Total Pageviews

Translate

Saturday, April 13, 2024

The China Trip: Chengdu

We arrived in Chengdu after a bullet train ride for almost four hours from Xi'An. We went from East Railway Station to Wenshu Monastery and walked to Buddhazen Hotel. Just like Liverpool that is so proud of the Beatles, Chengdu also has the same vibe: the city is teeming with pandas everywhere you look! 

Captain China at the hotel he wanted. 

Buddhazen Hotel is a classic building lifted out from the front page of ancient Chinese history. It has no lift and escalator, so we had to carry the luggages up to third floor. The surrounding area is brimming with shops and eateries. We had our late lunch nearby.

Heading to the tomb of Liu Bei.
Photo by Andiyanto.

The first destination was supposed to be Jinli Street, but I mistook Wuhou Shrine for it. As a result, we accidentally stumbled upon the important site of Three Kingdoms that I never planned for. Surianto, who knew the history best, was loving it. I was a tad disappointed to see Liu Bei's tomb was more of a mound than anything majestic. 

Posing on Jinli Street.
Photo by Surianto. 

We eventually made it to Jinli Street, which happens to be next to Wuhou Shrine. It is what you would call a typical tourist trap. We spent our time exploring the street with the traditional Chinese look and feel. We could have been there longer if not for the drizzle that killed the mood. 

Beer time! 
Photo by Gunawan.

We exited Jinli Street and had the cheapest but delicious dinner throughout the entire trip. Only RMB 262 for nine people! I like the fried water spinach with the wok hei flavor! That night ended with us having one round of beers nearby our hotel. Haven't eaten sunflower seeds in a long while!

Visiting pandas!
Photo by Angela.

When in Chengdu, check out the pandas! Chengdu Research Base for Giant Panda Breeding was the destination of our second day. After our visit, I tend to think that it's slightly overrated, though. I'm dissatisfied with the fact that it is so spacious but has only so little pandas. If not for the four playful juvenile pandas kept in Enclosure 2, the visit would have been a total waste of time. 

Lawrence and Gunawan on Chunxi Road.

We spent about half a day there, then we headed to Chunxi Road. It's Chengdu's answer to Orchard Road and it's huge! As this is Chengdu, of course you got a panda climbing a building and the spot is called Under the Panda's Butt on Swarm, haha.

Coffee break.

But instead of checking out a multitude of shops, we simply passed through them and before long, we found ourselves at Starbucks for a coffee break as we made our way towards Tianfu Square. When we were on the bridge, we could see a statue from afar. Lawrence said it was Chairman Mao while his son Ezra said it was Andy Lau.

Gunawan and Chairman Mao.
Photo by Surianto. 

It turned out that Lawrence's answer was correct one. The statue of Chairman Mao stands tall and his hand gesture presents us the magnificent Tianfu Square that was built based on the yinyang circle. We had a quick glance before heading down to basement for dinner. I was craving for dumpling soup, so the boys and I shared a couple of bowls. 

And there goes the tour leader!
Photo by Gunawan. 

The following day started with me hopping into the metro that closed its doors and took off immediately. The rest were left behind! But that was all right, as we met again at East Railway Station. Booked our bullet train tickets, quicker this time as the station already has our passport data from the previous purchase we made in Xi'An, and off we went to Leshan.

The first half of Leshan Giant Buddha.

The duration was about 46 minutes. Once we arrived at Leshan Station, there was a bus counter that sold bus and admission tickets. 40 minutes later, we arrived at our destination: the Giant Buddha of Leshan!

Guanyin and the admirers.
Photo by Surianto. 

Or so we thought, because it was still quite a long way to go and a lot of staircases to climb before we got there. We passed by the arhats, bodhisattvas and Buddha's statues of many sizes. We saw temptations carved on the wall, reminding us about the path of enlightenment. We were queuing in two rows to "receive" and pay for the blessing in the temple. 

Listening attentively? Not our Captain, I guess. 

And then finally there it was: the Giant Buddha. As we stood on the left of his face, I recalled the scenes from Wind and Cloud manhua. Then I remembered sitting on the staircase, watching the TV series in Pontianak, when my parents and I stayed at a rented house on Gang Kamboja back in Pontianak. The fighting in front of Leshan Giant Buddha, the theme song Yong Yuan Yong Yuan (永远永远), all those memories came rushing back. 

And we made our way down to see Buddha!
Photo by Andiyanto. 

Suddenly there was this urge that I just had to see the Giant Buddha statue in its glorious entirety. We went down the stairs, steep though they were at times, until we came into its mighty presence. The statue I only saw in comics and TV series was right there, towering us. 

The high school friends and the Buddha. 

We took pictures as six high school friends that made it to the Giant Buddha of Leshan. Before we left, I stood there for a while to admire the Buddha as the images from the past were playing in my mind. It's crazy how the real one was now sitting in front of me. My younger self would never have the idea that I'd be here one day. Life has been good indeed.

Cicilia, Captain China and I at the cafe. 

Epilogue: we returned to the train station, passing by the city of Leshan. The locals would refer to it as a small town, but it's still much bigger and more modern than any cities in Indonesia. The night ended with a dinner at Kuanzhaixiangzi Alleys and a walk back to hotel. There was a cafe nearby Buddhazen Hotel and there we were, talking until it was closed...

Once upon a time in front of Buddhazen Hotel. 




Liburan Ke Cina: Chengdu 

Kita tiba di Chengdu setelah menaiki kereta cepat hampir selama empat jam dari Xi'An. Dari East Railway Station, kita menuju ke Wenshu Monastery dan berjalan kaki ke Buddhazen Hotel. Seperti halnya Liverpool yang bangga dengan the Beatles, Chengdu juga memiliki aura yang sama: kota ini penuh dengan panda sejauh mata memandang! 

Kapten Cina di hotel yang diinginkannya.

Buddhazen Hotel memiliki disain bangunan klasik Cina kuno. Hotel ini tidak memiliki lift dan eskalator, jadi koper harus dijinjing naik sendiri. Sekeliling hotel penuh dengan toko dan tempat makan. Kita pun makan siang di sekitar situ.

