Total Pageviews

Translate

Monday, September 18, 2017

The Dancer

When I wrote about the musicals, I mentioned that the culture of Pontianak people mainly evolved around local cuisines. Anything else was either secondary or unheard of, therefore I was curious about how this friend of mine ended up doing something as exotic as belly dancing. I mean, it was a tradition from Middle East, a land faraway from Pontianak, where it had names that sounded as alien as they could be, such as Raqs Baladi or Raqs Sharqi. How on earth that my friend Lianna became a belly dancer?

I had a chat with her and was informed that she has always been passionate about dancing. She loved it since she was very young and when she was in kindergarten, she performed with fellow students Wiwi and Lilies at the church. They dressed up as white flowers and did a dance with butterfly theme. Years later, she also participated in the high school graduation party. Things were quiet down afterwards, especially when marriage and kids came along, but her lifelong passion kept burning inside. Then one fine day, when she could already afford me-time, the long lost rhythm found her again.

It started as another day in Kuching, the city where she lived in. Lianna was at a gathering with friends when one of them responded to the music with some interesting move that attracted her attention. "It was called shoulder shimmy," said her friend when she asked, "one of the moves in belly dancing." This eventually led her to a free trial class, to a dance studio called Right Steps and left her with excruciating hip pain when she woke up the next day. Nevertheless, the excitement lingered. She would come back for more to learn belly dancing.

The belly dancer.

For Lianna, belly dancing as an exercise helped to shape her body and relieve stress. It also built up her confidence. With revealing costumes and what perceived as seductive moves, belly dancing was easily misunderstood. People often forgot that it was an art form with punishing moves of shoulder thrusting and hip shaking. It took a lot of hard work to master a series of breathing techniques, steps and moves such as hip shimmy, undulation or chest slide (go check it out on YouTube and tell me what you think, because I did exactly that and immediately gave up just by watching it). For the fact that she could do that difficult moves, she had all the rights to be confident.

People progressed when they did the things they liked, because the hobbies didn't feel like chores. In Lianna's case, she practiced her dance routinely. She even did it at home, in front of the mirror of her dressing table. She entered a competition or two afterwards. The first time she did that, she was so nervous that she was even struggling to smile naturally before the audience. She got better, of course. She also joined another competition in KL, this time with a group called Hidden Spirit. Other highlights of her career included the mother and daughter performance. Yes, her daughter began practicing when she was six years old and few years later, she rocked the stage with her mother!

It's been six years since Lianna first took up her lesson. She is now a co-instructor at Soul Dance Studio, teaching level two for adults and kids (by the way, just for our information here, the masculine form of belly dancing actually exists for men). Meanwhile, the landscape in Kuching is changing slowly. It is better than few years ago, but it is still long way to go for belly dancing to be fully appreciated as an art form. It's worse in Pontianak, her hometown, where she performed once before to a lukewarm reception. Belly dancing is still something that is frowned upon in Pontianak and Kuching, but Lianna is feeling optimistic that the next generation should be able to accept it. While waiting for the day to come, she'll carry on dancing, pursuing her lifelong passion...

Performing on stage.

Sang Penari 

Ketika saya menulis tentang drama musikal, saya menyinggung tentang budaya Pontianak yang tidak jauh dari makanan lokal, seakan-akan hal lain adalah nomor dua atau bahkan tidak pernah terdengar sama sekali. Oleh karena itu, saya sungguh penasaran, bagaimana teman sekolah saya yang satu ini bisa ikut serta dalam tari perut yang eksotis? Ini 'kan tradisi Timur Tengah, tempat yang jauh sekali dari Pontianak, dimana tarian ini memiliki berbagai nama yang asing bagi telinga kita, seperti Raqs Baladi atau Raqs Sharqi. Bagaimana ceritanya teman saya Lianna bisa menjadi penari perut?

Saya lantas chatting dengannya dan baru saya ketahui bahwa dari dulu dia memang senang menari. Dia menggemari hobi ini dari sejak kecil dan sewaktu di TK, dia pernah tampil bersama di gereja bersama Wiwi dan Lilies, teman-teman sekolahnya. Di kala itu, mereka mengenakan kostum bunga dan membawakan tarian bertajuk kupu-kupu. Bertahun-tahun kemudian, Lianna juga berpartisipasi dalam pesta perpisahan SMA. Aktivitas yang ia sukai ini bagaikan berakhir setelah ia memulai kehidupan di Kuching dan sibuk dengan pernikahan serta anak-anak. Kendati begitu, keinginan untuk menari tidak pernah sirna dari dalam hatinya. Suatu ketika, setelah terbiasa dengan perannya sebagai seorang istri dan ibu sehingga bisa menyisihkan waktu luang untuk dirinya sendiri, ia menemukan kembali sesuatu yang hilang dalam hidupnya. 

Semuanya bermula seperti layaknya hari biasa di Kuching, tempat dimana Lianna tinggal dan berumah tangga sekarang. Dia sedang berkumpul dengan teman-temannya ketika salah satu dari mereka tiba-tiba melakukan satu gerakan bahu mengikuti irama musik. Hal ini menarik perhatiannya dan ia lalu bertanya. "Ini namanya shoulder shimmy," jawab temannya, "salah satu gerakan dalam tari perut." Percakapan ini lantas berlanjut dengan satu kelas uji coba gratis dan juga membawanya sanggar tari bernama Right Steps serta menyisakan pinggang yang pegal keesokan harinya. Namun Lianna menyukainya. Dari situlah ia mulai menekuni tari perut. 

Bagi Lianna, tari perut adalah olahraga yang bermanfaat dalam membentuk badan dan menghilangkan stress. Aktivitas ini juga memberikan rasa percaya. Memang, dikarenakan oleh kostum yang terbuka dan gerak tari yang  gampang disalahpahami sebagai gerakan menggoda, banyak orang awam yang gagal paham tentang tari perut. Seringkali orang lupa bahwa tari perut adalah seni dalam wujud tarian rumit yang mengandalkan gerakan bahu dan pinggul. Sang penari perlu berlatih keras untuk menguasai pernapasan, langkah dan gerakan tari perut seperti hip shimmy, undulation atau chest slide (coba liat di YouTube dan baru berikan komentar sesudah itu, karena saya sendiri sudah cek dan langsung menyerah begitu menyaksikan gerakan-gerakan tersebut). Masuk akal rasanya bila Lianna tambah percaya diri karena kemampuannya dalam menari.

Orang cenderung lebih cepat maju dalam bidang yang mereka sukai, sebab tidak terasa seperti pekerjaan. Sama halnya dengan Lianna, dia berlatih secara rutin karena berminat. Dia bahkan berlatih di rumah, di depan meja rias, untuk memperhatikan pantulan gerakannya. Setelah mantap, dia pun ikut serta dalam kompetisi. Pertama kali dia berlomba, dia bahkan perlu berjuang untuk tersenyum secara alami karena terlampau gugup. Lama-kelamaan Lianna pun terbiasa. Dia juga pernah turut berpartisipasi dalam lomba di Kuala Lumpur, kali ini bersama grup yang bernama Hidden Spirit. Kenangan lain dalam tampil di atas panggung adalah saat ia pentas bersama putrinya. Ya, putrinya mulai berlatih saat umur enam tahun dan beberapa tahun kemudian, ia menari di depan penonton bersama ibunya!

Tidak terasa sudah enam tahun berlalu sejak Lianna mulai berkecimpung dalam seni tari perut. Sekarang dia adalah salah satu instruktur di Soul Dance Studio, membimbing baik dewasa maupun anak-anak dalam level dua tari perut. Sementara itu, dunia tari perut pun perlahan-lahan berubah. Di Kuching, seni ini mulai mendapat tanggapan yang lebih baik, walau mungkin masih butuh waktu lama sebelum tari perut dianggap sebagai bagian dari budaya dan hiburan lokal. Di Pontianak, tempat kelahirannya sekaligus tempat dimana dia pernah tampil sekali di hadapan publik, masih belum siap untuk menerima seni ini. Singkat kata, tari perut bisa dikatakan masih membuat banyak orang berkerut dahi karena terlalu seksi untuk dikonsumsi massa, namun Lianna percaya bahwa generasi muda akan lebih bersikap positif dan menerima. Sambil menunggu tibanya hari tersebut, Lianna akan tetap menari, mengikuti kata hati dan hobinya...

