Total Pageviews

Translate

Saturday, January 12, 2019

My Dear Hometown

In our little chat group community of Generation '98 (that's the year we graduated from high school), I was well-known as the one who disliked going back to our hometown. The impression was so strong that after a while, they simply believed that I hated Pontianak (one even suggested that I must have a horrible childhood there). Whenever the topics of going back to our hometown cropped up and I resisted the idea, my friends would have a fields day and take their turn to bash me. Since they looked so happy in hurling verbal abuse, I just let them be, haha.

But what's with the mystery, actually? Do I really hate my hometown because I had a horrible childhood? Let's break the myth. First of all, I never hated my hometown, but I truly disliked the fact that the power plant was unreliable, there'd be brackish water during dry season and then came the hazy days when they started burning the forest. After 22 years of living in such conditions, I was pretty convinced that I had it enough. That's why I left and moved to Jakarta to start anew.

Now, how about the childhood? In all honesty, I had the most memorable childhood a kid could have asked for. I had a father who told me I was good and a mother who loved me all she could. I had a younger brother to grow up with, my first audience when I started storytelling using action figures, long before Roadblog101. I had close friends during my formative years, and as we turned from boys to men, I still called them friends. I played games from the conventional ones such as hide and seek or fish catching in the ditch. I played the state-of-the-art games, too, such as Nintendo and Sega at home or arcade games at Orbit Wonderland. I shared what I had with others and I visited them to play together as well. I had turtle pets and it was my favorite animal since then. I was driven around when we were well-to-do and I took the public transport when we were poor. I walked under the scorching sun with Parno and I rode the road bike that I loved under the heavy rain. Fluctuating at school, I'd been the number one and the lousy student. I'd been praised and I'd been punished, too. I got to know the Beatles and join a band. I had the best food money could buy and I had the simple meals cooked wholeheartedly by my friend's Mum. I had loved and been disappointed. I traveled and almost died. I had my happiest laughter and I cried my saddest tears there. Looking back, I had neither complaints nor regrets of growing up in Pontianak. It was meant to be. It took the whole journey to transform me into who I am today.

The last time I went to Pontianak.
From left: Harry, Anthony, Parno and Eday.
Photo by Eday Ng.

Now, Pontianak is not known as a tourist destination, but the town sure had a lot of cuisines sold at the road side or eateries. When my friends went back to Pontianak, the culinary tour was definitely in their agenda. The typical behavior they'd do was, they'd be doing the food hunting spree and post the local delicacies on Facebook. The same charm didn't really work for me, though. I always thought that Pontianak food was overrated. Yes, some were indeed delicious, but sentimental reason also played a big part in building the urge to eat them again. I loved the food mostly because I grew up with it, but I certainly could do without the cuisines. Some of my friends, such as Bakmi Alit, did a good job in replicating the taste of Pontianak and I could visit their stalls when I went to Jakarta. Since I didn't miss it that much, I wouldn't go back to Pontianak just for the food.

How about friends and family and traditions, such as Chinese New Year? Well, I chat with friends every day, so often that I must have used up the quota for the entire lifetime. As for family, sometimes they'd come to Singapore, too, and I loved playing host and tour guide when they were in town. Talk about traditions, I did went back once for Chinese New Year to show my wife and daughter how the celebration looked like down there. But after the initial visit, I realised that we weren't big fans of such tradition. For me personally, the enthusiasm simply wasn't there anymore, so no point doing it. I brought my parents to China during CNY before and to be frank, it was much more fun.

Up until here, you'd see that there was no reason or anything that was encouraging enough for me to go back. The main reason behind my reluctance, however, was the fact that the town had changed so much and not for the better. When I went back, there was always this lingering feeling that it wasn't Pontianak that I knew. It looked somewhat different and less friendly than it used to be. Remember when I mentioned about catching fish in the ditch? The water was stale and smelly now. That was just one small example of how my fondest memories of my hometown felt like taken away from me. Yes, you could see new development going on, but it seemed like not much thought was spent on it and the result looked mediocre. I felt like a stranger in my own hometown and it was just sad.

That was the real reason why I disliked the idea of going back to Pontianak. I'd rather preserve the good ol' memories about the place where I spent my childhood than became disillusioned by the fact that it had changed for the worse. I loved Pontianak still. Didn't I proudly bring foreign tourists to come and visit? I even thought of doing justice to my hometown by encouraging my friend to run for Mayor of Pontianak. If he did that and got elected, I'd go back to work with him in rebuilding our hometown. If it was our destiny, this would certainly happen in our lifetime...

Crab noodles by Bakmi Alit. 


Kampung Halaman Yang Tercinta

Di grup WhatsApp komunitas Angkatan '98 (ini adalah tahun kita lulus SMU), saya cukup tersohor sebagai orang yang paling tidak suka pulang ke kampung halaman. Kesan tersebut begitu kentara sehingga setelah beberapa lama, mereka beranggapan bahwa saya membenci Pontianak (setidaknya satu di antara mereka bahkan berasumsi bahwa masa kecil saya pastilah sangat buruk). Ketika topik pulang kampung mendadak muncul saat chatting dan saya menolak untuk pulang, teman-teman mendapatkan kesempatan emas untuk menyudutkan saya secara bergilir. Karena mereka terlihat bahagia dalam memberikan komentar pedas, saya biasanya rela jadi bulan-bulanan, haha.

Akan tetapi ada apa gerangan sebenarnya? Apakah benar saya membenci kampung halaman saya karena masa kecil saya yang tidak bahagia? Mari kita bedah kasus ini. Pertama-tama, saya perlu jelaskan bahwa saya tidak pernah membenci Pontianak, tapi saya tidak menyangkal bahwa saya tidak suka dengan listrik Pontianak yang sering padam. Saya juga tidak suka kondisi Pontianak yang payau airnya di musim panas dan juga kabut asap yang menutupi kota saat pembakaran hutan terjadi. Setelah 22 tahun hidup dalam kondisi seperti itu, saya yakin bahwa itu sudah lebih dari cukup. Karena inilah saya meninggalkan Pontianak dan pindah ke Jakarta begitu saya lulus kuliah.

Lantas bagaimana dengan masa kecil saya? Dengan jujur saya katakan bahwa saya memiliki masa kanak-kanak yang paling indah. Saya memiliki ayah yang selalu memberikan pujian dan ibu yang menyayangi saya. Saya juga memiliki seorang adik untuk tumbuh bersama. Dia adalah penggemar saya yang pertama ketika saya mulai bercerita lewat permainan action figures, jauh sebelum saya mulai menulis dan berpuluh-puluh tahun sebelum Roadblog101. Saya memiliki teman-teman dekat dan setelah kita tumbuh dari bocah menjadi pemuda, saya masih memanggil mereka teman dan rutin bertegur-sapa. Saya bermain sepuasnya, mulai dari yang tradisional seperti petak umpet dan menangkap ikan di parit, sampai permainan yang paling canggih di masa itu, baik Nintendo, Sega maupun game di Orbit Wonderland. Saya kadang mengajak teman ke rumah untuk bermain bersama dan di lain waktu, giliran saya yang mengunjungi mereka untuk bermain. Saya memiliki beraneka kura-kura dari sejak kelas 4 SD dan akhirnya satwa tersebut menjadi peliharaan favorit saya. Saya diantar sana-sini dengan menggunakan mobil saat keluarga berkecukupan dan saya naik oplet saat keluarga jatuh miskin. Saya berjalan kaki di bawah panas matahari bersama Parno dan saya mengengkol sepeda balap kebanggaan saya di bawah hujan. Saya adalah juara pertama dan saya juga murid yang buruk prestasinya selama di sekolah. Saya dipuji dan dihukum. Saya mengenal the Beatles sejak di Pontianak dan akhirnya turut serta dalam grup musik. Saya menikmati makanan paling enak yang bisa dibeli dengan uang dan saya juga menyantap masakan sederhana yang dimasak dengan sepenuh hati oleh orang tua teman. Saya mencintai dan dikecewakan. Saya berkelana dan nyaris tidak kembali. Saya tertawa keras karena terlampau senang dan meneteskan air mata paling sedih di Pontianak. Saat saya lihat kembali, saya tidak memiliki keluhan ataupun penyesalan karena lahir dan tumbuh dewasa di Pontianak. Saya memiliki kepribadian seperti hari ini karena menjalani semua yang saya paparkan di atas.

Kunjungan ke Bakmi Alit.

Perlu diketahui bahwa Pontianak bukanlah termasuk tempat tujuan wisata, tapi kota kecil ini menawarkan banyak makanan yang dijual di tepi jalan atau restoran. Tatkala teman-teman kembali ke kampung halaman, wisata kuliner pasti menjadi bagian dari agenda mereka. Apa yang biasa terjadi adalah, mereka akan berburu makanan untuk makan sepuasnya dan tidak lupa pula mereka akan memotret makanan-makanan tersebut untuk dipos di Facebook. Pesona kuliner Pontianak yang luar biasa itu ternyata tidak terlalu manjur bagi saya. Saya selalu berpikir bahwa kelezatan makanan Pontianak sebenarnya terlalu dilebih-lebihkan. Ya, benar bahwa ada yang memang sedap, tapi rasa kangen makanan kampung halaman juga berperan besar dalam penilaian kita. Saya sendiri suka makanan Pontianak, tapi lebih cenderung karena saya menyantap makanan tersebut sedari kecil. Beberapa teman saya, misalnya Bakmi Alit, sukses dalam mengolah makanan dengan cita rasa Pontianak dan saya cukup mengunjungi kedai mereka jika saya kebetulan berada di Jakarta. Dengan demikian saya tidak perlu pulang ke kampung halaman hanya demi mencicipi makanan lokal Pontianak. 

Bagaimana pula dengan teman, keluarga atau tradisi seperti Tahun Baru Cina? Saya sudah berbincang dengan teman-teman lewat WhatsApp secara rutin tiap hari, begitu seringnya seakan-akan kita tidak pernah berpisah setelah lulus SMU. Akan halnya keluarga, terkadang mereka datang berkunjung ke Singapura dan saya senang menjadi tuan rumah sekaligus pemandu wisata bagi mereka. Bicara tentang tradisi, setelah berkeluarga, saya pernah pulang sekali pas Tahun Baru Cina untuk menunjukkan pada istri dan anak saya, seperti apa perayaan di sana. Seusai itu, saya menyadari bahwa kita bukan penggemar tradisi seperti itu. Bagi saya pribadi, antusiasme menyambut Tahun Baru Cina tidak lagi membara, jadi tidak ada gunanya bila dipaksakan. Saya pernah membawa orang tua saya merayakan tahun baru di Cina dan terus-terang saya merasa itu lebih praktis dan menyenangkan. 

Sampai di sini, anda pasti sudah melihat bahwa saya tidak memiliki motivasi apa pun yang mendorong saya untuk pulang. Kendati begitu, alasan utama di balik keengganan saya untuk pulang adalah fakta bahwa Pontianak telah berubah, namun tidak ke arah yang lebih baik. Ketika saya pulang, saya selalu merasa bahwa ini bukan lagi Pontianak yang saya kenal. Kota ini terlihat agak berbeda dan tidak lagi seramah dulu. Kalau anda lihat lagi di paragraf sebelumnya, anda akan melihat bahwa saya menulis tentang menangkap ikan di parit. Sekarang air di parit sangat bau dan tidak mengalir. Itu adalah contoh kecil kenapa saya merasa bahwa kenangan terindah saya tentang kampung halaman seperti direnggut begitu saja. Ya, pembangunan memang terjadi, tapi sepertinya tidak dipikirkan dengan baik dan hasilnya terlihat asal-asalan. Saya merasa seperti orang asing di kampung sendiri dan ini sangat menyedihkan. 

Itu alasannya kenapa saya tidak suka pulang. Saya lebih suka mengenang Pontianak tempat saya menghabiskan masa kecil saya dulu daripada melihat kenyataan bahwa kota itu telah berubah menjadi lebih buruk. Tapi saya tetap mencintai Pontianak. Bukankah saya dengan bangganya membawa turis luar negeri untuk datang berkunjung? Saya bahkan sering berpikir untuk melakukan sesuatu untuk Pontianak suatu hari kelak. Inilah alasannya kenapa saya sering meminta teman saya mencalonkan diri menjadi walikota. Kalau dia terpilih, saya tidak keberatan untuk pulang dan mengabdi sebagai bawahannya dalam membangun kota Pontianak. Jika kita memang ditakdirkan untuk itu, maka apa yang saya bayangkan ini mungkin terjadi dalam kehidupan ini...

Turis-turis Singapura di Bandara Supadio.

Friday, January 4, 2019

Cruise: Mariner Of The Seas

Liburan dengan cruise sama sekali tidak terlintas di pikiran saya. Ternyata ada rezeki berkesempatan naik cruise. Kapalnya bernama Mariner of the Seas dari Royal Caribbean Cruises. Dalam pikiran, sih, naik kapal lima hari kayaknya bosan banget, 'lah. Tapi tunggu dulu...