Menuju makam Liu Bei.
Foto oleh Andiyanto.

Tempat tujuan pertama harusnya Jalan Jinli, tapi saya salah kaprah dan mengira bahwa Kuil Wuhou adalah Jalan Jinli. Kita akhirnya tanpa sengaja masuk ke situs penting Sam Kok. Surianto yang paling paham tentang sejarahnya menyukai kunjungan ini. Saya sendiri agak kecewa karena makam Liu Bei lebih mirip seperti gundukan raksasa daripada kuburan yang megah. 

Berpose di Jalan Jinli.
Foto oleh Surianto. 

Dari Kuil Wuhou, kita akhirnya sampai di Jalan Jinli yang terletak di sebelahnya. Tempat dengan nuansa Tiongkok tradisional ini memang khusus untuk turis yang ingin berbelanja. Kita mengitari tempat ini sampai malam tiba dan bisa saja lebih lama lagi jikalau bukan karena gerimis yang membuat kita berteduh dan beranjak pulang. 

Waktunya bir!
Foto oleh Gunawan.

Keluar dari Jalan Jinli, kita menikmati makan malam yang lezat dan paling murah sepanjang liburan kali ini. Hanya RMB 262 untuk sembilan orang! Saya suka cah kangkung dengan aroma yang menyerupai kangkung asap di Pontianak. Malam pertama di Chengdu pun ditutup dengan satu ronde bir bersama di dekat hotel. Sudah lama rasanya tidak mengunyah kwaci biji bunga matahari!

Mengunjungi panda!
Photo by Angela.

Dan ketika berada di Chengdu, lihatlah panda! Basis Penelitian Chengdu Untuk Pengembangbiakan Panda menjadi tujuan di hari kedua. Setelah kunjungan kita, saya rasa tempatnya agak terlalu komersil tapi tidak sesuai harapan. Luas penangkarannya, namun sedikit pandanya. Bila bukan karena empat ekor panda usia remaja yang lucu, kunjungan kita boleh dikatakan buang waktu. 

Lawrence dan Gunawan di Chunxi Road.

Setelah setengah hari di penangkaran panda, kita menuju ke Chunxi Road yang merupakan tandingan Orchard Road di Singapura! Luasnya memang dahsyat! Dan karena ini adalah Chengdu, ada panda yang memanjat gedung dan di aplikasi Swarm, titik ini namanya Di Bawah Pantat Panda, haha. 

Waktunya ngopi.

Namun kita tidak mengunjungi toko-toko, melainkan melewati semuanya begitu saja. Ada pemberhentian sejenak untuk minum kopi di Starbucks saat kita berjalan menuju Lapangan Tianfu. Dari arah jembatan, terlihat patung dari kejauhan. Lawrence menerka bahwa itu adalah patung Mao sedangkan anaknya asal menjawab Andy Lau. 

Gunawan dan Mao.
Foto oleh Surianto. 

Tentu saja Mao adalah jawaban yang tepat. Patung orang kuat Cina ini berdiri tegak dan gerakan tangannya seperti mempersembahkan Lapangan Tianfu yang dibangun sesuai dengan lingkaran yinyang. Kita berkeliling sejenak, lalu turun ke bawah untuk makan malam. Saya ingin makan sup pangsit, jadi kita pesan beberapa mangkuk dan berbagi. 

Dan pemandu wisatanya kabur duluan!
Foto oleh Gunawan. 

Keesokan harinya dimulai dengan peristiwa masuknya saya ke metro yang langsung menutup pintu dan berjalan. Yang lain pun tertinggal! Tapi tidak ada masalah karena kita tinggal saling mengabarkan untuk bertemu lagi di East Railway Station. Kita pun memesan tiket kereta cepat. Prosesnya lebih cepat sekarang karena data paspor kita sudah tersimpan sejak pembelian tiket di Xi'An. 

Setengah jalan di Budha Raksasa Leshan.

Durasi perjalanan adalah 46 menit. Begitu kita tiba di Stasiun Leshan, ada loket penjualan tiket bis dan tiket masuk wahana. 40 menit kemudian kita pun tiba di tempat tujuan: Budha Raksasa Leshan! 

Kwan Im dan pengunjung yang mengaguminya.
Foto oleh Surianto. 

Akan tetapi perjalanan ternyata masih panjang dan banyak tangga yang masih harus didaki. Kita melewati ukiran arahat, bodisatwa dan patung Budha beraneka ukuran. Ada berbagai pahatan godaan duniawi di tembok yang mengingatkan kita tentang pencerahan sang Budha. Kita bahkan antri untuk "menerima" dan membayar berkat di kuil. 

Mendengarkan dengan seksama? Kapten kelihatan ngantuk. 

Sampai akhirnya terlihatlah Budha Raksasa. Saat berdiri di sisi kiri wajah sang Budha, saya terkenang dengan komik Awan dan Angin. Kemudian saya teringat saat saya duduk di anak tangga rumah sewaan di Pontianak untuk menyaksikan serial TV Awan dan Angin. Adegan pertarungan dan lagu Yong Yuan Yong Yuan (永远永远) dari 20an tahun silam itu bagaikan hadir kembali. 

Turun melihat Budha!
Foto oleh Andiyanto. 

Tiba-tiba ada niat di hati untuk melihat patung Budha secara keseluruhan. Kita turun ke bawah, menapaki ratusan anak tangga, termasuk beberapa yang terkesan curam, sampai akhirnya kita tiba di hadapan Budha. Patung raksasa yang selama ini hanya saya lihat dari komik dan TV kini duduk di depan menaungi saya. 

Teman SMA dan Budha. 

Kita berfoto sebagai enam teman SMA yang berhasil mencapai Budha Raksasa Leshan. Sebelum kita pergi, saya menatap Budha untuk kali terakhir. Berbagai gambaran Budha bermunculan di benak saya. Sungguh sulit untuk dipercaya bahwa akhirnya saya melihat Budha Raksasa Leshan yang asli. Dua dekade silam, sewaktu saya di Pontianak, mana pernah terpikir akan ke sini suatu hari nanti. Hidup ini memang baik. Sangat baik. 