Sang Penari.



Friday, September 15, 2017

The Man Without Fear

I've known Jimmy for easily three decades. We were friends since primary school or perhaps earlier than that. We were never that close, but when we kept in touch, it always felt like we just saw each other yesterday.

Jimmy was always the odd one out, but in a very positive way. When we were kids, he stood out among the rest of us as this charming, small size kid. He was always true to his words and had a strong moral compass, but never an uptight person. Skinny though he was, bullies feared him and we admired him.

We crossed path in many stages of life. When we were kids, Jimmy walked out after a racial slur and we followed him immediately. In retrospect, it was rather cool. We were still so young then, growing up in a place where discrimination was rampant, and here was one boy who knew he didn't have to take no shit when insulted and underestimated by this non-Chinese boy. He was brave enough to stand up against it. Hell, it was actually a miracle that he didn't beat him there and then.

My first lesson about karma involved Jimmy as well. Though we weren't in the same secondary school, I took the English course in a tuition centre opened by his elder brother. One day, when I stepped out from the building (that was actually his house), there Jimmy and his bicycle were, on a dry patch of a dirty ditch. I proceeded to make fun of him, but I tripped and soon fell into the blackish and smelly water. Instant Karma! So who had the last laugh?

From the left: Rudy, Jimmy, Setia, Endrico and Yours Truly. 

As we grew up, we again went to the same school. During the last year in high school, we were in the same class. We used to go for siew mai at night and we had this unforgettable Temajoh trip together, alright, but what impressed me the most was how well his school results were. Jimmy always struck me as a street-smart kind of student, not the academically inclined, but I seem to recall that he had this conversation with one of the teachers and was challenged to do better. That was when he made a leap that surprised everybody, especially me, because he did it better than me, a top ten student! I was really humbled by the experience.

We parted ways after graduation, but I heard about him from time to time through our mutual friend, Endrico. He beat the hell out of a black belt in Kuching during his college days. He gambled all his money that was meant for his college fund. He ran away only to realize that he couldn't run away from himself, so he went back to face his elder brother and repent. He started over since then, built his business and got married. Then we got reacquainted again in 2013, when we visited Surabaya. He was the same old friend, a very easy going one, and he immediately brought us to Malang and Batu, even though his baby was only few days old then, haha. Oh, it was also during this trip that we learnt about his death-defying act: he won a bet by jumping into a crocodile farm in Kuching!

Jimmy and I grew closer again after Whatsapp came into existence, allowing us to have the alumni chat group. He would say his piece of mind that might sound arrogant to those who didn't know him well. But trust me, he was like one of the nicest weird guy around. The chatting platform was not built to convey the emotion properly, so inarticulate people would sound ruthless sometimes due to the poor choices of words.

Recently he approached me for some IT matter. He was doing some freight transportation business and was keen to have a website. After recruiting Setia for an extra pair of hands and brain, we explored Shopify and decided to go with it because Jimmy might bring his business online one day (although, on the second thought, we may need to move it to wix.com for cost saving reason until he's ready to go online). The two of us then worked on Jimmy's simple requirement. I had no idea why Setia chose that particular theme, but I liked the clean look that reminded me of apple.com. After two years, the owner decided to shut it down, haha.

Anyway, Jimmy once said that if all friends, each with our own special skill, can work together and help each other, imagine what sort of business we can do. I only smiled when I heard that. I thought it was a utopian dream for an ideal world, because in reality, with so much egos in the room, we would have been busy killing each other before we ever achieved anything. But I was wrong and he was right. With the right mindset and integrity, indeed we could make things work. The way I look at it, he got his website and and we had a chance or two to try out something new. I also learnt that in life, if we can set aside our differences as well as be sincere and committed without asking anything in return, life itself will bring you to an uncharted territory through a rewarding experience...

A night at the race in Batu, 2013.


Pria Pemberani Bernama Jimmy

Saya sudah kenal Jimmy tiga puluh tahun lamanya. Kita berteman sejak SD atau mungkin bahkan sejak TK. Sebagai teman, kita tidak pernah terlalu akrab, tapi setiap kali berkumpul lagi, rasanya seperti baru bertemu kemarin.

Jimmy memiliki karakter yang aneh, tapi dalam arti positif. Ketika kita masih kanak-kanak, dia sudah berbeda sendiri. Dia jujur dalam berkata dan memiliki pandangan moral yang tegas, tapi luwes dalam menghadapi orang. Walau kurus dan tergolong kecil, dia disegani anak-anak nakal dan dikagumi oleh kita yang tipe pelajar.

Jimmy dan saya berulang kali berpapasan dalam berbagai jenjang kehidupan. Sewaktu SD, dia pernah meninggalkan suatu acara karena tidak terima dengan perlakuan berbau SARA. Saya dan seorang teman pun mengikutinya. Kalau dipikirkan lagi, itu sungguh pengalaman yang unik. Kita masih sangat muda ketika itu dan tumbuh di lingkungan yang sangat diskriminatif terhadap Tionghoa, namun bocah yang satu ini sejak dini sudah menyadari bahwa dia tidak harus menerima perlakuan yang menghina dan semena-mena dari anak non-Tionghoa. Dia juga berani menentang semua ini. Sungguh keajaiban bahwa dia bisa menahan diri untuk tidak menghajar anak yang membuat masalah itu.

Pelajaran saya yang pertama tentang karma juga melibatkan Jimmy. Walau kita tidak bersekolah di SMP yang sama, saya kursus bahasa Inggris di tempat kursus yang dibuka oleh abangnya. Suatu hari, saat saya melangkah keluar dari rumah Jimmy, saya melihatnya sedang berusaha mengeluarkan sepedanya dari tanah kering di parit. Karena memang watak saya yang iseng, saya tertawa dan mulai mengejeknya. Akan tetapi saya tidak melihat ke mana saya melangkah, akibatnya saya tersandung dan jatuh sendiri ke dalam parit yang berair hitam dan berbau busuk. Jadi siapa yang tertawa paling akhir?

Di Selecta, 2013.
From the left: Yours Truly, Alfan, Setia and Jimmy.

Di masa SMA, sekali lagi kita memasuki sekolah yang sama. Kita bahkan sekelas di kelas tiga. Kadang kita pergi makan malam bersama, masing-masing menyantap semangkok bakso dan sepuluh atau dua puluh biji siomai Acin. Kita juga bertualang bersama ke pulau Temajoh yang tidak terlupakan. Kendati begitu, jika ada satu hal yang betul-betul membuat saya terkesan tentang Jimmy di masa SMA ini adalah hasil ujian akhirnya. Saya selalu mengira bahwa Jimmy adalah tipe murid yang selalu bisa meloloskan diri dari masalah, tetapi biasa-biasa saja dalam segi pendidikan. Kalau saya tidak salah ingat, sepertinya waktu itu dia pernah berbincang dengan seorang guru yang menantangnya untuk berprestasi dan ia akhirnya membuktikan pada banyak orang kalau dia juga bisa. Saya adalah salah satu dari teman yang paling terkejut, sebab hasilnya jauh lebih baik dari saya yang biasanya masuk sepuluh besar. Singkat kata, saat lulus, nilai saya lebih rendah darinya. Sungguh pengalaman yang membuka mata saya. 

