Total Pageviews

Translate

Wednesday, November 21, 2018

The Last Time I Saw Nagasaki

Traveling is a humbling experience. If you have been following roadblog101.com for a while, you might have read me saying that from time to time. The experience I was referring to was never more vivid than what happened recently. I was in Nagasaki, standing there on the hill of Glover Garden and admiring the view, when it suddenly dawned on me that it could be the last time I saw Nagasaki. 

Such a feeling never occurred to me before and no, I'm not gravely ill or dying, haha. I just came to realize that unlike Jakarta, Shanghai or even London, there are cities that aren't likely to be visited again, simply because there aren't any reasons for you to go there anymore. For all the effort that we made to get there, once visited, it was like, "been there, done that." 

I remember cities such as Liverpool, Hiroshima, Nanning and Vientiane, how they became the lovely memories from the past but are no longer part of my future. Then I looked at Nagasaki and immersed in its beauty. I was absorbing what I saw, for it could be the last time I saw this magnificent panorama in my entire life. How true that was! The experience was almost surreal. 

I asked my wife if she ever realised the same thing when we walked towards Nakasu in Fukuoka. There was a river right next to Nishitetsu Inn and it was very beautiful. When we reached the other end of the bridge, I said something like, "remember this and treasure the moment, for this could be the last time we went to Fukuoka."

Traveling is indeed a humbling experience. Through our last trip to Japan, I was reminded again of my own mortality, that every new adventure in my life could simply be my last, too. It taught me that I should live my life to the fullest and always give my best today, so there'll be no regret tomorrow. This, of course, is not only specific to traveling. The same idea is applicable in life. We either waste our time complaining or we create the very moment we'll cherish. That, my friends, is a matter of choice...

Nagasaki viewed from Glover Garden.


Terakhir Kali Saya Melihat Nagasaki

Berlibur adalah pengalaman yang sangat bersahaja. Jika anda sudah cukup lama mengikuti roadblog101.com, anda pasti pernah membaca kutipan di atas beberapa kali. Pengalaman bersahaja yang saya maksudkan di sini terasa sangat nyata baru-baru ini. Beberapa waktu lalu, saya berada di Nagasaki, berdiri di bukit Taman Glover dan mengagumi indahnya kota yang terletak di lembah dan di tepi laut ini. Tiba-tiba saja terpikirkan oleh saya mungkin inilah terakhir kalinya saya melihat Nagasaki. 

Oh, saya tidak sedang sakit keras atau dalam kondisi kritis, haha. Saya hanya menyadari bahwa berbeda halnya dengan kota-kota seperti Jakarta, Shanghai atau bahkan London, ada kota-kota tertentu yang sepertinya tidak akan dikunjungi lagi karena tidak ada lagi alasan untuk ke sana. Setelah perencanaan dan segala upaya untuk pergi ke kota tersebut, begitu selesai dikunjungi, rasanya seperti tidak perlu diulangi lagi karena sudah pernah.

Saya ingat dengan kota-kota seperti Liverpool, Hiroshima, Nanning dan Vientiane. Kota-kota ini kini menjadi kenangan yang indah di masa lalu, tapi tidak lagi menjadi bagian dari masa depan saya. Kemudian saya menatap Nagasaki dan menikmati keindahan kota tersebut. Saya mencoba mengingat pesonanya, sebab ini mungkin menjadi kali pertama dan sekali-kalinya saya melihat panorama yang mengagumkan ini.  

Beberapa hari berikutnya, saya bertanya pada istri saya, apakah ia pernah menyadari hal yang sama. Saat itu kita sedang berjalan menuju Nakasu di Fukuoka. Tepat di samping Nishitetsu Inn, hotel tempat kita menginap, ada sebuah sungai dan tempatnya ditata dengan rapi dan indah. Sewaktu kita sampai di seberang, saya berkata kepadanya, "ingat dan kenanglah saat ini, sebab ini mungkin pertama dan terakhir kalinya kita ke Fukuoka." 

Berlibur itu sungguh pengalaman yang bersahaja. Lewat perjalanan ke Jepang ini, saya diingatkan lagi bahwa kita tidak hidup abadi. Setiap petualangan baru bisa saja menjadi petualangan yang terakhir bagi kita. Hal ini membuat saya sadar bahwa kita senantiasa harus memberikan yang terbaik dan juga menikmati hidup ini, supaya tidak ada penyesalan di hari esok. Pemikiran ini tentu saja tidak hanya sebatas liburan, tetapi juga cocok untuk diterapkan dalam berbagai hal di kehidupan. Kita bisa saja menghabiskan waktu untuk mengeluh atau kita manfaatkan waktu yang sama untuk menciptakan kenangan indah yang akan kita ingat selalu. Pada akhirnya, pilihan itu tergantung pada kita sendiri...

Sunday, November 18, 2018

Hal Mengajar

Kata mengajar adalah kata yang tidak asing lagi bagi kita, tapi menarik untuk dicatat bahwa ada banyak perbedaan tentang definisi maupun cara-cara dalam penerapannya. Mengajar adalah suatu kegiatan yang boleh dikatakan susah-susah gampang. Jika kita menemukan caranya, yang susah akan menjadi gampang.

Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin berbicara sedikit tentang aktivitas saya yang berhubungan dengan mengajar. Saya mengajar sejak saya SMP, jadi saya sudah mengajar hampir 25 tahun. Mengajar menjadi hobi yang boleh dikatakan sebagai the way of life. Secara umum, mengajar artinya menyampaikan pengetahuan pada anak didik. Bagi saya pribadi, mengajar adalah suatu proses dimana kita berbagi pengetahuan dan mengatur supaya apa yang mau kita sampaikan bisa diterima dengan baik tanpa paksaan. Dengan kata lain, yang diajar tahu bahwa pelajaran itu untuk kebaikannya.

Berbagi pengetahuan artinya kita sebagai pengajar juga belajar dari orang yang kita ajari. Mengajar bukan hanya tentang bagaimana mengetahui sesuatu, tapi juga bagaimana sesuatu itu bisa diolah dan diterapkan. Sudah menjadi harapan pendidik bahwa muridnya bisa mengerti dan melampaui apa yang telah diajarkan. Kita bisa dikatakan berhasil jika orang yang kita ajari bisa menjadi lebih hebat dari kita.