Cicilia, Kapten Cina dan saya.

Epilog: kita kembali ke stasiun kereta, melewati kota Leshan. Warga setempat berkata bahwa Leshan hanyalah kota kecil, tapi terlihat jauh lebih besar dan modern dari berbagai kota di Indonesia. Malam pun berakhir dengan santap malam di Lorong Kuanzhaixiangzi Alleys dan perjalanan pulang ke hotel. Ada kafe di dekat Buddhazen Hotel dan di sanalah kita berada sampai kafe itu tutup... 

Thursday, April 11, 2024

The China Trip: Xi'An

The flight time between Singapore and Xi'An is about 5.5 hours, still bearable for me to fly on Scoot. Weather in April could still be fairly cold at night, so some of us wore jackets the moment we landed in Xi'An after midnight. The airport is old, the immigration queue was quite long and we still had to fill in the form manually before we had our passport stamped. 

Supper at Xi'An Airport.

The first thing we did was having supper. Mine was a bowl of cold kway teow, a local delicacy that tasted fine. Soon after that, we made our way to hotel by taking three cabs. Note that the taxi trunk is rather small here, so big luggages couldn't fit in. As a result, one was sitting on front seat like a passenger, hehe.

Fairfield Hotel booked by Andiyanto was nice. It sported a modern design and, most importantly, the water was hot enough for showering in cold weather. Beiyuan Metro Station was about 12 minutes away from our hotel and our first destination for our first morning in Xi'An was the Bell Tower. The admission tickets were cheaper if purchased together with the Drum Tower, so we did exactly that using Alipay.

With Gunawan at Fairfield Hotel. 
Photo by Surianto.

Talk about Alipay, it's crazy how things changed. When I visited China with my wife in 2018, cash and credit cards were still widely accepted. Six years later, Alipay and WeChat Pay are the way to go. Cash is still usable, but you can sense that people are accepting cash reluctantly as if it's a source of inconvenience. It's either scanning or being scanned now, and it works like a charm. 

Transactions are very much seamless, but they aren't without problems. China's domestic market must be so big and self-sustainable that foreigner's needs seemed to be treated like an afterthought. We struggled ordering Luckin Coffee and Taco Bell because they had to be ordered from the app. You use Alipay, scan the QR code and only God knows what will happen next.

The high school friends at the Bell Tower in China!

Back to Bell Tower, most of the notes were written in Chinese. Apart from feeling the ancient Chinese atmosphere, it was hard to appreciate the history as most of us didn't understand Chinese. We stayed mostly for photo taking, then moved on to the next destination. There were shops along the way. The ladies and Captain would check them out passionately, so it took us a while to gather and enter the Drum Tower. Those who waited ended up eating the cuttlefish and mutton skewers instead.

Andiyanto and Gunawan in Hui Muslim Quarter. 

As the second of two similar attractions, Drum Tower lacked the element of surprise. We didn't stayed long there. Right next to it was Hui Muslim Quarter. As it offered varieties of snacks and food, we spent more time exploring the street. As a matter of fact, we walked to and fro multiple times! We returned one last time to visit Gao's Grand Courtyard, which wasn't as grand as advertised, then walked back to the metro station and headed to the City Wall. 

It was a city fortified by the wall, all right. It is 14 KM long and upon knowing this, we agreed that we should look for the nearest exit, haha. Once we were outside, I fired up the map to check our location. But between the unreliable Google Maps and Amap that has everything written in Chinese, I couldn't quite figure out where the nearest metro station was, so we walked back to where we came from. 

Our mala flavoured dinner. 

We stopped a while for a good mala flavoured dinner, then resumed our journey and walked on the side of the canals to Yongningmen Station. Prior to entering the pathway, we saw the sign saying that the opening hours was up until 7pm only, but we simply ignored it, thinking that it wasn't to be taken seriously. Much to our surprise, the fence was really locked, so we had to climb over it like some unruly locals. It was our second time in a day, haha. As we left, the City Wall lighted up, giving us a lasting majestic impression from afar. 

Along the canals.
Photo by Andiyanto. 

The next day, we went to the Terracotta Army. We alighted at Banpo Metro Station at first, but it happened to be a wrong move. We hopped on to the metro again and dropped off at Fangzhicheng this time. The attraction counter was right there. After a quick ticket purchase, we followed the guide's flag to the shuttle bus and off we went for our destination of the day.

When we arrived, I was immediately reminded again with one thing that isn't seen elsewhere: the fact that China is indeed colossal and spacious. I don't recall seeing a bigger crowd queuing to enter an attraction before. My poor friend Jimmy happened to post a picture of people lining up to enter Malaysia at the same time, but it was so dwarfed in comparison that his photo felt almost like a joke.

Visiting Pit 1. 

But funny that the Pit 1 of the Terracotta Army wasn't as big as what many of us had in mind. It was like Mona Lisa at the Louvre. The actual size was smaller than one would have imagined. And after Pit 1, the other two pits looked unimpressive. We left around 2pm and had two rounds of late lunches: first we had the noodles, then we immediately went for McD

Eating hotpot.
Photo by Andiyanto.

We walked around and browsed the shops in the area until late in the afternoon, then we returned to Fangzhicheng. Earlier today, we passed by a shopping mall while heading to the bus, so we intended to explore and have our dinner there. As we split into two groups, I had hotpot with Andy and Ezra. Our Captain, who was already sick of mala, was happy with steamed egg for dinner. Before we left the mall, he aptly summed up another thing about China: the pungent smell of urine stank to high heavens, just like the wasabi going up the nose, haha. 

Captain China and his steamed egg.

The last day in Xi'An started at the Xi'An North Railway Station. We bought the tickets to Chengdu at the counter and apparently nine passports from two different countries were quite overwhelming that the officer chased away the rest of the people in the queue and closed the counter to serve us only. 

Our outdoor lunch. 
Photo by Gunawan.

