There was a plane crash in Indonesia yesterday and it turned out that a friend's auntie boarded the same plane. Upon hearing the sad news, I couldn't help thinking that I should write about it. You see, as much as I love traveling, I have this fear of flying. Kinda ironic, eh?
Out of the three methods of transportation (by land, by sea and by air), I dislike flying the most. I hate having my feet so far off the ground. I feel insecure to be inside a giant flying metal that rested its wings on invisible air. If anything ever happens to the flight, it's likely to be doomed.
Aerial view of Pontianak, taken from AirAsia that just took off. |
For the longest time, the duration of the flight I took was roughly about one and a half hours. My first flight that took more than two hours happened when I was working at Kalbe. It was from Jakarta to Medan in 2005. It was also the first time I ever flew at night. I remember staring at the blinking light at the tip of the wing and I looked at my colleague Felik when the turbulence happened, wondering how he could be so calm.
The shortest flight I had was from Kota Kinabalu in Malaysia to Bandar Seri Begawan in Brunei. It lasted only 45 minutes. Best flight ever. The plane took off, I filled in the immigration card and it landed immediately after that. The longest one was a 2x7 hours flight from Singapore to London via Dubai. It was quite a smooth flight, but I still couldn't have a good sleep. During the round trip, I stayed awake most of the time, watching the first season of the Flash that was available on the in-flight entertainment.
Happy faces when we landed in Dubai. |
The extremely bad turbulence occurred at least three times. The first one was the worst. When I took Adam Air from Jakarta to Pontianak, the plane shook so violently and passengers started shouting, "Allahu Akbar." Trust me that it wasn't something you'd want to hear when you were flying. I remember holding the amrest tightly and I stared intensely at the ceiling, half-convinced that it would crack open any time soon. It didn't happen, of course. The plane's safety record, as I would learn later on, was awful.
The second one was the return flight from Tokyo to Hong Kong. Instead of the big and comfortable Cathay Pacific, we boarded a smaller Dragonair. It was a night flight and my Dad had fallen asleep when the turbulence happened. When the stewardess asked if I'd like to have fish or chicken for my meal, the only thing I could think of was the Last Supper. I didn't think I could eat at all, so I told her, I didn't wish to have anything.
With Lawrence on the runway of Hang Nadim Airport, Batam. Photo by James Wu. |
The last one so far was when my wife and I flew from Shanghai to Nagasaki using China Eastern Airlines. It was a short flight, but it was bloody bumpy! I stopped filling in the immigration form and told my wife that perhaps we'd just do it later, if we ever landed safely on the ground.
I guess it was just me and, in all honesty, my tolerance level was low. My track records showed that I was often nervous and jumpy when the plane went through the clouds. Like I said earlier, I have this fear of flying, but I still travel whenever I can. Why?
Another happy faces as we landed in Bangkok. |
Well, John Lennon once sang that life is what happens to you while you're busy making other plans. In this context, I take it that when the time comes, there's no runaway from it. What happened with the plane crash was a tragedy. More often than not, we don't get to choose how we die, but we surely get a chance to choose how we live. And that fear of flying? It's part of me, but I choose to live a life well-traveled instead...
Fobia Terbang
Pesawat Sriwijaya rute Jakarta-Pontianak jatuh kemarin dan ternyata bibi seorang teman tercatat sebagai penumpang. Saat mendengar kabar buruk ini, saya jadi terpikir lagi tentang satu hal yang selalu membuat saya risau. Meski saya suka berlibur, saya sebenarnya takut naik pesawat. Ironis, ya?
Dari tiga sarana transportasi darat, laut dan udara, saya paling tidak menyukai pesawat. Saya tidak suka berada di ketinggian, apalagi sampai ribuan kaki jauhnya dari permukaan bumi. Saya juga senantiasa gelisah saat membayangkan bahwa saya duduk di dalam konstruksi baja yang sayapnya disangga oleh udara, sesuatu yang sama sekali terlihat oleh mata. Jika sesuatu terjadi dengan penerbangan udara yang sedang ditumpangi, besar kemungkinannya bahwa semua akan celaka.
