Total Pageviews

Translate

Saturday, May 20, 2023

The Drinking Tradition

As a child from the 80s, I always love how things turned out to be. We had a happy, internet-free childhood. Then we lived through the dawn of mobile technology as we matured as adults. My favorite time, as I recall, was when BBM ruled the earth. For the first time ever, we were able to chat on the go. 

But as much as I wanted it to be, it wasn't during BBM's time that things fell into places. On the contrary, the technology at that time still wasn't good enough. it was also too chaotic for all the aspects in our life to be aligned yet. It was one generation later, by the time WhatsApp became the standard, that we as friends really kept in touch again. 

The year was 2015. We were in our mid 30s, now settling down with enough freedom to enjoy the fruit of our hard labor for the past 10 years or more. Our high school group chat was founded. And in Singapore, the drinking tradition would soon begin to take shape. 

It started with Eday's visit to Singapore for work and doing his jury duty for Gundam stuff. Those who lived in Singapore would naturally play the host. We had dinner, drinks and most importantly, we exchanged ideas and talked about untold stories old and new. For that few hours, we were simply those guys from the same high school in Pontianak again. The togetherness was a much-needed liberation that it would repeat once a year since 2015.

The past events.

In the early days, we would still have some random participants such as Andiyanto and Jimmy Lim, but Darwin's natural selection happened and the members remained the same since then. For few years in a row, there were only Eday, Endrico, Surianto, Taty and I. It stayed that way, almost permanently. 

AW changed all this when he joined us in 2020, but little did we know that the pandemic was just around the corner. COVID-19 put a stop to almost everything, including our six-year-old tradition. But even when we could only wait, we still made plans. And after our trip of 13 people to Japan, getting a similar number of crowd to come to Singapore seemed less challenging than before.

That night, on the same day Nintendo released the sequel of Breath of the Wild, our drinking tradition resumed with a vengeance. It was bigger and better than before. How so? For a start, this year was supposed to be our 25 year reunion celebration and it was great to have Wiwi, Eday and Jimmy on the same table for the first time ever since our graduation. It's an achievement unlocked, I would say. 

Eday and Jimmy.

We had Surianto complaining from one end of the table to another and he eventually spilled the beer on my shorts. There was Jimmy preaching as always, saying stuff like togetherness such as this was a treasure, especially because we weren't getting any younger. There was also AW breaking the beer glass as he got too excited. Then we had this memorable moment when Eday hugged Jimmy and told him that he would always be remembered as a loyal friend. 

In order to understand the importance of the scenes that unfolded, I had to say that we weren't saints. We had our differences. Throughout the years, on the pretext of jokes, we might have said and done things that were hurtful to others. But by the end of the day, it was touching to see our friendship thrived and grew stronger than ever. While I can't speak on behalf of others, I personally think we have too much history together to just throw it all away. That's why the friendship lasts...

Drinking With Eday 2023.

Epilogue: 
The next morning, Jimmy woke up wondering who had covered him with a blanket. It wasn't a very macho thing to do and it was quickly sugarcoated with jokes, but it was a small gesture like this that went a long way to illustrate how our friendship is like...



Tradisi Minum Bersama Eday

Sebagai orang yang berasal dari dekade 80an, saya suka dengan rentetan peristiwa yang terjadi sepanjang hidup saya. Generasi saya melewati masa kecil yang bebas internet. Setelah itu saya mengalami perkembangan teknologi handphone sewaktu saya beranjak dewasa. Masa favorit saya adalah saat BBM mendominasi pasar. Untuk pertama kalinya, kita bisa chatting tanpa perlu duduk di depan komputer. 

Kendati begitu, apa yang hendak saya ceritakan ini tidak terjadi di masa BlackBerry. Teknologi saat itu masih belum cukup matang. Aspek-aspek kehidupan kita pada saat itu pun belum tertata baik. Di iterasi berikutnya, ketika WhatsApp menjadi standar, barulah kita sebagai teman-teman mulai saling menghubungi satu sama lain lagi. 

Saat itu tahun 2015. Kita berusia 35an, kini lebih teratur hidupnya dan memiliki cukup kebebasan untuk menikmati kerja keras kita selama 10 tahun terakhir. Grup WhatsApp SMA pun dibentuk. Di Singapura, tradisi minum bersama Eday pun bermula. 

The past events.

Semua ini bermula dari kunjungan Eday ke Singapura dalam rangka kerja dan menjadi juri untuk kompetisi Gundam. Kita yang tinggal di Singapura akhirnya menjadi tuan rumah. Saat berkumpul, kita bersantap malam dan minum. Kita juga bertukar ide dan cerita. Selama beberapa jam, kita kembali lagi menjadi mereka yang berasal dari sekolah yang sama di Pontianak. Kebersamaan yang unik ini pun akhirnya menjadi tradisi. Sekali dalam setahun, kita meluangkan waktu untuk berkumpul pas Eday datang. 

