Total Pageviews

Translate

Sunday, September 28, 2025

Prisoner Of The Past

One great thing about churchgoing is the entertaining and inspiring sermon. And that usually happened when our senior pastor was preaching. I have an affinity for funny people, and he certainly met the criteria, so there I was, listening attentively. That's when I heard the phrase, "prisoner of the past."

It was so cool and intriguing that it immediately got me thinking. The love I have for all the good times I had, does that make me the prisoner of the past? No, I tend to think that is simply cherishing the lovely memories. How about those who go on spending sprees on vintage toys? While that might be overcompensating, it was more of fulfilling a childhood dream. Then I recalled a friend who always harped on his failed marriages.

That had to be it: the failures that haunted and shackled you forever. But while I was quick to think of others as examples, the real value in understanding this was to see if I, too, was a prisoner of my past. Then I did a bit of soul-searching. All my life, it has been about fulfilling dreams and the time well spent. Even things I failed to achieve became blessings in retrospect. I laugh a lot and often the loudest. As far as I'm concerned, I don't think I have much regret.

The closest thing I could think of was my inability to swim. For more than four decades, I was the prisoner of the past. I made excuses so that I didn't have to do anything about it. When I wanted to learn, I didn't persevere. That was always the case until one day, when I saw my daughter laughing at me playfully as she swam past me. I decided perhaps it was time to confront my past. 

The feelings were a mixed bag. I was embarrassed, but then I learned that it was for nothing. People actually didn't really care if a middle-aged stranger learned how to swim. I had a phobia when the water level reached my neck, but I pushed it through. I was worried that the water would flood into my ears, but that didn't happen. Finally, when I wore the swimming goggles and opened my eyes in the water, the fear subsided instantly. And just like that, I was liberated. I was no longer a prisoner of my past. 

I learned that being a prisoner of the past is a matter of choice. You can continue feeling sorry for yourself, or you can do something about it. You either let it define who you are, or you take control and change it. In a world where we are quick to point out others' flaws, it's not going to be easy, but it's doable nonetheless.

My earliest documented visit to a swimming pool. Couldn't swim since then.





Terbelenggu Masa Lalu

Satu hal yang saya sukai dari kebaktian di gereja adalah khotbah yang lucu dan menginspirasi. Dan seringkali itulah yang terjadi bila pastor senior kita berbicara di panggung. Saya selalu tertarik dengan orang yang lucu dan pintar, jadi saya pun mendengarkan dengan seksama. Lantas terucapkan olehnya istilah tahanan yang terbelenggu oleh masa lalu. 

Frase tersebut sangat menggelitik sehingga saya serta-merta berpikir. Bagaimana halnya dengan kegemaran saya dalam bernostalgia tentang kebersamaan, apakah ini membuat saya terbelenggu masa lalu? Rasanya tidak, karena ini lebih cenderung mengenang masa-masa bahagia. Lalu bagaimana pula dengan mereka yang menghamburkan uang untuk mainan lama? Walau ada kesan kompensasi berlebihan, yang ini lebih condong ke perwujudan impian masa kecil. Kemudian saya teringat dengan teman yang suka mengungkit tentang pernikahannya yang gagal.

Sepertinya inilah definisi yang cocok: kegagalan yang menghantui dan senantiasa membelenggu. Namun walau saya bisa dengan cepat memikirkan orang lain sebagai contoh, yang paling penting dari pemahaman ini adalah mencari tahu, apakah saya pun terbelenggu oleh masa lalu. Saya lantas merenung. Hidup ini sudah saya jalani dengan mewujudkan aneka impian dan saya juga menggunakan waktu sesuai keinginan hati. Bahkan kegagalan saya pun menjadi berkat bila saya lihat kembali. Saya tertawa dan tak jarang pula tertawa paling keras. Jadi sejauh ini saya tidak memiliki banyak penyesalan. 

Satu hal dari masa lalu yang bisa dikatakan pernah membelenggu saya adalah keahlian berenang yang tidak saya miliki. Selama lebih dari 40 tahun, saya terbelenggu oleh masa lalu. Ada saja alasan saya agar tidak perlu belajar dan mengatasi kekurangan saya ini. Bahkan di kala saya belajar, saya tetap tidak gigih dan bersungguh-sungguh. Selalu saja begitu, sampai pada suatu hari, saat melihat putri saya tertawa polos sewaktu berenang santai melewati saya. Saya lantas berpikir, mungkin sudah waktunya bagi saya melakukan sesuatu. 