Saya percaya setiap orang, baik secara sadar ataupun tidak, senantiasa ingin dituruti. Nah, metode itu yang saya pakai, apalagi saat mengajar anak-anak. Mereka pasti suka jika kita ikuti kemauan mereka. Ini artinya saat saya mengajar, saya akan coba pahami mereka dan mengikuti apa maunya mereka. Apabila mereka sudah merasa nyaman, mereka akan dengan sukarela mengikuti kita. Contohnya, anak mau main tapi kita ingin ajak dia mandi. Kita ikuti dulu mereka dan temani bermain. Setelah dituruti kehendaknya, maka kita pun akan lebih mudah mengajaknya untuk mandi.


Untuk mengajar seseorang, kita perlu menyesuaikan irama sehingga mudah bagi kita untuk mengarahkan apa yang kita mau. Saat pertama kali bertemu dengan anak yang baru saya mau ajari, saya akan berkenalan dulu dan saya biarkan dia menuntun dengan caranya.

Banyak jenis cara belajar dan tidak ada yang salah. Yang ada adalah apakah cara itu efektif untuk yang bersangkutan. Ada harus duduk diam baru bisa konsen dan ada pula yang musti bergerak. Semuanya tidak ada masalah bagi saya. Yang saya rasakan tidak tepat adalah yang belajar tanpa mengerti dan hanya mengejar nilai, jadi semuanya dihafal tanpa dimengerti apa aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Memang saya akui juga bahwa banyak sekali pelajaran di Indonesia yang menurut saya itu tidak perlu alias boleh dikatakan sampah. Misalnya tanggal berapa Pahlawan P meninggal. Bayangkan saja, mungkin tanggal meninggalnya kakek saya pun tidak saya ingat, apalagi kakek orang lain yang sudah wafat ratusan tahun yang lalu.

Sekarang saya akan bahas tentang penilaian. Terkadang seringkali saya dibilang tidak adil di dalam memberikan penilaian maupun cara mengajar. Sebagai contoh, untuk soal yang sama, dua murid yang melakukan kesalahan dalam mengerjakannya bisa memperoleh komentar yang berbeda. Ada murid yang mendapatkan komentar, "you're great, keep trying." Tapi ada juga yang dapat komentar pedas, "try checking where your brain is."

Kenapa bisa demikian? Ini karena perbedaan level seseorang dan orang lain. Jika seorang anak yang berumur 3 tahun mengerjakan soal 5+7 dan dia memberikan jawaban 15, saya tidak akan memberikan nilai, melainkan motivasi dan dorongan positif. Akan tetapi jika seorang anak SD kelas 5 melakukan kesalahan yang sama dan berulang, saya akan memberikan teguran keras seperti, "come on, are you kidding me?"


Ada juga murid yang saya tanya, di mana dia meletakkan otaknya. Saya memberikan komentar pedas ini jika anak tersebut berbicara tanpa berpikir, menjawab dengan cepat tapi salah dan setelah habis menjawab baru bergumam, "eh..." Saya percaya kalau kita tidak tahu apa yang kita lakukan atau cara kita salah, kita tidak akan merubahnya. Oleh karena itu saya ingin murid yang bersangkutan sadar bahwa otak harus diletakkan pada tempatnya, yaitu di dalam kepala, sehingga kita berpikir dulu baru menjawab.

Walau keras kesannya, maksud saya adalah jangan sampai otak kita diletakkan di dengkul, jadinya menjawab dulu baru turun ke bawah untuk berpikir. Orang seperti ini selain berucap tanpa berpikir juga suka membantah setelah kita beritahukan yang benar, sebab kecenderungannya adalah berkomentar sebelum mencerna. Banyak sekali orang-orang seperti ini.

Sebaliknya, bilamana anak murid usia 3 tahun yang melakukan kesalahan, saya tidak menyalahkan tapi malah saya puji. Sekali lagi ini karena levelnya memang sampai di situ. Dia berani mencoba dan bukannya berkata tidak bisa, jadi motivasi adalah bentuk dari penghargaan terhadap usahanya.

Terkadang anak-anak tidak berani berpikir di luar kebiasaan karena pengaruh orang tua juga. Saya punya pengalaman dengan seorang murid yang dengan serius menceritakan cita-citanya saat saya bertanya hendak jadi apa dia suatu hari nanti. Awalnya dia mencoba menuliskan cita-citanya dan setelah 30 menit berlalu, dia tidak menghasilkan apa pun. Dia jujur berkata bahwa dia tidak tahu. Saya lantas menganjurkan padanya, coba pikirkan lagi dan lain kali beritahu saya. Di hari berikutnya, saat saya memberikan kursus padanya lagi, dengan semangat dia berkata bahwa dia sudah tahu cita-citanya.

Akhirnya saya dengarkan dia bercerita tentang keinginannya menjadi peneliti yang menciptakan dinosaurus dari telur yang dibuat. Saya mendukung dan saya katakan, "bagus, kalau begitu, sekarang apa yang harus kamu lakukan supaya bisa jadi peneliti hebat?" Anak ini pun menjawab bahwa dia musti belajar supaya pintar.

Namun rupanya sang ibu juga turut mendengarkan apa yang anaknya ceritakan kepada saya. Dia lantas bertanya kepada saya, "mister, kenapa serius sekali menyimak imajnasi anak saya dan bukannya menasihati bahwa itu tidak mungkin dan tidak usah berkhayal?” Kemudian saya balik bertanya, " Bu, apakah ada yang salah dengan cita-citanya?" Ibu itu menjawab, "tidak, cuma apa yang diimpikannya itu 'kan mustahil."