Di awal tradisi masih ada pula peserta-peserta yang hanya hadir sekali dua kali, misalnya Andiyanto dan Jimmy Lim. Namun teori Darwin tentang seleksi alam terjadi dan akhirnya hanya orang-orang tertentu yang meluangkan waktu setiap tahun. Untuk beberapa tahun ke depan, yang selalu hadir sewaktu Eday datang hanyalah saya, Endrico, Landak dan Taty.

Mul turut serta untuk pertama kalinya di tahun 2020, namun tidak disangka bahwa pandemi akan segera melanda. COVID-19 mengubah banyak hal dan membuat tradisi yang sudah berlangsung enam tahun ini gagal diselenggarakan di dua tahun berikutnya. Sambil bersabar menanti, kita tidak berhenti membuat rencana. Setelah liburan bersama 12 orang lainnya ke Jepang di awal tahun ini, koordinasi peserta dengan jumlah serupa ke Singapura tidak lagi terasa sulit untuk dilakukan. 

Di malam itu, di hari yang sama ketika Nintendo merilis lanjutan Breath of the Wild, acara Minum Bersama Eday kembali digelar. Kali ini jauh lebih ramai dan lebih baik dari sebelumnya. Kenapa begitu? Perlu diingat kembali bahwa tahun ini seharusnya kita merayakan reuni 25 tahun. Ini adalah pertama kalinya Wiwi, Eday dan Jimmy duduk semeja lagi setelah lulus SMA. Rasanya seperti prestasi tersendiri. 

Eday dan Jimmy.

Landak melampiaskan isi hati dari ujung meja kanan ke kiri, bahkan sempat menumpahkan bir di celana saya pula. Lantas ada lagi Jimmy yang berceramah tentang betapa berharganya kebersamaan, terutama karena kita tidak bertambah muda. AW tanpa sengaja memecahkan gelas karena terlalu berapi-api. Kemudian Eday juga memeluk Jimmy sambil mengenangnya sebagai teman yang setia kawan. 

Untuk memahami kenapa semua ini terasa begitu bermakna, saya perlu sampaikan bahwa kita ini bukanlah kumpulan orang kudus. Dari tahun ke tahun, meski konteksnya bercanda, ada berbagai perkataan dan perbuatan yang mungkin membuat orang lain tersinggung. Di malam itu, saya senang bahwa persahabatan kita masih terasa kental. Walau saya tidak bisa berbicara mewakili yang lain, saya cenderung berpikir bahwa kita semua melewati begitu banyak hal bersama untuk dibuang begitu saja. Inilah alasannya kenapa persahabatan itu bertahan dan nyata... 

Minum Bersama Eday 2023.

Epilog: 
Keesokan paginya, Jimmy bangun dan menyadari bahwa ada yang menyelimutinya di saat ia tertidur. Ini bukanlah perbuatan yang maskulin untuk sesama pria dan langsung menjadi guyonan. Namun di balik semua itu, hal kecil seperti ini menggambarkan seperti apa sesungguhnya persahabatan kita. Kita peduli satu sama lain dan saya senang menjadi bagian dari semua ini...

Tuesday, May 9, 2023

Salvaging The Good Start

It was supposed to be Strava Time: Singapore End to End. A great plan, one that would have gone down to history as a milestone in life, but it wasn't meant to be. We started early at 4:26 AM at the Inscription of the Island, the easternmost of Singapore. As we walked, the premonition happened: Eday almost tripped, I almost laughed.

The starting point.

Now, in order to understand the significance of the event, Eday and I had a long history of tripping over since 2015. I had fallen down twice when I walked with him. One was right after we had a drink, the other was recently, during our trip to Hakone in Japan. So when he lost but regained his footing immediately, I chuckled. We looked at each other and laughed at the very same thing only we knew.

Eday jokingly prayed for protection, but given our history, there was this insecure feeling haunting me. True enough, about 4 KM later, as we crossed the bridge to Loyang in the dark, I missed the last step and fell as I walked down the stairs. It was quite painful that I had cold sweat at the back of my neck, but as I stood and paced back and forth, I reckoned that we could continue. 

But soon it felt different. The right ankle had swollen that my shoe actually felt pretty tight. When I took off the sock, my friends Eday and AW saw that and forbade me from continuing the long walk. In Bedok Reservoir, after we walked about 11 KM, the mission was aborted immediately. I felt bad for being the cause of it, but my friends would have none of this apologetic behavior, reasoning that it was an accident so nothing to be sorry about. 

In their attempt to help, Eday gave a video call to Alvin and AW followed the example of the reflexology moves shown by Alvin on the video. When he couldn't do it right, Eday took his turn and tried. It was, in a way, hilarious. Alvin said it should have just taken one quick jolt to sort it out, but as the two weren't professional masseuses, I got easily 10 jolts and I was barely able to walk when they gave up doing that. Then AW innocently muttered something like the limping walked real fast, haha.

But here's the thing from my point of view. We were good friends, all right, but I was still impressed with them doing what they could without showing any hesitation. I mean, putting both hands on your friend's foot, that was unusual by my standard. While it didn't work out well, I was still thankful for the effort.

And as we sat down nearby the parking lot, we looked back and realized that we had two choices now: we either regretted the plan that failed to materialise or we laughed at how things turned out for us. We chose the latter. Eday said I should try out the wheelchair. Since every step was bloody painful now, I accepted the fact that I needed one and took the full benefit of it. 

