Total Pageviews

Translate

Sunday, April 11, 2021

The Food That Made Us

This story began with this picture. So eye-catching, so much goodness beautifully arranged in one plate. Many of you might not recognize this, but a brief look at it immediately brought me back to the time when this was one of the most delicious dishes ever in Pontianak. We called it curry rice. 

 The curry rice. I just had to like the picture!

Back in the days, when life was simpler, the options were either this or chicken rice. I was, and still am, a fan of the latter, but as I grew older, I started to appreciate curry rice, too. But what mattered most from the picture was the fact that it reminded me of the food that made us. The original street food vendors gotta be very old now and I wouldn't be surprised if some were no longer around. But lucky for us, some of their delicious legacies lived on.

Sunarto preparing the noodles. 

First and foremost was Bakmi Hong Tian. Throughout my life in Pontianak, I actually never knew the name, haha. But I ate there almost on daily basis during my secondary school. I ordered everything they had, from kway teow, noodles, wanton, mee pok, bee hoon to silver needle noodles. I tried all the cooking styles, from fried, dry to soup. The food was great and so was the moment when Parno spilled the whole bottle of chilli on his fried kway teow, haha.

A bowl of bakmi Hong Tian.

I never thought I'd have a chance to eat Bakmi Hong Tian again until my friend Iwan told me that Sunarto continued his mother's business in Jakarta. That's when I made a vow that I would find him and order one bowl of noodles. I did exactly that in December 20, 2019. The noodles tasted just like the good old days, perhaps partly due to a secret ingredient called nostalgia.

It's known as mixed rice elsewhere, but we called it chicken rice in Pontianak.

Next, we had Nasi Campur Alu, now inherited by my friend CP and her husband. Alu, Asan and Akwang were big names 30 years ago. They were like the Romance of Three Kingdoms in Pontianak, conquering their territory with their own unique style of chicken rice. Alu's stall was the nearest to my house, so I grew up with the fair share of Nasi Campur Alu.

With CP  (standing) and her husband Ali (in white shirt).

I first rediscovered Nasi Campur Alu in 2016. It was my friend Endrico who brought me there when we had lunch in Jakarta. It was brilliant. The portion was just nice for you to appreciate its greatness. You know how sometimes you had a certain expectation for something? In the steady hand of Ali, the son of Alu, the next generation of Nasi Campur Alu tasted just like how I remembered it. Since then, I always ate there whenever I had a chance.

When we visited Hendry (in white shirt) at Bakmi Alit. 

Then there was Hendry who posted the picture of curry rice. If I remember correctly, Hendry's parents sold kwe kia theng, Pontianak's equivalent of Singapore's kway chap. But the owner of Bakmi Alit (I guess Alit came from his nickname Gullit) is capable of not only cooking his parents' signature dish, but also many other mouth-watering cuisines from Pontianak such as nasi campur and roasted pork. 

A bowl of authenticity.

The man was not only talented, but also forward-thinking. I admired how he actively participated in food events. The pictures of his food on social media looked tempting and professional. In the time of corona, he also embraced things like vacuum packing and online delivery. He even tried out Shopee and international shipping to Singapore! It was commendable, alright, but all this might not be so important if we didn't know how good his food was like. The verdict: it tasted authentically Pontianak. So good that it was worthy of the hashtag #goodthingsmustshare.

Kway teow and salted egg fish balls soup.

The last one was Hardy of Bakso Ikan Telur Asin Ahan. To be frank, I never tried this when I lived in Pontianak, but I remember seeing the stall behind Pasar Mawar. In 2017, I went to his stall and had a bowl. It felt right. There was something Pontianak about it. 

Enjoying salted egg fish balls. 

Hardy's favourite song was November Rain. The singer, Axl Rose belted out the lyrics, "nothing lasts forever, even cold November rain." He was right and that made this all the more important. The food heroes from our childhood might have long gone. In the world where there seemed to be more interesting things to do, these few friends of mine chose to continue the legacies that we all knew and loved. I'm really proud of them, the unsung heroes of our generation. Keep it up, guys! And keep the good food coming!

With Hardy of Bakso Ikan Telur Asin Ahan.




Makanan Favorit Kita

Kisah kali ini dimulai dari gambar di bawah ini. Begitu menarik perhatian, bukti nyata bahwa kelezatan bisa tertata indah di piring. Mungkin banyak dari anda yang tidak mengenali makanan ini, tapi saya langsung terbawa ke masa silam dalam selintas pandang. Suatu kala di masa lalu, ini adalah salah satu makanan paling enak di Pontianak. Sebutannya adalah nasi kari.

Begitu menggoda. Saya langsung kasih like!

Ya, pada zaman dulu, ketika hidup masih sederhana, pilihan yang tersedia untuk kategori ini adalah nasi kari dan nasi ayam. Saya adalah penggemar nasi ayam dari sejak kecil, namun seiring dengan bertambahnya usia, saya mulai menyukai nasi kari juga. Akan tetapi yang penting dari foto ini adalah peranannya dalam mengingatkan saya kembali tentang makanan yang sering saya santap dulu. Para penjaja makanan ini pastilah sudah berumur atau bahkan meninggal, tapi kita beruntung karena hasil karya mereka tidaklah punah. 