Kita berpisah jalan setelah lulus, tapi saya selalu mendengar berbagai kisah tentang Jimmy dari teman saya Endrico, misalnya tentang bagaimana dia menghajar seorang pemegang ban hitam yang menganggap remeh dirinya. Bertahun-tahun kemudian, sewaktu kita bertemu di Jakarta, Jimmy juga bercerita bagaimana dia menghabiskan uang sekolahnya di meja taruhan, lalu melarikan diri karena merasa bersalah. Namun ia sadar ia tidak bisa berlari terus dan akhirnya kembali menemui abangnya untuk mengaku salah. Dari situ dia memulai kembali dari awal sampai berhasil membangun usahanya dan menikah. Kita bertemu lagi di tahun 2013, ketika kita mengunjunginya di Surabaya. Dia masih sama seperti dulu, santai pembawaannya, dan dia membawa kita ke Malang dan Batu walaupun bayinya baru berusia beberapa hari, haha. Oh, pada kesempatan yang sama ini pula kita mendengar tentang aksi berani matinya: dia pernah memenangkan taruhan dengan cara melompat ke kandang buaya di Kuching!

wingboxtransport.com

Saya dan Jimmy mulai berkomunikasi lagi sejak era Whatsapp, dimana kita semua tergabung dalam grup alumni. Di grup ini dia kadang berkata apa adanya sehingga mungkin terkesan angkuh bagi yang tidak begitu mengenalnya. Kalau ada yang berpikir seperti itu, saya bisa bersaksi bahwa dia adalah salah satu orang aneh yang paling baik karakternya. Aplikasi chatting itu tidak dibuat untuk menyampaikan emosi seseorang dengan tepat, jadi kalau kebetulan orang tersebut memang tidak terlalu mahir dalam menulis, bisa ketus dan sombong kesannya.

Suatu ketika Jimmy bertanya kepada saya tentang perihal IT. Dia menekuni bisnis pengiriman barang dan tertarik untuk memiliki situs di internet. Setelah kita merekrut Setia yang lebih jago, kita mencoba Shopify dan akhirnya menggunakan fasilitas ini karena Jimmy memiliki rencana untuk mengerjakan bisnisnya secara online suatu hari nanti. Kita berdua lantas bekerja membuat situs berdasarkan permintaan Jimmy. Setia membuat kerangka dengan tema yang polos dan mengingatkan saya tentang tampilan apple.com yang minimalis dan putih. Setelah dua tahun, situs ini pun ditutup oleh pemiliknya, haha.

Jimmy pernah berkata bahwa jika semua teman, masing-masing dengan kemampuannya tersendiri, mau bekerja sama dan membantu satu sama lain, bayangkan hasil yang bisa dicapai. Saya hanya tersenyum saat mendengarkannya, sebab saya berpikir bahwa itu impian yang muluk. Yang saya bayangkan justru realitanya, dengan ego masing-masing, mungkin kita akan sibuk memaksakan ide satu sama lain tanpa pernah mencapai apa pun. Tapi saya salah dan dia benar. Dengan pola pikir yang tepat dan integritas, ternyata benar bahwa kita bisa mengerjakan sesuatu yang saling menguntungkan. Dalam contoh ini, Jimmy berhasil mendapatkan situsnya dan kita berhasil memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari teknologi yang baru. Yang lebih penting lagi, saya belajar bahwa jika kita bisa mengesampingkan perbedaan kita dan mengerjakan sesuatu dengan tulus, hidup akan membawa kita mencapai sesuatu yang baru...

Jimmy dan Endrico di Hotel Harris Malang, 2013.



Thursday, September 14, 2017

The ASEAN Tour: Laos

Everybody has a wish list of countries that they'd like to visit. For me, Laos is always part of that list. I was curious about it because it seemed to be a quiet country that made almost no international news, especially when it was compared with its neighbours such as Myanmar or Cambodia. The fact that it is the only landlocked country in Southeast Asia only enhanced its charm. I had to visit the Laos and it eventually happened in 2010.

At Wattay International Airport, Vientiane.

It wasn't easy for us to get there back then. My Indonesian colleague Benny (who rushed to airport immediately after work) and I actually had to fly to Kuala Lumpur to catch the next flight to Vientiane. Upon arrival, I became aware for the first time that Indonesian passport was less powerful than Malaysian passport. A Malaysian in front of us could immediately get his passport stamped while we were redirected to do a visa on arrival. It was also at Wattay International Airport that I heard about the existence of Luang Prabang, another city in Laos that was known for its historical site. One would have to take a domestic flight to get there and, as it wasn't part of the plan, we didn't make it. Perhaps I'll return to Laos for Luang Prabang one day.

We took a cab from airport to the city center. It wasn't that far, actually, as it took only around 10 to 15 minutes to reach our hotel. Through the taxi ride, we had the first glimpse of Vientiane. It was unlike any capital city I had seen before. The roads were so quiet that even my hometown, Pontianak, looked more crowded than Vientiane. After exploring around on foot, we noticed that Swensen's was the only international food chain there. We didn't try that and we had the local food instead. Some of the cuisines were very French and they also used a lot of herbs. The pork knuckles were brilliant and Beerlao did help to wash the heavy meal down!

Benny taking his bike, as we were leaving Pha That Luang (the golden temple at the back).

On the second day we were there, we decided to rent a bike, so after putting the deposit of 20K kip (around SGD 3), we were cycling from one temple to another. It had been years since I rode one and it was fun to be on a bike again, but there were times when I was caught off guard by the sudden appearance of another vehicles in front of me. This was because they drove on the opposite direction while we were used to left-hand traffic.

We first visited Pha That Luang. The gilded temple was the biggest in Vientiane. It was nothing like the grand Angkor Wat, but it was quite alright. From there, we rode to Patuxai. This was something like the mini Arc de Triomphe or the Southeast Asian version of it. Wat Sisaket was the next destination and after that I lost track of other temples we visited, because they were plenty! Anyway, Benny and I had a walk along the great Mekong river after we returned the bikes. Just like everywhere else in Vientiane, it was also a bit quiet. There was this statue at riverside, seemed to be out of nowhere, perhaps it was part of the ongoing development plan of the waterfront.

Browsing at Talat Sao Mall

The last day we were there, we visited the one and only shopping centre (I can't remember if it was really Talat Sao Mall), a three storey and modest plaza in the capital city of Laos, just to buy some souvenirs. After that, on our way to Tha Naleng train station, we detoured a bit to Buddha Park. It was a very strange park that combined both Buddhism and Hinduism sculptures. From there, we headed to the train station and crossed to Nongkhai, Thailand, officially ending our visit to Laos. Sabaidee! Until we meet again, Laos!

The Reclining Buddha at Buddha Park. 

Tur ASEAN: Laos

Setiap orang memiliki daftar negara yang ingin dikunjunginya. Bagi saya, Laos adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang berada di daftar kunjungan ini. Saya selalu penasaran tentang Laos, sebab negara ini hampir tidak pernah terdengar beritanya di kancah internasional, apalagi jika dibandingkan dengan negara tetangganya, misalnya Myanmar atau Kamboja. Fakta bahwa Laos adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang tidak memiliki laut semakin membuat saya tertarik. Di tahun 2010, akhirnya saya berkelana ke Laos.

Di kala itu, tidak mudah bagi kami untuk berangkat ke Laos. Benny, kolega saya yang juga orang Indonesia, dan saya harus terbang dulu dari Singapura ke Kuala Lumpur, setelah itu baru naik pesawat berikutnya menuju Vientiane. Saat tiba di sana, untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa paspor Indonesia ternyata kalah saing dengan paspor Malaysia. Seorang warga Malaysia di depan kita bisa langsung dicap paspornya sedangkan kita diarahkan ke loket visa kedatangan. Sewaktu kita di bandara internasional Wattay, saya mendengar tentang keberadaan Luang Prabang, kota lain di Laos yang merupakan situs UNESCO. Untuk pergi ke sana, kita masih perlu naik penerbangan domestik. Karena kendala waktu dan bukan merupakan bagian dari rencana awal, kita tidak ke sana. Mungkin saya akan kembali lagi suatu hari nanti ke Laos untuk mengunjungi Luang Prabang.

