Total Pageviews

Translate

Wednesday, May 10, 2017

Fried Rice Mania

I'm not sure if it's known to many, but long before Roadblog101, I already have another Facebook page called Fried Rice Mania, a page dedicated to anything fried rice. It's still there and updated every time I try out a new flavor. I'm a sucker for fried rice, really.

"Why fried rice?" one may ask. That, my friends, is simply because it's the best food in the world. It's also versatile enough that in its simplest form, it could be only rice fried with salt, pepper and a bit of seasoning, but yet it is already so delicious. At its very best, fried rice is an art widely practiced in Asia since ancient times. On a very high level, we have the likes of Indonesian fried rice, Vietnamese fried rice, Japanese fried rice, etc. If we dive into specific names, we have nasi goreng kampong, salted fish fried rice, Yangzhou fried rice and many more. It can be prepared at home and it's also served at the restaurants. It is eaten by rich and poor alike. Seldom is a food so universally accepted across the globe.

Salted fish fried rice.

I really got acquainted with fried rice during my sojourn in Jakarta, the moment I stepped into society, back in 2002. I was struggling to make ends meet and fried rice was ranked second on the list of the most affordable food in those days (the cheapest one was ketoprak at IDR 3,000 then or around SGD 0.30 today). To be specific, the aforementioned variant from the list was this Madurese fried rice sold by street vendors (one of them was Roni, my favorite cook) who pushed their carts and roamed around the complex. They hit the bamboo on their carts to signal their whereabouts. It got louder as they approached where I stayed, so I would come out and called the one who passed by (believe it or not, but I actually could tell who was coming based on the sound resonated from the bamboo). That was also how the localized name nasi goreng tektek came about: it was due to the sound the vendors made. It was sold at IDR 4,000 a plate and if I had a extra budget, I'd usually request for a fried egg, too. Talk about a splurge, it was worth it!

Together with whatever that was sold by Roni and friends (they had kway teow and yellow noodles, too, which could be be served in soup or fried mode), nasi goreng tektek became my regular menu for three years. I'm not entirely sure if that was the reason why I was underweight and malnourished, but I grew to love the food so much that it became a lifelong passion since then.

Nasi goreng cekur.

At home, my wife is no stranger to anything fried. I'm very fortunate that she has few tricks up her sleeve when it comes to fried rice. She can cook nasi goreng koneng, the fried rice with a predominant yellow color due to the use of turmeric. Her greatest recipe, however, is nasi goreng cekur. It has an exotic taste thanks to the particular ingredient called sand ginger. By the way, just in case you are puzzled by the names, nasi goreng is fried rice in Bahasa Indonesia, but the words koneng and cekur actually come from a dialect called Sundanese. The former means yellow and the latter is, as you may have guess it, the sand ginger.

Now, if my dining room is the center of my fried rice universe, then the farthest place where I ever had a plate of fried rice was Liverpool. There was this restaurant called the Chilli Pot, located right across Hard Days Night Hotel. It served a menu called Nasi Goreng that, much to my chagrin, was described as a Malaysian cuisine. That aside, it was actually good but at GBP 8.8, it could be one of the most expensive fried rice I ever ate. The price was worth the experience, though. It was amusing to observe the person next to me trying to cut the bowl shaped steamed rice using a knife and a fork as if he was eating a steak. It was a reminder that rice wasn't from Europe and just like how we fail to appreciate European dishes sometimes, the staple food of Asian people could be just as confusing to them.

Nasi Goreng from Liverpool.

Anyway, back to Singapore, as I've been staying in this country for more than a decade, you may be wondering where is the best fried rice in town. Well, if I have to endorse one, it must be Jin Hai fried rice at Amoy Street. It's a one-man show by this old Uncle who cooks and doubles up as the cashier at the same time. Just order a plate together with a fried egg and you'll be doing fine.

That's all I have for now. Quite a great story about fried rice, isn't it? If you agree with me and are keen for updates, just search for Fried Rice Mania on Facebook and follow the page. Stay tuned and keep eating... fried rice, of course.

The last bite.


Fried Rice Mania

Saya menggemari nasi goreng. Jauh sebelum roadblog101, saya sudah memiliki Facebook Page lain yang bernama Fried Rice Mania dan khusus bercerita tentang nasi goreng. Facebook Page ini masih aktif dan diperbaharui dengan foto dan pendapat tentang nasi goreng yang saya cicipi.

Anda mungkin bertanya, "kenapa nasi goreng?" Ini karena nasi goreng adalah masakan paling lezat di dunia. Penyajiannya pun luwes, tergantung yang masak. Nasi goreng bisa saja sekedar nasi yang digoreng dengan garam, lada dan sedikit bumbu lainnya atau merupakan sebuah karya dari seni sudah disempurnakan secara turun-temurun. Secara garis besar, kita mengenal berbagai macam nasi goreng, mulai dari ala Indonesia, Vietnam, Jepang dan lain-lain. Kalau kita mau lebih detil lagi, ada yang namanya nasi goreng kampung, nasi goreng ikan asin, nasi goreng Yangzhou dan masih banyak lagi. Nasi goreng bisa dimasak di rumah maupun di restoran serta dinikmati oleh orang yang mampu dan kurang mampu. Singkat kata, hanya nasi goreng yang diterima secara umum di berbagai kalangan.

Nasi goreng kampung.

Saya mulai menyukai nasi goreng sejak saya lulus dan pindah ke Jakarta di tahun 2002. Gaji saya tidaklah tinggi sehingga saya harus berhemat dan nasi goreng adalah makanan kedua yang paling ramah terhadap isi dompet saya di kala itu (dengan harga 3.000 rupiah, ketoprak adalah makanan paling murah di zaman tersebut). Lebih spesifik lagi, nasi goreng yang dimaksudkan di sini adalah nasi goreng yang dijual oleh penjaja nasi goreng yang mendorong gerobak dan mengitari kompleks perumahan. Mereka memukul bambu untuk mengisyaratkan keberadaan mereka, jadi semakin mereka mendekati tempat saya tinggal, semakin keras pula suara bambunya. Suara bambu inilah menjadi asal-muasal nama nasi goreng tektek. Harga per piring saat itu adalah 4.000 rupiah dan jika saya mempunyai sedikit uang lebih, saya akan sekalian memesan telur goreng. Nasi goreng tektek (dan juga kwetiau dan mie yang bisa digoreng atau direbus) ini lantas menjadi santapan rutin selama tiga tahun di Jakarta. Saya tidak tahu apakah ini menjadi penyebab saya menjadi kurang gizi dan kurus, namun semenjak itu saya jadi suka nasi goreng.

Di rumah, istri saya tidaklah asing dengan goreng-gorengan. Saya sangat beruntung karena dia memiliki beberapa jurus memasak nasi goreng. Kadang dia menyajikan nasi goreng kuning yang menggunakan kunyit. Rasanya enak, tapi yang lebih nikmat lagi adalah resep lainnya yang juga dia kuasai, nasi goreng cekur alias kencur. Rasanya eksotis karena menggunakan kencur.

Nasi Goreng Rempah Mafia.

Nah, jika meja makan saya adalah titik pusat dunia nasi goreng, maka tempat terjauh yang pernah saya kunjungi untuk menikmati sepiring nasi goreng adalah Liverpool. Di seberang Hard Days Night Hotel, ada sebuah restoran bernama Chilli Pot. Restoran ini menyediakan nasi goreng yang dideskripsikan sebagai masakan Malaysia (saya serasa tidak percaya sewaktu membaca menunya. Malaysia? Yang benar saja). Rasanya lumayan, cuma harganya yang 8,8 pound sterling itu benar-benar mahal. Akan tetapi harganya sepadan dengan pengalaman saya di sana: di sebelah saya, ada orang bule yang mencoba memotong nasi putih yang dicetak dengan mangkok. Jadi ia menggunakan garpu dan pisau, seakan-akan sedang makan steak, untuk memotong nasinya. Raut wajahnya agak bingung saat dia mencicipi nasi putih, mungkin karena tidak ada rasanya. Saya jadi ingat, seperti halnya masakan Eropa yang mungkin saja terasa tidak enak di lidah kita, makanan pokok kita pun terkadang membingungkan bagi mereka.

Kembali ke Singapura, negara dimana saya berdomisili selama lebih dari satu dekade, anda mungkin bertanya-tanya, di mana lokasi nasi goreng yang paling enak. Favorit saya nasi goreng Jin Hai di Amoy Street. Yang masak adalah seorang pria berumur yang juga merangkap sebagai kasir. Coba pesan satu piring plus telur goreng. Dijamin puas.

Demikian sekilas info tentang nasi goreng dari saya. Jika anda tertarik untuk terus mengikuti perkembangan terbaru, coba cari Fried Rice Mania di Facebook dan like. Dari situ anda bisa dapatkan kabar terkini dan, sambil menunggu, jangan lupa makan nasi goreng!

Nasi Goreng Jin Hai.

Sunday, May 7, 2017

The King Of Pop

I spent some time with my daughter watching a snippet of This Is It earlier this month. Showed her the movie just to tell her that, "this guy was called Michael Jackson. A legend. Watch his feet and see how he dances." My daughter kept quiet as she continued watching so I'm not sure if she really got what I meant, but then again, perhaps I was just subconsciously saying it to myself. For all I know, it could be me reminding myself, what Michael once meant to me. 

I remember what it was like to grow up in the 80s. In those days, there was only one nationwide TV channel for Indonesians to watch. Lucky for me that we had a satellite dish installed on our rooftop, allowing me to browse various channels from other countries. Malaysia's TV3 was like the coolest channel with a language I could understand, at least partially, when it was broadcasting in Malay, so I watched it frequently. One fine afternoon, TV3 had a Michael Jackson special. That's when I watched the music videos: Billie Jean, the Way You Make Me Feel, Beat It, Bad and Thriller (which scared the hell out of me).

My life was never be the same after that. I never saw anybody sang and danced like that before. The way Michael did the kick as he danced (no, not the moonwalk, but that split second kick, if you know what I mean), the seriousness in his eyes as he performed (if you ever noticed, Michael only smiled after he stopped performing), the excitement he generated from his singing voice (his music was often a series of repetitive rhythms and it was his voice that made a difference), everything he did was inspiring. In the eyes of an eight years old boy, Michael was, without doubt, what I wanted to be. After watching Michael, who cares about being a doctor or a pilot anymore?

Then I watched Moonwalker at the cinema. Looking back, the movie is actually quite disjointed. It doesn't really have a strong story line to hold it together. However, this was Michael at the height of his fame. He couldn't go wrong and his fans tended to agree to that. I could only imagine now that my Dad must be confused as the movie was unlikely to make any sense to him at all, but to me, it was a revelation. The thing with Michael Jackson was, he'd redefine the meaning of being cool and bring it to a whole new level, just when you thought you'd already seen how cool he was. That's what he did with Smooth Criminal. The white suits and the fedora hat, how Michael defied gravity by leaning forward around 45 degrees, the splendid music video, the catchy music with unlistenable pronunciation (that was true! I'd give up learning English if the teacher forced me to write down what Michael sang), that was Michael at his peak, I believe. 

Moonwalker was released during the Bad period. Thriller may be the biggest selling album of all time, but I always held Bad with the highest regard. It was the first English record I ever owned, courtesy of my Dad. He bought the CD, quite rare back then. I remember wondering why it had an extra song called Leave Me Alone whereas my cousin's album in a cassette form didn't have it. Love almost all the songs in it, except Speed Demon. It also came with a video game or two, the arcade version, which I didn't really got a chance to play, and the Sega Mega Drive version, which I owned. I mean, what sort of Michael Jackson was I if I didn't own a game where I could immerse myself into the ultimate Michael Jackson experience, spinning my way through the enemies and throwing the white fedora hat at them? And of course there were those signature dance moves, too!

Things went downhill after that. Michael got himself into all sorts of problems in the 90s, which were damaging. His output, ranging from Black or White, Remember the Time to Heal the World, was still going strong, but at the same time, there was this widely reported molestation case. It was a very confusing time. It was a pre-internet era, therefore we could only read on newspapers and had only the faintest idea about what molesting actually was. In fact, back in the 90s, I don't think any parents in Pontianak would be very keen to discuss about molestation with their children. It was either taboo or very hard to explain.

In hindsight, the problems that plagued Michael seemed to drain out his creativity, too. By the time he released HIStory, it was as if it would be the last time we heard of him. There were still good songs such as Childhood, They Don't Care About Us or You Are Not Alone. There was also this image of Michael in pseudo-army suit everywhere, but that was it and he became irrelevant afterwards. Blood on the Dance Floor didn't feel like an album and I didn't even bother to check it out anymore when he released Invincible. By then, he was newsworthy only for his antics rather than anything else, a pretty sad turn for a man who once was known as the King of Pop.

I don't remember much about This Is It. Had a glimpse of it and I thought, "okay, so he finally decides to get his act together." But the concerts didn't happen. What came next instead was his death, and it was a death to remember. It was one of those deaths that you'd remember for life where you were when you first heard of it. For me, I was at the trading arcade, fixing a GL trading platform issue for my customer. That's when I saw the news on the television right in front of me. It was hard to believe and even harder to accept. The feeling immediately prompted me to deny the news. It was like, "come on, he is Michael Jackson. He can't be dead, right?"

It was surreal, really. When the movie was released, one could see how sorry the state he was in. A 50 years old man, so skinny that we could see his shoulders curving up, Michael was so frail that it must be daunting for him to perform the upcoming 50 concerts. Perhaps it was a good thing that he didn't make it. However, the movie also captured Michael at his happiest moments: when he was on stage, rehearsing. It was visible how he loved every moment of it. 

I was busy rediscovering Michael again after his death by reading books such as Moonwalk and the one written by Jermaine Jackson. I smiled a lot when I did that. After all those bad publicity, it was refreshing to be reminded about how talented Michael Jackson was. I knew him since Bad, but he started much earlier than that as a member of the Jackson 5. A great singer and a brilliant performer since he was very young, Michael gave his all and he touched many along the way, including yours truly. I'm thankful and that's how I choose to remember him. Rest in peace, Michael. Thanks for making this world a better place... 

The Bad 25 box set. 


Sang Raja Pop

Saya duduk bersama putri saya menonton cuplikan film This Is It di awal bulan Mei ini. Saya beritahukan padanya, "pria ini bernama Michael Jackson, seorang legenda. Perhatikan kakinya dan lihatlah caranya menari." Saat itu putri saya diam saat menonton sehingga saya tidak tahu apakah dia mengerti apa yang saya maksudkan, tapi di satu sisi, mungkin saya hanya bercerita untuk mengenang kembali, apa artinya Michael untuk saya. 

Saya ingat seperti apa rasanya menjadi anak yang tumbuh menjadi remaja di tahun 80an. Waktu itu hanya ada siaran TVRI untuk ditonton. Saya beruntung karena di rumah ada antena parabola sehingga mungkin bagi saya untuk menyaksikan siaran dari negara lain. TV3 dari Malaysia adalah stasiun TV yang paling mantap dengan bahasa yang bisa saya mengerti di saat itu, paling tidak ketika TV3 menampilkan acara berbahasa Melayu. Suatu sore, TV3 menyiarkan serangkaian video musik Michael Jackson. Saat itulah saya menyaksikan untuk pertama kalinya video-video seperti Billie Jeanthe Way You Make Me FeelBeat ItBad dan Thriller (yang membuat saya ketakutan setengah mati).

Hidup saya tidak pernah sama lagi semenjak itu. Saya tidak pernah melihat orang menyanyi dan menari seperti sebelumnya. Gaya Michael dalam menendang (bukan moonwalk, tapi saat dia mengibaskan kakinya dalam sepersekian detik, jika anda tahu apa yang saya maksudkan), betapa seriusnya dia ketika beraksi (jika anda perhatikan, Michael hanya tersenyum ketika dia berhenti bergerak), kegembiraan yang timbul saat melihat dia bernyanyi (lagu Michael seringkali berirama sama dan suaranyalah yang membuat lagu itu hidup), sepak-terjangnya sungguh menginspirasi. Di mata seorang bocah berumur delapan tahun, Michael adalah seorang idola. Setelah menyaksikan Michael, anak kecil mana yang masih ingin menjadi pilot atau dokter? Saya ingin menjadi seperti Michael! 

Kemudian saya menonton Moonwalker di bioskop. Kalau saya lihat kembali, film tersebut sebenarnya agak aneh karena tidak memiliki alur cerita yang kuat dan menghubungkan setiap adegannya. Namun ini adalah Michael di puncak kepopulerannya. Dia tidak bisa berbuat salah dan para penggemar menyukai apa yang ia perbuat, termasuk film ini. Saya hanya bisa membayangkan betapa ayah saya pasti merasa bingung karena film ini sama sekali tidak masuk akal baginya, tapi tidak demikian halnya bagi saya. Michael senantiasa menerobos ambang batas dan mendefinisikan ulang arti dari gaya, mutu dan keunggulan. Dan itulah yang ia lakukan dengan Smooth Criminal.  Pakaian jas putih dan topi fedora, bagaimana ia berdiri dan memiringkan tubuhnya seakan menentang gravitasi, video musik yang luar biasa, musik yang mantap dengan lafal yang tidak bisa dipahami (oh ya, saya akan berhenti belajar bahasa Inggris jika guru les memaksa saya menuliskan lirik yang Michael nyanyikan), sekali lagi Michael berada jauh di puncak. 

Moonwalker dirilis pada periode album BadThriller mungkin saja merupakan album terlaris sepanjang masa, tapi Bad adalah album yang paling berkesan untuk saya. Ini adalah album bahasa Inggris pertama yang pernah saya miliki. Ayah saya membelikan CD-nya ketika itu (saya sempat merasa bingung karena album CD tersebut memiliki lagu ekstra berjudul Leave Me Alone, sedangkan kaset sepupu saya tidak memilikinya). Saya suka hampir semua lagunya, kecuali Speed Demon. Saat itu Michael begitu populer sehingga game-nya pun ada. Ada dua versi, yang pertama adalah versi arcade yang bisa dijumpai di Orbit Wonderland. Satunya lagi adalah versi Sega Mega Drive dan saya memiliki versi ini, sehingga mungkin bagi saya untuk bermain sebagai Michael, mulai dari melempar topi sampai menari. 

Namun keadaan mulai berbalik menjadi buruk setelah Bad. Michael mulai dirundung masalah di tahun 90an. Lagu-lagu pada era tersebut, Black or WhiteRemember the Time dan Heal the World, masih populer. Namun pada saat bersamaan, Michael dijerat oleh kasus pelecehan seksual. Masa-masa tersebut adalah masa sebelum internet, jadi kita hanya bisa membaca beritanya lewat surat kabar. Selain itu, yang namanya pelecehan seksual juga sulit dimengerti bagi anak remaja tahun 90an, jadi saya tidak paham kasus seperti apa yang dituduhkan pada Michael saat itu. 

Sepertinya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah yang menimpa Michael juga mengeringkan kreativitasnya. Tatkala ia merilis album HIStory, ada perasaan bahwa itu mungkin kali terakhirnya saya akan mendengar tentang Michael. Lagu-lagunya, ChildhoodThey Don't Care About Us dan You Are Not Alone masih tergolong bagus. Lalu Michael terlihat di mana-mana dalam pakaian tentara, namun itu adalah terakhir kalinya dia terlihat relevan. Blood on the Dance Floor tidak terasa seperti sebuah album Michael Jackson dan saya bahkan tidak lagi peduli untuk mencari tahu ketika dia mengeluarkan album Invincible. Setelah itu dia hanya muncul di berita karena tingkah-lakunya, suatu hal yang menyedihkan untuk orang yang dulunya menyandang gelar Raja Pop.

Saya tidak banyak mengikuti perkembangan This Is It. Saya hanya sempat melihat bahwa dia mengumumkan serangkaian konser dan saya berpikir, "akhirnya dia memutuskan untuk melakukan sesuatu." Tapi konser itu tidak terjadi karena Michael tiba-tiba meninggal. Peristiwa tersebut adalah suatu kejadian yang akan saya ingat selalu: saat itu saya sedang membantu klien saya yang mengalami masalah dengan sistem jual-beli sahamnya. Mendadak televisi di depan saya mengumumkan berita meninggalnya Michael. Berita itu sulit dipercaya dan lebih sulit lagi diterima. Hati kecil saya membantah, "hei, dia ini Michael Jackson. Dia tidak mungkin meninggal. Pasti ada yang salah." 

Rasanya seperti mimpi. Ketika film This Is It akhirnya ditayangkan, barulah saya mengerti betapa buruknya kondisi Michael saat itu. Di usianya yang ke-50, dia begitu kurus sampai-sampai bahunya seperti terangkat naik. Michael terlihat begitu rapuh sehingga 50 konser yang akan dijalaninya pastilah membebani mentalnya. Saya jadi iba melihatnya. Mungkin ada baiknya dia meninggal sebelum konser. Jika ada satu kenangan manis di film tersebut, maka itu adalah sewaktu Michael terlihat gembira saat latihan. Dia selalu suka berada di atas panggung. 

Setelah Michael meninggal, saya membaca lagi buku-buku seperti Moonwalk dan sebuah biografi yang ditulis oleh Jermaine Jackson. Saya tersenyum saat membaca kisahnya. Setelah begitu banyak publikasi yang buruk tentang Michael, saya diingatkan kembali betapa berbakat Michael itu sebenarnya. Saya mengenalnya sejak Bad, tapi dia mulai jauh sebelum itu, sejak dia masih menjadi anggota Jackson 5. Penyanyi dan juga bintang yang luar biasa dari sejak kecil, Michael memberikan segenap talentanya dan menyentuh begitu banyak orang di dunia ini, termasuk saya, dan saya bersyukur untuk itu. Beristirahatlah dengan tenang, Michael. Terima kasih karena telah membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik...

Thursday, May 4, 2017

The Google Play Books Experience

I once subscribed to National Geographic via iPad and I regretted it immediately. Not that the magazine wasn't any good, but it was the reading experience that I couldn't get used to. For some strange reason, unlike the feeling when I read the normal paperback where I could just put it aside for a while, there was this unexplainable urge in me to finish reading it as soon as possible. I never understood the rush, but it was just so uncomfortable that I didn't touch any form of e-books since then.

I was googling Sinéad Moriarty's latest novel and the search result eventually landed me on Google Play Store, the Book section. I downloaded from the Apps and rented from the Movies sections before, but this was the first time I became aware of the Book section's existence. Out of curiosity, I just typed John Lennon (strange though it may seem, but when I do some search tests, I tend to spontaneously type either John Lennon or Ringo Starr).

A list of books came out. Some I have, some I already read before, but one particular book stood out among the rest: Memories of John Lennon, edited by Yoko Ono. I was intrigued by it after viewing the sample pages so I purchased it. I was prompted to download Google Play Books app afterwards, then I was good to go.

Was it just me or the app really could adjust the brightness automatically? I couldn't be too sure about that, but I carried on reading at night and when my wife turned off the light, I could switch to the night light feature. A layer of orange shade appeared, covering the usual black letters on white colored base and changing the look and feel to be more friendly to the eyes. It was cool and useful.