Lalu saya memaparkan sebuah sudut pandang yang berbeda. "Bu, 100 tahun yang lalu, apakah pernah terbayang kalau kita bisa menonton langsung perang yang sedang terjadi di luar negeri?" Ia pun menjawab bahwa ini tidak bisa dilakukan dulu. Saya lantas menimpali bahwa sekarang ada siaran langsung karena kemajuan teknologi. Jadi maksud saya adalah, saya tidak mau membatasi kemampuan anak dengan kemampuan saya sekarang. Apa yang tidak mungkin bagi kita sekarang, bisa terjadi suatu hari nanti. Lagi pula tidak ada ruginya mendengarkan ungkapan cita-cita seorang anak yang baru kelas 1 SD walaupun berupa khayalan. Yang penting khayalannya membuat dia berusaha untuk mewujudkannya.

Saya dengar, saya lupa.
Saya catat, saya ingat.
Saya olah, saya mengerti.

Tiga kalimat di atas itu yang saya terapkan dalam mengajar. Tapi seringkali banyak murid yang hanya sampai pada tahap saya catat, saya ingat. Artinya hanya teori dalam mengejar nilai, namun tidak bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak juga anak-anak yang punya kemampuan yang sangat bagus tapi tidak mampu memaksimalkan apa yang mereka miliki karena tidak mau mengolahnya. Hal ini terjadi terutama dalam pelajaran yang memerlukan logika dan hitungan. Pelajaran ini perlu diolah, baru bisa dimengerti. Cara olahnya yaitu dengan latihan. Banyak yang menganggap remeh latihan dan merasa sudah tahu, tapi saat ujian, seringkali melakukan kesalahan kecil yang fatal karena tidak latihan.

Biasanya setiap awal tahun saya akan meminta mereka menuliskan New Year's resolution dan cara untuk mencapainya. Sebelum itu, kita juga akan melihat kembali resolusi tahun lalu, apa yang belum bisa dicapai dan akan dibahas kenapa, apakah caranya yang kurang tepat dan hendaknya ditambahkan untuk tahun ini. 

Dan pedoman ini selalu saya tekankan untuk diingat:
Write what you are going to do.
Do what you wrote.
Realize your role and goal when doing your activity.





Thursday, November 15, 2018

Malaysia Boleh: Penang

I used to have this misconception that Penang was the city a person visited when one said, "I just went to Penang." Only when I went there that I realised such a remark was only correct for practical reasons. Penang was a state comprised of Penang Island and a little bit of mainland. The city that we actually visited was George Town, the capital city of the state that was located in Penang Island. This confusion, coupled with the name George Town that was difficult to pronounce by older Chinese people, were perhaps the reasons why people would simply refer to Penang rather than go through the ordeal of explaining where they went to.

My visit, one and only so far, happened in 2009. This was the time when Grab hadn't existed. After my experience in Kuching, I always had this idea that with the exception of Kuala Lumpur, the public transport in Malaysia was lousy. With that thought in mind, it was a blessing that I travelled with two Malaysian colleagues, Swee Hin and Han Tah. We could simply rent a car and drive around the city. The moment we came out from the airport, we got ourselves a small car and drove to Berjaya Hotel.

Swee Hin at Kek Lok Si Temple.

We arrived in Penang quite late at night as we departed from Singapore right after we finished working. The sightseeing began only the next day, when we went to Kek Lok Si Temple in the morning. On our way up to the temple, there was this fascinating turtle pond! The temple itself, located on a hill surrounded by mist and cloud, was very impressive, too. I remember that the room with Buddha statues felt very peaceful.

We went to Air Itam Dam right after that. The visit was like, since we were already in the area, let's go and have a look. There was a big reservoir there, something that a kid from Pontianak didn't see everyday. From there, we went to Penang Hill. The hill, known locally as Bukit Bendera, was more of an observatory. We went to the top of the hill by taking the funicular train that was slanted diagonally. Kinda scary, if you asked me, hehe. It was raining when we climbed up. For the fact that I don't recall much of of it, I tend to think that the tourist spot was overrated. Snake Temple was more interesting, although it was basically a temple with snakes and turtles, haha.

Swee Hin and Han Tah exploring Air Itam Dam.

After the short visit to see the Reclining Buddha, we went to the famous Gurney Drive in the afternoon for the taste of Penang. It was a nice place to be. There was a stretch of pavement on the seaside (remember, it's an island separated by Penang Strait from the mainland) that led to the roundabout. A lot of eateries, too. It was a good place to hangout.

As it was a weekend getaway, the trip was rather short. We couldn't do much on the last day, so we visited the giant Queensbay shopping mall on our way to airport. Prior to that, we also crossed the Penang Bridge to have a glimpse of mainland. After that we bid our farewell to Penang. Until we meet again!

Swee Hin and Han Tah at Gurney Roundabout. 


Malaysia Boleh: Penang

Saya dulunya mengira bahwa Penang adalah nama kota yang dituju ketika seseorang berkata, "saya baru saja pergi ke Penang." Ketika saya berkunjung, barulah saya sadari bahwa apa yang selama ini saya dengar tidaklah benar sepenuhnya. Penang adalah negara bagian yang terdiri dari Pulau Pinang dan sedikit kawasan di Semenanjung Malaysia. Kota yang biasanya dikunjungi orang bernama George Town, ibukota negara bagian yang terletak di Pulau Pinang. Hal yang cukup membingungkan ini, ditambah lagi dengan nama George Town yang mungkin sulit diucapkan oleh orang tua, mungkin menjadi penyebab kenapa orang cenderung menggunakan nama Penang. 

Kunjungan saya yang pertama dan satu-satunya sampai sejauh ini terjadi di tahun 2009. Ini adalah zaman ketika Grab belum lahir. Setelah pengalaman saya di Kuching, saya selalu merasa bahwa selain di Kuala Lumpur, sarana transportasi umum di Malaysia sangatlah buruk. Karena itu, mengunjungi Malaysia bersama teman-teman kerja berwarga Malaysia adalah gagasan yang cemerlang, sebab kita jadinya bisa mengemudi keliling kota. Dari bandara, kita pun menyewa mobil dan melaju ke Berjaya Hotel.

Di Kuil Kek Lok Si.

