Total Pageviews

Translate

Thursday, April 5, 2018

Friendship Version 2.0

When I wrote about friendship in our thirties and fleshed out the ideas in five episodes, I thought there was only so much to be written about such topics. A very recent experience proved me wrong. Just when I thought I'd seen everything, this unusual encounter happened and, looking back, I don't think I handled it well. In fact, I could have gotten it all wrong if not for the input from others. Suffice to say that it wised me up a bit. It was weird, but yet so interesting that it encouraged me to share it here.

The story began with a friend saying that another friend was in some difficult situation and wished to get help. When he was invited into our chat group, we noticed that the picture he posted about his whereabouts was rather odd. Somebody figured out that it was a prison and this peculiar friend eventually admitted that he was serving his time.

I barely knew the man, to be frank. The only time we ever hung out together was when we visited the haunted island 20 years ago. We had no contact whatsoever since then. Still I thought friends will be friends. I was intrigued by the idea of giving a second chance. I mean, people do make mistakes and aren't we supposed to forgive and forget? I was quick to think of a grand plan about what we could do and who could help him when he was released. 

But if only real life was ever that plain and simple. After discussing with a close circle of friends, I was informed that getting too involved in this matter didn't seem to be a very good idea. The guy was a bad news. The number of years he spent behind bars indicated that his case was quite severe. The fact that he could use a mobile phone and join our chat group while he was in jail meant he was well-adjusted and had means to buy his way in a corrupted environment. Lastly, a family didn't just disown its family member, unless he had committed repeated offences and was deemed as beyond saving.

That's when I realised how naive I was. I would have never thought of that. He claimed that he was now a changed man and I'd love to believe that, too. However, after hearing from others, I guess one couldn't be too cautious. I certainly didn't want any trouble, so I contacted a friend whom might have a chance to employ him, saying that I withdrew my request. It'd be awful if things turned out to be bad and I ended up inadvertently putting this helping hand into an unwanted situation.

We reached a consensus that the least we could do was to provide a one-off financial help. We were supposed to do that, but after realising how wrong my judgement was in my original response to this situation, I was very much in doubt. A friend who had brought him into our group eventually settled this himself. I'm not entirely sure what happened after this ex-convict friend of mine was released.

In hindsight, as much as I'd like to believe that people are naturally kind, I was also reminded again that real life is not always a fairy tale that ends happily ever after. The experience clearly showed me that I didn't exactly know how to react in such situations. I am often impulsive in getting things done, which may or may not be a good thing, depends on what the situation is. If I didn't seek a second opinion from others, I could have done something that I'd regret if it went horribly wrong in the future. In the scenario above, helping the man was supposed to be a calculated risk. If I were to go all out and help, it should have been something that I could manage and not at the expense of others...

That unusual picture...



Persahabatan Versi 2.0

Ketika saya menulis tentang persahabatan di usia 30an, saya kira saya sudah menuangkan semua pokok pikiran yang ada dalam lima episode. Sebuah pengalaman yang baru saja terjadi membuktikan bahwa ternyata masih ada hal yang terlewatkan. Kejadian ini sungguh tidak lazim dan, kalau saya lihat kembali, rasanya saya tidak menanganinya dengan baik. Jika bukan karena masukan dari teman-teman lain, bisa jadi saya akan salah langkah.

Cerita ini bermula dari seorang teman yang mengatakan bahwa ada teman SMA kita yang sedang dalam kesulitan dan ingin meminta bantuan. Teman ini pun lantas diundang ke dalam grup percakapan WhatsApp. Ketika dia mengirimkan foto yang menunjukkan lokasinya, saya sempat merasa bahwa ada yang aneh dengan foto tersebut. Akhirnya satu di antara kita berhasil menerka bahwa itu adalah foto lembaga permasyarakatan. Teman yang sedang dirundung masalah ini pun menjelaskan bahwa dia sedang dipenjara. 

Saya tidak mengenal teman ini dengan baik karena jarang bergaul dengannya sewaktu SMA. Sekali-kalinya kita bersama adalah saat kita mengunjungi Pulau Temajo 20 tahun yang lalu. Kita tidak pernah saling kontak lagi semenjak itu. Meskipun demikian, saya berpikir bahwa seorang teman tetaplah teman. Di satu sisi, saya juga tertarik dengan konsep memberikan kesempatan kedua bagi yang membutuhkan. Maksud saya, setiap orang bisa berbuat salah, jadi bukankah kita sepatutnya saling memberikan maaf dan kesempatan? Saya lekas memikirkan apa yang bisa dilakukan dan siapa saja yang bisa membantunya setelah dia dibebaskan. 

Andai saja kehidupan nyata sesederhana itu. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman, saya diberitahukan bahwa terlalu melibatkan diri dalam hal ini bukanlah ide yang baik. Pertama-tama, dari lamanya masa tahanan, bisa disimpulkan bahwa kasus yang membuatnya dibui ini bukanlah kasus yang enteng. Fakta bahwa dia bisa menggunakan telepon genggam saat sedang menjalani hukuman di lembaga permasyarakatan menunjukkan bahwa dia cukup leluasa dan juga lihai dalam menyesuaikan diri di lingkungan penjara yang korup. Hal lainnya yang harus dipertimbangkan adalah kenapa dia tidak lagi dianggap oleh keluarganya. Yang namanya darah daging itu tidak dikucilkan begitu saja, kecuali kalau ini sudah kejadian yang berulang kali sehingga dianggap tidak bisa ditolong lagi. 

Saya jadi sadar bahwa saya terlalu naif. Terus-terang saya tidak akan pernah berpikir sampai sejauh itu. Teman yang dipidana ini berkata bahwa dia kini sudah berubah dan saya ingin percaya bahwa dia telah bertobat, namun setelah mendengar pemaparan di atas, saya rasa tidak ada salahnya untuk lebih berhati-hati dalam bersikap. Saya tentunya tidak ingin bermasalah, jadi saya hubungi lagi teman saya yang memiliki kemungkinan untuk mempekerjakan teman yang ditahan ini dan saya berujar bahwa sebaiknya ide saya dilupakan saja. Saya tidak ingin niat baik disalahgunakan dan akhirnya malah membuat teman lain terjerumus dalam situasi yang serba salah dan tidak terduga. 

Pada akhirnya saya sepakat bahwa yang bisa kita lakukannya untuknya hanyalah bantuan dana satu kali saja. Kita harusnya melakukan itu, namun setelah saya menyadari betapa saya telah salah dalam menilai situasi, saya jadi merasa ragu. Teman yang pertama membawa kabarnya kepada kita akhirnya menyelesaikan urusan ini sendiri. Saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan teman mantan narapidana ini. 

Kalau saya renungkan lagi, saya percaya bahwa setiap orang itu pada dasarnya baik, tapi saya juga diingatkan kembali bahwa hidup ini bukanlah dongeng yang senantiasa berakhir bahagia. Pengalaman ini membuka mata saya bahwa saya ternyata belum cukup bijak dalam menyikapi situasi seperti ini. Saya seringkali bertindak cepat tapi impulsif dan sikap ini bisa saja berakibat baik atau buruk, tergantung situasi apa yang saya hadapi. Jika bukan karena masukan dari yang lain, saya bisa saja melakukan hal yang akan saya sesali di kemudian hari jika apa yang saya lakukan ternyata malah berdampak buruk. Di skenario di atas, membantu teman yang kembali ke masyarakat adalah resiko yang harus dikalkulasi. Seandainya saya memutuskan untuk terlibat, maka apa yang saya perbuat hendaknya bisa saya tanggung sepenuhnya tanpa menyusahkan orang lain...

1 comment: