Total Pageviews

Translate

Tuesday, September 10, 2019

Ga' Heran!!!

Ada kehebohan di berita Minggu ini. 33 perusahaan yang keluar dari Cina tidak pindah ke Indonesia tetapi ke negara tetangga. Banyak yang mengatakan ijin susah (bisa juga betul), ada pula yang mengatakan lahan mahal dan susah (bisa juga betul). Ini aneh, padahal paparan dari World Bank menyebutkan bahwa Indonesia negara produktif.

Selain alasan-alasan yang dikemukakan di atas, saya melihat adanya masalah lain, yakni kepastian hukum. Kita tau kejadian penistaan agama dimana minoritas selalu jadi korban, sedangkan mayoritas bebas mengatakan apa pun. Sentimen anti asing juga semakin mencuat belakangan ini. 

Perusahaan asing itu tentu bukan kumpulan orang gaptek yang tidak baca berita di Indonesia. Mereka pasti sudah dapat gambaran mendirikan perusahaan di indonesia yang terjadi di monokwari di mana diisukan terus menerus dan di curigai.

Sebagai orang usahawan pasti mereka punya timbangan sendiri. Mereka tidak mau sudah invest setengah kena hoax dll sehinga terhenti. Tentu mereka akan rugi waktu dan rugi materi.

Ini ibarat seorang laki-laki, lebih baik menikah dengan yang mencintainya daripada menikah dengan cewek yang membencinya...

Investasi di Indonesia. Berani?

Wednesday, September 4, 2019

The Online Shopping

My friend Budiman often said that online shopping killed the retail business. As I was no businessman, I could only tell from what I saw. Shops did close down in Orchards. Even giants such as Borders and HMV were among the first to go. If these were any indicators, then he was right.

Online shopping had gone a long way since I first knew it. I remember the time when the internet first appeared in Pontianak. This was easily two decades ago. Not long after that, I found amazon.com. I immediately loved it, so much in love that in my college days, I actually wrote a paper about it for mid-term submission.

But the timing wasn't quite right then. Imagine the days when internet connection was so slow that you had to sit back and wait for each page to be loaded. It took almost one hour to search, add the items to shopping cart and check out. Still I was so happy, partly thinking that I was going to be the first online shopper in my hometown. It was not meant to be, though. Amazon.com declined the transaction, citing the reason that credit cards issued by Indonesia was banned due to numerous fraud cases. To think that I went a long way to obtain my first credit cards! It was heartbreaking!

Fast forward to today, the online shopping experience had been vastly improved. Browsing through your computer was one of the options, no longer the only way to go. The world is at your fingertips was not just a saying anymore, it was a dream came true! Literally! In order to shop, you just had to keep tapping on the mobile app. The purchase would be seamlessly done if you had saved your credit card details before. It was that easy and convenient these days.

I still shopped at Amazon thanks to CDs and books it was selling. I'd go to Qoo10 for unusual items such as Arbequina Extra Virgin Olive Oil. Rakuten was used for Japanese goods like spirulina. I preferred Lazada for stuff available locally in Singapore. For groceries, there were honestbee and RedMart. While I didn't use the last two, my wife was quite familiar with those.

The beauty of these Singapore-based apps were how competitive the prices were. Sometimes it came with discounts and promos. On top of that, it might also offer a free delivery. How attractive! Why would one bother to shop at the supermarket and carry back a 5kg pack of rice when we could have it delivered right at our doorstep? It was equally safe to purchase electronic goods, especially from the official stores such as Mi Store at Lazada. It came with the same one year warranty. To make it more comfortable, refund was almost hassle-free. Had a smooth experience in getting refund for my recent Amazon purchase.

Fun though it was, online shopping wasn't without its risks. Before my trip to Myanmar, I bought a backpack from Lazada. Much to my surprise, what I received was a tiny sized backpack. It looked exactly the same as the picture I saw, but it was so small that it couldn't be used for travelling purpose. This, I partly suspected, was likely to be a customer's problem, haha. It was either I failed to understand the bag dimensions stated on the page or the info was simply misleading. After the last fiasco, I avoided buying things that came in sizes such as bags, shoes, clothes, etc. because what I saw might not be what I got. As a conclusion, it was suffice to say that when we did online shopping, we bought only things we were sure of.

Anyway, back to Budiman's assessment, he was probably right. Online shopping was not only game-changing, but could also be addictive, especially when it had tons of promos on the days like Black Friday. Those retail shops might be nice for us to look at, but I couldn't be too sure if shopping spree still happened. I sincerely hoped that the retail business would somehow survive. Otherwise what would we see when we went to the malls? I still love walking in Orchard, especially when Christmas is just around the corner!