Perasaan saya pun bercampur aduk. Saya merasa malu, namun lekas saya sadari bahwa perasaan itu sebenarnya tidak perlu, sebab tidak ada orang di sekitar yang peduli kalau pria berumur 40an sedang belajar berenang di kolam ini. Saya memiliki fobia saat permukaan air mencapai leher saya, tapi saya tetap lanjut. Saya khawatir bahwa air akan masuk ke telinga, namun kekhawatiran itu tidak terbukti. Selanjutnya, ketika saya mengenakan kacamata renang dan membuka mata di dalam air, saat itu pula rasa takut saya sirna. Saya terbebaskan dan tak lagi terbelenggu oleh masa lalu. Kini saya bisa berenang.

Dari situ saya belajar bahwa menjadi tahanan masa lalu hanyalah masalah sebuah pilihan. Anda bisa terus-terusan merasa malang, atau anda lakukan sesuatu untuk keluar dari kemalangan tersebut. Anda bisa bersembunyi dan membiarkan masa lalu itu mendefinisikan anda, atau anda justru dengan rendah hati menerima kegagalan anda dan mulai melakukan perubahan yang berarti. Di dunia di mana kita dengan gesit menunjukkan kesalahan orang lain, tidaklah gampang untuk mengakui kelemahan kita sendiri, tapi percayalah bahwa semua itu bisa dilakukan.



Saturday, September 20, 2025

The Cashless Society

I have always been a fan of the cashless payment mode. I'm so fond of it that one of my favorite moves is waving a credit card to settle the payment. The freedom of it, so liberating! Carrying so much cash, especially when traveling, is never my thing. 

And the world seems to agree with this, hence the QR code payment. I was too irritated to realize it last year, but looking back, the QRIS at Whoosh's Tegalluar Station outside the city of Bandung was a telltale sign. At that time, I was simply pissed off that the stall didn't accept either cash or credit card in such a godforsaken place!

The awakening time happened in China. During our visit, it was safe to say that cash was overrated. Everything could be paid using Alipay or WeChat Pay. It was crazily practical and efficient. That's when I started paying attention to this QR payment. 

Then came the Vientiane trip a few months ago. The Loca Pay inside Loca app was convenient. After that, right before my trip to Jakarta, I saw this app called Dana appearing on my Facebook. I downloaded it and not only it was useful, but it also saved me from the hassles that might have occurred during the trip if I hadn't had the app. By the time I was going for another trip to JB, I had TNG eWallet ready on my phone. 

Just like I said earlier, I don't like carrying cash. In a situation where I can't use my card, all these QR payment apps help me to achieve what I want. As my credit card is linked to the app, the logic remains the same to me. I'm still paying with my card, not cash. It allows me to use my card, albeit by proxy, but that is just fine. 

It's a different time these days, really. Gone are the days when you had to carry a lot of cash and this change suits me well. Yes, sometimes there'll be extra charges on top of the actual amount, but if compared with paying in cash, that's definitely the price I'm willing to pay. 

Scan and pay!





Dunia Non-Tunai

Saya selalu menggemari pembayaran non-tunai, sampai-sampai salah satu gerakan favorit saya adalah kibas-kibas kartu kredit. Begitu fleksibel dan bebas rasanya. Kalau bawa banyak uang kontan, terutama di saat berlibur, rasanya tidak praktis.

Dan dunia sepertinya sepakat dengan pola pembayaran ini, makanya pembayaran dengan kode QR bermunculan. Saya terlalu jengkel untuk menyadarinya tahun lalu, namun bila saya lihat kembali, QRIS di Stasiun Tegalluar khusus Whoosh yang berada di luar kota Bandung adalah pertanda. Di kala itu, saya gusar karena kedai yang saya hampiri tidak menerima pembayaran kontan dan kartu kredit di tempat terpencil seperti ini! 

Pandangan saya terbuka saat berada di Cina. Selama kunjungan kita di sana, boleh dikatakan uang kontan sebenarnya tidak diperlukan. Semua bisa dibayar dengan Alipay atau WeChat Pay. Benar-benar luar biasa efisien! Dari sinilah saya mulai mengamati pembayaran berdasarkan kode QR. 

Lantas tiba liburan ke Vientiane di pertengahan tahun ini. Loca Pay di dalam aplikasi Loca membuat segalanya terasa gampang. Setelah itu, sebelum saya ke Jakarta, aplikasi Dana muncul di Facebook saya. Saya pun unduh dan terbukti berguna. Saya terlepas dari segala kesulitan yang pasti harus saya hadapi kalau saja saya tidak memiliki Dana. Selanjutnya, sebelum saya ke Johor Bahru, saya sudah menyiapkan TNG eWallet di telepon genggam saya. 

Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, saya tidak suka membawa uang tunai. Dalam situasi di mana saya tidak bisa menggunakan kartu kredit, aplikasi pembayaran QR ini tetap membuat saya mencapai apa yang saya inginkan. Karena kartu kredit saya sudah terdaftar di aplikasi, saya tetap membayar menggunakan kartu dan bukan tunai. 

Zaman sudah berubah. Kita tak perlu lagi membawa banyak uang tunai dan perubahan ini cocok untuk saya. Ya, terkadang memang ada biaya tambahan, tapi bila dibandingkan dengan pembayaran tunai, maka biaya tambahan tersebut adalah harga yang siap saya bayar dengan senang hati. 

Sunday, September 14, 2025

Day Trip To JB With Bernard

Bernard is easily one of my closest friends, but as I sat down with him in JB and looked back, I realized that I rarely traveled with him. Granted, we did Jakarta and Batam, but Laos was our farthest trip so far. When it comes to Malaysia, we visited Kuching in 2012. 13 years later, there we were in JB for the first time ever. 

One week before the trip, he checked with me to see if I could accompany him to JB for furniture shopping. I checked with my wife if she had anything planned for family and, since she had none, I said okay. It was also a good opportunity to test out the MVNO data plan I just subscribed to. Lastly, since Loca Pay in Laos and Dana in Indonesia, I also downloaded TnG eWallet for this trip.

Off we went on a rainy Saturday. Once we passed through the autogate in Malaysia, it was time to test the MVNO SIM cards. Eight worked like a charm, but Circles.Life failed. Upon checking with the support team, turned out that my data plan of Circles.Life didn't cover the roaming services, haha. 

First stop, lunch. Bernard wanted to eat Soon Huat Bak Kut Teh in Taman Sentosa. Apparently he was a regular here and I'd learn that we basically followed his usual itinerary. The queue for Soon Huat seemed long, but it was quite fast. The food wasn't that fantastic, I am afraid. Even Bernard said that the quality had dropped, though I'm not sure if he was influenced by the clear pork soup remark that I showed him when I checked in using Swarm

At the first shop.

Next stop was the furniture shops. The first one was in Taman Johor Jaya, close to Tebrau. The second shop where we got the recliner sofa, was in Skudai. The testing, at least for me, was quite amusing. The more you got the potato couch feeling, the more you could be sure that it was the one you'd want to buy. Bernard was more systematic. He checked the neck and back support in both sitting and reclining positions. To put it simply, he was more meticulous. 

At the second shop, Art Home Furniture.

Now that we got the sofa, we headed to Hard Rock Cafe Puteri Harbour to see if there was anything new. From there we headed back to Taman Sentosa again, this time we ate at Taman Sri Tebrau Hawkers Centre. It was an old fashioned eatery. Bernard joked that even the signboards were probably older than us. We had crayfish there, which reminded me of the seafood restaurant in Tanjung Balai.

Visiting Hard Rock.

The last thing we did right after dinner was foot massage at Fizzio that is located across the street. Painful at times, but that, perhaps, what the feet and legs needed. After an hour, I finally got a chance to test TnG eWallet. I love cashless payment! Then we made our way back to the border and returned to Singapore...



Sehari Di JB Bersama Bernard

Bernard adalah salah satu teman terdekat saya, tapi sewaktu saya lihat kembali, ternyata kita jarang berlibur bersama. Ya, tentu saja kita bepergian ke Jakarta dan Batam, tapi Laos adalah tempat terjauh yang pernah kita kunjungi bersama. Akan halnya Malaysia, kita ke Kuching tahun 2012. 13 tahun kemudian, kita mengunjungi Johor Bahru untuk pertama kalinya. 