Tahun 2014 kapal mariner adalah kapal pesiar terbesar yang berlayar di perairan Asia Tenggara. Kapal ini punya ukuran sangat besar, lebih besar dari mal. Dimensinya seperti ini:
1. Panjang 311 m dan lebar 50 m. Terdiri dari 15 tingkat.
2. Lantai 0-1 untuk mesin, kru dan lain lain.
3. Lantai 2 ada bioskop dan ruang konferensi.
3. Lantai 3. ada teater savoy yang bisa menampung sekitar 1300 orang. Arena ice skating juga ada di sini. 
4. Lantai 4 ada bar Bolero, Dragon's Lair Club dan kasino.
5. Lantai 5 Promenade (tempat belanja dan kafe-kafe).
6. Lantai 6 sampai 10 adalah kamar tidur. Restoran bisa ditemukan di lantai 6, 7 dan 10.
7. Lantai 11 ada fitness centre, jacuzzi, spa dan windjammer (restoran buffet).
8. Lantai 12 dan 13 adalah sport area terdiri dari jogging track, mini golf, wall climbing dan lapangan basket. Di juga ada empat kolam air panas dan dua kolam renang besar. Di malam hari tempat ini juga difungsikan sebagai bioskop outdoor.
9. Lantai 14 diperuntukkan untuk wall climbing dan arena permainan (bisa main mahjong, monopoli dan lain-lain).
10. Lantai 15 adalah kapel (ayo, yang belum nikah bisa ikat janji di situ).

Nah, dari spesifikasi kapal di atas, tentunya anda sudah punya bayangan, seberapa besar kapal tersebut. Kapal bertolak dari Marina Bay Cruise Center jam 5 sore. Proses check-in dan naik kapal mirip seperti mau saat naik pesawat dan check-in buka jam 12. Setelah proses check-in selesai dan masuk kapal, kita bisa keliling lihat fasilitas atau makan di restoran yang disediakan secara gratis. Perlu diketahui bahwa ada dua restoran yang tidak gratis, yaitu Johnny Rockets yang menjual burger dan juga restoran Itali, tapi tidak perlu masuk 'lah karena makanan di Windjammer  dan Cafe Promenade sudah berlimpah dan enak.

Setiap penumpang diberikan kartu identitas yang tidak boleh hilang karena paspor kita diserahkan saat naik kapal (saya mendapatkan nomor D23). Jam 17.00 dilakukan safety drill peragaan cara mengunakan pelampung, titik kumpul dan sekoci.  Setelah itu kapal pun berlayar. Kita bisa keliling kapal, mencoba bermain ice skating atau belanja di toko-toko seperti di mal.

Kartu identitas untuk semua kegiatan transaksi dan keluar-masuk kapal.

Mal dan kafe.

Kasino bagi yang mau mencoba peruntungan.

Pool deck malam yang bisa dijadikan bioskop outdoor. 

Arena ice skating.

Cruise compass.

Koper kita sudah diantarkan langsung ke kamar. Ketika masuk ke kamar, kita akan menemukan cruise compass yang penting. Isinya adalah tentang jadwal acara dan pertunjukan yang bisa kita ikuti supaya lebih seru pelayarannya.

Makan malam disediakan mulai pukul delapan malam. Ada fine dining, menu-menu Eropa dan Amerika. Makanannya lezat-lezat, mulai dari creme brulee. escargot, tilapia steak dan lain-lain. Dijamin gemuk 2-3kg, deh. Ketika kapal sampai di perairan international, aktivitas kasino pun dimulai.

Pagi berikutnya, kapal berlabuh di Port Klang jam delapan pagi. Kita diberi waktu turun sampai jam lima sore. Kalau kita memilih untuk turun, kita bisa mengikuti tur yang disediakan oleh cruise, tapi mahal banget bayarnya, pakai USD, bok! Teman-teman, sih, sudah malas turun melihat Port Klang yang lumayan jauh dari mana-mana, tetapi karena saya dasarnya hobi jalan-jalan, saya ajak mereka patungan sewa taksi keliling Kuala Lumpur. Ternyata setelah dihitung, per orang cuman habisin 50 ringgit, padahal paket dari cruise seharga 108 USD.

Kembali ke cruise, kita makan dan malamnya nonton pertunjukan ice skating. Mereka yang tampil rata-rata juara ice skating kelas dunia. Pokoknya super bagus. Setelah pertunjukan, kita fine dining lagi. Menunya juga gaya Eropa. Oh ya, semua terbagi dalam dua shift. Kalo mau makan malam  jam 6 berarti nonton pertunjukan jam 8. Kalau dinner jam 8, berarti nonton pertunjukan jam 6. Jangan ketinggalan, ya. Sayang, coy.

Hari ke-3, kapal bersandar di Penang dan disambut dengan gambus Melayu. Di Penang kita menyewa mobil untuk keliling ke Kek Lok Si dan Reclining Temple. Es krim batok di depan pintu masuk kuil konon legendaris dan layak dicoba!

Wat Chayamangkalaram.

Kita makan siang di restoran seafood lokal. Di situ saya pertama kali makan kerang geoduck yang bentuknya, ehmm, mirip senjata pemilik blog ini.

Kerang geoduck.

Malam ini adalah captain dinner. Di malam ini, semua berpakaian resmi  Ada yang memakai jas, ada juga yang pakai baju negara masing-masing, misalnya batik atau hanbok Korea. Karena kapten kapal, manajer dan kru juga hadir, kita bisa berkenalan dengan mereka. Kapten menjamu semua peserta cruise dengan champagne. Show malam ini ala Broadway yang berkesan dan bagus sekali. Malam ini juga ada lomba karaoke dan main bingo.

Hari ke-4, begitu kapal merapat di Phuket, kita langsung ke Wat Chalong, kuil yang ada relik Budha dan terkenal dengan tradisi membakar petasan untuk membuat permohonan. Kuil ini juga terkenal dengan ramalannya. Saya iseng cobain ramalannya, namun ditulis dalam bahasa Thai. Akhirnya saya suruh sopirnya bacakan dan ternyata tepat sekali. Semua tepat sekali. Sampai perjalanan terjadwal pun bisa di prediksi. Dari situ, kita lanjut ke Big Buddha untuk melihat pemandangan Phuket dari atas.

Wat Chalong.