From there, we went to Daming Palace. We had hotpot and BBQ for our lunch. It was unplanned, but turned out to be really nice. It's not everyday we could have an outdoor lunch together in China. But other than that, the park and the museum were quite a letdown, so we moved on to the next destination.

The Temple of Eight Immortals isn't exactly near to the metro station, so we had to walk and Google Maps brought us to the middle of nowhere. I was forced to use Amap and I slowly got the hang of it. Apart from the fact that you have to use Chinese, the map is pretty accurate and unlike Google Maps, the metro stations can be seen on Amap, too. 

Lawrence at Temple of Eight Immortals. 

The temple itself is quite old, but well maintained. Some who believed in Taoism paid their respect. After a glimpse of the Eight Immortals, we continued our journey from Changlemen to Datang Furongyuan Metro Station. There was a shopping mall across the street and we had a quick bite there, then entered the Tang Paradise.

The Paradise's main attraction was an enormous palace by the side of the river. It was so grand and nicely lit, a splendor of China, one that we would fondly remember about Xi'An. How do I know that? Because we walked out in awe and even though Giant Wild Goose Pagoda already closed by the time we got there, we could simply conclude that the Tang Paradise was a fitting end for our time in Xi'An...

At Tang Paradise.
Photo by Gunawan. 

PS: I love the picture taken by Surianto at the Tang Paradise. It captured the moment perfectly. Here were two strangers, Ezra and Angela, who never knew each other before they met in Xi'An. Even though life would bring them apart again very soon and probably for the rest of their lives, they could always look back one day and remember this very moment, that once upon a time when they were young, there was this moment of togetherness in Xi'An. It was a beautiful moment that was liberated and immortalized by Surianto from the time that only moves forward. I told him that I would call the picture we will always have Xi'An...

We will always have Xi'An. A photo by Surianto. 




Liburan ke Cina: Xi'An

Penerbangan dari Singapura ke Xi'An berdurasi sekitar 5,5 jam. Terasa lumayan bila ditempuh dengan maskapai Scoot. Cuaca di bulan April cukup dingin di malam hari, jadi beberapa di antara kita pun mengenakan jaket saat mendarat di Xi'an di tengah malam. Bandaranya sudah tua, antrian imigrasi cukup panjang dan kita masih harus mengisi formulir kedatangan sebelum paspor dicap. 

Santap malam di Bandara Xi'An.

Kita makan malam setelah melewati imigrasi. Yang saya pesan adalah semangkuk kwetiau dingin, menu lokal yang ternyata cukup enak. Setelah itu, kita menuju hotel dengan tiga taksi. Perlu diketahui bahwa bagasi taksi di Cina sangat sempit sehingga koper besar pun tidak bisa masuk. Alhasil, koper Angela duduk seperti penumpang di kursi depan, hehe. 

Fairfield Hotel yang dipesan Andiyanto tergolong bagus. Desainnya modern dan lebih penting lagi, air panasnya berfungsi dengan baik di kala mandi. Setelah berisitirahat, kita menuju ke stasiun Metro Beiyuan berjarak kira-kira 12 menit jauhnya dari hotel. Destinasi kita di pagi pertama di Xi'An adalah Menara Bell. Tiket masuknya lebih murah bila dibeli bersama Menara Drum, jadi kita pun beli sepaket dengan menggunakan Alipay. 

Bersama Gunawan di Fairfield Hotel.
Photo oleh Surianto.

Bicara tentang Alipay, perubahan di Cina sungguh pesat. Ketika saya ke Cina bersama istri di tahun 2018, uang kontan dan kartu kredit masih dipergunakan secara luas. Enam tahun kemudian, Alipay dan WeChat Pay adalah sarana pembayaran utama. Uang tunai masih bisa dipergunakan, tapi ada kesan bahwa orang Cina agak enggan menerima karena tidak praktis. Sekarang caranya adalah memindai atau dipindai dan semuanya pun berjalan lancar. 

Transaksi dengan cara ini bukanlah tanpa masalah. Pangsa pasar domestik di Cina sangatlah besar sehingga kebutuhan turis asing tak ubahnya seperti prioritas kedua. Kita mengalami kesulitan memesan Luckin Coffee dan Taco Bell karena harus dipesan dari aplikasi. Alipay digunakan untuk memindai kode QR dan apa yang terjadi selanjutnya tidak bisa kita prediksi. 

Bersama teman-teman SMA di Menara Bel.

Kembali ke Menara Bel, hampir semua penjelasan ditulis dalam bahasa Mandarin. Selain atmosfir Cina kuno yang masih terasa, sukar bagi kita yang tidak mengerti Mandarin untuk memahami sejarahnya. Kita hanya melihat-lihat dan berfoto, lalu beranjak ke destinasi berikutnya. Ada banyak toko di sepanjang jalan. Para wanita dan Kapten pun masuk dan melihat apa yang kiranya bisa dibeli, jadi butuh waktu bagi kita untuk berkumpul lagi dan mengunjungi Menara Drum bersama. Yang menunggu pun akhirnya makan sate sotong dan kambing dulu.

Andiyanto dan Gunawan di Daerah Muslim Hui. 

Sebagai tempat tujuan kedua dari atraksi yang hampir serupa, Menara Drum tak lagi menarik setelah kita melihat Menara Bel. Kita tidak lama di sana. Tepat di sampingnya adalah Daerah Muslim Hui. Tempat ini menawarkan aneka makanan dan jajanan, jadi kita bolak-balik di sana. Kali terakhir kita berjalan ke ujung adalah untuk mengunjungi Rumah Keluarga Gao yang tidak terlihat sebagus promosinya. Selanjutnya kita kembali ke stasiun metro dan menuju ke Benteng Kota. 

Sesuai namanya, kota ini dibentengi dengan tembok tebal sepanjang 14 KM. Setelah mengetahui hal ini, kita langsung mencari tempat keluar terdekat, haha. Sesudah berada di luar, saya mencari tahu lokasi keberadaan kita, namun Google Maps tidak bisa diandalkan dan Amap hanya memiliki bahasa Mandarin, jadi saya tidak tahu di mana posisi stasiun metro terdekat. Akhirnya kita berjalan kembali ke arah semula. 