Proceed to checkout?



Belanja Online

Teman saya Budiman sering berkata bahwa bisnis belanja online merusak bisnis ritel. Karena saya bukan seorang pengusaha, saya hanya bisa mengamati apa yang terlihat. Memang betul ada toko-toko yang tutup di Orchard. Bahkan perusahaan raksasa seperti Borders dan HMV juga tutup dan angkat kaki. Jika ini adalah indikasi, maka pendapat Budiman tidaklah keliru. 

Bisnis belanja online sudah berubah drastis. Saya ingat saat internet pertama muncul di Pontianak 20 tahun silam. Tidak lama setelah saya menggunakan internet, saya menemukan amazon.com. Saya langsung menyukai situs belanja ini. Begitu terpesonanya saya sehingga saya menulis tentang Amazon dan mengumpulkannya sebagai tugas kuliah di pertengahan semester. 

Akan tetapi kondisi saat itu masih belum menunjang bisnis belanja online. Bayangkan masa ketika koneksi internet masih begitu pelan sehingga anda harus duduk dan menanti halaman situs terunduh secara lengkap. Dibutuhkan waktu hampir satu jam untuk mencari barang dan menyelesaikan pembayaran. Meskipun demikian, saya masih tetap bersemangat, mungkin karena saya menyangka bahwa saya akan menjadi orang pertama di Pontianak yang berbelanja online. Tidak pernah terpikirkan oleh saya kalau amazon.com akan menolak transaksi tersebut dengan alasan kartu kredit Indonesia termasuk kategori bermasalah karena banyaknya kasus penipuan. Sedihnya rasanya, apalagi saya telah bersusah-payah mendapatkan kartu kredit pertama saya. 

Kembali ke masa kini, fitur berbelanja online sudah kian canggih. Melihat-lihat lewat komputer adalah salah satu cara untuk berbelanja, bukan lagi satu-satunya cara. Dunia berada di ujung jari anda bukan lagi sekedar pepatah, tetapi mimpi yang menjadi kenyataan. Untuk berbelanja, anda cukup menggunakan satu jempol di layar telepon genggam anda. Transaksi akan semakin lancar jika anda sudah menyimpan data kartu kredit di app. Begitu mudah dan nyaman sekarang. 

Saya masih berbelanja di Amazon terutama karena buku dan CD lagu yang dijualnya. Saya mengunjungi Qoo10 untuk barang-barang tidak lazim seperti Arbequina Extra Virgin Olive Oil. Rakuten saya pakai untuk produk Jepang seperti spirulina. Saya memilih Lazada untuk barang-barang yang dijual secara lokal di Singapura. Untuk sembako, ada lagi yang namanya honestbee dan RedMart. Saya tidak memakai dua app ini, tapi istri saya terkadang berbelanja lewat dua situs ini. 

Keuntungan dari penggunaan app lokal ini adalah harganya yang kompetitif. Terkadang ada diskon dan promo juga. Selain itu pengirimannya pun bisa saja gratis. Menarik, bukan? Daripada berbelanja di supermarket dan membawa pulang satu karung beras, tentunya lebih praktis kalau belanjaan kita diantarkan sampai ke depan rumah. Sama halnya juga dengan membeli barang elektronik, terutama dari toko-toko resmi seperti Mi Store di Lazada. Barangnya sama, garansi pun juga sama-sama setahun. Bahkan retur pun tidaklah begitu sulit. Baru-baru ini saya mengembalikan satu barang ke Amazon dan prosesnya cukup mudah. 

Berbelanja online memang seru, tapi tidak berarti bebas resiko. Sebelum perjalanan saya ke Myanmar, saya membeli tas ransel dari Lazada. Di luar dugaan, yang saya terima itu tas ransel berukuran mungil. Bentuknya seperti yang saya lihat di foto, tapi ukurannya kecil sehingga tidak cocok untuk dipakai berkelana. Saya tidak tahu pasti apakah saya yang tidak mengerti ukuran tas yang tertera atau memang informasinya tidak sesuai dengan barangnya, haha. Setelah kasus ini, saya tidak lagi membeli barang yang memiliki berbagai ukuran, misalnya tas, kaos, sepatu dan sebagainya, sebab apa yang saya lihat mungkin bukan apa yang akan saya dapatkan. Sebagai kesimpulan, mungkin kita sebaiknya membeli barang yang kita tahu pasti kalau kita memilih untuk berbelanja online. 