Setelah itu kita makan di restoran lokal. Ini pertama kalinya saya makan tomyam selatan kental kuahnya dan sangat enak. Kita lalu ke premium outlet phuket yang isinya biasa aja. Yang luar biasa justru toko oleh-oleh sebelah premium outlet. Nama tokonya PORN, hehehe. Setelah sekian tahun baru tau  bahwa PORN dalam bahasa Thai artinya berkat. Kita juga singgah ke Jungceylon Mall. Sementara yang lain sibuk belanja, saya sendiri sibuk cari orang yang bisa berbahasa Inggris untuk membaca surat ramalan dari Wat Chalong. Hasilnya pun sama. Memang akurat.

Kembali ke kapal, kita nonton show lagi. Kali puncaknya adalah kabaret show dengan gabungan digital mapping. Keren abis! Gak rugi naik cruise ini. Kita lantas ngopi-ngopi di Cafe Promenade sambil menikmati pizza gratis.

Di hari ke-5, kapal berlayar sepanjang hari dari Phuket langsung ke Singapore. Kita akhirnya berkesempatan untuk mencoba fasilitas lainnya, seperti mini golf, basket, tenis meja, panjat tebing dan diakhiri dengan jacuzzi. Malamnya ada pertunjukan opera lagi. Keren-keren, pokoknya anti bosan di kapal ini.

Hari ke-6, kita tiba di Singapura. Akhirnya selesai juga perjalanan cruise yang tidak terlupakan ini.

Thursday, January 3, 2019

The First Milestone

While I may never win any award for the ideal father category, that doesn't mean I don't enjoy parenting. One of the good things of parenthood is the proud feeling that comes with the role. Nobody told me about this before so when the time came, it was a nice surprise.

In order to understand this, let me tell you about how life in Singapore is like. It's a very busy place to be and, as the saying goes, time flies. In my case, it was worsened by the fact that I always hung out either virtually or physically with my friends, especially those who were of the same age and came from Pontianak. Sometimes it was oblivious to me that I grew older as time passed by. That's the reason why my heart melted when my wife shared with me the graduation picture of our daughter. I was like, oh my, she had just completed kindergarten, her first milestone in education.

With her younger sister. Two years ago.

It felt like she was only born yesterday, but apparently six years had passed since then. The chubby little toddler that I always carried day and night, she was this tall skinny girl now. When I browsed her pictures from all those years ago, funny that seeing her everyday at home never made me realise how much she had changed. It was only by looking back that I noticed she had shed her baby fat and grown up.

She looked great in the graduation picture. The same little child I always knew and loved was brimming with confidence. Just like any other parent, I couldn't help thinking that a great future awaited her. Feeling nostalgic, I suddenly remember the time when I saw her performance on stage. I was so overwhelmed I almost cried. The emotion was amazingly weird, but good weirdness. There was this sudden urge to proudly tell people that was my daughter performing and the urge was almost irresistible.

And I saw her wearing her primary school uniform that morning, as she was getting ready for her first day. She had just begun another journey, one that would change her life forever. I'd be there by her side, just like what I has done before. It'd been a great privilege to be her father. I just hoped that, somewhere along the way, I had made a good difference in her upbringing...

The graduate.



Jenjang Pertama Dalam Hidupnya

Walau saya mungkin tidak akan memenangkan penghargaan apa pun dalam kategori ayah paling ideal, ini tidak lantas berarti saya tidak menyukai peran sebagai orang tua. Salah satu hal positif dari menjadi seorang ayah adalah perasaan bangga saat melihat prestasi anak kita. Tidak pernah ada yang memberitahukan saya tentang hal ini, jadi saat kegembiraan itu terasakan untuk pertama kalinya, itu adalah sebuah kejutan yang menyenangkan. 

Untuk memahami lebih lanjut tentang hal ini, mari saya ceritakan bagaimana rasanya hidup di Singapura. Negara kota ini adalah tempat yang sangat sibuk dan, seperti kata pepatah, waktu berlalu tanpa terasa. Bagi saya pribadi, waktu saya juga tersita oleh kegemaran saya dalam berkumpul bersama teman, terutama mereka yang seumur dan berasal dari Pontianak. Kadang kita berjumpa langsung, namun lebih sering lagi lewat WhatsApp. Karena mereka adalah teman dari kecil, kadang saya tidak merasa bertambah tua meskipun waktu terus berjalan. Karena itulah saya sangat tersentuh saat melihat foto kelulusan putri saya. Ada rasa sulit untuk percaya bahwa dia telah lulus TK dan menyelesaikan jenjang pertama dalam pendidikannya. 

Rasanya dia baru lahir kemarin, tapi nyatanya enam tahun sudah berlalu. Balita tembem yang selalu saya gendong siang malam itu sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang tinggi dan langsing. Ketika saya melihat kembali foto-foto beberapa tahun yang lalu, aneh rasanya bahwa saya tidak menyadari seberapa jauh perubahannya meski saya melihatnya tiap hari di rumah. Hanya dengan melihat foto-foto lama itulah saya menyadari bahwa tembemnya sudah hilang.

Saat baru mau berusia dua tahun.

Dia terlihat mantap dan penuh percaya diri di foto kelulusannya. Sebagai orang tua, saya jadi membayangkan masa depan cerah yang menantinya. Terbawa oleh perasaan nostalgia, saya jadi teringat dengan saat dimana saya melihat penampilannya di panggung. Ada emosi yang terasa menggebu-gebu dan membuat mata saya berkaca-kaca. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Tiba-tiba saja ada perasaan bangga yang mendorong saya untuk berbisik pada orang-orang di sebelah saya, bahwa yang ada di panggung itu adalah anak saya. Perasaan itu nyaris tidak terbendung!

Dan saya melihatnya mengenakan seragam SD kemarin. Kini dia memulai perjalanan baru, sebuah perjalanan yang akan mengubah hidupnya. Saya akan selalu mendampinginya, persis seperti yang saya lakukan selama ini. Adalah suatu kebahagiaan tersendiri menjadi seorang ayah baginya. Saya hanya berharap bahwa di dalam hidupnya, dia meneladani sesuatu yang baik dari ayahnya...

Senyum iseng ayah dan anak.

Saturday, December 29, 2018

The Life Lesson

If you are humble and attentive enough to look around, you'll notice that life always has a way to teach you about the good values in life itself. Many years ago, I got to know this colleague of mine. Although he was 22 years older than me, the man and I happened to appreciate good jokes and share a keen interest in oldies from the 70s and 80s, so there were a handful of occasions when we hung out for good beer and live music.

What started as the irregular outings eventually evolved into the annual Christmas gathering. Between the two of us, we had this memorable story that always got us grinning. It was the first Christmas party that I was going to attend and he told me that his house was seven bus stops away from the train station, but silly me, I only counted when the bus stopped and didn't include the ones that the bus passed by. As a result, I had to walk quite far from the "seventh" bus stop to his house. Until today, he still asked, "so did you count the bus stops?" And we would laugh.