Malam sudah larut ketika kita tiba di Penang karena kita berangkat dari Singapura setelah jam kantor. Wisata barulah dimulai pada keesokan harinya, ketika kita mengunjungi Kuil Kek Lok Si di pagi hari. Sewaktu kita berjalan kaki menuju kuil, kita melewati kolam yang penuh dengan kura-kura. Kuil yang terletak di atas bukit berkabut ini juga sangat mengesankan. Ruangan dengan patung Buddha terasa begitu damai.

Setelah kuil, kita bertolak ke Dam Air Itam semata-mata karena lokasinya tidak jauh dari tempat kita berada. Di sana kita melihat Waduk, sebuah pemandangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya di Pontianak, kota kelahiran saya. Dari Air Itam, kita beranjak ke Bukit Bendera. Tempat ini bisa dideskripsikan sebagai stasiun pengamatan dimana kita bisa melihat George Town dari ketinggian. Puncak bukit bisa dicapai dengan menggunakan kereta yang ditarik oleh seutas kabel baja. Agak mengerikan sebenarnya, apalagi hari sedang hujan ketika kita naik, hehe. Saya tidak begitu mengingat apa sebenarnya yang kita kerjakan di atas, jadi saya rasa daerah turis ini tidaklah begitu menarik. Kuil Ular, sebuah kuil dengan beraneka ular dan kura-kura, lebih menarik perhatian.

Swee Hin di Kuil Budha Tidur.

Setelah kunjungan singkat untuk melihat patung Budha tidur, kita pun pergi ke Gurney Drive yang terkenal untuk bersantap malam. Tempat ini bagus untuk dikunjungi. Ada trotoar di tepi laut yang bila ditelusuri akan membawa kita ke bundaran di ujung jalan. Kios-kios yang berjualan makanan juga berderet di sana. Pokoknya enak untuk bersantai. 

Karena kita bepergian di akhir pekan, liburan kita pun berlangsung singkat. Tidak banyak yang bisa dikerjakan di hari terakhir, jadi kita pun mengunjungi pusat perbelanjaan Queensbay yang satu arah dengan bandara. Sebelum itu, kita juga menyeberangi Jembatan Penang untuk melihat Semenanjung Malaysia secara sekilas. Setelah itu, kita kembali ke Singapura. Sampai jumpa lagi, Penang!

Bersama Swee Hin di kawasan Gurney. 

Thursday, November 8, 2018

The Art Of Mommies

Apart from the five years hiatus right after the birth of my first daughter, I'd been writing stuff since I knew I was capable of doing it. I simply love the hobby and it's been my kind of thing for the longest time. Based on my personal experience, I always thought that's how one developed an interest, until the day I saw the paintings done by some women I knew.

It was amusing and yet puzzling at the same time. I was like, why now, when they were so busy with kids at home and work in office? Why didn't they do it when they were young and free? Out of curiosity, I went to ask my wife Nuryani and two other friends, Ng Lina and Angela.

A painting by Ng Lina. 

It's interesting to note that two out of three didn't seem to draw and paint before. Lina even shared that the only time she drew back then was during the art lesson in school. Only Nuryani ever took it up as a hobby, thanks to the exposure she had when she was a child. Her Dad used to bring her to some open space so that she could draw outdoor.

Talk about exposure, Lina was never an avid fan of paintings prior to this. Angela and Nuryani, on the other hand, were always more enthusiastic. Both of them had embraced the art of maestros such as da Vinci, van Gogh, Yayoi Kusama, Monet, Renoir or Raden Saleh. Nuryani further elaborated that she was also a fan of contemporary artists and even her friends. In the world of Instagram, she loved the water colour paintings from @estherpeck and @bohemianeleven.

A simple painting by Nuryani. 

Despite their background (or lack of it, in Lina's case), all three managed to find their way to this art of drawing and it was quite fascinating how their answers gelled with one another. It's amusing how drawing happened to be an activity that they could do together with their kids. My daughter loved drawing and so was my wife, hence it became their quality time. Ng Lina took up the painting class because she'd like to learn something new that could be done by both herself and her daughters. Angela explained in detail that, "it was one of the activities that, I thought, could get the all kiddos involved in, rather than just watching TV the whole day."

According to Angela, her kids were ecstatic as they get to make a mess, use varieties of tools beyond crayon and colour pencils, such as punching tool, colour paper, construction paper, etc. She firmly believed that the activity cultivates the creativity. It also helps the kids to learn about patience, determination, accountability, dedication, team work and responsibility. She got the point. I clearly didn't see that coming!

Angela's son, making his own greeting card. 

All mommies also agreed that the work they did was a great way for stress relief. Nuryani, who preferred water color, liked the feeling of producing something beautiful like flowers and landscapes. Lina shared the similar interest in drawing the same types of objects and she thought drawing was fun. She painted more using acrylic and she was particularly fond of colour blending. There was this indescribable satisfaction when she got it right. Angela, who drew using colour pencils and water colours, even brought this mere hobby to a whole new level by incorporating her art into DIY cards and birthday decoration, an activity that she did quite often in the recent years.

As Lina put it bluntly, she didn't consider herself as talented. But through this experience, Lina found it amazing that she could come up with something interesting from a blank canvass. More than that, it's been quite a rewarding journey for both herself and the kids, one that was begun with a brave tiny step to try it out. And these are mothers we're talking about. If they can do it regardless how busy they are, I guess any of us definitely can do something new in our lives, too, and see where it will bring us to. Don't stop believing...

Hanging out with Angela (center) and friends.


Seni Ibu-Ibu

Selain masa jeda selama lima tahun setelah kelahiran putri sulung saya, saya senantiasa menulis semenjak saya menyadari bahwa saya bisa menulis. Saya menyukai hobi ini dan saya telah menekuninya sejak pertengahan dekade 90an. Berdasarkan pengalaman pribadi ini, saya selalu mengira bahwa seperti itulah proses bagaimana seseorang menemukan dan mengerjakan hobinya. Akan tetapi persepsi saya berubah baru-baru ini, setelah saya melihat beraneka lukisan dari para wanita yang saya kenal. 

