary guitar playing, he was everything you'd like your eyes to feast on. Both Slash and Axl were the very reason why GNR was so great. I couldn't get enough of them.

Getting ready for Guns N' Roses!

They did all the good stuff ranging from Paradise City, Live and Let Die, to Sweet Child O' Mine, but none was more captivating than November Rain. Axl was on piano and the moment he played the intro, I was transported back to that tiny studio in Pontianak. I remember my friend Hardy doing his best Axl impression and here was the real deal, singing right in front of me. It was so surreal to have your dream come true, really.

Just like Bon Jovi's concert where Always was curiously missing from the set list, I had no idea why GNR didn't perform Don't Cry that night. But it was still one helluva concert. When the concert ended, it was like waking up from a childhood dream, a very loud one at that...



Konser Musik Rock

Jika anda mengamati koleksi CD musik saya, anda bisa melihat bahwa saya bukan penggemar berat musik rock. Meskipun demikian, saya suka mendengarkan lagu-lagu populer dari grup-grup tersohor seperti Bon Jovi dan Guns N' Roses. Mereka menulis banyak lagu yang mengisi hari-hari saya di Pontianak dulu, mulai dari Livin' on a Prayer sampai November Rain.

Ketika saya mendengar kabar bahwa Bon Jovi akan datang ke Asia, saya tahu saya harus menyaksikan aksi panggungnya. Bon Jovi juga datang ke Singapura, tapi hanya sebagai bagian dari aneka artis yang mengisi acara Formula 1. Oleh karena itu, saya terbang ke Jakarta bersama teman-teman Singapura pada tanggal 11 September 2015 untuk menonton konser tunggal Bon Jovi di sana.

Dan tiket pun dibeli jam 17.29 waktu Singapura!

Ini adalah pengalaman konser pertama saya di Indonesia sejak Mr. Big datang ke Pontianak 15 tahun yang lalu. Mengingat macetnya Jakarta, kita berangkat lebih awal ke Pacific Place dan makan malam di Hard Rock Cafe, lalu berjalan kaki ke Gelora Bung Karno.

Ada sebuah pengalaman menarik yang terjadi sebelum konser. Kita terjebak di tengah lautan manusia satu jam lamanya saat mengantri untuk masuk. Suasananya memang tidak rusuh, tapi kita tidak bisa bergerak maju maupun mundur. Sambil memandangi mereka yang memikul tas ransel di punggung, saya berpikir, kalau saja ada di antara mereka yang merupakan pelaku bom bunuh diri, kita pasti mati di tempat.

Akan tetapi tentu saja kita tidak mati dan jadinya berkesempatan untuk menonton konser. Ketika lampu menyala dan musik dimainkan, saya langsung fokus ke arah panggung untuk mencari Jon Bon Jovi. Setelah dia mulai bernyanyi, saya baru sadar bahwa pria berambut putih itu adalah sang bintang utama! Dia tampak jauh lebih tua dari yang saya perkirakan. Selain itu, sampai hari ini, saya selalu berasumsi bahwa sepertinya dia tidak terbiasa dengan panasnya cuaca di Jakarta. Begitu konser mulai, dia sudah banjir keringat dan seperti kehabisan napas. Saya bahkan berharap bahwa dia tidak pingsan.

Bon Jovi membutuhkan waktu cukup lama untuk beradaptasi dan bagi saya, lagu-lagu baru yang dinyanyikannya tidak membantu menghidupkan suasana. Richie Sambora juga tidak datang sehingga kelangsungan konser sepenuhnya bergantung pada Bon Jovi yang terlihat lelah dan memaksakan diri untuk menyanyi. Jon juga memiliki kebiasaan mengarahkan mikrofonnya ke arah penonton ketika dia seharusnya menyanyikan bagian lagu bernada tinggi. Karena kecenderungannya ini, saya seringkali bercanda dengan teman bahwa Bon Jovi pasti menyesal telah menulis lagu-lagu yang memaksanya untuk berteriak. Dia dengan gampang menyanyikannya dulu, tetapi sekarang ia tidak sanggup lagi. 

Pose saat antrian masuk.
Foto oleh Franky.

Bon Jovi terlihat kembali prima saat mereka memainkan Keep the Faith, lagu kedua terakhir sebelum encore. Dia dengan lincahnya memainkan maracas, persis seperti Bon Jovi yang kita lihat di TV dulu. Tidak lama kemudian, konser pun ditutup dengan lagu Livin' on a Prayer. Lagunya dimulai dengan irama pelan dan akustik. Setengah jalan kemudian, terjadi transisi dan lagunya berganti menjadi elektrik seperti yang biasa kita dengar dari rekamannya. Dengan lagu andalannya, Bon Jovi mengguncang stadion dan memuaskan dahaga penggemarnya sekaligus kembali menunjukkan kelasnya sebagai grup musik kelas dunia. 

Setelah konser Bon Jovi ini, anda pasti mengerti kenapa saya agak cemas dengan konser Guns N' Roses. Pertama-tama, konsernya berada di tempat yang terpencil dan sulit dijangkau, sesuatu yang tidak lazim untuk standar Singapura. Selain itu, antrian untuk sebuah roti hotdog juga benar-benar parah. Kita mengantri satu jam lamanya sementara grup pembuka yang tidak terkenal memainkan musik sekeras-kerasnya. Kemudian Axl muncul. Dia terlihat gemuk dan sungguh berbeda dengan pemuda yang tampil di video musik GNR di tahun 90an. Saya langsung merasa ragu bahwa dia bisa menyanyi seperti dulu. Jangan-jangan penampilannya akan seperti Bon Jovi lagi.

Saat lagi antri isi kredit buat beli makanan.
Foto oleh Eday.

Namun saya terbukti salah dalam menilai. Axl bukan saja berjingkrak hingga akhir, tapi suaranya pun tidak memudar dan masih sebagus dulu. Dia berlari, melompat dan menyanyi tanpa terlihat lelah. Duff McKagan juga ada di panggung, dengan tenang memainkan bass-nya. Slash pun tidak kalah sibuknya. Dengan rambut keriting yang menutupi mata dan permainan gitarnya yang memukau, dia membuat kita serba salah, entah harus melihat permainannya atau menonton Axl. Perpaduan dua orang inilah yang menjadi alasan kenapa GNR adalah salah satu grup paling dahsyat di dunia.

Mereka memainkan tembang-tembang terbaiknya, mulai dari Paradise City, Live and Let Die, sampai Sweet Child O' Mine, tapi yang paling berkesan adalah November Rain. Axl duduk di depan piano dan tatkala dia mulai memainkan nada pembukanya, saya bagaikan terbuai kembali ke studio kecil di Jalan Cendana di kampung halaman saya. Saya ingat teman sekolah saya Hardy yang bernyanyi dengan gaya Axl Rose dan kini penyanyi aslinya melantunkan lagu yang sama di hadapan saya. Serasa tidak percaya, tapi nyata di depan mata dan tidak terbantahkan oleh telinga.

Sama halnya seperti konser Bon Jovi yang tidak memainkan lagu Always, saya juga tidak tahu GNR kenapa tidak memainkan Don't Cry di malam itu. Akan tetapi tidak bisa disangkal bahwa penampilan mereka sangat luar biasa. Ketika konser berakhir, rasanya seperti terbangun dari sebuah mimpi masa silam yang hingar-bingar...

Guns N' Roses, live di Singapura!
Foto oleh Eday.