So I was able to continue reading. It was an interesting book. I mean, we can easily read about John Lennon the ex-Beatle as it is available everywhere, but this is one of a few books out there that gives us a glimpse of John as a normal human being.

Since he was a Beatle and therefore was idolized by many, sometimes it's easy to forget that he, too, had his list of heroes. The story where he was on his knees to kiss Jerry Lee Lewis' boots and thank him for showing the way of rock and roll was amusing. I also like the memories shared by Cilla Black, a fellow Liverpudlian, about how cheeky John was (only John Lennon could whisper mischievously about tomorrow's washing and got away with it). It was also John who, despite his tough guy and devil-may-care attitude, would do things that were totally out of his characters behind the scene to give her the start of her career.

There were also funny stories about the trouble John went thru to get into the cinema to watch Deep Throat, a famous porno movie (an ex-Beatle still attracted more attention than a porn actress, apparently) and his poor understanding about the concept of money. It was seldom realized, even by a fan like me, that John was so famous easily for the last 18 years of his life that he seldom paid anything by himself. What a revelation! There was a neighbor in Dakota who wrote her part of story, too, about how taking the same lift with John Lennon felt like. She also shared about the gunshot she heard on that fateful night, when John was taken away forever from us.

Well, that was a bit of John for today. That aside, does the Google Play Book change my perspective about e-books? I think it's great and practical, but nothing beats the feeling of reading a book in a physical form. I still listen to CDs and I also prefer the books with pages that I can flip. It's the reading experience that counts. If human is the creature of habit, you can call me an old school if you like, haha...

Flipping through the pages...


Pengalaman Membaca Lewat Google Play Books

Saya pernah berlangganan National Geographic di iPad dan hasilnya tidak memuaskan karena saya merasa tidak nyaman saat membaca. Entah kenapa ada perasaan terburu-buru saat membolak-balik lembar halaman majalah secara digital. Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi menyentuh yang namanya e-book

Suatu ketika, saya mencari novel terbaru karangan Sinéad Moriarty dan hasil pencarian Google membawa saya ke bagian buku di Google Play Store. Saya sudah pernah mengunduh aplikasi dan menyewa film sebelumnya, tapi ini adalah kali pertama saya menyadari keberadaan bagian buku. Karena ingin tahu, saya ketik John Lennon (ini aneh tapi nyata: ketika saya menguji pencarian lewat internet, saya selalu spontan mengetik John Lennon atau Ringo Starr).

Buku-buku pun bermunculan. Saya punya beberapa di antaranya dan tidak sedikit pula yang sudah pernah saya baca di perpustakaan, namun ada satu yang menarik perhatian saya saat itu: Memories of John Lennon yang diedit oleh Yoko Ono. Setelah saya lihat beberapa halaman, saya pun membelinya. Setelah itu saya diminta untuk mengunduh aplikasi Google Play Books supaya bisa mulai membaca. 

Saya tidak apakah ini hanya perasaan saya atau bukan, tapi aplikasi ini sepertinya bisa mengatur terang-gelapnya cahaya sehingga nyaman bagi pembaca. Di malam hari, ketika istri saya mematikan lampu, saya bisa mengaktifkan fitur cahaya malam. Lapisan berwarna oren pun menyelimuti huruf hitam yang berlatar belakang halaman putih, sehingga lebih redup dan enak di mata. 

Dan saya pun bisa lanjut membaca. Bukunya menarik. Sebagai mantan anggota the Beatles, tulisan tentang John Lennon bisa dibaca di mana saja, tapi buku yang satu ini memberikan kita sebuah sudut pandang tentang John Lennon sebagai orang biasa.

Ya, karena reputasinya sebagai Beatle yang dikagumi banyak orang, kadang kita bisa lupa bahwa dia pun orang biasa yang memiliki banyak idola. Ada cerita bagaimana dia bersujud dan mencium sepatu Jerry Lee Lewis. Ada pula kenangan Cilla Black, penyanyi terkenal dan sesama orang Liverpool, tentang bagaimana John bercanda mengenai rok mininya (John berbisik bahwa dari tempat ia duduk, dia bisa melihat celana dalam yang akan dicuci besok). Cilla juga mengenang bahwa John yang sering bersikap acuh tak acuh ternyata diam-diam mengatur pertemuan yang memberikan Cilla kesempatan untuk memulai karirnya sebagai penyanyi. 

Di samping itu, ada lagi cerita tentang bagaimana John bersusah-payah untuk menyelinap ke bioskop demi menonton Deep Throat, sebuah film porno yang terkenal di masa itu (dan ternyata keberadaan seorang mantan Beatle di bioskop masih menarik lebih banyak perhatian dari film porno yang ditayangkan). Ada juga kisah tentang betapa John Lennon tidak paham cara menggunakan uang. Tidak banyak yang sadar bahwa karena John sangat terkenal selama 18 tahun terakhir dalam hidupnya, ia hampir tidak pernah membayar apa pun karena selalu saja ada orang yang mengurusnya. Kemudian ada juga cerita dari penghuni apartemen Dakota yang bercerita saat ia bertemu John di lift. Dia juga mengenang saat ia mendengar suara tembakan di malam John Lennon meninggal. 

Dan itu adalah sedikit cerita tentang John untuk hari ini. Jadi, apakah Google Play Book mengubah pandangan saya tentang e-book? Hmm, saya kira e-book lebih praktis, tapi saya cenderung lebih suka membaca buku yang bisa saya genggam. Pengalaman membaca buku sungguhan masih tidak tergantikan! 

Monday, May 1, 2017

The Bold And The Bittersweet

These are two books about Ahok, the person who is loved and hated by many. They are written by two different people in very different writing styles. Denny is known for his satire while Birgaldo tells stories as it is from his unique experience. Both books are mostly the compilations of what they'd posted on social media before, those that we read as we followed what happened in Jakarta for easily the past one year or longer than that.

I like Denny's style. He is smart and sometimes he will sugarcoat his thoughts with sarcasm that makes us laugh. The man is honest and brave enough to speak his mind. Birgaldo is a fighter who has put up a good fight to defend his ideology. His stories are often poignant and I surely loved the one he told after witnessing how Ahok's stepsister cared for her brother from a different race. When love crosses boundaries such as skin colors and religions, it is an inspiring story worth telling.

As I stay in Singapore, I got both books with a little help from my friend, but they arrived at different times and what a difference that would make! I read Denny's book in December 2016, at the height of Ahok's case, when the tension was all time high, when we were on fire. On the other hand, as I just received it the night before, I only got a chance to finish now, long after Ahok lost the election. Does it still really matter?

After the election, we were arguing about the answer of that question. A friend of mine said Ahok was a fool for doing what he's been doing. Despite the good that he had done, the poor people were easily swayed and they eventually deserted him. Another would say, why bother doing all this? The Chinese population is only 5%, so what changes did Ahok expect to bring? He should have minded his own business and made money instead.

Whatever we said, it didn't change the outcome. To me, personally, that wasn't even the point. I'm concerned that the little hope that we watched for the past two years is about to be extinguished. That is bitter to swallow, alright. But perhaps Ahok isn't meant to be the agent of change that we always hope for. May be he is just a shooting star, that he is around for a while just to show us the impossible can actually be done. He set a lot of examples that inspire many. He achieved many for us to see, from getting one million support that was championed by Teman Ahok, the transparent government, the obvious improvement, the clean campaign, the bravery he has for always attending the court hearing and now, even in his defeat, he is still a phenomenon that wins supports from all over Indonesia. If not for him, the flower power would never have happened and it's unlikely to happen genuinely anymore.

May be that's all there is for a man called Ahok. If he's not destined for another role in this republic, then it's for us to carry the torch and move on. And among us, there'll always be Denny, Birgaldo and many others who'll play their parts...