Jalan di Vientiane yang luar biasa sepi untuk ukuran ibukota negara. 

Dari bandara ke pusat kota, kita menggunakan jasa taksi dengan durasi kurang lebih 15 menit untuk mencapai hotel. Sepanjang perjalanan, kita melihat Vientiane untuk pertama kalinya: benar-benar berbeda dengan ibukota negara-negara lain yang pernah saya kunjungi. Jalanan di sana sangat sepi, bahkan Pontianak terlihat lebih ramai. Setelah berjalan kaki di pusat kota, kami menyadari bahwa Swensen's adalah satu-satunya restoran internasional yang ada di kota ini. Selama berada di sana, kita mencoba makanan lokal. Citra rasa kuliner di Laos boleh dikatakan bergaya Perancis dan juga banyak memakai bumbu dari dedaunan. Pork knuckles-nya enak dan berbeda dengan yang biasa disajikan di restoran Jerman, cocok dimakan bersama Beerlao.

Di hari kedua, kita memutuskan untuk menyewa sepeda. Vientiane adalah kota kecil dengan kondisi jalan yang lengang, oleh karena itu tentunya enak dijelajahi dengan sepeda. Setelah memberikan jaminan sebesar 20.000 kip (atau sekitar 30.000 rupiah), kita akhirnya bersepeda dari satu tujuan ke tujuan lain. Sudah bertahun-tahun lamanya saya tidak mengendarai sepeda, jadi rasanya seru juga. Akan tetapi, dikarenakan arah lalu-lintas mereka yang terbalik dengan Indonesia, saya sering kali dikagetkan oleh kendaraan yang muncul di depan.

Mengamati Patuxai dari atas sepeda, hehe. 

Pertama-tama kita mengunjungi Pha That Luang. Kuil Buddha bersepuh emas ini adalah kuil terbesar di Vientiane. Walau tidak semegah Angkor Wat di Kamboja, kuil ini tetap memiliki daya tarik tersendiri. Dari sana, kita berpindah Patuxai, semacam gerbang yang mirip dengan Arc de Triomphe di Paris. Wat Sisaket adalah kuil yang kita kunjungi selanjutnya, setelah itu saya tidak ingat lagi nama-nama kuilnya karena terlalu banyak kuil di sana, haha. Setelah kita selesai dengan kuil dan mengembalikan sepeda, kita menyusuri pesisir sungai Mekong. Ada sebuah patung yang terkesan dibangun begitu saja di tepi sungai, tapi mungkin itu bagian dari rencana pembangunan tepi sungai. Seperti jalanannya, daerah ini pun sepi nian, hehe.

Pemandangan dari atas Patuxai.

Hari terakhir kita di Laos diisi dengan kunjungan ke satu-satunya pusat perbelanjaan berlantai tiga di Vientiane (saya tidak ingat apakah itu Talat Sao Mall atau bukan) untuk membeli cinderamata. Setelah itu, sewaktu kita menuju stasiun kereta api Tha Naleng, kita mampir sebentar ke Buddha Park. Taman yang agak aneh dan bernuansa mistis ini dipenuhi oleh patung-patung Buddha dan Hindu. Sejam kemudian, kita berangkat ke stasiun dan menyeberang dari sungai Mekong ke Nongkhai, Thailand, mengakhiri petualangan kita di Laos. Sabaidee, Laos! Sampai bertemu lagi!

Di stasiun kereta api Tha Naleng.


Tuesday, September 12, 2017

Supa Camp

(co-written with Bernard Lau)

I have this close friend of mine whom is a Singaporean and I have known him for more than a decade. As he is a couple of years older and a much smarter man than I am, I tend to look up to him like a big brother I never had. We do meet up on a regular basis and always have a lot to talk about, practically anything under the sun, from nonsense to way of life.

In my humble opinion, he is definitely one charming fellow, a grand master of hyperbole and exaggeration. He loves to integrate the word supa (This word is derived from popular Japanese animation called One Piece and was introduced by the human cyborg, Franky) into most of his sentences/phrases. It suits him well, for he always has so many fascinating stories to share and the word supa simply amplifies the creativity and imagination behind his stories. It was also through one of these stories that I came to know about the existence of this profound terminology called Supa Camp

Supa Camp is a way of life and the antithesis of Ultra Spends (while all these Singlish jargons may sound confusing, but all will be clear in the latter part of this article, so bear with me). To put things in perspestive, these two terms, Supa Camp & Ultra Spends, come as a close resemblance to the Yin & Yang philosophy. Having said that, before one can really understand the abstract meaning of Supa Camp, one has to know about the evil counterpart: Ultra Spends.

Ultra Spends is basically anything which concerns your expenditures and to certain extent, if uncontrolled, will lead to a life of a spendthrift and possibly edge closer to bankruptcy. In the case of my buddy, it is simply inevitable. Over the decade of our friendship, I had witnessed more than a couple of unfortunate life events which devastated his financial situation. He also carried the burden of being the only child as well as the sole breadwinner for his two ailing parents. Coming out through these events, there were several habits which he had indulged further such as food, booze, parties, holidays, gambling, etc. 

Initially, I expected that he would sooner or later overcome his setbacks and snap out of it. I think it was quite obvious that he was heading into troubles. Being a smart man himself, he was very much aware of the situation, too. Much to my surprise, he actually carried on with the extravagant activities, associating himself deeper and deeper into the abyss of Ultra Spends. It was puzzling and I was wondering why. We eventually discussed about it and the reason behind his actions was rather bizarre. It was a strange and convoluted logic, but not without good and intriguing explanation.

My friend told me that, close though we are as friends, it doesn't change the fact that me being an Indonesian and him being a Singaporean results in the two us having different sets of life values. This is the fundamental difference between us. When I first came to Singapore, the idea was to make a better living. My original priorities fixated in earning and saving as much as I could, therefore I subconsciously developed this constant reminder in me that I didn't come here to spend. Knowing fully well that I have a natural choice to return to my home country to retire for old age one day (although this subject is pretty much debatable these days, since both of my daughters were born and growing up here now), I don't conform to the lifestyle which the locals are doing.

The same can't be said about my friend's life because this is his home country. His whole life is bounded here and, by his own admission, he grew up conforming to the Ultra Spends lifestyle here. That being said, life in Singapore is indeed that peaceful and to the boundary of getting bored, so a little bit of booze will definitely help to generate some excitement and alleviate any stress. This delicate situation of Ultra Spends persisted for a couple of years and with him living in a state of denial, he was oblivious to his financial independence. Come one fine day where the gloomy clouds dispersed and the cold hard reality kicked back into his brain, this was when Supa Camp came into action. 

Supa Camp is simply a desperate act to adopt a series of extreme drastic measures in order to cut down on expenses. It is a self-imposed economic austerity. Some known actions involved: consuming the free cup noodles from company's pantry for lunch or dinner; having 6 pieces of kaya bread for dinner at home (three pieces each night); abstaining from all holiday trips; making known to all the friends that you do not have much money for Ultra Spends after paying off the usual family and personal commitments on monthly expenses; requesting for more Supa Chia (it means lavish treats regardless of lunch or dinner) sessions from some friends; and being home bound for almost everyday for free online dramas/animes.

The duration of Supa Camp exercise is pretty much dependent on how dire the economical situation is. In his case, several months of Supa Camp are likely to restore some life back to his balance of incomes and expenditures. One of the beauty perks of Supa Camp is that you will be sober and be practical for a long time. It's not without any downside, though. You may end up as a binge-watching addict that lacks of sleep and is zombified from the uncontrolled dramas/animes chasing through the late nights.  

