Total Pageviews

Translate

Monday, May 28, 2018

The End Days Protocol

When I first heard of the end days protocol, I was slightly confused. I thought it was like a procedure where the patient would be put to sleep. But after talking to this friend of mine, I got a better idea of what it actually meant. Apparently it was some sort of special care for (pardon the lack of better words here) a dying patient so that he or she could live through his final days before passing on naturally.

My friend's Dad has been ailing since early last year. I'd seen him on his better days but when Wawa and I visited him a while ago, the person I saw that day was not even half the man he used to be. Gone was the well-built figure, replaced by a partially paralyzed man on a wheelchair. He seemed to be shrinking and frail. The speech ability was greatly impaired. I was actually surprised by a sudden movement of his shaky finger pointing, perhaps a minute after I introduced myself. We interpreted his reaction as a sign that he was actually thinking really hard before he remembered who I was. I also couldn't be too sure if he was happy to see us, for his facial expression looked very upset. Half the time I was there, I was hoping that I didn't make the situation any worse. Personally, I find this very sad. Throughout our formative years, he was kind to us and I have nothing but a great deal of respect for the man.

However, his condition isn't improving. It must have gotten worse instead, hence the end days protocol. It isn't going to be easy for the family to decide. I mean, knowing that the person isn't going to recover, what's the point of prolonging his life by inserting all sorts of tubes into his body? Is this what he wants? In his current state, if he gotta carry on living by relying on the feeding tube, then what is he living for? So that the family won't feel guilty?

I remember one night when I was walking back home with my wife. I told her that I'd been a very happy man. In my life, I'd been loved, I had achieved some of my wildest dreams, I got good friends, I got two lovely kids and I'd laughed the loudest. I was never poor for I was rich at heart. That's all a man could ask for.

I also told her that I am never as fit and healthy as my Dad. I always thought that if I could live up to the age of 60, that would have been a blessing. I often joked that I'd rather die before the rest of my friends, because if I had to live a long life with a frail body and no friends, how lonely such life would be!

On a more serious note, of course I would have regrets, especially if I couldn't see my children growing up and having kids of their own, but it's alright. It is for God to decide and His will be done. I'll just live with it. All my life, I've been doing what I can. All my thoughts are written down and shared. That's what counts and my life is not in vain. When my body is no longer functioning one day, no point wasting time in keeping me alive, therefore just let me go onto the next life. I prefer it to be that way.

At the same time, if I were to put myself in my friend's shoes, I'd think again how my Dad was like. I also have an ailing Dad. He'd been diagnosed with cancer since end of 2016. It's disheartening to see him in and out of hospital. Not only his life was disrupted for the past one and a half year, but ours, too, because adjustment had to be made. But my dad is still physically fine. His eyes still show his fighting spirit and he still talks about what he's going to do next. The way I see it, we'll do it together until he says no, or until he is in the state that we know he wouldn't want to have it this way if he could voice out his opinion.

But it's easier said than done. When the time comes, I'm sure it'll be a painful decision that you'll remember for life, because it affects the one you love dearly. But it just has to be done, for death is the only way out of this life. It isn't necessarily a bad thing, really, and the end days protocol allows one to live his final days with dignity...

Grow old with me.
Photo by Endrico Richard.


Protokol Hari-Hari Terakhir

Ketika saya mendengar tentang protokol hari-hari terakhir ini, saya merasa agak bingung. Saya sempat mengira bahwa mungkin itu adalah prosedur untuk menidurkan pasien selamanya dengan cara disuntik. Setelah berbincang dengan teman saya, barulah saya tahu apa ini sebenarnya. Ternyata protokol ini adalah semacam perawatan khusus untuk pasien yang sudah menjelang akhir hayatnya sehingga mereka bisa menghabiskan hari-hari terakhir mereka dengan layak sebelum mereka meninggal dunia dengan tenang. 

Ayah teman saya sudah sakit-sakitan sejak awal tahun lalu. Saya tahu persis bahwa dia begitu bugar dulunya. Akan tetapi saat saya dan Wawa menjenguknya beberapa bulan yang lalu, saya sungguh terperangah melihat perubahan fisiknya. Dia tidak lagi bisa berjalan, melainkan duduk tanpa daya di kursi roda. Separuh badannya pun lumpuh. Tubuhnya mengecil dan tampak ringkih. Kemampuan bicaranya juga terganggu dan tak lagi bisa digunakan. Saya sempat terkejut ketika dia tiba-tiba menunjuk saya dengan tangan gemetar, kira-kira satu menit setelah saya memperkenalkan diri. Kita hanya bisa menduga bahwa dia tiba-tiba teringat siapa saya. Dari ekspresinya yang senantiasa murung, saya tidak tahu apakah dia merasa gembira karena dijenguk. Saya hanya berharap bahwa kehadiran kita tidak memperburuk suasana. Secara pribadi, saya turut bersedih. Saya mengenalnya dari sejak zaman sekolah dan saya tahu dia baik orangnya. 