Being helpless and wheelchaired.

When we reached the hotel, Taty, Susan and Andiyanto were ready. I was wheeled into the room and Susan had the sprain spray delivered. In short, I was taken care of by my wife and friends while jokes were flying wild. Even Karma, the wheelchair brand, was mentioned. 

I was eventually pushed to the therapy centre where my foot was twisted and turned by a young Chinese man wearing a traditional Chinese attire. I don't think I'm known for a high pain tolerance level, so I was quite miserable during the longest few minutes in my life. It felt like a torture!

Give me something for the pain!

Once done, I had a glimpse of life on a wheelchair in a country that is so wheelchair-friendly. I was pushed around for early lunch and coffee, with Eday giving me a taste of what could have happened if the guy who pushed the wheelchair decided to go handsfree. As I needed to recover, I went home. No point sticking around and be a burden for the rest. 

As I was on my way home I looked back and was amused by the turn of events. Yes, it could have been another glorious day for us, conquering Singapore from end to end. But we were humbled by what happened to me. To think that we could have been complaining about it, but we made the best out of the unfortunate situation and decided to have some fun instead. It was also nice to receive calls from friends asking what had happened. Good to know that we still had such a caring and positive mindset...

Heading for coffee.



Menyelesaikan Permulaan Yang Baik

Awalnya semua ini dicanangkan sebagai Strava Time: Singapore End to End. Sebuah rencana bagus, yang harusnya akan menjadi bagian dari prestasi hidup, tapi semua itu tidak terjadi. Kita mulai di pagi buta jam 4:26 pagi di Inscription of the Island, ujung timur Singapura. Sewaktu kita berjalan, sebuah pertanda buruk terjadi: Eday hampir terjatuh, saya nyaris tergelak.

The starting point.

Nah, untuk memahami pentingnya kejadian ini, saya perlu jelaskan bahwa Eday dan saya memiliki sejarah panjang tentang jatuh di jalan dari sejak tahun 2015. Saya sudah dua kali tersungkur sewaktu berjalan dengannya. Insiden ini pertama kali terjadi seusai acara Minum Bersama Eday, lalu terulang lagi saat kita mengunjungi Hakone di Jepang. Jadi ketika dia tersandung namun kembali berdiri tegak, saya tanpa sadar tertawa kecil. Kita lantas saling pandang dan menertawakan satu rahasia kecil yang hanya kita berdua pahami. 

Eday lantas bercanda dan meminta perlindungan, tapi saya jadi merasa tidak nyaman di hati. Benar saja, 4 KM kemudian, ketika kita menyeberangi jembatan ke Loyang di dalam gelap, saya tidak melihat anak tangga terakhir dan jatuh keseleo. Sakitnya langsung membuat saya berkeringat dingin di tengkuk. Ketika saya kembali berdiri dan mencoba melangkah dalam nyeri, saya merasa masih bisa melanjutkan perjalanan.

Namun sesuatu terasa berbeda ketika kita berjalan kian jauh. Kaki kanan saya bengkak sampai sepatu terasa ketat. Ketika saya duduk dan melepaskan kaus kaki, Eday dan AW melarang saya untuk meneruskan perjalanan. Di Besok Reservoir, setelah berjalanan sejauh 11 KM, misi kita pun dibatalkan. Saya bersedih karena menjadi penyebab semua ini, tapi teman-teman saya merasa semua ini adalah musibah sehingga tidak perlu maaf-maafan.

Sebagai upaya dalam memberikan pertolongan pertama, Eday menelepon Alvin yang pakar pijat dan AW mengikuti panduan Alvin di video. Ketika dia merasa tidak mengerjakannya dengan benar, Eday pun mengambil alih. Kalau dipikirkan lagi, sebenarnya ini kocak juga, Alvin berkata bahwa semua ini bisa dibereskan dalam sekali genjot, tapi karena mereka berdua bukanlah profesional di bidang ini, kaki saya ditarik mungkin sekitar 10 kali dan saya hampir tidak bisa berjalan setelah itu. Kemudian AW bergumam tentang si pincang berjalan kencang, haha. 

Dari sudut pandang saya, ini yang saya lihat: ya, kita memang teman akrab, tapi saya sangat terkesan dengan ketulusan dalam upaya mereka. Maksud saya, bahkan untuk ukuran teman baik pun canggung rasanya dalam memegang kaki teman dengan dua belah tangan, tapi mereka tidak ragu-ragu. Meski jerih-payah mereka tidak sepenuhnya sukses, saya masih sangat berterimakasih. 

Sewaktu kita duduk di samping lapangan parkir, saya menyadari bahwa kita hanya memiliki dua pilihan sekarang: kita bisa duduk menyesali batalnya rencana atau kita tertawakan nasib dan menikmati perubahan tak terduga ini. Eday berkata bahwa saya mungkin ingin mencoba kursi roda. Karena setiap langkah terasa sakit sekarang, saya menerima kenyataan ini dan mencoba idenya. 

Jadi cacat di kursi roda.

Tatkala kita sampai di hotel, Taty, Susan dan Andiyanto sudah siap. Saya duduk di kursi dan didorong ke kamar sementara Susan mengambil obat semprot yang sudah ia pesan. Di kamar, saya dirawat oleh istri dan teman-teman di tengah lelucon demi lelucon. Bahkan Karma, merek kursi rodanya pun tak luput dan disebut-sebut.

Jam 10 pagi, saya pun didorong ke tempat terapi di belakang hotel. Kaki saya diputar dan ditekuk oleh pemuda Cina dengan pakaian tradisional. Saya tidak memiliki toleransi yang tinggi terhadap rasa sakit, jadi saya pun menjerit dan meringis selama beberapa menit terpanjang dalam hidup saya. Rasanya seperti disiksa!

Saat dipelintir dan ditekuk.

Setelah selesai dipelintir oleh pakar pijat, saya berkesempatan untuk melihat hidup dari sudut pandang orang yang duduk di kursi roda di negara yang ramah bagi kursi roda. Saya didorong ke sana kemari untuk santap siang dan kopi. Eday juga memberikan pengalaman bagaimana rasanya bila yang mendorong kursi roda memutuskan untuk lepas tangan. Kemudian, karena saya perlu beristirahat, saya pun pulang. Tidak ada gunanya menjadi beban bagi yang lain. 

Di dalam taksi, saya kembali memikirkan apa yang terjadi. Ya, hari ini harusnya menjadi hari di mana kita menaklukkan Singapura dari ujung ke ujung. Tapi kita justru mendapatkan sudut pandang lain yang tidak kalah berharga setelah kemalangan yang terjadi pada saya. Kita bisa saja mengeluh dan menyesali keadaan, tapi kita justru memilih untuk melakukan yang terbaik dari situasi yang tidak menyenangkan ini. Alhasil kita pun masih bisa tertawa. Selain itu, ada kesan tersendiri saat menerima telepon dari teman-teman seperti BL dan Gunawan. Senang rasanya mengetahui bahwa kita masih memiliki rasa peduli dan pola pikir yang posifif... 

Pergi menikmati secangkir kopi.

Saturday, April 15, 2023

Book Review: The Rape Of Nanking

I can't remember when I first heard of the Nanjing Massacre, but it felt like I had known about it for the longest time. Must have read it on Wikipedia years ago. The Memorial Hall in Nanjing was one of the best museums I ever visited. Right at the end of the gallery, I saw the words from survivor Li Xiuying hanging on the wall: remember history, but not with hatred. Not only it summed up what the museum was all about, but it was also a powerful reminder, one that I still vividly remember today. 

Fast forward to five years later, I happened to read about the Nanjing Massacre again on Time magazine recently. It somehow brought me back the time when I passed by the statue of Iris Chang as I exited the museum. She died young, tragically killed herself as he was suffering from depression. For those who never heard of her, Iris was the author of a book called the Rape of Nanking. And this is how I ended up borrowing the book from the library.

The Rape of Nanking.

Now, throughout the years, I had heard about how influential the book was. But none of this prepared me for what I was about to read. It was fast-paced and structured. Informative and disturbing at times due to the graphic description of the events. 

It opened with historical moments in Japan that preceded the war. Once the prelude ended, it was like sitting on the front seat to watch how the Japanese troops made their way to Nanjing. A killing spree that happened next left not much to imagination. The choice of words used to describe the atrocities were beyond what I had ever read before! 

It was one hell of a massacre, all right. But amidst the chaos and brutality, hope lingered and kindness did shine. Then came the aftermath and the story finally drew to a close as it examined the attempts to cover up and erase the event from history. 

The whirlwind of information ended as fast as it came. Iris' storytelling style was as smooth as it could be. If not for its content, I would have called it an easy reading. But it isn't and it's never meant to be one. It is supposed to be a reminder, that no matter how bleak or shameful it was, the massacre did happen. Just like the slogan in the museum said, "bear history in mind, cherish peace."

When we visited the museum in Nanjing.

But history aside, what's the key takeaway for me? All this while, I couldn't reconcile the two contradicting facts about the wartime Japanese troops' cruelty and the politeness of Japanese people when I visited the country. This book finally gave me the answer.

Almost a hundred years ago, the Japanese soldiers believed the emperor was divine and they lived solely to serve the emperor. If they themselves were worthless, then the Chinese were just a bunch of pigs that they could slaughter without blinking. That's the danger of a doctrine gone wrong. As I lived through the '98 riots and ethnic violence of Dayak-Madura, it's a plausible explanation that I can accept. 



 Ulasan Buku: Pemerkosaan Nanking

Saya tidak ingat lagi kapan pertama kalinya saya mendengar tentang Pembantaian Nanjing, tapi rasanya saya sudah lama tahu akan hal ini. Mungkin saya baca di Wikipedia bertahun-tahun silam. Memorial Hall di Nanjing boleh dikatakan sebagai salah satu museum terbaik yang pernah saya kunjungi. Di akhir galeri, saya melihat kata-kata dari Li Xiuying, korban yang selamat dari pembantaian: ingat sejarah, tapi tidak dengan dendam. Ucapannya itu menyimpulkan museum tersebut dengan baik dan juga menjadi nasehat yang selalu saya ingat hingga hari ini. 