Satu minggu sebelum tanggal keberangkatan, Bernard bertanya apakah saya bisa menemaninya ke JB untuk berbelanja furnitur. Saya konfirmasi dengan istri, siapa tahu dia sudah merencanakan sesuatu untuk keluarga. Berhubung tidak ada acara, saya pun mengiyakan Bernard. Ini juga kesempatan yang bagus untuk menguji data MVNO yang saya beli baru-baru ini. Dan sejak Loca Pay di Laos serta Dana di Indonesia, saya juga mengunduh TnG eWallet untuk liburan singkat ini. 

Lantas berangkatlah kita di Sabtu pagi yang rintik-rintik. Saatnya mengetes MVNO begitu kita melewati pintu imigrasi otomatis di Johor Bahru. Eight berfungsi dengan baik, namun Circles.Life tidak bisa dipakai di Malaysia. Setelah saya tanyakan ke bagian pelayanan pelanggan, ternyata paket data Circles.Life tidak mencakup koneksi internet di luar Singapura, haha. 

Bak Kut Teh.

Pemberhentian pertama, makan siang. Bernard ingin menyantap Soon Huat Bak Kut Teh di Taman Sentosa. Ternyata dia sering makan di sana dan saya lekas menyadari bahwa hari ini kita akan mengikuti rute regulernya. Antrian di Soon Huat cukup panjang, tapi cepat pula pergerakannya. Rasa masakannya biasa saja. Bahkan Bernard mengakui bahwa kualitasnya sudah turun, walau saya tidak tahu apakah pendapatnya itu dipengaruhi oleh komentar tentang sup babi jernih yang saya tunjukkan padanya saat saya menggunakan Swarm

At the first shop.

Sesudah makan, tujuan berikutnya adalah dua toko furnitur. Yang pertama terletak di Taman Johor Jaya, tak jauh dari Tebrau. Yang kedua, tempat kita membeli sofa malas, berada di Skudai. Cara kita menguji kenyamanannya cukup menarik. Bagi saya, semakin malas rasanya saya beranjak dari sofa, berarti makin nyaman. Bernard lebih sistematis. Dia memeriksa penyangga leher dan punggung dengan lebih seksama, baik dari saat duduk tegak sampai posisi berbaring santai. 

At the second shop, Art Home Furniture.

Setelah mendapatkan sofa, kita singgah sejenak di Hard Rock Cafe Puteri Harbour untuk melihat koleksi terbaru. Dari situ kita kembali ke Taman Sentosa lagi, kali ini untuk makan malam di  Taman Sri Tebrau Hawkers Centre. Ini tempat makan tradisional dan Bernard bercanda bahwa papan nama penjualnya mungkin lebih tua dari kita. Kita memesan udang karang di sini, menu yang mengingatkan saya saat makan di restoran di Tanjung Balai

Visiting Hard Rock.

Hal terakhir yang kita lakukan adalah pijat kaki di Fizzio di seberang jalan. Sakit juga pijatannya, tapi mungkin itu yang dibutuhkan tapak dan tungkai kaki setelah berjalan seharian. Satu jam pun berlalu dan akhirnya saya bisa mencoba TnG eWallet. Saya suka pembayaran non-tunai! Setelah itu, kita melaju ke perbatasan dan kembali ke Singapura... 

MVNO

MVNO... Never heard of it? So did I! This story started after my wife came back from her birthday party. She simply said that the eight SIM-only plan was cheaper. I had no idea what she was talking about. My first time hearing it. But like any good husbands that tried avoiding further nagging from the wife, I did my due diligence. 

So I fired up Perplexity, my trusted AI, and started researching. That's when I first discovered the plethora of MVNO providers. But first thing first, the key of MVNO (Mobile Virtual Network Operator) is the word virtual, which means they are telcos without physical network infrastructure. That's why the cost is the cheaper, but that also means they are the second class citizens in the telco world. Think of them as the stripped down version. 

I'd been loyal to Starhub for so long that all these MVNOs such as eight, Vivifi, Gomo, etc. were below my radar. But I like traveling, and throughout my journey for the past 25 years, I have seen how the technology has evolved in terms of internet use. Things had changed drastically from portable Wi-Fi to eSIM. Now this! The convergence! For the first time ever, I noticed that the international roaming for selected countries, such as TH, MY and ID were included in the package deal. 

But while the low price and big data plan is attractive, the question now is its reliability as a whole. So I got one data-only Circles.Life just to test it out. It's been all right, the signal has been quite steady even when I am inside the MRT. Support-wise, it was a bit odd to have it available on Facebook Messenger, but it worked well for me! However, the plan I subscribed to didn't work outside Singapore. 