Apa yang saya lihat ini terasa menggelitik sekaligus mencengangkan. Saya sempat berpikir, kenapa baru sekarang, setelah mereka begitu sibuk dengan anak-anak di rumah dan pekerjaan di kantor? Kenapa tidak sedari dulu kala, ketika mereka masih muda dan bebas? Karena ingin tahu, saya lantas bertanya pada istri saya, Nuryani, dan dua teman lainnya, Ng Lina dan Angela.

Lukisan pemandangan karya Lina. 

Menarik untuk diketahui bahwa dua dari tiga wanita ini tidaklah aktif menggambar dan melukis sebelumnya. Lina bahkan bercerita bahwa sesekalinya dia menggambar dulu adalah pada saat pelajaran menggambar di sekolah. Hanya Nuryani yang pernah menjadikan aktivitas ini sebagai hobi di masa kanak-kanak karena ayahnya sering membawanya ke tempat terbuka untuk melukis. 

Bicara tentang pengalaman dalam dunia seni menggambar, awalnya Lina bukanlah penggemar lukisan. Angela dan Nuryani lebih antusias dalam bidang seni lukis dan telah melihat-lihat lukisan para ahli seperti da Vinci, van Gogh, Yayoi Kusama, Monet, Renoir dan Raden Saleh. Nuryani juga menjelaskan lebih lanjut bahwa dia juga menyukai karya teman dan para pelukis yang dia temukan di internet. Di dunia Instagram, dia mengagumi lukisan cat air karya @bohemianeleven dan @estherpeck.

Lukisan sederhana karya Nuryani. 

Meskipun memiliki latar belakang yang berbeda (atau tanpa latar belakang sama sekali, dalam kasus Lina), ketiga wanita ini kini berkecimpung dalam bidang seni lukis. Yang lebih menarik lagi, jawaban mereka mirip dan saling berkaitan satu sama lain, padahal mereka diwawancarai secara terpisah. Menggambar menjadi aktivitas yang bisa mereka kerjakan bersama anak-anak. Putri sulung saya senang menggambar dan demikian juga halnya dengan ibunya, sehingga menggambar menjadi salah satu kegiatan untuk mengisi waktu kebersamaan ibu dan anak. Lina mengambil kelas menggambar karena dia ingin mempelajari sesuatu yang baru, yang bisa dikerjakan bersama dengan anak-anaknya. Angela menjelaskan bahwa, "menggambar adalah aktivitas sederhana yang bisa dilakukan oleh anak-anak sehingga mereka tidak menghabiskan waktu seharian hanya untuk menonton siaran televisi." 

Menurut Angela, anak-anaknya gembira saat diajak menggambar dan ini bukan saja karena mereka tidak dimarahi saat rumah menjadi berantakan, tetapi juga karena mendapat kesempatan untuk menggunakan beragam peralatan melukis. Angela percaya bahwa aktivitas ini melatih kreativitas, kesabaran, kesungguhan, tanggung jawab, dedikasi, serta kerja sama.

Gambar karya Angela.

Ibu-ibu ini juga sepakat bahwa menggambar memberikan kesempatan bagi mereka untuk rileks. Nuyani yang suka melukiskan dengan cat air merasa senang saat menghasilkan sesuatu yang indah seperti bunga dan pemandangan. Lina juga senang melukis obyek yang sama dan dia merasa melukis itu asyik. Beberapa karyanya dilukis dengan akrilik dan dia menyukai proses perpaduan warna. Ada perasaan riang yang sukar dijabarkan dengan kata-kata saat ia berhasil memadukan warna yang ia inginkan. Akan halnya Angela, dia memilih untuk mewarnai menggunakan pensil warna dan cat air. Hobinya dalam menggambar sering disalurkan dalam bentuk kartu ucapan dan dekorasi ulang tahun, sebuah kegiatan lain yang juga mulai ia tekuni beberapa tahun terakhir ini. 

Lina dengan jujur mengungkapkan bahwa dia tidak merasa dirinya berbakat. Kendati begitu, pengalaman melukis ini mengajarkan padanya bagaimana caranya menuangkan ide di atas sebuah kanvas kosong, sesuatu hal yang terasa menakjubkan baginya. Lebih dari itu, kegiatan yang merupakan pengalaman berharga bagi dia dan anak-anaknya ini dimulai dari sebuah langkah kecil untuk memberanikan diri dan mencoba. Dan kita bicara tentang ibu-ibu di sini. Jika mereka bisa menyempatkan diri di tengah kesibukan mereka yang luar biasa, saya rasa kita pun harusnya bisa mengerjakan sesuatu yang baru dan bermanfaat dalam hidup kita. Siapa tahu apa yang kita coba ini membawa perubahan ke arah yang lebih baik? Hikmahnya, saya rasa, adalah percaya bahwa kita bisa...

Makan malam bersama Angela (kedua dari kiri) dan teman-teman. 

Sunday, November 4, 2018

Diisengin Hantu

Kali saya ceritakan pengalaman dihantuin ketika tinggal di Jakarta. Saya pertama pindah ke jakarta di tahun 1999 untuk berkerja sambil belajar. Saya tinggal di rumah bos yang besar dan dihuni sesama karyawan dan beberapa orang pembantu. Rumah tersebut merupakan gabungan tiga kavling menjadi satu rumah sehingga sangatlah besar. Di sebelah kanan ada garasi yang muat enam mobil dan satu pohon mangga besar yang tidak pernah berbuah. Di sebelah kiri ada garasi untuk satu mobil. Di lantai bawah ada tiga kamar dan di lantai atas ada dua kamar. Saya menempati kamar atas bersama Anto (nama samaran). Anto ini berasal dari Lampung dan suka koleksi barang-barang semi mistis. Persis depan kamar ditempatin oleh pembantu.

Kamar mandi di kamar atas lumayan besar, memiliki bak mandi dan masih mengunakan toilet jongkok dengan keramik biru gelap yang terlihat sudah lumayan tua. Suatu sore, ketika saya mandi, keisengan pertama pun terjadi.  Baru beberapa gayung saya siramkan ke badan, tiba-tiba terasa kok ada yang peluk dari belakang. Berat seperti terhimpit rasanya dan seketika itu kok jadi nggak nyaman, ya. Akhirnya saya sudahi mandinya.