Lima tahun setelah kunjungan ke Nanjing, saya kebetulan membaca lagi kisahnya di majalah Time. Saya jadi terkenang dengan saat saya melewati patung Iris Chang saat saya keluar dari museum. Dia meninggal muda, bunuh diri karena depresi. Bagi yang tidak tahu siapa dia, Iris adalah pengarang buku the Rape of Nanking. Saya lantas meminjam buku karangannya dari perpustakaan

Permerkosaan Nanking, karya Iris Chang.

Nah, sebelum ini, saya sudah sering dengar tentang pentingnya buku ini. Namun apa yang saya ketahui tidak membuat saya siap dengan apa yang saya baca. Cepat dan terstruktur, deskripsi di buku ini juga sangat detil dan mengerikan. 

Tulisan Iris dibuka dengan sejarah di Jepang sebelum perang dimulai. Setelah itu, pembaca bagaikan duduk di kursi depan dan menyaksikan langsung bagaimana tentara Jepang menyerbu ke Nanjing. Pembantaian yang terjadi dijabarkan dengan detil, sampai-sampai tidak sulit untuk membayangkannya lagi. Kata-kata yang dipakai untuk melukiskan kekejaman Jepang benar-benar berbeda dengan kalimat dari buku-buku yang biasa saya baca.

Di tengah kebrutalan Jepang yang menimbulkan kekacauan, masih tersisa harapan dan kebaikan dari orang-orang asing yang bertahan di Nanjing dan mendirikan suaka untuk membantu dan melindungi orang Cina. Kemudian perang usai dan cerita pun diakhiri dengan pengamatan terhadap upaya menghilangkan jejak kekejaman ini dari catatan sejarah. 

Gaya Iris dalam bercerita tergolong enak untuk dibaca, meski berat dan bertubi-tubi informasinya. Kalau bukan karena topiknya, saya bisa menyebutnya sebagai bacaan santai. Akan tetapi buku ini lebih merupakan rangkuman catatan dan peringatan bahwa tidak peduli seberapa kelamnya sejarah, pembantaian ini pernah terjadi. Ini sejalan dengan slogan di museum, "ingatlah sejarah, hargai perdamaian." 

Ketika kita berkunjung ke museum di Nanjing.

Di samping sejarah, apalagi yang saya dapatkan dari buku ini? Selama ini, saya selalu sulit membayangkan kenapa laskar Jepang di zaman perang sungguh kejam sementara keramahan orang Jepang saat saya datang sebagai turis sama sekali tidak tertandingi? Buku ini akhirnya menjawab pertanyaan saya. 

Hampir 100 tahun silam, tentara Jepang percaya bahwa kaisar adalah titisan dewa dan mereka hidup untuk melayani kaisar. Jika nyawa mereka sendiri tidak berharga, maka orang-orang Cina lebih rendah lagi martabatnya, hanya sekumpulan babi yang patut dijagal. Inilah bahaya dari doktrin yang keliru. Karena saya pernah melewati Kerusuhan '98 dan perang etnis Dayak-Madura, saya bisa menerima penjelasan ini. 

Saturday, April 8, 2023

The Details

I told you about my creative process a while ago. Turning ideas into something tangible is what I do. It's fun. So addictive. But one thing I didn't tell you previously, the defining factor that was equally exciting, is the fact-checking process.

Oh yes, I'm really proud of the roadblog101's accuracy. My memory is pretty good that it enables me to tell story the way it happened. More often than not, I remember the events vividly. But names of places sometimes eluded me, especially when they sounded so foreign. This is when the fact-checking began.

At the sake bar I was looking for. 

The recent Japan trip series reminded me again how I normally did this. In this particular story, I was searching high and low for the name of the sake bar I went with Eday. As the place was an integral part of the story, I'd like to include it. But even enlarging Asakusa region on Google Maps didn't help! I still couldn't find it.

Then I remember that I paid the bill using my debit card. I searched for the payment record and I found a long, odd name in one word. As I couldn't read Japanese, I didn't even realize that the name was actually truncated. But it was sufficient for me to use it as a keyword. The moment I googled it, the name appeared: Sake no Daimasu Kaminarimon. It worked!

Timeline on Google Maps.

Another trick I learnt from writing the Japan series is how to make use of Timeline on Google Maps. Now, I'm not sure how many of you are aware of this, but Google is tracking our movement. I could actually open Google Maps and click the Timeline menu to see where I had been from morning till evening, let's say, two weeks ago. It'd show me the whole day route I took. By using this, I could ensure that similar events didn't get mixed up. 

Then of course there is my all-time favorite: Swarm. I've told you this before on a separate story, but let's summarize it here. This app is extremely useful in searching for the places I had been. I can use the keyword I roughly remember, I can search based on the city and I can even zoom into the map to find the location.

A Swarm check-in.