Another Christmas party at Hilary's house.

The Christmas party tradition continued even when we were no longer working together. He invited us to come over and I noticed that we were always the last batch, then we would hang out until late at night. In hindsight, he really brought us together in a very joyous occasion. We would be there, catching up, chit-chatting and he would jump in for a quick banter and good laugh. If life was about creating beautiful memories, this definitely lived up to the very definition of it.

The time when we worked together was the last job he had before he retired. Out of curiosity, last Christmas, I asked what he was doing, now that he got a lot of time to spare. Apparently he spent his time doing charity work. He would drive and distribute food around Singapore. Oh yes, as glamorous as it could be, Singapore also had such less fortunate people and he made it his job to help out. That was very inspiring. Beneath the happy-go-lucky exterior, there was a big heart.

The night he brought us down on one knee.

Then came the celebration of his 25th wedding anniversary. As far as I could remember, this was the first and only time I ever attended such an event. There he was in front of us, with a smile on his face, lovingly stared at his wife. That was a beautiful moment. After 25 years of togetherness, they were still very much in love. Then he kneeled down, not easy for him for he wasn't young anymore, haha, but that he did and he renewed his wedding vow with us as witnesses. When he got up, he made us men to do the same, too! Very cheeky!

Last night was his 60th birthday celebration. One colleague of us said her friend was puzzled upon hearing that she got a 60 years old friend. But it couldn't be further from the truth. He was a man loved by many, both young and old. The ballroom was filled with his families and friends. If I didn't know any better, I would think that racial harmony was invented by him, because it seemed like people from all nations were there to celebrate his birthday. Even the band that we used to watch together was performing, too.

His 60th birthday. 

My favorite part of the celebration was the testimonies from his close members of family and a childhood friend. It was like learning who the man really was, the wonderful man that I never knew until that night. I could only imagine how he would feel when he sat there, listening to the appreciation from others about how he had touched their lives. He didn't set out to do it, but he just did what he had to do and throughout the years, he had been a good man. All the truthful and personal stories that night reaffirmed that.

Like I said earlier, life has its way to teach us the good values in life itself. That night, the life lesson was called Hilary Cordeiro. Thank you very much and happy birthday, my friend!

The alleged first Christmas party.

Sebuah Pelajaran Hidup

Jika anda cukup rendah hati dan cukup teliti dalam melihat sekeliling anda, anda akan menemukan bahwa hidup memiliki cara untuk mengajarkan nilai-nilai yang baik dalam kehidupan ini pada kita. Bertahun-tahun silam, saya berkenalan dengan seorang kolega. Meskipun umurnya 22 tahun lebih tua dari saya, kita sama-sama senang bercanda dan juga menyukai tembang lawas dari era 70an dan 80an. Oleh karena itu kita pun menikmati bir dan pertunjukan musik di pub favoritnya dalam beberapa kesempatan.

Apa yang bermula dari kebiasaan tersebut lantas berkembang menjadi acara Natal bersama. Ada cerita menarik yang selalu kita kenang bersama. Saat saya diundang ke pesta Natal yang pertama, dia memberitahukan pada saya bahwa rumahnya berada kira-kira tujuh pemberhentian bis jauhnya dari stasiun kereta. Kendati begitu, saya salah tanggap dan mengira bahwa saya hanya mulai berhitung setiap kali bisnya berhenti. Alhasil, saya harus berjalan dari pemberhentian bis "ke-7" yang lumayan jauh dari rumahnya. Sampai hari ini dia masih iseng bertanya, "jadi kamu hitung pemberhentian bisnya?" Dan kita pun tertawa.

Pesta Natal bersama Hilary.

Tradisi pesta Natal berlanjut walaupun kita tidak lagi sekantor. Dia mengundang kita ke rumah dan kita selalu menjadi rombongan yang terakhir dan kumpul hingga larut malam. Kalau saya lihat kembali, dia sungguh berupaya mempersatukan para mantan koleganya dalam suasana Natal yang gembira. Kita akan berbincang panjang lebar dan dia pun akan turut berkomentar dan tertawa. Jika hidup adalah tentang menciptakan kenangan, maka pesta Natal ini sungguh merupakan bukti nyata dari teori tersebut. 

Saat kita bekerja di perusahaan yang sama adalah saat terakhir dia bekerja sebelum akhirnya pensiun. Karena ingin tahu, saya lantas bertanya di saat Natal tahun lalu, apa sebenarnya yang dia kerjakan sekarang, setelah dia pensiun dan memiliki banyak waktu luang. Ternyata dia berbuat amal. Setiap hari, dia akan mengantarkan makanan ke berbagai penjuru di Singapura. Oh ya, meski Singapura terlihat mewah dan maju, negara kota ini tetap memiliki orang-orang yang kurang mampu dan dia berbuat sebisanya untuk membantu. Perbuatannya ini sungguh menginspirasi. Di dalam karakter yang riang dan jenaka, tersembunyi hati yang besar dan peduli sesama.

Pesta peringatan 25 tahun pernikahan.

Kemudian kita mendadak diundang ke acara pesta peringatan 25 tahun pernikahannya. Sejauh saya bisa mengingat, itu adalah pertama dan sekali-kalinya saya diundang ke perayaan seperti itu. Berdiri di tengah keramaian, dia tersenyum dan menatap istrinya dengan penuh cinta. Setelah 25 tahun bersama, luar biasa rasanya bahwa mereka masih begitu saling mencintai. Sesudah itu dia berlutut satu kaki. Tidak mudah baginya karena dia tidak lagi muda, haha. Namun dia melakukannya dan di depan para hadirin, dia memperbaharui janji nikahnya. Ketika dia berdiri, dia membuat kita, para pria, untuk berbuat hal yang sama pada pasangan masing-masing. Dasar iseng!

Dan kemarin malam adalah hari ulang tahunnya yang ke-60. Seorang mantan kolega berujar bahwa temannya merasa bingung saat mendengar bahwa ia memiliki teman berusia 60 tahun. Tapi itulah faktanya. Pria ini memiliki banyak teman, baik tua maupun muda. Ruangan pesta dipenuhi oleh keluarga dan teman-temannya yang berasal dari berbagai kalangan dan suku bangsa. Bahkan grup musik yang dulu sering kita tonton bersama pun tampil di malam itu.

Berfoto bersama penggemar Liverpool yang merayakan ulang tahunnya yang ke-60.