The moral of the story is, living in a first world country does not mean anyone will be free from problems and worries. In fact, life can be more complicated, all thanks to the fast-paced and futuristic lifestyle here. There are always problems everywhere, and some, like the case study we have here, are genuinely self-inflicted. However, it is also good to know that there is always a way to counter that. And so, there you goes, the way of Supa Camp, which can be tailor-made to reach new heights of enlightenment in this modern world...

Yours Truly and Mr. Lau.

Supa Camp
(ditulis bersama Bernard Lau)

Saya memiliki seorang teman akrab berbangsa Singapura yang sudah saya kenal lebih dari sepuluh tahun lamanya. Karena dia beberapa tahun lebih tua dan tentunya lebih pintar, saya selalu memandangnya sebagai seorang abang yang tidak pernah saya miliki. Kita sering bertemu dan berbicara tentang apa saja, mulai dari banyolan hingga pandangan hidup.

Menurut pendapat saya, Bernard ini seorang yang memiliki kepribadian menarik. Dia jagonya hiperbola dan seringkali berlebihan sehingga terlihat lucu. Dia paling suka menambahkan kata supa (kata yang biasanya diucapkan oleh Franky dari serial One Piece) dalam setiap kalimatnya. Gaya bahasa ini cocok untuknya, sebab dia memiliki banyak cerita dan kata supa tepat sekali untuk membumbui kreativitas dan imajinasinya. Dari salah satu ceritanya inilah konsep Supa Camp terlahir. 

Supa Camp adalah gaya hidup sekaligus obat penawar dari Ultra Spends (ya, kadang Singlish memang semena-mena dan membingungkan, tapi semua ini akan jelas nanti, jadi baca saja terus). Sebagai perbandingan, Supa Camp & Ultra Spends itu tak ubahnya seperti Yin dan Yang. Oleh karena itu, sebelum seseorang bisa memahami Supa Camp, terlebih dahulu ia harus belajar tentang sisi jahatnya: Ultra Spends.  

Pada dasarnya, Ultra Spends adalah semua hal yang berkaitan dengan pengeluaran dan bila tidak terkontrol, bisa menjadi besar pasak daripada tiang atau bahkan menyebabkan kebangkrutan. Dalam kasus teman saya ini, boleh dikatakan Ultra Spends tidak bisa terelakkan olehnya. Selama lebih dari sepuluh tahun kita bersahabat, saya menyaksikan bagaimana beberapa kisah yang kurang menyenangkan menimpa hidupnya, membuat dia terjepit dalam masalah keuangan. Dia juga menanggung beban sebagai seorang anak tunggal dan satu-satunya pencari nafkah untuk kedua orang tuanya yang sakit-sakitan. Sebagai akibat dari berbagai peristiwa ini, timbul beberapa kebiasaan seperti hobi makan, minum minuman keras, pesta-pora, jalan ke luar negeri, berjudi dan lain sebagainya. 

Awalnya saya mengira dia akan bisa keluar dari masalah finansial ini. Saya rasa cukup jelas bahwa dengan gaya hidupnya ini, cepat atau lambat dia akan kesulitan keuangan. Sebagai orang yang cerdas, dia sendiri sadar akan situasinya. Yang mencengangkan adalah dia justru terjerumus semakin dalam ke jurang Ultra Spends. Ini sangat membingungkan dan saya tidak habis berpikir kenapa. Kita lantas berdiskusi dan alasan kenapa ia semakin terpuruk sungguh aneh tapi nyata. Logikanya campur-aduk, tapi memiliki penjelasan yang menarik untuk disimak. 

Bernard mengatakan kepada saya, walaupun kita adalah teman dekat, ini tidak mengubah kenyataan bahwa saya adalah orang Indonesia dan dia adalah orang Singapura. Dalam segi pemikiran dan gaya hidup, kita jelas berbeda. Ini adalah perbedaan paling mendasar di antara kita sebagai dua orang teman. Ketika saya pertama datang ke Singapura, tujuan saya adalah untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Prioritas utama saya ketika itu adalah mencari uang dan menabung, karena itu secara tidak sadar saya selalu mengingatkan diri saya sendiri bahwa saya tidak di sini untuk berfoya-foya. Adanya pemikiran bahwa suatu hari nanti saya akan pensiun di negeri sendiri (topik ini agak rumit sekarang, terutama karena dua anak saya lahir dan tumbuh di Singapura) membuat saya tidak mengikuti gaya hidup orang Singapura. 

Hal yang sama sayangnya tidak bisa diterapkan oleh teman saya karena dia adalah orang Singapura di negaranya sendiri. Seluruh hidupnya berakar di sini dan dia tumbuh, berpikir dan berpola hidup seperti orang Singapura pada umumnya, termasuk bergaya hidup Ultra Spends. Ini juga tidak lepas dari fakta bahwa Singapura adalah negara yang sangat aman sampai mendekati ambang batas membosankan, karena itu sedikit alkohol pasti membantu untuk menyegarkan suasana dan membuang stress. Terjebak dalam pola hidup seperti ini sementara dia terombang-ambing dengan berbagai peristiwa yang menimpanya, dia mengabaikan keadaan finansialnya. Ketika tiba harinya ia terbangun dari mimpi buruknya, dia tahu dia harus melakukan sesuatu. Di saat seperti inilah Supa Camp menjadi pedoman dan gaya hidup.

Supa Camp adalah aksi dalam mengambil beberapa langkah drastis yang ekstrim dalam rangka memotong anggaran pengeluaran. Dengan kata lain, ini adalah gerakan pengencangan ikat pinggang. Beberapa aksi nyata yang diambil adalah sebagai berikut: makan Pop Mie yang tersedia di kantor; makan enam potong roti srikaya sebagai santapan malam (tiga potong per malam); tidak keluar negeri; memastikan semua teman dekat tahu bahwa kita sedang tidak punya uang untuk Ultra Spends setelah membayar pengeluaran bulanan; meminta Supa Chia (ditraktir baik makan siang maupun malam) dari teman; dan tinggal di rumah setiap sehari, sepulang dari kantor, untuk menyaksikan drama atau anime gratis. 

Durasi Supa Camp tergantung dari seberapa kritisnya situasi ekonomi yang sedang terjadi. Dalam kasus teman saya ini, beberapa bulan Supa Camp bisa membantu memulihkan situasi ekonominya. Keunggulan dari Supa Camp antara lain adalah, pelakunya cenderung sangat waras karena tidak mabuk oleh alkohol dalam waktu yang lama. Ini lantas tidak berarti bahwa Supa Camp tidak memiliki kekurangan. Pelaku Supa Camp sangat mungkin menjadi pecandu film drama dan anime dan kurang tidur akibat menonton hingga larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. 

Moral dari cerita adalah, tinggal di negara maju tidak berarti kita bebas dari masalah. Justru sebaliknya, hidup bisa menjadi lebih rumit karena dampak kemajuan teknologi dan cepatnya kehidupan di sini. Masalah selalu ada di mana-mana dan, dalam studi banding kita ini, kasus ini adalah karena ulah sendiri. Akan tetapi untungnya kita ada cara untuk mengatasinya. Kita persembahkan di sini, Supa Camp, gaya hidup yang bisa membantu seseorang mencapai pencerahan di dunia modern...  





Sunday, September 10, 2017

When She Calls

My daughter cried just now when I was about to leave home. It was Saturday night and she didn't understand why I had to go back to office. As I tried to explain to her why, it felt good knowing that my daughter needed her father, but at the same time it was heart wrenching to see her weep.

Linda is five now. She is at this stage where she will run towards the door when I'm home and wave me goodbye as I go to work. Sometimes, as she stand at the door until I walk into the lift, she will shout from afar, "I love you, Papa." When I'm not home yet, she often uses the video-call feature on her Mum's phone to call and ask why I haven't come home yet. She did that when I was on overseas trips, too. That’s how lovely she is and how blessed I am.