Beberapa hari kemudian, teman sekamar saya pulang kampung, jadi saya sendiri di kamar dan saya pinjam playstation-nya. Sewaktu saya main game Final Fantasi 7 sampai sekitar jam satu subuh, mendadak ada suara cewe nangis. Tangisannya itu seperti orang nangis karena disiksa. Namun karena saya dasarnya tidak percaya hantu, saya kencangin volume TV. Ternyata suara tangisan semakin kencang dan pintu kamar saya seperti dicakar-cakar dari luar. Saya menjadi kesal dan mengambil sapu dan membuka pintu dengan cepat tapi ternyata tidak ada siapa-siapa. Game pun dilanjutkan tetapi suara yang sama kembali terdengar. Sempat terpikir kalau saya ini sedang diisengin oleh pembantu, namun ketika saya buka lagi pintunya dan dengan bergegas saya hampiri kamar pembantu, ternyata pintu mereka terkunci. Rasanya mustahi mereka bisa kabur secepat itu lalu mengunci pintunya. Saya lantas tidur.

Sehari setelah, itu barulah saya dengar cerita bahwa di rumah itu memang ada lima penghuni gaib. Saya dengarkan saja karena pada dasarnya memang saya tidak takut makhluk astral. 

Setelah sekian lama, pembantu di rumah menikah dan pindah, jadi saya pindah pun ke kamar dia. Kamar itu memang dicat baru, bahkan mebelnya pun diganti baru, tapi catnya hijau gelap yang gimana gitu. Kamar itu ada jendela yang langsung ke garasi kecil. Gangguan pun datang. Ketika lagi tidur sering berasa ditindih. Mata kita bisa melihat tapi tidak keluar suaranya ketika berteriak. Suatu ketika, sewaktu saya sedang main game computer, di jendela ada yang mengintip padahal tidak mungkin ada yang bisa lihat dari sisi luar jendela itu karena dari bawah ke atas itu sekitar empat meter tingginya. Awalnya saya cuekin tapi karena penasaran, saya buka jendelanya. Saat itu pula muncul sesosok gelap berupa siluet persis di depan jendela. Saya segera diam dan tutup lagi jendelanya, lalu langsung turun ke bawah dan bermain playstation bersama yang lain.

Beberapa bulan kemudian, saya pindah ke kamar bawah yang ukurannya besar dengan kamar mandi di dalam. Kamar itu dijadikan basecamp tempat bermain game, ngumpul dan kegiatan lainnya. Gangguan pun tetap terjadi tetapi karena sudah biasa, saya cuek-cuek saja. Kadang kita lagi main game, di belakang kita ada yang mondar-mandir. Sekali kita menoleh ke belakang, tidak terlihat ada siapa. Hal serupa pun dirasakan oleh mereka yang tinggal di rumah tersebut dan tamu-tamu yang menginap.

Berikut ini pengakuan mereka yang pernah digangguin:
1 . Pembantu mengaku melihat 5 sosok berbeda.
2. Satpam sering melihat cewek bergaun putih lagi duduk santai di salah satu cabang pohon mangga.
3. Kakak anto yang pernah ditindih akhirnya pindah malam-malam ke rumah saudara lain.
4. Karyawan lain yang sering lihat cewek bergaun putih turun-naik tangga (saya juga heran kenapa gaun putih, ya?).

Demikianlah pengalaman yang menakutkan di masa itu, tapi lucu kalo diingat lagi...

Ilustrasi digangguin penunggu.




Saturday, November 3, 2018

The Unforgettable New Zealand (Final Part)

The last leg of our road trip was from the town of Fox Glacier going to Hokitika and going back to Christchurch via Arthur Pass. It was more like cooling down after the previous adventure of glacier climbing.

The road trip from Fox Glacier to Hokitika took about two an a half hours. I forget the details of the trip as it happened a long time ago. What I remember is the beach we saw and the sea on the left of the road. We made one stop before we reached Hokitika to take pictures with these cute animals. No wonder New Zealand is known as the country where the number of sheep are more than the number of the people. We saw many sheep along the way. Looking back now I think we shouldn't be too rush to reach Hokitika town. We should at least visit Hokitika Gorge and enjoy the stunning turquoise water surrounded by lush native bush.


Hokitika is a very quiet city and time seems to stand still there. We drove around the city and took pictures of the iconic Hokitika Clock Tower. Another eye-catching building in the center of the city is the Jade Company's green building. It sells pounamu, New Zealand's green stone of the native Maori that was prized from generation to generation. It is a symbol of high status and it's also used for tools and weapons due to its strength and durability.



Hokitika is located just next to the beach of Tasman sea. We parked our car and spent some time at the beach doing some photo-taking. There were relatively not many things to do in this small city. Most of the tourists who stayed in this city made a day trip to other destinations such as Hokitika Gorge, Franz Josef Glacier or Pancake Rocks.

Hokitika is also rich in art, culture and heritage. There are many art galleries in the city. We didn't manage to visit any gallery but we enjoyed their street art in one corner of the city. There was interesting mural that describe the city's historical moments. 



We continued our journey from Hokitika to Christchurch using TranzAlpine train, one of the most scenic train journeys in New Zealand. It took 4-5 hours from Hokitika to Christchurch. Along the way, we saw beautiful landscape, mountain, farmland and forest. The train had a big window so we could enjoy the scenery outside. Unfortunately our camera couldn't capture the object in high speed so most of the pictures that we took were blurry. The train also had an open air viewing car, but the weather was too cold for us to be there.  



In the middle of the journey, the train stopped for a while in Arthurs Pass, the highest pass over the Southern Alps. The railway ran through Arthur's Pass National Park that is located between Canterbury and West Coast in the South Island of New Zealand. The eastern side of the Park is typically drier and consists of beech forest and wide riverbeds while the western side contains rainforest. It's a perfect place for hiking lovers to explore.

We arrived at Christchurch when the sun went down. Tired and exhausted, we had a very good sleep that night. In the morning, we explored the city again for one last time before we flew back to Jakarta on the following day.