Sunarto sedang memasak mie untuk saya.

Yang pertama adalah Bakmi Hong Tian. Sepanjang hidup saya di Pontianak, saya tidak pernah tahu namanya, haha. Kendati begitu, saya menyantap makanan di kedai ini hampir setiap hari sepanjang masa SMP. Saya mencoba semua yang mereka jual, mulai dari kwetiau, mie, pangsit, miepok, bihun dan locupan. Saya jajal pula semua cara masaknya, mulai dari goreng, kuah dan kering. Sungguh berkesan masakannya. Satu kenangan tak terlupakan di sana adalah saat Parno menumpahkan sebotol cabe di atas makanan yang ia pesan, haha. 

Satu mangkok yang menggugah selera. 

Tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa saya akan memiliki kesempatan untuk menikmati Bakmi Hong Tian lagi. Adalah teman saya Iwan yang mengabarkan bahwa Sunarto melanjutkan usaha ibunya di Jakarta. Saya lantas berjanji pada diri saya sendiri bahwa saya akan mencari Sunarto demi semangkok bakmi Hong Tian. Ikrar ini saya penuhi pada tanggal 20 Desember 2019. Mienya terasa persis seperti buatan ibunya, mungkin karena pengaruh bumbu khusus bernama nostalgia. 

Di luar namanya nasi campur, tapi di Pontianak disebut  nasi ayam.

Berikutnya adalah Nasi Campur Alu yang kini dikelola oleh teman saya CP dan suaminya. Perlu saya jelaskan bahwa Alu, Asan dan Akwang adalah nama besar sejak 30 tahun lampau. Mereka bagaikan Sam Kok, masing-masing menguasai daerah tersendiri dengan nasi ayamnya yang khas. Tempat jualan Alu dekat dengan rumah saya, jadi saya tumbuh dan berkembang dengan Nasi Campur Alu dalam menu sehari-hari saya.

Bersama CP dan suaminya, Ali.

Saya menemukan kembali Nasi Campur Alu di tahun 2016. Teman saya Endrico membawa saya ke sana sewaktu kita makan siang di Jakarta. Rasanya dashyat. Porsinya pas sehingga anda tidak terlalu kenyang untuk mengapresiasi kelezatannya. Berkat kemahiran Ali, putra Alu, generasi kedua Nasi Campur Alu ini seenak apa yang saya ingat. Semenjak itu, saya selalu mampir bilamana ada kesempatan. 

Bersama Hendry (kaos putih) saat kita mampir ke Bakmi Alit. 

Kemudian ada pula Hendry, seorang teman yang mengunggah foto nasi kari di atas. Jikalau ingatan saya tidak keliru, orang tua Hendry menjual kwe kia theng di Pontianak. Meksipun demikian, pemilik Bakmi Alit (saya rasa Alit berasal dari panggilannya di masa SMP: Gullit) tidak hanya bisa memasak resep warisan orang tuanya, tetapi juga makanan lain yang khas Pontianak seperti nasi campur. Babi panggangnya juga cukup dikenal langganan. 

Bakmi Kepiting.

Pria ini bukan hanya berbakat, tapi juga berpandangan maju. Saya kagum dengan upayanya yang senantiasa mengambil bagian dalam berbagai acara makanan di Jakarta. Foto-foto makanannya di media sosial juga terlihat menggiurkan dan profesional. Di musim pandemik, dia mencoba inisiatif baru seperti paket mie yang telah divakum dan juga jasa antar online. Dia bahkan mempelajari potensi Shopee dan pengiriman internasional ke Singapura! Semua jerih-payahnya patut dipuji, tapi semua ini tidak banyak artinya jika kita tidak seperti apa rasa makanannya. Menurut saya, rasanya seperti masakan otentik dari Pontianak. Begitu enak sehingga wajib dibagikan dengan tagar #goodthingsmustshare.

Kelezatan yang berpadu menjadi satu!

Yang terakhir adalah Hardy yang membuka cabang Bakso Ikan Telur Asin Ahan. Saya tidak pernah mencoba menu yang satu ini sewaktu tinggal di Pontianak, tapi saya pernah melihat kedainya di belakang Pasar Mawar. Di tahun 2017, saya singgah ke tempat Hardy dan mencicipi dagangannya. Sungguh ada cita rasa khas Pontianak di dalam makanan yang ia sajikan. 

Menikmati bakso ikan telur asin.

Lagu favorit Hardy adalah November Rain. Sang penyanyi, Axl Rose, membawakan lirik berikut ini, "nothing lasts forever, even cold November rain." Apa disampaikannya sungguh benar. Mereka yang menjual makanan di masa kecil kita ini mungkin telah mengundurkan diri. Di dunia dimana sepertinya ada banyak hal yang lebih menarik untuk dikerjakan, beberapa teman saya ini melanjutkan adikarya yang kita kenal baik dan cintai. Saya bangga dengan mereka dan suka pula dengan masakan mereka. Tetaplah berkarya, teman-teman. Jangan berhenti menyajikan yang terbaik dari Pontianak.

Bersama Hardy, rocker yang mengelola bakso ikan telur asin Ahan.


No comments:

Post a Comment