From the left: Birgaldo and Denny



  1. Tentang Ahok

Dua buku ini adalah tulisan tentang Ahok, sosok yang dicintai dan dibenci orang banyak. Buku-buku ini ditulis oleh dua orang berbeda dan dengan gaya yang berbeda pula. Denny dengan gaya satirnya yang termashyur, sedangkan Birgaldo dikenal sebagai penulis yang apa adanya, yang menulis berdasarkan pengamatannya di lapangan. Tulisan-tulisan mereka di media sosial dirangkum dan akhirnya dibukukan.

Gaya Denny enak dibaca. Seorang yang jujur dan berani mengungkapkan pemikirannya, Denny seringkali membuat pembaca tertawa lewat sindiran-sindirannya yang tajam. Birgaldo adalah seorang veteran yang telah berdiri tegak di jalan untuk membela apa yang benar menurut nuraninya. Cerita-ceritanya menyentuh dan saya menyukai apa yang dia ceritakan tentang Ahok dan kakak angkatnya. Jika ada kisah kasih sayang yang menembus batas warna kulit dan agama, itu adalah kisah inspirasional yang pantas untuk diceritakan.

Karena saya tinggal di Singapura, maka saya hanya bisa mendapatkan buku-buku ini lewat teman yang berdomisili di Jakarta. Dan sesuatu yang unik, yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, pun terjadi. Saya membaca karya Denny Desember lalu, di saat panasnya kasus penistaan agama yang menimpa Ahok. Akan halnya tulisan Birgaldo, buku ini baru saya terima dan selesai saya baca kemarin malam, lama setelah Ahok kalah di Pilkada. Rasanya seperti menerawang kembali untuk melihat sebuah harapan yang sirna. Apakah masih ada gunanya?

Setelah Pilkada, saya dan teman-teman berargumentasi tentang pertanyaan tersebut. Seorang teman berkata bahwa Ahok sungguh bodoh karena membela orang miskin. Setelah apa yang dia lakukan, tetap saja orang miskin terbujuk-rayu oleh pihak lain dan meninggalkannya. Yang lain pun berujar, populasi Tionghoa di Indonesia cuma lima persen, jadi bisa apa seorang Ahok? Seharusnya dia berbisnis dan cukup mencari uang saja.

Apa pun yang kita diskusikan, semua itu tidak mengubah kenyataan bahwa Ahok kalah di Pilkada. Bagi saya secara pribadi, pahit rasanya untuk menerima bahwa secercah harapan yang saya rasakan selama dua tahun ini akan dipadamkan begitu saja. Akan tetapi, seperti kata Ahok, kekuasaan itu Tuhan yang berikan dan Dia pula yang akan mengambilnya, jadi mungkin saja perannya memang hanya sampai di sini. Ahok bagaikan sebuah komet, yang beredar hanya sebentar untuk menunjukkan pada kita, bahwa yang rasanya tidak mungkin itu sebenarnya bisa dikerjakan. Dia mencapai begitu banyak untuk kita teladani, mulai dari dukungan satu juta KTP, pemerintahan yang transparan, peningkatan kualitas kerja, sarana dan lingkungan, kampanye yang bersih dan dibiayai oleh rakyat, ketaatan dan keberaniannya dalam menjalani persidangan dan sekarang, bahkan setelah kalah pun ia adalah fenomena yang memenangkan banyak dukungan dari seluruh Indonesia. Tidak pernah sebelumnya ada gerakan bunga yang spontan untuk seorang gubernur dan rasanya tidak akan ada lagi yang seperti ini.

Mungkin hanya itulah peran seorang Ahok: sebatas memberikan inspirasi dan teladan. Jika ia tidak lagi menjabat di Republik ini, tanggung jawab kita adalah melanjutkan apa yang sudah ia kerjakan. Di antara kita akan ada orang-orang seperti Denny dan Birgaldo yang akan memainkan perannya dalam mengawal bersama...

Saturday, April 29, 2017

About Dad

"The way your Dad speaks, it is as if he's not sick at all. I'm really inspired by it," said the young man to me in a muffled voice. I just arrived at the ward, not really knowing what that was all about, but I nodded and returned his smile. Then my Dad told me the who's who story. The young man on the right side of his bed was a policeman from Pekanbaru who suffered from some form of throat cancer, which explained why his voice sounded like that. On the left was an unconscious, bedridden man who used to do works related to liquid petroleum gas, which could be the reason why he was there on his bed now. A man with no wife and children, her sister took care of day and night.

Then I looked at the man who was allegedly so strong and firm, as declared by the young man next to him. He wasn't half the man he used to be. He was almost bald now due to the side effect of the medicine. He lost around 10kg drastically it made him look almost fragile. The light in his eyes was still shining bright, though. His smile and the tone of his voice also remained the same.

Dad has always been a fighter throughout his life. A tough man for himself, his family and his friends. But cancer wasn't like anything he had ever fought before. It almost broke my heart when he showed me a protruding tumor on his shoulder, which was even more visible now that he slimmed down quite a fair bit. That tumor was a sign of cancer eating him inside out, but if he took it in his stride, I'd put on my brave face, too.

Cancer was like the worst news ever. It wasn't exactly something that you knew how to immediately respond to. It was easier to pray that it was something else but, no, it wasn't. It was as real as it got. I was lucky that Dad, and especially Mum, could laugh about it, albeit bitterly. We let the reality sink in, then we did what we could to figure it out.

Those trying months were mentally and financially draining. We were asked to go through many procedures only to be told the doctors didn't know what that was all about. How frustrating. Eventually a senior doctor told us the verdict. Not exactly things we would like to hear, but at least it gave us the direction on what to do next. We went back to Indonesia, where progress was slow and things were done differently.

One day before the first chemo started, Dad called me and he sounded confused. "What was the doctor in Singapore telling us again? The doctor here said the cancer actually can't be cured."

When I heard that, I remember that the doctor conversed with me in English. I told Dad that I might have inadvertently left him out of important details such as this. Upon hearing that, Dad laughed and said, "that's alright. I just want to confirm."

I feel awful and relieved at the same time.

Months after that fateful phone call, there I was, accompanying him to go through the fourth cycle of his chemotherapy. Ever an optimistic person, he told me his plans to get back to work when this is over.  I ordered a good dinner for him as he disliked the tasteless hospital food. Just us, father and son. Then, as I sat with him, I remember the conversation I had with him after he finished his third cycle.

At that time, we were waiting at the hospital lobby for my friend Muliady The who was on his way to pick us up. There were many patients came and went, passing us by. I asked him how he felt after going through all this. He pondered a while and told me that when he first heard of it, he found the news unsettling. However, his point of view changed after he was admitted to the hospital. After he saw those who were in worse shapes than him, he thought what he went through was nothing as compared with others. He was thankful that he could still do things normally. As for death itself, everybody would die eventually, so what was there to worry about?

I smiled when I heard that. The way the hard truth was revealed to me, that was just very Dad. The young policeman was right. In the state he was in, Dad was still a fighter, inspiring all of us. It is a hell of a fight, this round, but we're half way there. We just have to carry on. We'll live to tell the story, that as dangerous as cancer ever was, it was not a battle that one couldn't win. Cancer is scary, but not to be afraid of. If cancer is ever anything in our life, it serves its purpose by giving us perspective that in this mortal life we live in, there are things that money can't buy: The time, the togetherness in our family, the support from friends, the laughter we had, the tears that we cried and, of course, the memories...

The man I would call Dad six years later. Dad in 1974.