Semenjak dia sakit, kondisinya tidak kunjung membaik. Justru situasi tampaknya semakin memburuk, maka dari itu protokol hari-hari terakhir pun menjadi pertimbangan. Tidak akan mudah bagi pihak keluarga teman saya untuk memutuskannya. Maksud saya, jika kecil harapan baginya untuk sembuh dan pulih seperti semula, apa gunanya menyambung hidup dengan memasang berbagai selang ke tubuhnya? Apakah ini yang dia inginkan? Dalam kondisinya sekarang ini, jika dia harus tetap hidup dengan mengandalkan selang makanan sementara fisiknya tak lagi berfungsi, lantas orang tua ini hidup untuk apa dan siapa? Apakah dia harus menanggung derita hanya supaya keluarganya merasa tidak bersalah karena sudah berbuat sebisanya? 

Saya jadi teringat suatu malam ketika saya berjalan pulang ke rumah bersama istri saya. Kepadanya saya berkata bahwa saya adalah seorang pria yang bahagia. Dalam hidup ini, saya sudah dicintai, saya berhasil mencapai beberapa hal yang saya impikan, saya memiliki teman-teman yang baik dan juga dua anak yang menjadi buah hati. Saya pun sering tertawa geli, bahkan terbahak-bahak sampai meneteskan air mata. Seberapa banyak pria yang bisa hidup sebahagia ini? 

Saya juga berkata padanya bahwa secara fisik, saya tidak pernah sesehat ayah saya. Jika saya bisa hidup sampai umur 60, saya anggap itu sebagai berkat. Saya sering bercanda bahwa saya lebih baik meninggal lebih dulu dari teman-teman, sebab untuk apa berumur panjang bila badan sudah rapuh dan teman pun tak ada? Pasti akan sangat kesepian. 

Jika saya harus lebih serius tentang hal ini, saya akan jujur bahwa tentu akan ada sedikit penyesalan, terutama jika saya tidak berkesempatan untuk melihat anak-anak tumbuh dewasa dan menjadi kakek dari anak-anak mereka. Akan tetapi itu tidaklah terlalu menjadi masalah. Tuhan yang akan memutuskan dan terjadilah kehendak-Nya. Saya hanya bisa menjalaninya. Sepanjang hidup ini, saya sudah berusaha melakukan apa yang saya bisa. Semua buah pikiran saya senantiasa tertulis dan dibagikan kepada mereka yang mau membaca. Pada akhirnya, semua kenangan dan ide saya itulah yang penting dan tersisa bagi orang lain. Ketika fisik saya tak lagi berguna, saya tidak ingin siapa pun membuang waktu untuk memperpanjang hidup saya. Relakan saya pergi. Suatu hari kelak kita akan berjumpa lagi.  

Pada saat yang sama, saya juga membayangkan seperti apa rasanya berada di posisi teman saya ini. Mungkin saya akan berpikir, seperti apa ayah saya dulunya, ketika dia masih sehat-walafiat. Ayah saya didiagnosa mengidap kanker dan pedih rasanya hati ini saat melihat dia keluar-masuk rumah sakit. Bukan saja kehidupannya yang berubah total selama satu setengah tahun terakhir ini, tetapi kehidupan kita yang berada di sekelilingnya pun mengalami penyesuaian karena sakit yang dideritanya. Namun ayah saya masih sehat fisiknya. Sorot matanya masih bersemangat. Dia pun masih berbicara tentang usaha apa yang akan ia tekuni di masa mendatang. Dan kita akan menemaninya sampai suatu hari nanti, ketika ia lelah dan merasa cukup sampai di sini saja.

Ya, lebih mudah berbicara daripada berbuat. Ketika tiba waktunya untuk membuat keputusan, siapa pun takkan bisa melupakan keputusan yang diambil hari itu, sebab itu menyangkut hidup-mati orang yang kita sayangi. Namun keputusan itu harus diambil, sebab suatu awal harus ada akhirnya. Kematian tidak senantiasa buruk maknanya, dan protokol hari-hari terakhir ini memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menjelang akhir hayatnya dengan penuh martabat dan kehormatan... 

No comments:

Post a Comment