Makan malam berbumbu mala.

Kita sempat berhenti sejenak untuk makan menu berbumbu mala, lalu meneruskan perjalanan melalui tepi kanal menuju Stasiun Yongningmen. Sebelum memasuki tepi kanal, sempat terlihat papan pengumuman bahwa akses hanya sampai jam tujuh malam. Karena kita berada di Cina yang terkesan santai, kita abaikan petunjuk tersebut. Sampai di ujung jalan, ternyata pagarnya dikunci tepat waktu! Kita akhirnya memanjat pagar untuk kedua kalinya di hari yang sama, trik yang kita pelajari dari orang lokal sewaktu berada di Menara Drum, haha. Saat kita menjauh, Benteng Kota menyala terang di malam hari, memberikan kesan megah dari kejauhan. 

Di sepanjang kanal.
Foto oleh Andiyanto.

Di hari berikutnya, kita berangkat ke Museum Pasukan Tanah Liat. Awalnya kita turun di Stasiun Banpo, tapi kembali lagi ke metro setelah menyadari rumitnya naik bis kota. Kali ini kita turun di Fangzhicheng. Loket atraksi tepat berada di sana. Setelah membeli tiket bis, kita mengikuti bendera pemandu menuju bis pariwisata. 

Saat tiba di Museum Pasukan Tanah Liat, saya jadi ingat lagi dengan satu hal yang tidak terlihat di negara lain: fakta bahwa Cina itu luas dan kolosal. Rasanya saya tidak pernah melihat antrian seramai itu. Di saat yang sama, teman saya Jimmy kebetulan mengunggah foto antrian di perbatasan Malaysia, tapi fotonya jadi terlihat seperti lelucon. 

Di Lokasi 1 Pasukan Tanah Liat.

Tapi lucu juga rasanya bahwa Lokasi 1 dari Pasukan Tanah Liat ternyata tidak seluas yang kita bayangkan. Kesannya mirip Mona Lisa di Museum Louvre. Ukuran sebenarnya lebih kecil dari imajinasi kita. Setelah Lokasi 1, dua lokasi berikutnya terasa kurang menarik. Kita meninggalkan museum sekita jam dua sore dan mencari makan siang. Menu pertama adalah mie lokal yang kemudian segera disusul dengan burger Mcd

Makan sabu-sabu.
Foto oleh Andiyanto.

Kita berjalan di kawasan museum sampai hari menjelang senja karena banyak yang bisa dilihat dan dibeli di sana, lalu kembali ke Fangzhicheng. Sewaktu berjalan menuju bis di pagi hari, kita melewati mal, jadi kini kita ingin menjajaki dan makan malam di sana. Rombongan sempat terpisah menjadi dua grup, jadi saya, Andi dan Ezra makan sabu-sabu. Kapten Gunawan yang sudah muak dengan rasa mala sangat senang bisa menyantap telur kukus. Sebelum kita meninggalkan mal, Kapten berkomentar satu hal tentang Cina: bau kencing di WC sungguh menyengat di hidung, rasanya persis seperti saat memakan wasabi, haha. 

Kapten Cina dan telur kukus.

Hari terakhir di Xi'An dimulai dari Xi'An North Railway Station. Kita membeli tiket ke Chengdu di loket dan ternyata sembilan paspor dari dua negara sepertinya membuat petugas stres dan gusar. Dia langsung membubarkan antrian di belakang kita dan menutup tirai loket untuk fokus ke pesanan kita saja, hehe. 

Makan siang di tempat terbuka.
Foto oleh Gunawan.

Dari stasiun, kita ke Istana Daming. Di taman, kita menyantap sabu-sabu dan BBQ. Ini tidak termasuk dalam rencana perjalanan, tapi tetap berkesan. Tidak setiap hari kita bisa bersantai di Cina dan pesta di taman bersama teman-teman. Akan tetapi taman dan museum Daming tidaklah begitu mengesankan sehingga kita pun bergegas ke destinasi berikutnya. 

Kuil Delapan Dewa tidaklah dekat dengan stasiun Metro, jadi kita harus berjalan dan Google Maps membuat kita tersesat. Saya terpaksa menggunakan Amap dan perlahan-lahan saya mulai mengerti cara menggunakannya. Sebenarnya Amap cukup akurat dan stasiun metro pun terlihat di peta. Kuncinya adalah mencari lokasi dalam bahasa Mandarin. 

Lawrence di Kuil Delapan Dewa.

Kuil ini sendiri sudah sangat tua, tapi cukup terawat. Mereka yang percaya Taoisme pun berdoa. Setelah melihat Delapan Dewa secara sekilas, kita lanjut berjalan dari Changlemen ke Stasiun Datang Furongyuan. Ada mal di seberang jalan dan kita pun bersantap di sini, lalu masuk ke Tang Paradise.

Atraksi utama dari Tang Paradise adalah istana raksasa di tepi sungai. Rancangannya sungguh menakjubkan dan bercahaya pula di malam hari. Benar-benar menunjukkan keindahan budaya Cina dan meninggalkan kesan yang mendalam tentang Xi'An. Bagaimana saya bisa tahu? Ini karena kita keluar dari Tang Paradise dengan perasaan puas. Meski Pagoda Angsa Besar sudah tutup saat kita tiba di lokasi, kita masih berpendapat bahwa Tang Paradise adalah akhir yang mengesankan dari petualangan kita di Xi'An... 

Di Tang Paradise.

Catatan kaki: saya suka foto yang diambil oleh Surianto di Tang Paradise. Fotonya berhasil mengabadikan sebuah momen dengan sempurna. Dua insan muda yang asing satu sama lain ini bertemu di Xi'An dan walau perjalanan hidup akan memisahkan mereka lagi, mungkin untuk selamanya, mereka bisa melihat kembali suatu hari nanti dan mengenang bahwa suatu ketika di kala mereka masih muda, ada masa kebersamaan di kota Xi'An. Momen yang indah ini berhasil dibebaskan dan diabadikan oleh Surianto dari belenggu waktu yang terus bergerak maju. Di malam itu juga saya katakan pada teman saya ini bahwa fotonya akan saya beri nama we will always have Xi'An...