Tentang Papa

"Waktu saya dengar Papamu ngomong, saya tidak menyangka dia juga pasien di sini. Suaranya bersemangat, saya terinspirasi untuk sembuh jadinya," ucap pria muda dengan suara samar tatkala melihat saya. Berhubung saya baru tiba di kamar pasien dan tidak tahu-menahu apa maksudnya, saya hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Setelah gorden ditutup kembali, Papa lantas bercerita tentang pasien-pasien yang sekamar dengannya. Pemuda itu adalah seorang polisi dari Pekanbaru yang menderita semacam kanker tenggorokan yang mungkin telah menyerang pita suaranya sehingga ucapannya susah didengar. Di sebelah kirinya adalah pengidap kanker yang sering kali tak sadarkan diri dan senantiasa tidur di ranjang. Pria yang sudah berumur ini dulunya seorang pekerja di bidang yang berkaitan dengan tabung gas Elpiji, yang mungkin saja menjadi penyebab kenapa dia tergeletak tak berdaya sekarang. Pria ini tidak memiliki istri dan anak. Kakaknya berjaga di situ, siang dan malam.

Kemudian saya menatap pria di hadapan saya, yang disinyalir penuh semangat, seperti yang dinyatakan oleh tetangganya yang lebih muda. Papa tidak lagi sama seperti dulu. Rambutnya hampir rontok semua akibat kemo. Berat badannya pun turun hampir 10kg, membuatnya nyaris terlihat ringkih. Akan tetap sinar matanya masih tetap sama. Demikian juga senyum dan suaranya.

Papa sedari dulu adalah seorang petarung. Dia adalah seorang pria tangguh, baik untuk dirinya, untuk keluarganya, maupun untuk teman-temannya. Mengingat semua itu, sangat mengenaskan rasanya bila melihat kondisinya sekarang. Pedih rasanya hati ketika ia memperlihatkan tonjolan di bahunya yang kini terlihat jelas karena berat badannya berkurang drastis. Tumor itu adalah bukti bagaimana kanker itu menggerogotinya dari dalam. Kendati begitu, jika dia tabah melewatinya, maka saya pun tidak akan terlalu terbawa emosi.

Kanker memang sebuah berita buruk, begitu buruknya sehingga kita tidak tahu bagaimana merespon berita seperti ini. Akan lebih gampang jika kita berdoa dan berharap bahwa berita ini salah, tapi sayangnya tidak ada yang berubah. Realita itu sungguh nyata. Yang bisa kita lakukan ada bersikap menerima dan ketika kenyataan itu mulai bisa diterima, kita pun berusaha sedaya upaya. Saya beruntung bahwa Papa, dan juga Mama, bisa tetap tegar dan tertawa, betapa pun pahitnya tawa tersebut.

Dan bulan-bulan setelah vonis kanker tidaklah mudah, baik dari segi tanggungan mental dan juga biaya. Setelah Kuching, kita berobat di Singapura. Setiap kali kita memiliki sedikit harapan setelah menjalani prosedur yang dianjurkan dokter, di kali itu pula kita dihadapkan pada jalan buntu. Dokter ini tidak mengerti dan mereferensikan kita untuk bertemu dokter lain yang kemudian menganjurkan prosedur medis lainnya. Siklus seperti ini terus bergulir, sampai akhirnya satu dokter senior membeberkan hasil diagnosanya dan menjelaskan pilihan yang ada. Kita akhirnya dianjurkan untuk kembali ke Indonesia dan menjalani kemoterapi di sana, sebab obatnya sama dan akan lebih murah biayanya.

Suatu hari sebelum kemo pertama dimulai, Papa menelepon dan bertanya dalam nada bingung. "Masih ingat apa penjelasan dokter Singapura? Dokter Noor berkata bahwa Papa tidak memiliki peluang untuk sembuh sepenuhnya meski menjalani kemoterapi."

Ketika saya mendengar pertanyaan itu, saya langsung teringat kalau percakapan dengan dokter di Singapura berlangsung dalam bahasa Inggris. Saya hanya bisa berucap bahwa sepertinya ada penjelasan yang terlewatkan secara tidak sengaja dan saya mohon maaf. Papa hanya tertawa dan berkata kalau ia menelepon hanya untuk memastikan tidak ada kekeliruan di sini.

Berbulan-bulan setelah percakapan tersebut, di situlah saya berada, menemani Papa untuk menjalani kemoterapinya untuk kali keempat. Dia bercerita tentang banyak hal, tentang masa mudanya dan rencananya untuk kembali bekerja setelah kemoterapi selesai. Saya pesankan dia makan malam yang lezat karena dia tidak suka makanan rumah sakit yang tawar rasanya. Hanya kita berdua di malam itu, ayah dan anak. Sambil mendengarkan dia bercerita, saya pun menerawang kembali ke hari di mana kita berdiri lobi rumah sakit setelah kemo ketiga selesai.

Di kala itu kita menunggu seorang teman yang datang menjemput. Banyak pasien berlalu-lalang melewati kita. Saya pun bertanya, apa yang ia rasakan setelah menjalani semua ini. Ia berpikir sejenak, lalu menuturkan bahwa ia serasa tidak percaya saat divonis mengidap kanker. Perasaannya bercampur-aduk, tapi semua itu sirna ketika dia menjalani kemoterapi di rumah sakit. Setelah menyaksikan begitu banyak penderita kanker yang lebih parah kondisinya, dia bersyukur bahwa apa yang ia alami tidaklah menghentikannya untuk tetap beraktivitas seperti biasa. Tentang kematian, pada akhirnya semua orang akan meninggal, jadi kenapa mesti dikhawatirkan?

Saya tersenyum mendengar penuturannya. Kenyataan itu diutarakan dengan lugas dan apa adanya, sesuatu yang mengingatkan saya kembali bahwa seperti itulah karakter Papa. Polisi muda itu benar. Dalam kondisinya yang seperti ini, Papa tetaplah seorang petarung yang menginspirasi kita semua. Pertarungan kali ini adalah yang paling sulit, tapi kita sudah separuh jalan dan kita akan melanjutkannya sampai selesai. Setelah itu kita akan bercerita, walaupun kanker itu berbahaya, penyakit itu bukannya tidak bisa dikalahkan. Kanker memang menakutkan, tapi tidaklah menjadi alasan untuk kehilangan semangat hidup. Jika ada makna kanker dalam hidup ini, maka kanker adalah peringatan bagi kita bahwa di dalam kehidupan yang fana ini, ada hal-hal yang tidak tergantikan oleh uang: waktu, kebersamaan dalam keluarga, dukungan dari teman, canda, tawa dan air mata, dan tentu saja kenangan demi kenangan yang pernah kita alami...

Negara Impian Yang Belum Menjadi Kenyataan

Negara impianku
Politisi bersih dan melayani
Bersih tanpa korupsi
melayani tanpa pamrih

Namun negara impianku masih jauh
Jauh dari harapan yang menjadi impian
Sebagian besar politisi memang bersih
Tapi hanya bersih pakaian berdasi
Namun penuh dengan korupsi

Negara impianku
Ketika seorang politisi bersih tanpa korupsi
Berjuang melawan arus korupsi
Namun disiksa dan dicaci
Oleh ribuan politisi yang merasa risih
Karena ladang korupsi tereliminasi

Dewan yang terhormat
Menggadaikan kehormatan demi bersenang-senang
Dewan namun mengganggap diri mereka dewa
berkoar-koar atas nama rakyat, tapi menuduh dan menipu
Bahkan rela membunuh hanya untuk menjaga agar korupsi tetap utuh

Negara impianku
Walau pun masih jauh, entah di mana dan kapan
Namun optimis menhampiri karena lahir politisi-politisi bersih
Walaupun difitnah dan dicaci
Mereka dengan kepala tegak tetap berdiri

Banyak politisi mengaku dirinya bersih
Namun saat dipanggil polisi
Malah terkencing-kencing bersembunyi
Saat di jalan, suara paling lantang
Berteriak kayak Satria Baja Hitam
Tapi hanya otaknya yang hitam legam