Back to eight, I switched and ported my daughter's StarHub number to the MVNO provider. It was easy to set up, though I still saw her temporary number as the SMS sender even a week after the successful port-in (it was eventually fixed). She was unhappy, complaining that the internet connection was choppy. Not sure if it was true, but the 4G was totally gone at least once right after the initial setup. When I borrowed the SIM card for a day trip to JB, I'd say the signal was pretty reliable. 

As for me, I had been using Star Plan. It worked well, but I disliked the idea of not having a proper contact number for what I'd consider as a premium MNO service these days. I mean, it didn't make sense to pay so much when its chat support is worse than Circles.Life. So one fine day, while taking the train to the office, I switched to M1. Similar service, still MNO, but monthly recurring cost was reduced from SGD 27.5 to SGD 11.5. Bye, StarHub! It had been a good 15 years or so!

MNO v. MVNO.



MVNO

MVNO... Belum pernah dengar? Sama juga halnya dengan saya! Cerita ini bermula setelah istri saya pulang dari pesta ulang tahunnya. Dia dengan santai berujar kalau paket SIM-only dari eight itu lebih murah. Saya tidak tahu apa yang ia bicarakan. Baru kali ini saya dengar yang namanya eight. Namun sebagai suami yang baik dan senantiasa berusaha menghindari ocehan lebih lanjut dari istrinya, saya pun lakukan riset.

Saya aktifkan Perplexity, AI andalan saya, lalu mulai mencari informasi. Dari situlah saya pertama kali tahu tentang banyaknya penyedia MVNO. Tapi hal pertama yang penting untuk dipahami dari MVNO (Mobile Virtual Network Operator) adalah kata virtual, artinya mereka ini adalah operator tanpa infrastruktur jaringan fisik. Karena inilah biayanya lebih murah, tapi juga berarti mereka ini seperti “warga kelas dua” di dunia telko. Bisa dibilang versi sederhana dari operator asli.

Saya sudah begitu lama setia dengan StarHub sampai semua MVNO seperti eight, Vivifi, Gomo, dan lain-lain benar-benar tidak masuk radar saya. Tapi saya suka berlibur, dan selama 25 tahun terakhir saya melihat sendiri bagaimana teknologi internet berkembang. Dulu orang pakai portable Wi-Fi, lalu beralih ke eSIM. Dan sekarang ini! Sebuah titik temu! Untuk pertama kalinya saya perhatikan roaming internasional untuk negara tertentu, seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia, sudah termasuk dalam paket.

Tapi meskipun harga murah dan kuota besar itu menarik, kuncinya sekarang tentu saja adalah soal keandalan secara keseluruhan. Jadi saya coba ambil paket data-only dari Circles.Life untuk uji coba. Lumayan, sinyal cukup stabil bahkan di kala saya berada di dalam MRT. Dari sisi pelayanan, agak aneh juga karena harus lewat Facebook Messenger, tapi buat saya cukup efektif! Sayangnya, paket yang saya ambil tidak bisa digunakan di luar Singapura.

Kembali ke eight, saya akhirnya pindahkan nomor StarHub anak saya ke penyedia MVNO itu. Prosesnya mudah, tapi seminggu setelah pemindahan nomor berhasil, nomor sementara anak saya masih muncul sebagai pengirim SMS (problem ini akhirnya beres juga). Dia kurang senang, katanya koneksi internet suka putus-putus. Entah benar atau tidak, tapi 4G sempat benar-benar hilang tak lama setelah saya aktifkan. Tapi waktu saya pinjam kartu SIM-nya untuk perjalanan sehari ke JB, menurut saya sinyalnya lumayan stabil.

Kalau saya sendiri, sebelumnya saya pakai Star Plan. Selama ini berjalan lancar, tapi saya kurang suka dengan konsep layanan MNO premium yang bahkan tidak menyediakan nomor kontak yang jelas. Maksud saya, untuk apa bayar lebih kalau pelayanan via chat-nya malah lebih buruk daripada Circles.Life? Jadi suatu hari, saat naik kereta ke kantor, saya putuskan pindah ke M1. Layanannya mirip, masih MNO, tapi biaya bulanan turun dari SGD 27,5 jadi SGD 11,5. Selamat tinggal, StarHub! Terima kasih untuk kebersamaan selama 15 tahun terakhir!