Bagian favorit saya di pesta tersebut adalah kesaksian dari keluarga dan teman masa kecilnya. Rasanya seperti melihat mantan kolega saya ini dari sisi lain, sisi luar biasa yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Saya hanya bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat duduk di situ dan mendengarkan kesaksian serta ucapan terima kasih dari mereka yang mengenalnya. Saya rasa dia tidak pernah berpikir bahwa dia akan menyentuh hidup begitu banyak orang. Dia hanya melakukan apa yang harus ia lakukan dan setelah bertahun-tahun kemudian, semua cerita tersebut membuktikan bahwa dia adalah orang yang baik. 

Seperti yang saya kataka sebelumnya, hidup memiliki cara untuk mengajarkan nilai-nilai yang baik dalam kehidupan pada kita. Di malam tersebut, sebuah pelajaran hidup itu bernama Hilary Cordeiro. Terima kasih dan selamat ulang tahun, Pak Hilary!

Pesta Natal di rumah Hilary. 


Wednesday, December 26, 2018

Kardus, Kardus, Kardus

Saat selesai menonton salah satu program TV favorit, saya merasa ingin juga menuangkan pikiran saya ke dalam tulisan ini. Ini adalah perihal perdebatan tentang kotak suara yang akan digunakan pada Pemilu 2019. Langsung saja ke intinya, dalam perdebatan, ada yang mengatakan ini bukan persoalan kardusnya, tapi ini adalah masalah ketidakkepercayaan publik saat ini. 

Saya setuju sekali akan hal ini, tapi... nah, ada tapi-nya, nih. Masalahnya, kenapa ada sebagian masyarakat yang menjadi tidak percaya? Sebenarnya saya ingin bertanya, namun bertanya kepada siapa? Pertanyaan saya adalah, dari mana rakyat tahu bahwa setelah ada ketentuan UU, KPU membuat kotak penampung suara dari bahan kardus? Rakyat mana yang bisa tahu dan yang mau mengurusi ini? Saya mencoba menjawab sendiri pertanyaan saya. Menurut saya, oknum anggota dewan yang menamakan dirinya sebagai wakil rakyat ini disinyalir ikut dalam memutuskan dan menyetujui usulan KPU dan sudah melihat contohnya saat rapat. Mereka inilah yang pura-pura terkejut dengan kotak suara yang sudah disetujui tersebut. Mereka lantas membuat heboh sehingga sebagian masyarakat ikut dalam perdebatan. 

Harus kita pahami bahwa sebagian kecil dari masyarakat kita mudah diarahkan ataupun diprovokasi. Ada sebagian juga yang lagi 'mabuk cinta', yaitu mereka yang fanatik akan pilihannya sehingga saat pihaknya mengatakan apa pun, bagi mereka itu adalah kebenaran yang tidak perlu diragukan lagi. Nah, inilah yang sebenarnya terjadi. Masyarakat terpicu oleh sandiwara yang ada dan perdebatan pun tak pelak lagi muncul di mana-mana. Setelah polemik terjadi, muncullah para ahli yang mengarahkan pikiran rakyat untuk menyakini bahwa ini adalah kebenaran walaupun sebetulnya sesat. Jika ada yang bertanya, "jadi kenapa bisa begitu?" Jawaban saya yang dungu adalah, "karena ini adalah strategi kampanye." 

Ya, ini adalah strategi kampanye supaya rakyat terbawa emosi di dalam memilih, sehingga tidak lagi memilih berdasarkan program-program yang ditawarkan. Saya akan memberikan ilustrasi bagaimana beberapa ahli mencoba mengarahkan kesesatan pemikiran mereka, seolah-olah apa yang mereka sampaikan itu adalah kebenaran. Logikanya seperti teka-teki ini: A meminjam dari B, C dan D masing-masing sebesar 100.000 rupiah untuk membeli sebuah kardus yang seharga 250.000 rupiah. Nah, karena masih ada sisa 50.000 rupiah, A kemudian mengembalikan kepada B, C dan D masing-masing sejumlah 10.000 rupiah. Sekarang artinya A meminjam 90.000 ke B, C dan D sehingga jumlahnya 270.000. Kalau begitu, kenapa uang yang tersisa di tangan A cuma 20.000? Ke mana hilangnya 10.000 karena awal total pinjaman A adalah 300.000? 

Inilah cara menyesatkan yang bisa membuat orang berpikir kalau ada 10.000 yang hilang. Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang berbahaya jika tidak dimengerti secara logis. By the way, jika mau tahu jawaban dari teka-teki itu, inbox saja 😀😀

Kardus, another quality product...

Tuesday, December 25, 2018

The Bathroom Singer

Happiness is from within and singing is one way to express it. While I'm never a great singer, I just love singing (and it's a good thing that I'm not tone-deaf, or else I'd be a nuisance for being out of tune). I often find myself singing everywhere I go, be it the time when I left home with the last song lingering in my mind, when I was at the back seat of a motorbike (this, admittedly, was the most bizarre place to sing) and, of course, when I was showering in the bathroom. The acoustic was good, haha!

This habit began more than two decades ago, when I first discovered the Beatles. Back in the 90s, when I was in high school, I stayed in an older compound of my aunt's big house and I had a cassette player that was stationed right next to the bathroom. I would crank it up to the loudest volume just to make sure that I could hear it from behind the locked bathroom door. As it was rock and roll, it somehow moved the listener. I just had to sing and my voice sounded good (or so I thought) in the bathroom. The experience was very encouraging.

Hanging out and singing after attending Wawa's wedding.
From left: Markus, Andy William, Tommy, Anthony and Setia.
Photo by Endrico Richard. 

When I listened to the Beatles, my role model in singing was John. His voice was raw and honest-to-god, but most importantly, compared with Paul's, John's vocals were lower, so it was easier for me to sing along with. In those days, I could do that raucous voice suitable for rock and roll! When I started collecting the Bee Gees, I picked up Barry's falsetto (the high pitched, girlie voice) and, to certain extent, Robin's vibrato (the vibrating voice) too. The three of them were the major influences that shaped the way I sang. Actually I was also a big fan of Freddie Mercury, but his vocal range was so unbelievable that I simply gave up trying to sing like him.

Now, did I tell you that I loved Michael Jackson, too? Oh yes, he was a great singer, but what I loved the most was the way he danced. He was so ahead of his time and nobody danced like him before. Sure, Adam Levine from Maroon 5 said he got the moves like Jagger, but to me, it was definitely Michael that I'd like to imitate. His moves were what I practiced tirelessly in front of the mirror at that time. By the way, since Oasis was a cool band in the late 90s, I also did the Liam Gallagher impersonation. The less obvious influence was, perhaps, Robin Gibb's style on stage. I just liked the way he handled the microphone and the time he cupped his ear while singing I Started a Joke. I found it elegant and majestic.