Politisi yang bersih
Saat masalah menghampiri
Dia tanpa takut datang menghadapi
Namun politisi yang mengaku bersih
Saat masalah menghampiri
Ribuan alasan dan siasat dibuat untuk menghindari

Ketika politisi bersih dihargai rakyatnya sendiri
Politisi yang mengaku bersih mulai merasa risih
Karangan bunga nan indah
Difitnah berasal dari sanak saudara
Memang kenyataan rakyatnya dianggap saudara
Tidak seperti politisi yang mengaku bersih
Atas nama rakyat selalu berkata
nNmun kita tidak tahu atas nama rakyat yang mana

Negara impianku
Pilihlah politisi yang otaknya pas berada di tempatnya
Bukan politisi yang otaknya terletak di pantatnya
Tercampur tahi keluar lewat kata-kata
Pasti bau busuk tak tertahankan

Mereka yang berkisah lewat bunga
Image credit: kompas.com






Thursday, April 27, 2017

The ASEAN Tour: Thailand

If you come from Indonesia and the only countries you already visited are Malaysia and Singapore, then Thailand surely feels different. The culture, the food, how smiley the people are and their unique greeting of sawadee krap/ka, the combination of all these form a whole package of experience that feels alien and yet very welcoming. That's how charming Thailand is.

My first taste of Thailand was Bangkok. From the moment we landed, I must say I was impressed. The airport was much better than Soekarno-Hatta in Jakarta and they even had a railway that linked to the city! Bangkok already had a train system called BTS 10 years ago whereas we are still trying to build one in Jakarta today. The water transportation had also been effectively used then. The traffic jam was bad, but nothing if compared with Jakarta (and if this was called winning, then I didn't feel proud about it). I remember coming up with a pecking order, albeit begrudgingly, that in Southeast Asia, Singapore was right on the top, followed Kuala Lumpur, Bangkok and then Jakarta.

At the Thai massage parlour, as recommended by Mr. Bank, our Teochew speaking guide
From the left: Andy, Markus, Yours Truly, a guy called Jetstar, Endrico, some other guy, Setia

The first trip to Bangkok that I had with my then-housemates, Alfan, Sudarpo and Markus, was kind of weird but memorable, because we toured the city at the back of a lorry. Markus had a friend or two there and that was how we ended up on the vehicle. We visited the Chinatown as well and on the next day, as part of the package deal (Markus purchased our ticket from a travel agency), we had a boat ride cruising the Chao Praya river for half a day, a feat we would repeat four years later. I also remember going to Chatuchak area, the one and only time I ever visited the bustling weekend market. Once in a lifetime of madness swirling around me is more than enough, I reckon!

Bangkok is lively and very relax at the same time, but don't be fooled by it! I had this very interesting experience where my Malaysian friend and I fell for the elaborate scams. In hindsight, I think it was very well played: we bumped into random people in front of Central World Mall and they told us about some sort of celebration happening at Lucky Buddha temple. After few encounters, the event caught our attention and we were led into one of the tuk-tuks nearby. The ride to the temple was as cheap as 20 baht. It was, as we were informed, a discounted price in honor of that day's celebration. When we reached there, we looked around because the temple actually seemed rather quiet. After exploring here and there, we met a Thai guy who said he had stayed in Singapore for a while and, once he finished describing about Ang Mo Kio, he told us that he just made a fortune by purchasing sapphires at a very low price. Then we were driven to Yindee Lapidary, a jewelry store, where an honest looking elderly woman patiently answered our questions while making her sales pitch. By the end of it, my friend bought two and out of solidarity (and greed), I bought one, too.

The scene at Yindee Lapidary.
Photo by Benny.

I remember laughing bitterly at my stupidity in Jakarta when I was told that apart from the gold plated ring, the jewelry was worthless. I thought of it as a life lesson, but my friend was clearly pissed. He made an effort to file a complaint at the Thai Embassy in Singapore and his hard work paid off. He told me and I followed suit. Eventually, thanks to the swift action taken by Thai government, both of us were fully reimbursed for the losses we suffered. In a way, we were actually being conned for free, a rare turn of event that allowed us to laugh after being bluffed! When I saw the jewelry shop Yindee Lapidary appearing at the background in the movie Hangover 2 less than a year later, I couldn't help texting my friend just to remind him of the old time sake. Oh, who am I kidding? I just loved to hear him cursing about it.

Anyway, that self-inflicted unfortunate event aside, Bangkok is always fun. I went back again a year after the jewelry fiasco, again with Markus and some other friends such as Endrico and Setia, with the same old arrangement made by Markus. This time we had a Teochew speaking tour guide, a very funny fellow who showed us around. At night, we went for a drink or two. As Bangkok is known for its nightlife, we went to watch the Thai Girl show, too. It was... unusual. Definitely not for the faint-hearted.

Setia and Andy, after the drinking session.
Photo by Endrico.

The last time I went there was for the Standard Chartered Marathon event. My father-in-law was a keen participant and he would have opted for a full marathon, but as I was traumatized by the long wait that I had during his last run, I registered him only for the half marathon. He was a bit upset by the fact that the medallion was given immediately, together with other goodies that we collected before the run. He expected to receive it at the finish line. Nevertheless, being a good sportsman he was, he participated and finished it. For all I know, he could be the only 72 years old man from Tasikmalaya who ever ran in Bangkok Marathon 2013, so it must be an achievement by itself.

As fun as Bangkok was and will ever be, it is just one of many cities in Thailand. Let's not forget that it is a big country with a lot of destination one can go to. I was in Nong Khai, the Thai border just next to Mekong river, as I traveled from Vientiane to Bangkok. I also went to Hat Yai, a city felt less Thai than any other places I went before. It was more like a town in Malaysia for the fact that I could hear people speaking Hokkien language there. It was also very uncomfortable to have people on the street asking if we would like to pick up girls, as Hat Yai was notorious for such indulgence.

Benny, aiming for the right angle to capture the elephant.

I had better memories about Phuket, thanks to its laid-back atmosphere. My wife and I stayed at Millennium Hotel that had a direct access to the adjacent shopping mall, Jungceylon. It was real nice, very encouraging for us to do exactly nothing, haha. If you've been to Bali, what Phuket offers is like the subset of Bali's attractions, with its exception of Simon Cabaret. We also took a two or three hours ferry ride to a nearby island, Ko Phi Phi. Those who love corals can do snorkeling here. Personally, if there was one thing about Phuket that I remember well, it must be the tsunami signage. It was like a reminder that tsunami happened before and was really an act of God that one didn't want to mess with. Scary, indeed.

Overall, Thailand is a very recommended place to be. The tourist spots are aplenty, the people and the food (from pineapple rice, tom yum soup, pork basil rice, pad thai to the rich and tasty Thai ice tea) are good, but most importantly, it is budget friendly...

Nuryani, as we headed to Ko Phi Phi.


Tur ASEAN: Thailand

Jika anda datang dari Indonesia dan negara-negara asing yang baru anda kunjungi hanyalah Malaysia dan Singapore, maka Thailand akan terasa sangat unik. Budayanya, makanannya, orang-orangnya yang penuh senyum dan sapaan sawadee krap/ka yang unik, kombinasi dari semua ini membentuk sebuah pengalaman yang terasa berbeda namun ramah. Itulah pesona Thailand. 

Kesan pertama saya tentang Thailand adalah Bangkok. Di tahun 2007, bandaranya jauh lebih bagus daripada Soekarno-Hatta di Jakarta dan mereka bahkan memiliki jalur kereta menuju kota! Bangkok juga sudah memiliki sistem transportasi kereta yang disebut BTS (kurang lebih sama seperti MRT di Singapura) sejak 10 tahun yang lalu, sedangkan kita masih sibuk membangun sarana yang sama hari ini di Jakarta. Metode angkutan sungai juga sudah digunakan dengan efektif oleh mereka. Macetnya Bangkok cukup parah, namun tidak seburuk di Jakarta. Saya ingat bahwa saya pernah membuat urutan kota-kota termaju di Asia Tenggara: Singapura jelas duduk di urutan pertama, kemudian disusul oleh Kuala Lumpur, Bangkok dan barulah Jakarta.