Dari usia empat sampai 20an tahun, lamanya penerbangan yang saya tempuh berkisar satu setengah jam. Penerbangan pertama yang lebih dari dua jam terjadi saat saya bekerja di Kalbe. Di tahun 2005, saya bepergian dari Jakarta ke Medan. Perjalanan ini juga merupakan penerbangan pertama saya di malam hari. Saya ingat dengan kelap-kelap lampu di ujung sayap pesawat. Ketika pesawat berguncang, saya serasa tak percaya saat melihat kolega saya Felik yang tenang-tenang saja.
Durasi paling singkat bagi saya adalah penerbangan dari Kota Kinabalu di Malaysia ke Bandar Seri Begawan di Brunei. Perjalanan ini berlangsung selama 45 menit. Tak lama setelah pesawat lepas landas, formulir imigrasi dibagikan dan pesawat pun mendarat beberapa saat setelah formulir selesai diisi. Akan halnya penerbangan terpanjang sampai sejauh ini adalah 2x7 jam dari Singapura ke London lewat Dubai. Penerbangan ini sebenarnya tergolong lancar, tapi saya tetap kesulitan tidur selama di udara. Alhasil, dalam perjalanan pergi dan pulang, saya hampir menonton habis seri pertama the Flash di pesawat.
Setidaknya ada tiga penerbangan dalam cuaca buruk yang akan selalu terngiang di benak saya. Yang pertama adalah yang paling parah. Saat itu saya menumpang pesawat Adam Air jurusan Jakarta-Pontianak. Pesawat berguncang hebat, sampai-sampai penumpang lain berteriak, "Allahu Akbar." Ini bukanlah jeritan histeris yang ingin anda dengar saat naik pesawat. Saya sempat menggenggam erat sandaran lengan di kursi saya sambil menatap langit-langit pesawat yang sepertinya akan terbelah dua. Setelah penerbangan tersebut, saya baru menyadari bahwa rekam jejak Adam Air sangatlah buruk.
Kali kedua saya mengalami hal yang nyaris serupa adalah penerbangan dari Tokyo ke Hong Kong. Berbeda dengan pesawat Cathay Pacific yang besar dan nyaman yang kita tumpangi saat ke Jepang, saya dan ayah saya menaiki Dragonair yang lebih kecil saat perjalanan pulang. Di malam itu, ketika ayah saya sudah tertidur, pesawat mulai berguncang-guncang. Ketika pramugari bertanya apakah saya ingin ikan atau ayam untuk santap malam, satu-satunya hal yang melintas di benak saya adalah Perjamuan Terakhir. Saya langsung kehilangan nafsu makan dan menolak tawaran pramugari tersebut.
Tiga tahun kemudian, di tahun 2018, saya dan istri menaiki China Eastern Airlines dari Shanghai ke Nagasaki. Jarak tempuh kali ini sebenarnya cukup dekat, tapi penerbangannya sungguh tidak nyaman. Pesawat berjuang naik-turun melawan angin hampir sepanjang penerbangan. Saya jadi berhenti mengisi formulir imigrasi dan berkata kepada istri saya, nanti saja isinya, kalau kita sampai dengan selamat sampai di tujuan.
Ya, mungkin saja saya memiliki toleransi yang rendah saat naik pesawat. Saya sering terlonjak dan gugup saat pesawat melewati awan. Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya memiliki fobia naik pesawat, namun kenapa saya masih berkelana selagi saya bisa?
John Lennon pernah menyanyikan lirik berikut ini: "life is what happens to you while you're busy making other plans." Artinya hidup adalah apa yang terjadi selagi Anda sibuk membuat rencana. Dalam konteks ini, saya merasa bahwa bila sudah waktunya, kita takkan bisa menghindar. Kecelakaan pesawat Sriwijaya adalah sebuah tragedi yang mengajarkan bahwa seringkali kita tidak bisa memilih bagaimana kita berpulang. Tapi saya rasa kita senantiasa memiliki kesempatan untuk memilih, bagaimana kita hidup. Fobia dalam menaiki pesawat adalah bagian dari saya, tapi saya bisa memilih dan saya memilih hidup yang penuh petualangan dalam melihat dunia...
Fear is understandable, but still flying faaar more safer compared to car crash death statistics.
ReplyDelete