She has grown up a lot and, while she still retains her childlike innocence, that tiny little brain is much smarter than before now. I always find it amusing when she has this inquisitive look and then proceeds to ask if I was kidding. This means she actually starts thinking and is able to digest what I just said when she hears me saying things that don't make sense (oh yeah, being nonsensical is my job, because her Mum is a serious person).

Making funny faces!

Linda is also very talkative and she asks many questions these days. However, of all the questions that she asks, there is one that leaves a lasting impression in my mind. That's when she asks if I will play dolls with her once I finish doing my stuff, be it office work or writing. It is a very touching and understanding request that every time I say no (like the other day, when there was an IT production issue), I feel like an asshole.

More importantly, there is also a hidden meaning that she herself may not realize it: the fact that she's not going to stay this age forever. There'll be days when she grows up and needs her Papa less. By then, I may not hear that question again. When that day comes, she may say no even if I volunteer to play with her, because that one moment in life has passed, the relationship has changed and it's no longer relevant.

Slipping through my fingers.

At times like this, I remember a song from ABBA called Slipping Through My Fingers. The lyrics are poignant, telling us about the feeling of a parent as he/she watches the daughter growing up. The song was so well written and I especially like these particular lines: Each time I think I'm close to knowing, she keeps on growing.

Not even money can buy back the time we missed and things we didn't do. I always believe that by the end of the day, what we have are memories. The time we have together definitely means a lot to me, therefore it's only fair that I'll also make it a mission to give her the quality time she'll treasure one day: that once in her life, she ever had a father that did with her all the childish stuff in her childhood, carried her when she was tired, hugged her and be her first shoulder to cry on when she was sad and told her that things were going to be alright...

Who else that will hold her hands to explore the world, if not her Papa?


Ketika Dia Memanggil

Putri saya menangis tadi, ketika saya hendak meninggalkan rumah. Hari ini adalah hari Sabtu dan dia tidak mengerti kenapa saya harus kembali ke kantor di malam hari. Sewaktu saya jelaskan alasannnya, ada rasa haru karena menjadi seorang ayah yang dibutuhkan anaknya, tapi di satu sisi, pilu juga rasanya melihat dia menangis. 

Linda sudah berumur lima tahun sekarang. Dia sekarang sering berlari ke pintu ketika saya pulang ke rumah dan juga akan melambai mengucapkan selamat tinggal ketika saya berangkat kerja. Saat dia berdiri di depan pintu dan melihat dari kejauhan sampai saya masuk ke dalam lift, terkadang dia tiba-tiba berteriak, "saya menyayangi kamu, Papa." Bilamana saya belum pulang, dia sering menggunakan fitur panggilan video di handphone ibunya untuk menghubungi saya dan bertanya, kenapa saya belum pulang. Dia juga melakukan hal yang sama tatkala saya berada di luar negeri. Sungguh dia anak yang manis dan saya merasa bersyukur menjadi ayahnya.

Dia sekarang sudah tumbuh lebih dewasa dari sebelumnya. Meski dia masih tetap polos, dia jauh lebih cerdas dari setahun sebelumnya. Saya selalu tersenyum ketika dia bertanya dengan tatapan menyelidik, apakah saya sedang bercanda. Ini berarti dia mulai berpikir dan mampu mencerna apa yang baru saja saya katakan, apakah itu masuk akal atau tidak (oh ya, menjadi orang tua yang konyol adalah tugas saya karena ibunya terlalu serius).

Main air di Bintan.

Linda sangat ceriwis dan banyak bertanya sekarang. Akan tetapi, dari semua pertanyaannya, ada satu yang benar-benar berkesan di benak dan hati saya. Ini adalah ketika dia bertanya apakah saya bisa bermain boneka bersamanya setelah saya selesai dengan pekerjaan saya, entah itu pekerjaan kantor atau menulis. Pertanyaan yang lugu itu sangat menyentuh. Setiap kali saya berkata tidak (misalnya tempo hari, ketika ada masalah di kantor sehingga saya harus kerjakan dari rumah di malam hari), saya merasa seperti ayah paling buruk di dunia.

Lebih penting lagi, sebenarnya ada arti tersembunyi dari pertanyaan tersebut yang tidak dipahami bahkan oleh dirinya sendiri: fakta bahwa dia tidak selamanya berumur lima tahun. Akan ada hari di mana dia tumbuh kian dewasa dan tidak lagi terlalu membutuhkan Papanya. Di saat itu, mungkin saya tidak akan mendengar pertanyaan tersebut lagi. Tatkala hari itu tiba, dia bahkan mungkin berkata tidak walaupun saya dengan sukarela menyempatkan waktu untuk bermain dengannya. Ini tidaklah aneh, sebab momennya sudah lewat, hubungan ayah dan anak pun sudah berubah menjadi lebih dewasa, sehingga tidak lagi relevan untuk bermain boneka bersama.

Dalam pelukan papa.

Di saat seperti ini, saya sering teringat dengan lagu ABBA yang berjudul Slipping Through My Fingers. Liriknya sungguh mengena, bercerita tentang perasaan orang tua yang menyaksikan anaknya tumbuh dewasa. Saya suka penggalan lirik ini: Each time I think I'm close to knowingshe keeps on growing. Saat saya merasa mulai mengenalnya, dia lantas tumbuh menjadi lebih dewasa lagi.

Bahkan uang pun tidak membeli kembali waktu yang terbuang dan hal yang tidak kita kerjakan bersama anak kita. Saya selalu percaya bahwa jauh setelah semua ini berlalu, yang tersisa hanyalah kenangan. Sewaktu saya bersama Linda, saya mengingatnya sebagai bagian terbaik dalam hidup saya, maka dari itu saya pun harus berusaha untuk memberikan waktu baginya, waktu yang suatu hari nanti akan ia kenang kembali, bahwa suatu ketika di dalam hidupnya, dia memiliki Papa yang bersamanya melakukan semua hal yang kekanak-kanakan di masa kanak-kanaknya, Papa yang menggendongnya ketika dia lelah berjalan, Papa yang memeluknya ketika ia sedih dan menangis, lalu berkata padanya bahwa semua akan baik-baik saja...

Papa akan gendong sampai tidak sanggup lagi, suatu hari nanti.



Friday, September 8, 2017

Starr Time!

Many of us have our own favorite group band, but do we actually know who the drummer is? Now, if I change the question a bit, do we ever notice the man behind the drum kit and think that the guy really rocks? Unless you are a fellow drummer, chances are you don't really care who that guy is. Drummer is such an obscure role that is often overshadowed by others such as lead vocalist or guitarist. For example, how many of us here ever heard of Buddy Rich?

The fate of drummers would have stayed that way if not for Ringo Starr. Say all you like about his drumming skills, but it's not going to change the fact that he was there on a raised platform, playing drums with the most popular band in the world. For the first time ever, a drummer was seen by the world, not as a guy who made some noise at the back, but as an equal in a band. On top of that, there was Starr Time where Ringo would perform his one song quota per concert while sitting behind his kit and maintaining the beat. Thanks to Ringo, suddenly a drummer was cool. He paved the way for many after him. I think it's safe to that after Ringo hit the big time, people started paying attention to the likes of Charlie Watts, Keith Moon, Ginger Baker, etc.

World's Great Drummers Salute Ringo Starr
Video credit: Rock & Roll Hall of Fame

Oh, just in case you still have no idea whom I was talking about, he was Ringo Starr of the Beatles. The group had disbanded almost 50 years ago, but that turned out to be fine, because being an ex-Beatle is like having a really high privilege in music world, perhaps only one rank below the King of Rock n' Roll. While there used to be four of them, now we have only two left, so yeah, it's really a big deal. But that royal title aside, it was the man himself that inspired many of us, including your truly.

The thing with the Beatles is, while the four members are equally charming, there are always moments in life when you feel that you can relate with one better than the other. With Ringo, it's always his good nature that is endearing. He's smart, funny, confident and yet humble at the same time, knowing well that he's an ex-Beatle, but comfortable enough to be himself. I'm not just saying it because I am a fan. You can always check it out on YouTube, just search for his interviews, be it with Ellen Degeneres or other talk show hosts.