Dari kiri: Setia, Anthony, Andy dan Soedjoko, saat menyeberangi Chao Praya.
Foto oleh Endrico.

Perjalanan pertama ke Bangkok saya lakukan bersama teman-teman serumah saat itu: Alfan, Markus dan Sudarpo. Petualangan perdana itu agak aneh, namun akan senantiasa diingat, sebab kita tur keliling kota dengan cara duduk di belakang lori. Markus memiliki teman yang bekerja di sana dan saat mereka datang menjemput, kita pun diangkut di bak mobil ke sana kemari, termasuk singgah di Pecinan. Keesokan harinya, sebagai bagian dari paket yang dibeli oleh Markus dari agen perjalanan di Singapura, kita mendapat tur sungai Chao Praya selama setengah hari. Kita juga mampir ke pasar Chatuchak, sekali-kalinya saya pernah mengunjungi tempat yang luar biasa sibuknya ini. Cukup sekali saja dalam seumur hidup, saya kira!

Bangkok adalah kota yang hidup dan juga bernuansa santai, tapi jangan sampai pernah anda terlena oleh suasana ini. Saya mengalami satu kejadian menarik dimana saya dan rekan Malaysia saya terkecoh oleh penipuan yang sangat terencana. Kalau saya lihat kembali, prosesnya dilakoni dengan sempurna. Di tengah keramaian di depan Mal Central World, kita bertemu dengan berbagai orang yang memberitahukan bahwa waktu itu sedang berlangsung festival di kuil Lucky Buddha. Setelah mendengarkan hal yang sama berulang kali, kita pun berpikir bahwa mungkin kita perlu melihat-lihat ke sana. Karena kita tampak berminat, orang yang kita jumpai ini pun mengantarkan kita ke pangkalan tuk-tuk. Perjalanan yang cukup jauh ini cuma seharga 20 baht. Katanya ini adalah harga diskon di hari festival. Tatkala kita tiba, kuilnya terasa agak sepi. Setelah mengitari kuil tersebut, kita bertemu seorang pria Thai yang bercerita bahwa dia juga tinggal di Singapura dan, setelah dia bercerita tentang kawasan Ang Mo Kio di Singapura, dia berujar bahwa dia baru saja untung besar karena membeli batu safir dengan harga yang murah. Kemudian dia mengatakan kepada supir tuk-tuk untuk membawa kita ke Yindee Lapidary, sebuah toko perhiasan, dimana seorang ibu-ibu tua yang ramah dengan sabar menjawab pertanyaan kami sambil menawarkan berbagai perhiasan. Pada akhirnya, teman saya membeli dua dan sebagai wujud solidaritas (dan rasa tamak), saya juga membeli satu.

Benny di depan Mal Central World, sesaat sebelum kita ditipu.

Saya ingat bahwa saya tertawa pahit di Jakarta saat pegawai di toko perhiasan memberitahukan saya bahwa selain cincinnya yang disepuh emas, batu safir itu sebenarnya hanyalah kaca. Saya sempat berpikir bahwa ini adalah pelajaran agar jangan serakah dalam hidup, tapi teman saya benar-benar emosi. Dia melaporkan penipuan ini ke kedutaan besar Thailand di Singapura dan upayanya membuahkan hasil. Saya pun mengikuti caranya. Berkat kesigapan pemerintah Thailand, kita mendapatkan pengembalian sepenuhnya dari harga yang kita bayar, yakni sekitar SGD 1.000 per cincin. Dengan kata lain, kita ditipu secara gratis sehingga mendapatkan pengalaman, tetapi tidak rugi secara finansial. Ketika saya melihat toko Yindee Lapidary muncul di latar belakang film Hangover 2 kurang dari setahun kemudian, saya segera mengirimkan SMS pada teman saya untuk mengingatkannya tentang kejadian tersebut. Dan dia langsung mengumpat, haha. 

Selain kasus yang kurang menyenangkan itu, kunjungan Bangkok selalu terasa asyik. Saya kembali lagi di tahun berikutnya bersama Markus, Endrico, Setia dan teman-teman lain dengan paket kunjungan serupa yang diatur oleh Markus. Kali ini kita mendapatkan pemandu wisata yang bisa berbahasa Teochew. Orangnya cukup jenaka. Di malam hari, kita sempat pergi minum hingga hari menjelang pagi. Karena Bangkok terkenal dengan kehidupan malamnya, kita mampir untuk menyaksikan Thai Girl Show. Ini bukanlah pertunjukan biasa. Mungkin tidak cocok bagi yang belum siap.

Bapak mertua mencapai garis finish.

Terakhir kali saya ke Bangkok adalah untuk acara Standard Chartered Marathon. Ayah mertua saya adalah seorang pelari yang antusias dan dia suka maraton, tapi setelah penantian yang lama di depan garis finish maraton Singapura, saya jadi agak trauma untuk membantunya mendaftar maraton 42km lagi. Sebagai gantinya, saya hanya mendaftarkannya untuk setengah maraton. Dia agak kecewa karena medalinya sudah dibagikan saat pengambilan kaos, namun sebagai orang yang sportif, dia tetap mengikuti lomba maraton hingga selesai. Setahu saya, dia adalah satu-satunya pria berumur 72 tahun asal Tasikmalaya yang menjadi peserta maraton Bangkok di tahun 2013, jadi itu harusnya menjadi prestasi tersendiri, hehe. 

Bangkok bukanlah satu-satunya tempat tujuan wisata di Thailand. Jangan lupa bahwa Thailand adalah negara yang cukup besar. Saya berada di Nong Khai, perbatasan Thailand dan Laos yang berada tepat di sebelah sungai Mekong saat saya menempuh perjalanan kereta dari Vientiane ke Bangkok. Saya juga sempat mampir ke Hat Yai, kota yang kurang terasa seperti Thailand karena budayanya yang bercampur Hokkien. Kota ini terletak di dekat perbatasan Malaysia sehingga banyak orang berbahasa Hokkien di sana. Selain itu, banyak orang di tepi jalan yang menawarkan gadis penghibur karena Hat Yai memang terkenal dengan hal yang satu ini.

Sarapan pagi di Millennium Hotel.
Foto oleh Nuryani.

Saya memiliki kenangan yang lebih menyenangkan di Phuket. Istri dan saya tinggal di Millennium Hotel yang memiliki akses langsung ke Mal Jungceylon yang berada di sebelahnya. Suasananya sangat santai, cocok untuk bermalas-malasan. Jika anda pernah ke Bali, Phuket menawarkan wisata yang kurang lebih sama dengan pengecualian Simon Cabaret yang menampilkan pertunjukan banci. Kita juga menyeberang ke Ko Phi Phi yang bisa ditempuh dalam waktu dua atau tiga jam. Mereka yang menyukai terumbu karang bisa menyelam di sini. Secara pribadi, jika ada yang saya ingat betul, maka itu adalah penanda jalan untuk bencana tsunami. Saat melihat rambu di tepi jalan, saya langsung membayangkan betapa mengerikannya bila diterpa ombak yang sedemikian tinggi.

Secara kesuluruhan, Thailand adalah tempat yang layak direkomendasikan. Orangnya ramah, dan makanannya, mulai dari nasi goreng nenas, sup tom yam, nasi basil dan daging babi, pad thai dan es teh Thailand, enak semua. Tapi yang paling penting adalah betapa harganya ramah terhadap uang di saku, haha...

Bersama Nuryani dan Linda di Bangkok.