We will always have Xi'An, sebuah karya Surianto.


Monday, April 8, 2024

The China Trip: How It Began

Unlike the well-documented origin of Japan trip, apparently neither Gunawan nor I could remember why we ended up in China. I only remember presenting the four itineraries, the first one was the Laos-China trip (Yunnan), then two China-centric routes and the last one was the London itinerary. Laos was rejected and UK was considered as too much. The cost to Beijing and Shanghai was almost as good as London. Eventually Gunawan as the Captain agreed with the Xi'An route. 

The Captain thing was an in-joke, too. Parno was retrospectively referred to as Captain Japan. Hendra was Captain Thailand and of course Gunawan was Captain China. The Captain is basically a person full of wanderlust and we are there to make up the numbers and make it happen. It's like being the Captain's entourage and the members this time were the regulars of Robinson Travel such as Surianto, Taty and Cicilia. New additions were Andiyanto and Angela, Cicilia's daughter.


Captain China.

Since we already had the preparation templates based on the last Japan trip, we just had to repeat them with slight adjustments. At first I wanted to buy tickets on 12-Oct-2023, a historical date that marked the day we had Japan tickets in hand, but Gunawan said it'd be too early, since we'd only depart in April. So we bought the tickets in December instead, simulating the four months interval before the departure.

One day, I had lunch with Lawrence and he expressed a keen interest in joining us. Since he mingled well with my friends such as Parno and Harry, I thought he should be fine. Furthermore he can read and speak Chinese better than any of us. I asked our Captain and he approved, so for the first time ever in a long time, we had a crossover between two worlds: colleagues and high school friends. The last time such a trip happened was when we went to Tanjungpinang in 2015. 

Captain China and his entourage.

That could have ended then and there, but then Lawrence came and told me that his son Ezra wanted to join us, too. Things got interesting here. We now have two young adults joining us, the first time Robinson Travel ever had two generations traveling together. I'd say it went well. More to this later, in the next story. 

Just like the Japan trip, there was also something happening with the flight schedule. This round, the departure flight from Singapore to Xi'An was changed to a later date. That meant we would lose three days and our itinerary would be screwed, so we revised it to a day earlier instead. A lesson learnt here, expect a slower response if budget flight tickets were bought from agencies (trip.com in this case). Some of us who bought directly from Scoot managed to change the flight almost immediately, so it was nerve-wracking for those who waited!

Gunawan arrived in Singapore.

Needless to say, the tickets were sorted and the China visa for those who needed it was applied. We did make fun of Gunawan because his visa was the only one with a passport photo. Eday frightened him, saying that it was a counterfeit, haha.

But it wasn't going to be a problem. We were ready. I'd be relying on Wise and InstaRem this time. Alipay and WeChat Pay were installed (though it didn't seem to work in Singapore). Closer to the date, I even got Changi Pay installed (it's compatible with Alipay, but the steps didn't feel as practical). The countdown eventually began: a few more months to go, weeks, a single digit of days, then came the day when Captain China touched down in Singapore. We gathered on the following day at Changi Airport. So began our holiday...

Waiting for departure...



Liburan Ke Cina: Asal Mula Cerita

Berbeda dengan asal mula liburan ke Jepang yang terdokumentasi dengan baik, ternyata Gunawan dan saya sendiri tidak ingat kenapa kita bisa ke Cina. Saya hanya ingat dengan empat rute yang saya bikinkan: yang pertama adalah Laos-Cina (Yunnan), dua berikutnya fokus ke Cina, yang terakhir adalah jurusan ke London. Laos  ditolak dan Inggris pun dianggap terlalu berlebihan, sedangkan biaya ke Beijing dan Shanghai hampir setara dengan ke London. Akhirnya Gunawan sebagai Kapten memutuskan rute Xi'An, Chengdu dan Chongqing. 

Jabatan Kapten ini juga merupakan lelucon di antara teman-teman SMA. Meski tidak pernah dipanggil Kapten selama di Jepang, Parno adalah yang pertama. Selanjutnya ada Hendra yang merupakan Kapten Thailand dan tentu saja Gunawan adalah Kapten Cina. Kapten ini pada dasarnya orang yang memiliki impian jalan-jalan dan kita menjadi peserta yang turut mewujudkan impiannya. Anggota reguler kali ini adalah Surianto, Taty dan Cicilia. Yang baru bergabung adalah Andiyanto dan Angela, putri Cicilia. 

Kapten Cina. 

Karena kita sudah ada referensi persiapan berdasarkan perjalanan ke Jepang, kita hanya perlu mengulang langkah yang sama dengan sedikit penyesuaian. Awalnya saya ingin membeli tiket pada tanggal 12 Oktober 2023, hari bersejarah yang menandakan kita memiliki tiket dan siap berangkat, namun Gunawan berpendapat bahwa masih terlalu awal mengingat kita baru akan berangkat di bulan April. Akhirnya kita membeli tiket di bulan Desember, mengikuti interval empat bulan sebelum hari keberangkatan. 

Pada suatu hari, saya makan siang dengan Lawrence dan dia menyatakan keinginannya untuk turut serta. Karena dia bisa berteman dengan teman-teman SMA seperti Parno dan Harry, saya rasa harusnya tidak masalah. Lagipula dia bisa membaca dan berbicara dalam bahasa Cina. Saya pun bertanya pada Kapten dan mendapatkan persetujuan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dua dunia yang berbeda pun bertemu lagi: dunia kolega dan teman-teman SMA. Peristiwa serupa terjadi terakhir kali di tahun 2015, saat kita ke Tanjungpinang

Kapten Cina dan rombongannya.

Dan susunan peserta hendaknya berhenti sampai di situ, sampai Lawrence bertanya beberapa minggu kemudian, apakah anaknya yang bernama Ezra bisa turut serta. Kini kita memiliki dua muda-mudi dalam rombongan. Robinson Travel membawa dua generasi berlibur bersama dan sampai sejauh ini, semua berjalan lancar. 