The flowers in Christchurch were blooming. We saw beautiful pink and white cherry blossoms in the city park. Yes, there were white cherry blossom trees! That was the first time I saw white cherry blossom. It was as beautiful as the pink one. As we strolled around the city park and river, we decided to try the punting so that we could enjoy the city from different point of view. We were glad we did it. We really enjoyed our punting experience. We could get a close encounter with the ducks that were swimming and playing in the river. The feeling of moving slowly above the river also was very relaxing.




We ended our journey in New Zealand by visiting Ko Tane, a living MaoriVillage at Willowbank Wildlife Reserve at Christchurch. The evening just came when we were greeted with a welcome ceremony called powhiri where the Maori Leader as the host pressing his nose to the our tour leader's nose. This traditional Maori greeting is called hongi. Then the leader said, "kia ora" which means, "hello". The leader then brought us to see the village. We saw the tools that were used by Maori hunters, their cooking equipment, techniques as well as the games and traditional instruments.

Next, we watched the famous traditional Maori performance, Haka Dance. It is an ancient Maori war dance traditionally used on the battlefield. Haka is a fierce display of tribe's pride, strength and unity. The dance includes violent foot stamping, tongue protrusions and rhythmic body slapping to accompany a loud chant.* Very attractive! The show was also interactive. At some part, they invited some audience to come to the stage and dance together.



Overall, it was a memorable night. The show is very recommended if you have a chance to visit Christchurch. It's also a perfect way for us to end our journey in New Zealand and say goodbye. Kia ora, New Zealand! See you again next time!

*newzealand.com

Thursday, November 1, 2018

The Day The Music Died

I watched Bohemian Rhapsody the other day and the movie about Queen reminded me how great the band was. More than that, it also reminded me again of the time when music mattered and why rock and roll was important to me. It got me dancing, it cheered me up when I was sad and it inspired me when I was down.

Music played such a big part of my life, really. I never really knew that until the day the music died. No, I'm not talking about John Lennon. I was only three months old when he was slain. It was the death of George Harrison, his fellow Beatle, that had a significant impact on me.

I still remember that fateful day clearly as if it just happened yesterday. In 2001, I was living in a rented house with my parents in Pontianak and I was about to begin my activities as usual that morning. As I came down from the second floor, I saw the news on TV. At first I thought the reporter was promoting All Things Must Pass that was re-released earlier that year to mark its 30th anniversary, but then I noticed the news was more about George himself. Upon realising that George Harrison of the Beatles had died, I was so upset I just had to sit down for a while. So there I was, sitting on the staircase, trying my best to reconcile with the fact.

George was the first Beatle to pass away since I knew the Beatles. I never thought that he would have gone so soon. It was hard to believe and for a while, I guessed I was finding an excuse not to. A denial state, perhaps. There was this thought in my head saying, "but he was a Beatle! Wasn't he supposed to be around forever, writing more good songs for us to sing along?" But it didn't work that way, of course. Even John Lennon died. Suddenly it dawned on me that we only had two Beatles left. How sad it was to have one less Beatle among us. But didn't George say all things must pass? Then I remembered his legacy. The Quiet Beatle had touched many lives, he made us smile and the world was a better place thanks to his music. Needless to say, that night and the following days were filled with My Sweet Lord and other George's songs.

The next big shock came roughly eight years later. I was fixing my client's trading terminal on the fifth floor of 76 Shenton Way when the breaking news about the death of Michael Jackson appeared on TV. He was only 50 years old and he was about to do a series of This Is It concerts. Furthermore, he was Michael, the King of Pop. He couldn't just die like that, right? But it was real. When the film was released, what I saw in the cinema was quite awful. Michael was half the man he used to be, so skinny that you could see his shoulder pads curve up. But he smiled when he did the things he loved: rehearsing and performing. In one scene, we even got to see how genius Michael was when he effortlessly mimicked the sound that he wanted the musicians to play. He was sharing ideas, definitely didn't look like one who gave up living. His accidental death was a loss. May God rest his beautiful soul.

Prince's death was another memorable one. In April 2016, I was relaxing on my bed in Hotel Cervantes, Paris, browsing through Rolling Stone magazine on Flipboard app when I saw the news. Now, I'm not exactly a fan of Prince (I knew only a song called the Most Beautiful Girl in the World), but when I read the news, I recalled the time when he was a rival of Michael Jackson. Couldn't help feeling sentimental about the late 80s and early 90s, when the two of them were at their best. It truly was the end of an era, wasn't it?

Then of course there was Chuck Berry. I remember waking up to news that Chuck Berry was no longer with us in this world. Yes, it wasn't the best way ever to start my day, but unlike George, Chuck Berry had lived to the ripe old age of 90. He had paid his dues with Roll Over Beethoven, Brown Eyed Handsome Man, Johnny B. Goode and other songs that shaped rock and roll forever. There was this thankful feeling for what Chuck Berry had done and I definitely could accept that it was time for him to move on. 

Those experiences were rather surreal, I must say. To think that they weren't exactly my family or people I knew personally, but here I was, so shaken to the core. It must be mainly due to the songs they wrote. They were the soundtracks of my life. Those music and lyrics were so influential that they had become part of me. The day the music died, it was so hard to believe that I ended up remembering them so well. Life itself indeed has a funny way to remind us what actually counts in our lives...

All Things Must Pass by George Harrison.


Hari Dimana Musik Itu Berakhir

Beberapa hari yang lalu, saya menonton Bohemian Rhapsody, sebuah film tentang Queen. Film yang baru dirilis ini mengingatkan saya kembali, betapa hebatnya grup musik ini. Lebih dari itu, film tersebut juga mengingatkan saya kembali tentang pentingnya musik dalam hidup saya. Rock and roll membuat saya berdiri dan menari sesuka hati, membuat saya gembira lagi di kala sedih dan juga memberikan inspirasi ketika saya menghadapi jalan buntu. 

Musik memiliki peranan yang besar dalam hidup saya dan saya baru menyadarinya ketika musik yang saya sukai itu berakhir. Oh, saya tidak berbicara tentang John Lennon. Saya baru berumur tiga bulan ketika dia ditembak, jadi saya tidak ada kenangan apa-apa tentang kejadian itu. Yang saya maksudkan dengan hari dimana musik itu berakhir adalah George Harrison, rekan sesama Beatles. Meninggalnya George menimbulkan kesan mendalam bagi saya. 