Lastly, and this perhaps works only for me, I actually used the Hard Rock t-shirt as a marker in my mind. For example, the Fukuoka t-shirt reminds me of the visit to Madura, the Paris t-shirt was memorable because I wore it during the trip to Karawang and so forth. Most, if not all t-shirts, were closely associated to a certain event in my life.

So there you go. This is how I got the details right. But why bother? Well, the answer is, because it's the right thing to do. It doesn't matter if the readers check the facts or not. But on a personal level, it is fun. Quite often it is one head-scratching moment, I'll admit, but when you figure it out, it is like, "eureka!"

And I enjoy that feeling.

Visiting Madura.





Detil Cerita

Saya sudah bercerita tentang proses kreatif saya dalam menulis beberapa waktu lalu. Mengubah ide menjadi sesuatu yang bisa dibaca adalah sesuatu yang saya lakukan. Seru dan bikin ketagihan pula. Namun satu hal yang tidak saya jabarkan sebelumnya, yang tidak kalah serunya juga, adalah proses memeriksa kembali fakta cerita. 

Oh ya, saya sangat bangga dengan keakuratan roadblog101. Daya ingat saya tergolong bagus sehingga memungkinkan saya untuk bercerita sesuai dengan kejadian. Saya bisa mengingat rangkaian peristiwa dengan baik. Yang kadang agak menyulitkan itu adalah nama tempatnya, terutama yang berbau asing. Di kala seperti inilah proses pengecekan fakta dimulai.  

Di sake bar yang saya cari-cari.

Liburan ke Jepang baru-baru ini mengingatkan saya kembali, bagaimana saya mengerjakan proses ini. Di salah satu episode, saya mencari nama bar sake yang saya kunjungi bersama Eday. Karena tempat ini adalah bagian integral dari cerita, saya ingin memasukkan namanya. Akan tetapi saya tidak bisa menemukannya, meski sudah saya perbesar kawasan Asakusa di Google Maps. 

Kemudian saya teringat bahwa saya membayar tagihan tersebut dengan kartu debit. Saya cari data pembayarannya dan menemukan sebuah kata yang panjang dan mirip bahasa Jepang. Karena saya tidak mengerti bahasa Jepang, saya bahkan tidak tahu bahwa namanya terpotong. Kendati begitu, apa yang saya temukan ini cukup untuk dijadikan sebagai kata kunci. Begitu saya cari, namanya pun muncul: Sake no Daimasu Kaminarimon!

Timeline di Google Maps.

Trik lain yang saya pelajari dari kisah Jepang ini adalah cara menggunakan Timeline di Google Maps. Saya tidak tahu apakah anda pernah menyadari bahwa Google sebenarnya memantau pergerakan kita setiap hari. Dengan demikian, saya bisa membuka open Google Maps Dan memilih menu Timeline untuk melihat di mana saja saya seharian berjalan, misalnya dua minggu silam. Dengan demikian saya tidak akan keliru dalam bercerita bilamana ada dua peristiwa yang nyaris serupa terjadi dua hari berturut-turut. 

Kemudian ada pula favorit saya dalam memastikan nama tempat: Swarm. Sudah pernah saya ceritakan apa sebenarnya Swarm ini, tapi mari kita rangkum lagi. Applikasi ini sangat berguna untuk mencari tempat yang sudah dikunjungi. Saya tinggal gunakan kata kunci yang saya ingat, saya bisa cari berdasarkan nama kota dan bisa pula saya lacak berdasarkan peta lokasi.

Swarm.

Terakhir, dan yang satu ini mungkin hanya bisa diterapkan oleh saya sendiri, adalah kaos Hard Rock yang identik dengan tempat-tempat tertentu. Misalnya kaos Fukuoka selalu mengingatkan saya pada Madura, kaos Paris berkaitan dengan kunjungan ke Karawang dan sebagainya. Hampir semua kaos ada kenangan tersendiri.

Jadi demikian caranya bagaimana saya bisa mendapatkan detil yang akurat. Kalau pertanyaannya adalah, apa perlu sampai segitunya? Jawabannya adalah karena ini adalah hal benar untuk dilakukan. Tidak masalah apakah pembaca mengecek ulang nama tempatnya atau tidak. Namun di sisi yang lebih personal, semua ini asyik untuk dikerjakan. Ya, seringkali sampai bikin garuk kepala, apa nama tempatnya ini, tapi begitu ditemukan, rasanya seperti, "eureka!"

Dan saya suka perasaan itu.

Di Madura.


Thursday, March 30, 2023

The Japan Trip: Hakone And Our Last Day

Our trip to Hakone started early and began with, again, the hard truth that speed came with a price. Our JR East Pass was much cheaper than the regular JR Pass, therefore we could only take the normal train from Ueno to Odawara Station. By the time we reached there, Eday and friends had finished their breakfast.

All of us then travelled together from Odawara to Hakone-Yumoto Station. From there onwards, the whole thing felt almost like déjà vu, because I had done it almost a decade ago, when I had a family trip in 2014! That bridge above the stream, the bus stop and the jetty! I was there, did them all in the same sequence!

Gunawan on the bridge above the stream.