In Liverpool, drumming 101 with Ringo!

Back in the days, when he was riding high on the toppermost of the poppermost, he sang stuff like Act Naturally and With a Little Help from My Friends. Coming from him, not only the lyrics sounded very convincing, but they also meant a lot to his fans. He's not multi-talented like his bandmate Paul McCartney, but perhaps he doesn't have to, for he certainly gets by with a little help from his friends.

I tend to think that only the Beatles could bring out his best in drumming, but that doesn't mean that he doesn't have a good solo career. Time Takes Time, my first Ringo album, is my favorite. I found the cassette in Kenyalang, Kuching, when I visited the city with Parno (I think the guide was Jimmy, because Endrico failed to appear until much later on). The album opens with Weight of the World, a good song with delicious drumming and brilliant lyrics (totally love these lines: Maybe I haven't always been there just for you; Maybe I try but then I got my own life, too), definitely an album with all killers and no fillers. VH1 Storytellers is also another favorite. This was Ringo playing live in an intimate environment, where he also told the story behind each song in a relaxed and humorous manner. Very lovely, very underrated recording.

Weight of the World - Time Takes Time.

And at age 77, Ringo still shows no sign of retiring. His new album, Give More Love, will be released soon on September 15, 2017.  I've pre-ordered mine, of course, haha. Based on his recent outputs, I have doubts that it will be a chart topping album, but I don't think that's really relevant here. What we'll get for sure is another Ringo album, one where we can listen to his love for rock n' roll and the fun he had while he was making it. Peace and love!



Waktunya Ringo!

Banyak dari kita yang memiliki grup band favorit, tapi kenalkah kita yang dengan pemain drumnya? Kalau saya ganti pertanyaannya sedikit, apa pernah kita memperhatikan pemain yang duduk di belakang drum ini dan berpikir bahwa orang ini memang handal? Rasanya hanya sedikit yang peduli. Penabuh drum itu profesi yang seringkali kalah pamor dari anggota band lainnya, misalnya vokalis atau gitaris. Sebagai contoh, seberapa banyak yang kenal dengan Buddy Rich?

Jika bukan karena Ringo Starr, mungkin para pemain drum akan selamanya tidak dikenal. Orang bisa berpendapat apa saja tentang kemampuan Ringo, tapi itu tidak akan mengubah fakta bahwa dia duduk di atas panggung yang tinggi, bermain drum bersama grup paling populer di dunia. Ketika Ringo tampil, untuk pertama kalinya dunia menyaksikan seorang pemain drum, bukan sebagai pembuat gaduh di belakang, tetapi anggota dari sebuah band. Yang lebih unik lagi, Ringo memiliki kuota satu lagu per konser, dimana ia bernyanyi sambil memainkan drum. Berkat Ringo, drummer akhirnya menjadi profesi yang bergengsi. Dia membuka jalan bagi para penabuh drum yang muncul belakangan. Ketika Ringo sukses, para penonton pun mulai memperhatikan pemain lain seperti Charlie Watts, Keith Moon atau Ginger Baker.


<
Ringo Starr memberikan demonstrasi drum dari lagu Ticket to Ride dan lain-lain.
Video credit: Dato1955

Oh, kalau anda masih belum mengerti siapa yang saya maksudkan di sini, dia adalah Ringo Starr dari the Beatles. Grup ini sudah bubar hampir 50 tahun yang lalu, tapi hasil akhirnya tetap saja positif, sebagai menjadi ex-Beatle itu memiliki nilai tersendiri di dunia musik, mungkin posisinya hanya satu tingkat di bawah Raja Rock n' Roll. Dulunya ada empat mantan Beatles di dunia ini, namun sekarang hanya tersisa dua, jadi, benar-benar langka. Meski begitu, yang benar-benar penting adalah bagaimana Ringo memberikan inspirasi pada begitu banyak orang, termasuk saya.  

Yang menarik untuk dicatat tentang the Beatles adalah, walau keempat anggotanya memiliki daya tarik masing-masing, selalu saja ada saat di dalam hidup di mana seorang penggemar merasa lebih dekat dengan yang satu daripada yang lain. Bicara tentang Ringo, dia pintar, lucu dan percaya diri, tetapi juga rendah hati. Dia jelas paham posisi pentingnya sebagai seorang ex-Beatle, tetapi dia juga cukup santai untuk menjadi dirinya sendiri. Saya tidak berkata seperti ini hanya karena saya adalah seorang penggemar. Anda bisa lihat sendiri di YouTube. Cari saja wawancaranya, baik oleh Ellen Degeneres atau pembawa acara obrolan yang lain.

Bertahun-tahun silam, ketika dia masih menjadi anggota the Beatles, dia menyanyikan lagu-lagu seperti Act Naturally dan With a Little Help from My Friends. Karena dia adalah Ringo, lirik yang dinyanyikannya bukan saja terdengar meyakinkan, tetapi juga sangat berarti bagi para penggemarnya. Perlu dipahami bahwa dia hanya seorang pemain drum dan bukan musisi yang paling berbakat seperti rekannya, Paul McCartney, tapi justru karena itulah With a Little Help from My Friends menjadi masuk akal.

Parno menyanyikan lagu Act Naturally di reuni 2014. 

Saya sering merasa bahwa hanya the Beatles yang memberikan cukup tantangan baginya untuk memberikan permainan drum terbaik, tetapi itu tidak berarti dia mempunyai karir yang bagus ketika the Beatles bubar. Time Takes Time, album Ringo saya yang pertama, adalah album favorit saya juga. Saya menemukan kasetnya di Kenyalang, Kuching, ketika saya mengunjungi kota tersebut bersama Parno (kalau tidak salah ingat, saat itu yang menemani kita adalah Jimmy, sebab Endrico baru muncul setelah malam tiba). Album ini mulai dengan Weight of the World, lagu bagus dengan permainan drums yang cantik dan lirik yang cerdas (saya suka bagian ini: Maybe I haven't always been there just for you; Maybe I try but then I got my own life, too), benar-benar album dengan lagu-lagu yang terseleksi dengan baik. Album lainnya, VH1 Storytellers, juga album yang menarik. Ringo tampil di pentas yang dekat dengan penonton dan dia berkisah tentang cerita yang melatarbelakangi lagu yang dimainkannya. 

Dan di usianya yang ke-77, Ringo masih belum menunjukkan tanda-tanda akan pensiun. Album barunya, Give More Love, akan segera dirilis tanggal 15 September ini. Saya sudah memesan satu dari amazon.com, haha. Ditinjau dari beberapa album terakhirnya, saya tidak yakin bahwa ini akan menjadi album nomor satu, tapi saya rasa ini tidaklah relevan. Yang bisa saya pastikan adalah, kita akan mendapatkan sebuah album Ringo, dimana kita bisa mendengarkan kecintaannya pada rock n' roll dan kegembiraan yang ia rasakan selama pembuatan albumnya. Seperti kata Ringo, peace and love!

Give More Love, album terbaru Ringo.







Tuesday, September 5, 2017

That Comedy Show

I finished That '70s Show recently, the third sitcom I ever completed so far. At first, because I'd heard about it many times, I thought of having a peek at one episode just to satisfy my curiosity. However, it was so good that I was hooked on it immediately. The casting and characterization were right from the beginning. When the show first started, Eric, Donna, Hyde, Kelso, Jackie and Fez (a foreign kid with an unknown origin, haha) were unbelievably young, they definitely cut it as high school students. That aside, the series actually featured the parents prominently and I was surprised that I was okay with that. In fact, I think the coolest character of the show was Red Forman. I was very much impressed that the bad guy in RoboCop could be that funny. The only problem I had with That '70s Show was how it was marred by the problem of actors leaving the show. Even the main character, Eric Forman, left and only came back for a good 10 minutes on the last episode. Anyway, it was a small issue as compared with the fun I had throughout that '70s ride. 