Seperti halnya liburan ke Jepang, perjalanan kali ini juga dilanda masalah perubahan jadwal penerbangan. Jam terbang dari Singapura ke Xi'An tiba-tiba diundur dua atau tiga hari. Ini berarti jadwal kita di Xi'An jadi berantakan. Oleh karena itu, kita majukan liburan menjadi sehari lebih awal. Sebuah pelajaran bagi kita semua di sini, respon dari agen yang membelikan tiket (kita pakai trip.com) lebih lambat dari maskapainya. Teman-teman yang membeli langsung dari Scoot bisa segera mengganti jadwal penerbangan mereka sehingga kita yang menanti pun menjadi deg-degan. 

Gunawan tiba di Singapura. 

Urusan tiket kita bereskan dan visa Cina pun segera dimohon oleh mereka yang membutuhkan. Gunawan sempat dibikin tegang karena visanya adalah satu-satunya yang memiliki foto. Eday lekas menakuti-nakuti Gunawan dan berkata bahwa visanya pasti palsu, haha. 

Namun semua itu bukan masalah. Kita sudah siap sekarang. Saya akan mengandalkan Wise dan InstaRem kali ini. Alipay dan WeChat Pay pun disiapkan meski tidak bisa dipakai di Singapura. Mendekati hari-H, saya juga menyiapkan Changi Pay yang bisa digunakan di kios berlogo Alipay (setelah dicoba, cara penggunaannya ternyata tidaklah sepraktis Alipay). Lantas kita pun menghitung mundur: bulan berganti minggu, sampai akhirnya tersisa kurang dari sepuluh hari lagi. Kemudian tibalah Kapten Cina di Singapura. Kita berkumpul di Bandara Changi pada keesokan harinya dan liburan pun dimulai... 

Menanti penerbangan ke Xi'An...


Book Review: Around The World In Eighty Days

I have heard of Jules Verne since I was a kid, probably from the Donald Duck comics that I read. Around the World in Eighty Days was not unheard of, too, but I never read it before. I watched the Jackie Chan's version recently and, for some reason, I couldn't get the name Passepartout out of my head, so I borrowed the book from the library

Now, first thing first, it's quite interesting to read a book written a couple of centuries ago. It's like traveling back in time to the world they knew, which could be quite different than ours now. As this is about traveling, some cities are immediately recognized while others, such as hamlet of Kholby, had to be googled. For someone who never travelled the world, Jules Verne's description of the cities was fascinating. I personally like the paragraph describing Singapore in those days. 

Character-wise, you won't find much depth, apart from the fact that Fogg and Passepartout were the typical British and French. But who needs much characterization when the story is about traveling the world? This is where it shines. For a book written in 19th century, it's still pretty much engaging for a modern-day reader. It certainly has nice, unexpected twists and turns. The ending was brilliant as well. 

I can only say that you can't use the whimsical, diluted Jackie Chan's version as a reference for the book. The stories are quite different and the book is much better. Go read Around the World in Eighty Days. It's a classic, but not in a boring way like Marco Polo's the Travels

PS: and it's inspiring, too. I am now toying with the idea of getting Hard Rock Cafe's t-shirts around the world in two weeks! The route is Singapore, Dubai, Tunis, Madrid, Santiago, Panama City, Los Angeles, Sydney, Singapore. It's possible, though crossing all timezones in such a short span may have unforseen repercussions, haha. We shall see!




Keliling Dunia Dalam 80 Hari

Saya sudah mengenal nama Jules Verne dari sejak kanak-kanak, mungkin dari majalah Donal Bebek yang saya baca. Keliling Dunia Dalam 80 Hari pun sering terdengar pula, tapi belum pernah saya baca. Baru-baru ini saya menonton versi Jackie Chan dan semenjak itu nama Passepartout sering terngiang dan saya ucapkan, jadi saya pun pinjam bukunya dari perpustakaan

Hal menarik pertama dari buku yang ditulis beberapa abad silam ini adalah pengalaman menembus waktu ke dunia Jules Verne yang berbeda dengan apa yang kita kenal sekarang. Karena buku ini intinya adalah tentang berkelana, beberapa nama kota masih sama dan yang lain, misalnya dusun Kholby, harus dicari di Google. Untuk orang yang tidak pernah keliling dunia, deskripsi Jules Verne memang mengagumkan. Saya sendiri suka dengan paragraf tentang Singapura di masa lampau. 

Tentang penokohan, Jules Verne tidak mengembangkan karakter tokoh-tokohnya secara mendalam. Kita cuma sebatas tahu bahwa Fogg dan Passepartout adalah tipikal orang Inggris dan Perancis. Namun karena ini adalah buku tentang petualangan, siapa juga yang peduli dengan karakter? Untuk buku yang ditulis di abad 19, ceritanya masih memiliki daya tarik. Alurnya penuh dengan kejutan. Akhir ceritanya pun bagus. 

Saya hanya bisa berkomentar bahwa anda tidak bisa menggunakan versi Jackie Chan yang konyol sebagai referensi. Buku dan film ini berbeda ceritanya dan karangan Jules Verne jelas lebih bagus. Baca saja Keliling Dunia Dalam 80 Hari. Sungguh sebuah karya klasik, tapi tidak membosankan seperti kisah petualangan Marco Polo

Catatan kaki: dan buku ini juga sangat menginspirasi. Saya jadi bermimpi untuk mengelilingi dunia membeli kaos Hard Rock dalam dua minggu. Rutenya adalah Singapura, Dubai, Tunis, Madrid, Santiago, Panama City, Los Angeles, Sydney, Singapura. Rute ini mungkin untuk ditempuh, tapi melewati semua garis waktu dalam tempo dua minggu mungkin memiliki dampak tak terduga. Kita lihat saja nanti, haha...