The slight difference here was the visit to Hakone Shrine's lakefront torii. It's the one that people see from the boat and we walked to the shrine to see the other side of the torii gate. There was a queue when we got there, a popular tourist spot, apparently. We waited a bit for our turn to take pictures. 

As we headed back, we saw ducks swimming playfully on the lake. But the leisure walk immediately turned into running when we realized the ship was about to depart. We managed to get into the ship and sailed across Lake Ashi. It was nice, but fairly breezy. We eventually decided to get warm inside the cozy passenger deck as the pirate ship approached Togendai Station. 

Inside the pirate ship.

The station has a restaurant, so we grabbed our lunch before continuing our journey. In normal circumstances, we would have taken the Hakone Ropeway from Togendai to Owakudani on the mountaintop, but it was under maintenance, so we took a bus instead. 

It was here in Owakudani that Robinson Travel failed to deliver. We had seen sakura and snow so far, but Mount Fuji was nowhere to be seen that day, thanks to the fog. Even Parno must be so agitated that he spontaneously blurted out, "but where's Fuji Film?" 

And everybody laughed at his malapropism.

Aming Coffee supporters in Owakudani.

But it was also here that a historical moment happened. You see, I have always been a fan of Aming Coffee since 2017, when I interviewed the man himself. I always thought of Aming Coffee as our kind of Hard Rock Cafe, the one thing that is good from our hometown Pontianak. So on the last day we were together in Japan, we wore the Aming Coffee t-shirt. We embraced the freezing cold weather (you could tell from Parno's expression) and took the picture in Owakudani. It is now hanging proudly in my living room.

From Owakudani, we continued the journey with ropeway, tram and train. We were eventually back to where we began, then we hopped on the next train back to Tokyo. We stopped at Shinjuku Station and Parno, who was so determined not to get lost again, followed Eday closely. He even followed Eday going round the station pillar, not realizing that he was actually tricked into doing so. Now this is following someone blindly! Literally!

BL and Japanese girl he got to know in the train to Shinjuku.

We went our separate ways from Shinjuku. Seven of us went back to Akihabara to check out the seven-story Pop Life Department M's, the pachinko parlor and the porno DVD shop in the nearby basement. After that, we visited the maid cafe called @Home Cafe. 

This was one unique experience. The waitress dressed like a maid and the nickname of ours was Kitsune. She wore a surgical mask, so half of her face was covered, but she looked more like Caucasian than Japanese. When the maids served us, the whole interaction was very animated. The story was bombastic, the expression was over the top. 

At maid cafe.

Surianto informed us he couldn't make it, so we told the maid that Parno's desk had only three people. When the maid saw the bill charging for four guests, she acted surprised and threw her hands in the air, so anime-like that she got us laughing. Then, when the drinks were served, there were some gestures we gotta do and mantras we gotta say, something sounded like, "moe moe kyuutttt." 

Later on, before we went back to the hotel, we had our supper at McDonald's. Parno grumbled that we still ate even though it had been quite late at night, but he turned out to be the one eating the most, haha. As he was coughing a bit, Ardian eventually took away the fries for his own good. 

At Mcdonald's.

The night ended with us packing our luggage and gambling. We had so many coins by the end of the trip that losing the bets was not necessary a bad thing because we could finally get rid of the coins! Susan and Cicilia won that night.

The next morning, things were coming to an end. We had our last outing together in Asakusa. I had my last breakfast with Eday and Muliady, then Eday and I went to Tully's for coffee. For one last time, we saw how Surianto always appeared unexpectedly as he took the escalator down right in front of us. Then Eday, Taty, Surianto and I checked out. Eday headed to Narita while the three of us went to Haneda, going back to Singapore via Manila...

Parno and Eday: two old friends in Japan.




Liburan Ke Jepang: Hakone Dan Hari Terakhir

Kunjungan ke Hakone dimulai sejak pagi buta dan sekali lagi kita diingatkan kembali dengan kenyataan bahwa ada harga, ada kecepatan. JR East Pass yang lebih murah harganya dari JR Pass hanya memungkinkan kita untuk naik kereta biasa dari Ueno ke Stasiun Odawara. Ketika kita tiba di stasiun tersebut, Eday dan kawan-kawan sudah selesai sarapan.

Kita semua lantas melanjutkan perjalanan lagi, kali ini dari Odawara ke Stasiun Hakone-Yumoto. Apa yang terjadi setelah itu terasa seperti déjà vu karena sudah pernah saya lakoni hampir 10 tahun silam, sewaktu saya berlibur bersama anak-istri di tahun 2014. Jembatan merah di atas sungai, halte bis yang sama dan juga pelabuhan di danau! Semuanya sudah saya lakukan dengan urutan yang sama! 

Gunawan di Hakone.

Yang sedikit berbeda di sini adalah persinggahan kita ke gerbang torii Kuil Hakone yang menghadap danau. Ini adalah gerbang yang sering terlihat di brosur dan kita berjalan ke kuil untuk melihat gerbang ini dari sudut pandang yang berbeda. Ada antrian ketika kita sampai di sana. Cukup populer rupanya. Kita pun menanti sebentar untuk mengambil foto. 