Performing We Are the Champions. 

I must have sung and danced so much in my spare time that the only thing left for me to do was performing live. Yes, I'd be so nervous as I waited for my turn. I'd take off my glasses so I'd see no audience when I came on stage. When I started drinking, I even got myself slightly drunk to overcome the anxiety. But when I get on stage and the music started playing, it felt electrifying that I knew I'd be alright. Standing on the stage and absorbing the good vibration from the audience was so thrilling! Most of the time, I didn't rehearse because I wouldn't be able to remember it anyway. The whole act just happened naturally.

Let me reiterate again that I am not a good singer, but I seem to recall the good times both the audience and I enjoyed. I remember the time when I performed Money (That's What I Want) with Hardy back in 1997 and again in 2014. I remember the time I performed I Saw Her Standing There in 2005. I remember the time I performed We Are the Champions and the medley of Blue Suede Shoes, Can't Buy Me Love, Stayin' Alive and Flashdance... What a Feeling during our company's Dinner and Dance. And the list went on. Looking back, they weren't bad performances for a bathroom singer, haha...

Performing Way Back Into Love.
It took some balancing skill to hold the cake!


Penyanyi Kamar Mandi

Kegembiraan itu datang dari dalam hati dan bernyanyi adalah salah satu cara untuk mengekpresikannya. Saya bukanlah seorang penyanyi yang hebat, tapi saya suka bernyanyi (dan untunglah saya tidak bernyanyi dengan sumbang). Saya seringkali bersenandung sendiri di berbagai kesempatan, misalnya saat saya terngiang-ngiang dengan lagu terakhir yang saya dengar sebelum meninggalkan rumah, saat saya duduk di belakang motor yang melaju di jalan (ya, saya akui bahwa ini tempat yang aneh untuk bernyanyi) atau saat saya berada di kamar mandi. Gemanya terdengar bagus di dalam kamar mandi, hehe.

Kebiasaan ini dimulai lebih dari dua dekade yang lalu, ketika saya menemukan the Beatles. Di tahun 90an, saat saya masih SMU, saya tinggal sendiri di bagian lama rumah tante saya yang luas dan saya memiliki sebuah tip kaset yang diletakkan tepat di samping kamar mandi. Saya suka memaksimalkan volumenya sehingga saya bisa mendengarkan lagu saat mandi. Karena yang saya dengar adalah rock and roll, saya senantiasa tergerak untuk menyanyi.

Saat membawakan I Saw Her Standing There

Ketika saya mendengarkan the Beatles, idola saya dalam menyanyi adalah John. Suaranya yang serak terdengar jujur, tapi yang lebih penting lagi adalah, dibandingkan Paul, suara John lebih rendah sehingga mudah bagi saya untuk turut mengikutinya bernyanyi. Di masa itu, saya bahkan bisa bernyanyi dengan suara serak yang cocok untuk rock and roll! Saat saya mulai mengoleksi album Bee Gees, saya pun mencoba suara falsetto Barry (yang tinggi dan mirip suara wanita) dan suara vibrato Robin (yang bergetar). John, Barry dan Robin adalah tiga tokoh yang sangat berpengaruh dalam membentuk cara saya bernyanyi. Saya juga mengagumi Freddie Mercury sebenarnya, tapi cakupan vokalnya sangat luar biasa sehingga saya menyerah untuk mencoba bernyanyi seperti dia. 

Oh ya, saya pernah bercerita bahwa saya juga menyukai Michael Jackson, bukan? Dia adalah penyanyi yang serba bisa, tapi yang lebih mengesankan lagi bagi saya adalah caranya menari. Sebelum Michael, tidak ada artis yang menari sehebat itu. Adam Levine dari Maroon 5 mungkin saja berkata, "I've got the moves like Jagger," tapi Michael adalah sosok yang mendorong saya untuk menari. Gerakannya saya tiru dan latih di depan cermin. Sewaktu Oasis menjadi grup populer di masa SMU, saya juga mencoba gaya Liam Gallagher dalam bernyanyi. Pengaruh yang mungkin tidak banyak diketahui orang adalah aksi panggung Robin Gibb. Saya selalu menyukai gayanya dalam memegang mikropon dan saat dia menutup telinganya ketika menyanyikan I Started a Joke. Sangat elegan dan anggun gayanya.

Saat membawakan Money (That's What I Want)

Saya menghabiskan cukup banyak waktu untuk bernyanyi dan menari di waktu senggang saya sehingga satu-satunya hal yang tersisa untuk saya lakukan adalah tampil di panggung. Ya, saya akan sangat gugup saat menunggu giliran saya. Kacamata saya pun biasanya saya lepaskan sebelum naik ke panggung supaya saya tidak bisa melihat penonton dengan jelas. Ketika saya berada di tempat yang menyuguhkan bir, saya terkadang minum sampai sedikit mabuk untuk mengurangi rasa demam panggung. Kendati begitu, saat saya naik ke pentas dan musik mulai melantun, saya menikmati suasana yang energik dan riuh sehingga saya tahu bahwa saya akan baik-baik saja. Berdiri di atas pentas dan menyaksikan respon dari penonton adalah sesuatu yang mencengangkan. Dan aksi panggung pun terjadi secara spontan. Saya biasanya tidak berlatih karena saya seringkali tidak bisa mengingat apa pun saat tampil. Adalah musik yang menggerakkan saya secara alami. 

Mari saya ulang lagi bahwa saya bukanlah penyanyi yang luar biasa, akan tetapi saya ingat saat-saat menyenangkan bagi saya dan penonton. Saya ingat saat membawakan lagu Money (That's What I Want) dengan Hardy di tahun 1997 dan sekali lagi saat Reuni 2014. Saya ingat saat membawakan I Saw Her Standing There di tahun 2005. Saya ingat saat membawakan We Are the Champions dan rangkaian lagu Blue Suede Shoes, Can't Buy Me Love, Stayin' Alive dan Flashdance... What a Feeling saat acara pesta kantor. Dan daftar pertunjukan itu masih berlanjut. Kalau saya lihat kembali, saya rasa aksi-aksi panggung itu tidaklah terlalu buruk untuk seorang penyanyi kamar mandi, haha...

Wednesday, December 19, 2018

Away From Home

I'm not entirely sure if this can be considered as something ordinary, but in my family, we don't always travel together. There were times when I was away and there were other times when the whole family but me was away. When this happened, it always got me thinking of how life had been a blessing. Confused? Here is a short story of how being away from home, be it myself or my family, reminded me the right perspective of what home was really about.