Saya masih ingat jelas apa yang terjadi di pagi itu, seakan-akan kejadiannya adalah kemarin. Di tahun 2001, saya tinggal bersama orang tua saya di sebuah rumah kontrakan di Pontianak. Saya baru saja akan memulai aktivitas saya di kampus. Saat saya turun dari kamar saya di lantai dua, saya melihat berita di TV. Awalnya saya mengira bahwa berita tersebut mempromosikan All Things Must Pass yang dirilis ulang dalam rangka memperingat 30 tahun album tersebut. Setelah saya simak, barulah saya sadari bahwa George telah meninggal. Apa yang saya dengar itu membuat saya terduduk sejenak di tangga.

George adalah mantan anggota Beatles pertama yang meninggal sejak saya menjadi penggemar mereka. Saya tidak pernah menyangka dia akan pergi secepat itu di umur 58. Rasanya sulit untuk dipercaya dan untuk beberapa saat, saya berusaha menyangkal kenyataan itu. Beraneka perasaan berkecamuk di dalam hati dan saya sempat berpikir bahwa sebagai seorang Beatle, harusnya George akan selalu ada dan menulis lagu-lagu bagus yang membuat kita turut bernyanyi. Akan tetapi tentu saja seorang Beatle pun akan meninggal bila sudah tiba waktunya. Sedih rasanya bahwa dunia ini kehilangan satu Beatle lagi setelah John. Terlintas di benak saya sebuah pemikiran yang lucu dan lugu sebenarnya: berarti sekarang hanya tersisa dua orang Beatles. Lantas saya teringat dengan judul album George yang secara harafiah berarti semua hal pasti berlalu. Meski dia telah tiada, apa yang ditinggalkannya untuk kita akan senantiasa dikenang. Sepanjang hidupnya, George sudah menyentuh hidup begitu banyak orang. Baik bersama Beatles ataupun seorang diri, dia membuat kita tersenyum. Dunia yang kita diami hari ini menjadi lebih baik karena lagu-lagu karyanya. My Sweet Lord dan lagu-lagu lainnya pun melantun tiada henti, mengiringi aktivitas saya selama beberapa hari. 

Kejutan berikutnya terjadi kira-kira delapan tahun kemudian. Siang itu saya berada di lantai lima gedung 76 Shenton Way untuk membantu klien saya yang bermasalah komputernya. Tiba-tiba saja TV di hadapan saya memberitakan tentang wafatnya Michael Jackson. Dia baru berumur 50 tahun dan sedang mempersiapkan diri untuk menggelar konser This Is It. Yang paling penting lagi, bukankah dia Michael Jackson, sang Raja Pop? Bagaimana mungkin dia meninggal begitu saja? Tapi peristiwa tersebut sungguh nyata. Ketika filmnya dirilis di bioskop, barulah saya saksikan betapa rapuhnya dia. Penampilan fisiknya sungguh berbeda dengan Michael yang saya lihat di tahun 90an. Begitu kurusnya dia sehingga bahunya pun terlihat cekung ke atas. Namun dia tersenyum riang ketika mengerjakan apa yang ia sukai: bernyanyi dan menari. Di salah satu adegan, kita berkesempatan untuk melihat betapa jeniusnya Michael dalam musik. Dia dengan mudahnya menirukan nada yang dia inginkan lewat suaranya saat ia memberikan contoh kepada para musisi. Dia berbagi ide dan berdiskusi, jelas tidak terlihat seperti orang yang sudah putus asa dan ingin mati. Apa yang saya tonton itu membuat saya merasa bahwa meninggalnya Michael adalah sebuah kehilangan besar bagi dunia. Semoga jiwanya beristirahat dengan tenang . 

Berita duka berikutnya, Prince, pun tidak bisa saya lupakan. Di bulan April 2016, saya sedang bersantai di kamar saya di Hotel Cervantes, Paris. Saat itu saya sedang membaca majalah Rolling Stone lewat aplikasi Flipboard. Meski saya bukan penggemar Prince dan hanya mengetahui lagunya yang berjudul the Most Beautiful Girl in the World, saya tiba-tiba teringat dengan masa dimana dia adalah rival Michael Jackson. Saya terkenang lagi dengan akhir tahun 80an dan awal tahun 90an, ketika mereka berdua sedang berjaya. Dan saya hanya bisa menarik napas panjang saat menyadari bahwa era tersebut telah berakhir dengan meninggalnya dua artis ini. 

Dan kemudian ada Chuck Berry. Hal pertama yang saya baca di pagi itu adalah berita tentang Chuck Berry. Terus-terang itu bukan awal yang ideal untuk memulai pagi hari, tapi berbeda halnya dengan George, Chuck Berry berumur panjang dan hidup sampai usia 90 tahun. Lewat lagu-lagu seperti Roll Over BeethovenBrown Eyed Handsome ManJohnny B. Goode, Chuck Berry menjadi salah satu pelopor rock and roll yang menginspirasi begitu banyak orang. Ketika saya membaca bahwa Chuck Berry telah tiada, saya bersyukur atas sumbangsihnya dan menerima kepergiannya dengan lapang dada. 

Pengalaman tentang peristiwa meninggalnya orang-orang ternama di blantika musik ini sungguh merupakan sesuatu yang tidak biasa. Ini unik mengingat mereka bukanlah keluarga atau orang yang saya kenal langsung. Apa yang saya rasakan ini pastilah dikarenakan oleh lagu-lagu yang mereka tulis dan melantun mengiringi hidup saya. Musik dan lirik ini begitu besar pengaruhnya sehingga menjadi bagian dari hidup saya. Ketika penyanyinya meninggal, saya merasa sulit untuk percaya sehingga tanda sadar saya mengingat dimana saya berada saat mendengar kabar tersebut. Hidup ini mempunyai cara tersendiri untuk mengingatkan kita tentang apa sebenarnya yang penting bagi kita dalam kehidupan ini...

George dan ukulele.