Saturday, March 30, 2024

The Privileges

I received a call when I was on a shuttle bus to River Wonders yesterday. The caller knew I stayed at Intercon during my recent trip to Bandung, so she'd like to share with me about the privileges I'd have if I signed up for the IHG membership. As I listened to the lady talking passionately, I zoned out gradually. At the end of the conversation, I thanked her and declined the offer politely. As I hung up, I pondered a while over the idea of complicating life which the so-called privileges. 

Those perks in life, they always sound so promising. But do I really need them? Do I bother keeping track of those benefits that I may or may not use at all throughout the year? Why on earth do I want to sign up for something that gets me busier and forces me to plan something just because I have paid for it upfront? Most importantly, am I not already happy now, even without having the privileges?

Then the thought led me to the moment with my friend Eday at the sake bar in Tokyo last year. I remember him saying one thing that was oblivious to me all this while. As I praised a friend of ours, Eday said I shouldn't sell myself short. He pointed out that growing up, I always had quite a freedom and before I got married, I was pretty much always on my own. I could have taken the wrong turn and gone astray, but yet I managed to stay on track and became who I am today.

Looking back, I don't always know what I want, but I subconsciously know what I don't need. I had been wearing the same Seiko watches since 2008. For the longest time, when the majority were divided between iPhone or Samsung, I was happily using BlackBerry. When people opt for Xbox or Sony Playstation, I stick with Nintendo. Unnecessary privileges can be confusing and become a burden you don't need, therefore the innate ability to say no to them is a blessing to me.

But it's important to highlight that it's no harm listening to what people have to say, though. We can't possibly know everything. There are times when what people say is probably what you need to hear. For example, I'm neither smart or wise when it comes to financial matters, but from to time, I do benefit from those that are willing to share. Thanks to Franky, I had a good deal when I did my HDB refinancing. Stuff like SRS and T-bills were also things I learnt along the way from listening to other people's ideas.

I guess we don't always have to be the smartest one in the room or the one who talks all the time. It's fine to sit back and listen to what others have to offer sometimes, just like what I did when I listened to the lady. Problems arise only when you don't have the filter mechanism. You'd think it's a privilege until you realise you actually have to pay the price. If that's not something you are prepared to do, then probably you don't need the privileges at all. Think again.

Intercontinental Bandung, an IHG hotel.



Hak Istimewa

Kemarin saya menerima telepon saat dalam perjalanan ke River Wonders bersama keluarga. Yang menelepon tahu bahwa saya menginap di Intercontinental saat ke Bandung baru-baru ini, jadi dia ingin memberitahukan lebih lanjut hak-hak istimewa yang bisa saya dapatkan bila saya mendaftar sebagai anggota IHG. Saat mendengar penjelasannya, perlahan-lahan saya jadi melamun. Di akhir pembicaraan, saya berterima kasih dan menolak tawarannya dengan sopan. Setelah itu saya jadi merenung sejenak, apa gunanya membuat hidup menjadi lebih rumit dengan hak-hak istimewa seperti ini. 

Semua keistimewaan yang terlihat menjanjikan ini, apakah benar saya memerlukannya? Relakah saya untuk mengingat dan memantau durasinya? Apakah ada alasan yang kuat bagi saya untuk berlangganan sesuatu yang membuat saya tambah sibuk dan akhirnya harus membuat aneka rencana supaya hak istimewa yang sudah saya bayar itu terpakai? Yang lebih penting lagi, bukankah saya sudah gembira sekarang, meski saya tidak memiliki hak-hak istimewa tersebut? 

Apa yang terlintas di benak saya itu lantas membawa saya kembali ke saat bersama teman saya Eday di bar sake Tokyo tahun lalu. Di kala itu dia mengucapkan sesuatu yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Sewaktu saya memuji seorang teman kita, Eday berkata bahwa hendaknya saya tidak melupakan apa yang sudah saya sendiri lewati. Dia mengingatkan saya kembali bahwa selama ini saya tergolong memiliki kebebasan dan sebelum menikah, boleh dikatakan pula saya hidup seorang diri. Saya bisa saja salah jalan dan terjerumus, namun saya bisa tetap berada di jalur yang lurus dan menjadi diri saya sekarang. 

Kalau saya lihat kembali, saya tidak selalu tahu apa yang saya mau, tapi di bawah sadar, saya tahu apa yang tidak saya perlukan. Saya memakai jam Seiko sejak tahun 2008. Ketika mayoritas pengguna telepon genggam terbagi antara iPhone dan Samsung, saya bahagia dengan BlackBerry di tangan. Tatkala orang-orang melirik Xbox atau Sony Playstation, saya senantiasa setia dengan Nintendo. Intinya adalah, hak-hak istimewa yang sebenarnya tidak perlu itu bisa terasa membingungkan dan menjadi beban yang tidak diperlukan, jadi kemampuan terpendam untuk mengatakan tidak pada hak-hak istimewa yang ditawarkan ini adalah sebuah berkat bagi saya. 

Tapi mendengarkan ide orang lain pun tidak ada salahnya, terutama karena pengetahuan kita sendiri pun terbatas. Ada kalanya apa yang dikatakan orang lain itulah yang perlu anda dengarkan. Sebagai contoh, saya tidaklah pintar ataupun bijak dalam hal finansial. Dari waktu ke waktu, pendapat orang lain memberikan manfaat bagi saya. Berkat Franky, saya bisa menghemat banyak ketika memperbaharui kredit rumah. Hal-hal seperti SRS (skema pensiun) dan T-bills (surat hutang negara) adalah sesuatu yang saya pelajari sewaktu makan siang bersama kenalan. 

Saya rasa kita tidak perlu selalu menjadi yang paling pintar dan berbicara paling banyak saat berkumpul. Tidak ada salahnya duduk dan mendengarkan, seperti halnya saat saya menyimak soal IHG di telepon. Masalahnya muncul ketika anda tidak memiliki mekanisme filter. Hak-hak istimewa itu datang dengan harga yang perlu anda bayar. Bila hal ini bukanlah sesuatu yang siap anda tebus, mungkin anda tidak perlu hak-hak istimewa tersebut. Pikirkanlah kembali.