Kita melihat bebek yang berenang di danau saat berjalan kembali ke pelabuhan. Akan tetapi kapal akan segera berangkat, jadi kita pun bergegas. Setelah menunjukkan karcis, kita naik ke kapal yang menyeberangi Danau Ashi dan membawa kita ke Stasiun Togendai. Kita sempat mondar-mondar di atas kapal, namun angin dingin akhirnya memaksa kita untuk turun ke dek yang hangat. 

Di dalam kapal bajak laut.

Setelah kapal berlabuh, kita bersantap siang di Togendai View Restaurant. Lantai berikutnya adalah tempat untuk menaiki kereta gantung, tapi karena sistemnya kebetulan sedang dicek, kita akhirnya menaiki bis menuju ke Owakudani. 

Dan Robinson Travel gagal menunaikan janjinya di Owakudani. Sejauh ini kita sudah melihat bunga sakura dan salju, tapi Gunung Fuji tidak terlihat karena terhalang kabut. Bahkan Parno pun protes dan spontan berkata, "jadi mana Fuji Film?" 

Dan semua tertawa karenanya. 

Pendukung Aming Coffee di Owakudani.

Tapi di tempat yang sama ini pula sebuah sejarah diukir. Bagi yang belum tahu, saya menggemari Aming Coffee sejak 2017, sejak saya mewawancarai pemiliknya. Saya selalu merasa bahwa Aming Coffee ini bagaikan Hard Rock Cafe, satu hal yang membanggakan dari kota kelahiran saya, Pontianak. Jadi di hari terakhir bersama di Jepang, kita memakai kaos Aming Coffee. Kita abaikan dinginnya cuaca (anda bisa lihat dari ekspresi Parno) dan berfoto di Owakudani. Foto ini kini digantung di ruang tamu saya.  

Dari Owakudani, kita lanjut dengan kereta gantung, trem dan kereta, kembali ke posisi semula di Stasiun Hakone-Yumoto dan pulang ke Tokyo. Kita turun di Stasiun Shinjuku yang ramai dan Parno yang trauma karena telah beberapa kali ketinggalan kini mengikuti setiap langkah Eday. Dia bahkan ikut mengitari tiang di stasiun, tak sadar bahwa ia sedang dikerjai, haha.

BL dan gadis Jepang di kereta menuju Shinjuku.

Kita berpencar di Shinjuku. Tujuh orang termasuk saya pergi ke Akihabara lagi, kali ini kita mengunjungi toko pernak-pernik seks setinggi tujuh lantai yang bernama Pop Life Department M's, tempat bermain pachinko dan juga lantai bawah tanah yang menjual aneka DVD porno. Sesudah itu kita mampir ke kafe pelayan @Home Cafe. 

Ini adalah sebuah pengalaman yang unik. Para pelayan wanita ini memakai seragam seperti di komik dan nama samaran pelayan kita adalah Kitsune. Dia mengenakan masker, jadi mukanya tertutup separuh, tapi raut wajahnya terlihat lebih mirip bule daripada orang Jepang. Ketika mereka melayani kita, interaksinya mirip kartun Jepang. Ada cerita di balik menu minuman dan pelayannya pun sangat menjiwai perannya. 

Moe moe kyuuttt!

Landak mengabarkan kita bahwa dia tidak bisa datang, jadi kita memberitahukan pelayan bahwa meja Parno hanya ada tiga tamu. Ketika ia melihat bahwa bon di meja dihitung berdasarkan empat tamu, pelayan tersebut kaget sampai terangkat tangannya, benar-benar seperti kartun sehingga kita pun tertawa. Kemudian, ketika minuman disajikan, kita harus mengikuti gerakannya dan mengucapkan mantra yang terdengar seperti, "moe moe kyuutttt." 

Sebelum kembali ke hotel, kita mampir ke McDonald's untuk makan lagi. Parno mengomel karena kita masih makan meski malam sudah kian larut, tapi dia sendiri malah yang makan paling banyak, haha. Karena dia agak batuk, kentang gorengnya lantas diamankan oleh Ardian demi kebaikannya. 

Di Mcdonald's.

Dan malam pun diakhiri dengan kemas-kemas koper dan judi. Kita memiliki begitu banyak koin sehingga kalah pun rasanya lega karena kita tidak perlu lagi menyimpan segenggam koin di saku celana. Susan dan Cicilia menang di malam itu. 

Keesokan paginya, ada kesan bahwa kebersamaan kita akan segera berakhir. Kita berjalan-jalan di sekitar Asakusa untuk terakhir kalinya. Saya, Eday dan Muliady sarapan bersama untuk terakhir kalinya. Selanjutnya saya dan Eday pun ngopi bersama di Tokyo untuk terakhir kalinya. Di situ kita juga melihat Landak yang sering tiba-tiba muncul untuk terakhir kalinya. Dia mendadak turun dari eskalator tepat di depan kafe Tully's. Setelah itu, saya, Landak, Taty dan Eday pun meninggalkan hotel dan menuju stasiun. Eday berangkat ke Narita sementara kita ke Haneda, kembali ke Singapura lewat Manila... 

Parno dan Eday: dua teman lama di Jepang.