Let's talk about scenario #1 first. It's no secret that I love traveling and meeting friends. It's always great to see what's going on out there. As seen from past experience such as the trip to Karawang or Kuala Lumpur, I could go the distance to hang out with friends, even though it was just for a while. I guess it's just me, seizing the moment and making it happen. It's quite obvious that I was having the time of my life when I got out of the routine in life. What is rather oblivious to many was, when the fun died down, in the quietest moment, I often looked back at what I already had and things that I could have done better.

When I was away, I hung out with old friends!

The exact opposite of what happened above would be the time when the whole family was away and I was the one who stayed behind. It might be okay for a day or two, but after a while, it was kind of sad to go home and be greeted by complete silence. It reminded me of a better time, when I could hear the kids screaming before I reached the front door. It was of course much better to come home to a smiley wife that already prepared home-cooked dinner. Oh yes, I'm a fan of dining at home, probably because I'd been eating outside, mostly by myself, since 2002. The house simply felt empty and cold when my wife and daughters were away.

I remember that John Lennon once wrote, "you don't know what you got until you lose it." Taking things for granted is very much a human nature and having a family, I'm afraid, is no exception. If you're with your family everyday, you'll think that they're always be there for you, no matter what. While that is true to certain extent, the damning part is the last three words: no matter what. We could be misled by such an idea, as if there's nothing else that we needed to do to maintain the harmony, but luckily life had its funny way for us to do a reality check.

In my case, only when I was alone that I actually had time to reflect. As fun as it was to be with friends, it was only when I was with my family that I felt right at home. The laughter and togetherness, the love in the air, those feelings were what made family life so different and irreplaceable. I remember my wife, the one I certainly couldn't live without. Something was definitely missing when she wasn't around. I remember my elder daughter, the cheeky one, and how it was like looking at the mirror only to see that mini-me staring back at me. I remember my younger daughter, the quiet one with the smile that brightened up my day. Then I realised how rich I already was to have them as my home and family that I went back to. Life had been a blessing indeed...

The little family of mine. 


Saat Bepergian

Saya tidak tahu persis apakah ini adalah sesuatu yang biasa dan lumrah, tapi di dalam keluarga saya, kita tidak selalu bepergian bersama. Ada kalanya saya pergi sendiri dan ada pula saatnya seluruh anggota kecuali saya yang pergi berlibur. Saat-saat seperti ini seringkali membuat saya berpikir, betapa hidup ini merupakan sebuah anugerah. Berikut ini adalah sebuah kisah tentang bagaimana saat bepergian, baik saya sendiri maupun keluarga saya, mengingatkan saya kembali, apa sebenarnya arti dari sebuah rumah tangga.

Mari kita lihat dulu skenario pertama. Bukan rahasia lagi bahwa saya suka berlibur dan bertemu dengan teman-teman. Seperti yang bisa dilihat dari liburan-liburan terdahulu, misalnya saat saya ke Karawang atau ke Kuala Lumpur, saya tidak keberatan untuk menempuh jarak jauh hanya demi berkumpul sesaat bersama teman-teman. Mungkin ini adalah bagian dari karakter saya yang percaya bahwa kita harus mewujudkan apa yang kita inginkan dan menciptakan kenangan. Ketika saya keluar dari rutinitas hidup, yang jelas terlihat adalah bagaimana saya begitu menikmatinya. Yang jarang diketahui adalah, ketika semua keceriaan itu berlalu, saat saya sendiri dan berkesempatan untuk merenung, saya sering melihat kembali apa yang baru saja saya lalui. Pada saat itu saya bersyukur dengan apa yang saya miliki dan membayangkan kembali hal-hal yang seharusnya bisa saya lakukan dengan lebih baik untuk keluarga.

Kebalikan dari skenario di atas adalah sewaktu keluarga saya pergi berlibur dan saya tinggal sendiri di rumah. Sehari dua hari mungkin tidak terasa, tapi lama kelamaan sedihnya rasanya pulang ke rumah yang sepi dan sunyi. Saya jadi teringat saat saya bisa mendengar teriakan anak saya sebelum saya sampai di depan pintu. Pulang ke rumah yang disambut dengan senyuman istri dan makan malam yang sudah terhidang di meja tentu lebih menyenangkan. Oh ya, saya suka bersantap malam di rumah, mungkin karena saya sudah makan malam sendiri di luar sejak tahun 2002. Singkat kata, tanpa keberadaan istri dan anak-anak saya, rumah yang sama menjadi terasa begitu berbeda.

Si Sulung dan Si Bungsu.

Saya ingat bahwa John Lennon pernah menulis, "kau tidak tahu apa yang engkau miliki sampai kau kehilangan." Manusia terkadang mengabaikan sesuatu yang senantiasa ada yang ada di depan mata dan kehidupan berkeluarga pun tidak luput dari hal ini. Jika anda berada dalam lingkaran keluarga setiap hari, anda bisa tanpa sadar beranggapan mereka akan selalu hadir untuk anda, tidak peduli apapun situasi dan kondisinya. Pemikiran tersebut cukup berdasar, cuma yang sering kali bikin celaka adalah bagian terakhir dari kalimat tersebut: tidak peduli apapun situasi dan kondisinya. Saya rasa ini cenderung menjerumuskan, sebab kita tetap harus berusaha untuk mempertahankan keharmonisan yang sudah ada. Syukurlah hidup ini memiliki caranya sendiri untuk mengingatkan kita kembali.

Berdasarkan pengalaman saya, hanya di kala saya menyendiri itulah saya berkesempatan untuk melihat kembali hidup saya. Kebersamaan dengan teman-teman tentu saja seru dan heboh, tapi hanya di saat saya berada di tengah keluarga itulah tenteramnya suasana sebuah rumah tangga itu terasa. Tawa dan kebersamaan serta kasih sayang tanpa syarat membuat kehidupan berkeluarga berbeda hubungan sosial lainnya. Saya ingat dengan istri saya, rasanya ada yang hilang dalam hidup saya tanpa kehadiran dirinya. Saya ingat dengan putri sulung saya yang iseng sifatnya, yang membuat saya bagaikan bercermin dan melihat pantulan saya dalam dirinya. Saya ingat dengan putri bungsu saya, yang pendiam namun merekah senyumnya, begitu menyejukkan hati saya. Saya lantas menyadari, bahwa saya sudah lebih kaya daripada apa yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Mereka adalah keluarga dan rumah saya, tempat saya senantiasa pulang dan berlabuh. Hidup sungguh merupakan sebuah anugerah...