Since That '70s Show was the third, what was the first, then? Well, I got a long history with sitcom and it was started with Friends. Still the greatest show on earth, I guess. My friend Ardian and I watched it during our college days in Pontianak and it was constantly discussed and heavily referenced in our conversation. I watched the latter half of the series, including the last one, in Jakarta, sharing the fun with my colleague Rusli this time. Then we were Pheng iuthe Teochew version of Friends, and as a bunch of bachelors living together in Singapore, we would spent time watching the rerun of Friends (oh yeah, we reran it ourselves, as I owned the complete set) at night in our living room. Years later, Emily, a name of my favorite character in Friends, ended up as the middle name of my daughter. 

Friends and How I Met Your Mother.

What's so special about Friends that it was deeply entrenched in me? Well, the show was about the hilarious and lovely friends (Joey and Chandler were the funniest, Phoebe was weird, Monica was loud and we rooted for the love story between Ross and Rachel) as they went thru stages in life, certainly something that I could relate with. Another plus point that I always loved from Friends was the friendly hugging, something that we Asians don't normally do. The simple gesture went along way to show that as friends, after things are said and done, we forgive and forget. It was in line with what the theme song was singing about: I'll be there for you.

After Friends, the next one that came into the picture was How I Met Your Mother. While the title might not sound convincing, it did convey the whole premise of the show: one long story about how the titular character, Ted, together with Barney, Robin, Marshall and Lily, met the mother. It was like an updated and modernized version of Friends, with Ted and Robin filling in the shoes of Ross and Rachel. Also worth mentioning is Neil Patrick Harris as Barney Stinson, whose performance was legen... wait for it... dary! He was just awesome, thanks to his over-the-top antics, the Playbook, Bro Code and so forth. He was also inspirational. I mean, only Barney could say stuff like, "when I get sad, I stop being sad and be awesome instead." As crazy as it sounded, I actually laughed and agreed with that. While it didn't say I'll be there for you, it was definitely brimming with optimism.

Now, as I wrote this, I realized that what interesting here is the thin red line among those three. While I was progressing up and down from a bunch of friends who hung out at the cafe, drinking coffee (Friends) to a bunch of friends who hung out at the bar, drinking beer (How I Met Your Mother), to a bunch of friends who hung out at the basement and weren't old enough to drink beer (That '70s Show), the idea behind it remains the same. All of them were about the friendship, the love and the fun in life. If a person's character is ever defined by what one likes, watches and is influenced by, this may explain why I am who I am today...


Pertunjukan Komedi Itu

That '70s Show adalah sitcom ketiga yang saya tonton sampai habis baru-baru ini. Pada mulanya, saya cuma coba-coba satu episode untuk menghilangkan rasa penasaran saya, terutama karena saya sering mendengar tentang serial komedi ini. Setelah menyelesaikan satu judul pertama, ternyata saya malah menjadi ketagihan. Para aktor yang membintangi seri ini sangat pas dalam memerankan karakternya. Eric, Donna, Hyde, Kelso, Jackie dan Fez (pelajar asing yang tidak jelas asal-usulnya, haha) masih sangat muda di awal cerita, sehingga terlihat meyakinkan sebagai murid SMA. Di samping itu, serial ini juga unik karena menampilkan para orang tua secara konstan sebagai bagian dari setiap cerita. Saya tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya, tetapi saya ternyata menyukainya dan favorit saya adalah Red Forman. Pemerannya adalah orang yang membintangi penjahat di film RoboCop dan saya sangat terkesan bahwa dia bisa melucu dalam perannya yang tegas sebagai seorang ayah. Jika ada kekurangan That '70s Show, maka itu adalah masalah perginya aktor-aktor dari serial tersebut. Bahkan tokoh utamanya, Eric Forman, pergi dan kembali hanya untuk 10 menit di episode terakhir. Untung saja secara keseluruhan ceritanya masih tetap memikat. 

Nah, jika That '70s Show adalah yang ketiga, apa judul sitcom pertama yang pernah saya tonton? Saya telah menonton sitcom sejak puluhan tahun silam, dimulai dari Friends. Sewaktu kuliah di Pontianak, saya dan teman saya Ardian mengikuti serial ini dan kita sering berbagi cerita yang telah kita tonton. Ketika saya pindah ke Jakarta, saya lanjut menonton Friends hingga usai, kali ini bersama Rusli, kolega saya. Setelah itu, sebagai bagian dari kumpulan bujangan yang tinggal serumah di Singapura, kita secara kolektif bahkan sempat memerankan Pheng iuFriends versi Tiochiu. Di malam harinya, kita akan berkumpul di ruang tamu untuk menyaksikan pemutaran ulang serial Friends (oh ya, kita putar ulang sendiri, karena saya memiliki DVD Friends, satu set komplit). Bertahun-tahun kemudian, saya menamai anak saya Emily berdasarkan karakter favorit saya di Friends. 

That '70s Show di Netflix

Sebenarnya apa yang istimewa dari Friends sehingga serial ini benar-benar mengakar pada diri saya? Saya rasa karena topik yang diangkat, dimana serial ini menyoroti kehidupan enam orang sahabat yang lucu dan benar-benar dekat satu sama lain. Ada Joey dan Chandler yang paling lucu, Phoebe yang nyentrik, Monica yang nyaring dan tentu saja Ross dan Rachel, pasangan ideal. Bersama-sama mereka mengarungi setiap jenjang kehidupan, sesuatu yang tentunya relevan buat saya. Hal lainnya yang menarik dari Friends adalah budaya mereka dalam berpelukan sebagai teman, sesuatu yang jarang dilakukan oleh orang Asia. Saya selalu merasa bahwa cara menunjukkan simpati yang sederhana ini sebenarnya sangat luar biasa dampaknya, dimana setelah kita bersalah baik dalam perkataan maupun perbuatan, kita memaafkan dan melupakannya. Ini juga jelas senada dengan tema yang diusung di lagunya, bahwa saya akan selalu hadir untukmu.

Setelah Friends, yang saya tonton berikutnya adalah How I Met Your Mother. Walau terdengar konyol, judul ini betul-betul mewakili inti dari serial tersebut: satu cerita panjang dimana tokoh utamanya, Ted, bersama-sama dengan Barney, Robin, Marshall dan Lily, bertemu dengan Sang Ibu. Serial ini bagaikan versi baru dan modern dari Friends, dimana Ted dan Robin seperti menggantikan peran Ross dan Rachel. Yang juga wajib disebutkan di sini adalah akting Neil Patrick Harris sebagai Barney Stinson yang legendaris. Dia bukan saja luar biasa lucu di sini, tapi juga inspirasional. Hanya Barney yang bisa berkata, "ketika saya sedih, saya berhenti merasa sedih dan memilih untuk merasa keren." Walau kedengarannya gila, tapi kalau Barney yang berucap, rasanya bisa dimaklumi dan susah dibantah. Dengan segala kekonyolannya, serial ini sungguh terasa optimis. 

Sekarang, selagi saya menulis ini, saya jadi menyadari adanya benang merah antara tiga serial ini. Bermula dari sekumpulan teman yang nongkrong di kafe dan minum kopi (Friends), saya lanjut dengan sekumpulan teman yang nongkrong di bar dan minum bir (How I Met Your Mother) dan sekumpulan teman yang nongkrong di ruang bawah tanah dan masih terlalu muda untuk minum bir (That '70s Show), namun ide yang melatarbelakangi semua ini selalu sama. Semuanya selalu bercerita dengan persahabatan, cinta dan kegembiraan dalam hidup. Jika karakter seseorang sedikit banyak ditentukan dari apa yang ia sukai, ia tonton dan apa yang mempengaruhinya, mungkin ini bisa menjelaskan kenapa karakter saya seperti ini...