Sebagai penutup, kembali lagi ke komentar Budiman, saya cenderung sepakat dengannya. Belanja online tidak saja mengubah gaya hidup, tapi juga bisa membuat orang kalap, terlebih lagi ketika sedang promosi besar-besaran, misalnya pas Black Friday. Toko-toko ritel mungkin sedap dipandang mata, tapi saya tidak begitu yakin kalau bisnisnya seramai dulu. Saya hanya bisa berharap kalau mereka bisa bertahan, sebab tanpa toko-toko ini, apa jadinya pusat perbelanjaan yang biasa kita kunjungi? Saya masih suka berjalan di Orchard, apalagi di saat menjelang Natal!

Sunday, September 1, 2019

The Photographer

The name Endrico Richard should be familiar for long time readers of Roadblog101. He is a great friend and a travel buddy that appeared in many stories I wrote. Even when he wasn't featured, photos taken by him would still grace the blog sometimes. He is good, I love his work and I often said we could just leave the photo-taking to Endrico when we travelled. Yes, the man was that reliable! Then it hit me that Endrico was easily the most underrated photographer that I knew! A good talent must be appreciated and, as far as I am concerned, I am more than happy to be the one that shout it out loud!

I remember the trip to Bali that we had 14 years ago. We both had digital cameras at that time and he was using a black coloured Canon IXUS. I happened to keep photos taken by the two of us and when I compared our results, I could confidently say that even then he did a brilliant job. His perfect timing, his passion for the right moments, his interests in exploring the camera features such as macro (I remember him muttering the word and took some flower pictures), Endrico simply had the makings of a good photographer.

The flower photo taken with macro feature in Bali. 

When Endrico was a little kid, he loved flipping through his parents' photo albums. His Dad introduced a camera to him when he was in Junior High School, triggering his lifelong interest in photography. He purchased his first camera, the aforementioned Canon IXUS, at Jim Col Enterprise (the shop still can be found at Lucky Plaza, Orchard). The life span of the trusted camera was surprisingly long. Used until early 2010s, the camera was retired only after her first daughter was born and it's still in good condition!

Browsing the baby's photos made him realise that he couldn't do much with the existing camera. That's when he started reading about DSLR. He was contemplating for one, but like any good boy from Pontianak, he was unsure about spending so much money. Photography was an expensive hobby and the price of DSLR Nikon he wanted to buy was two times his salary then! The wife understood what it meant for Endrico to have the camera and finally encouraged him to get one.

Smile, baby. Smile.

Endrico bought just the camera and no additional accessories were purchased. That was partly why he didn't really take landscape photos. Apart from that, he personally preferred to capture emotions and candid moments. While some people might not find flattering, some would either love it or just simply laugh about it. That reaction was the appreciation that Endrico treasured the most.

He'd been using the DSLR camera since then. It was hanging proudly on his neck when we travelled to Vietnam and Cambodia and that was 10 years ago! Throughout the decade, he upgraded his camera once, took a couple of freelance jobs, participated in some competitions (only God knows if he ever won, but hey, even the Beatles never won any!) and he also had a chance to help a professional photographer that went by the name @tristonyeo.

Endrico in action.
Photo by Anthony.

Now that the camera on the phone was so advanced, I was curious about what he got to say about it. Much to my surprise, he wasn't exactly a fan. He agreed that it was much more portable and therefore convenient, but it wasn't as good as DSLR. If the photos were just to be shared for social media consumption, then yes, the smartphone was indeed sufficient. However, as a hobbyist, he still opined that DSLR had so much more to offer. Endrico didn't have any preference for smartphone when it came to photo-taking, but just like those days when he used Canon IXUS, he did an admirable job with whatever smartphone he had in hand.

I could only conclude that for some talented people, the equipment they used only enhanced what they could do. The skill and experience were all along there, which explained the good result. I always thought highly of his natural instinct, but when I asked him to elaborate about it, he humbly said he couldn't explain it. He told me that the so-called instinct was like how I knew how to write and choose the right words. I could relate with the answer. It got to do with the feeling. You just knew it when it felt right.

The laughter, perfectly captured and immortalised in black and white.

Talk about results, it could get better with a little help of touch up. Endrico didn't do heavy editing. He did only what was necessary. He'd use Photoscape on desktop and Snapseed on his phone. Whenever he felt that the color tone was suitable, he'd go for sepia or B/W. It brilliantly brought the classical feeling out of the pictures! By the way, you can check out his work at @endrico.richard on Instagram. 

Now, up until here, you had read a lot of good things about what the man could do, but like I said earlier, photography was an expensive hobby. To make a living out of it was something that he wasn't ready for. It was probably an easier decision to make when you were single, but not when you were a father of three. Due to budget and time constraint, he didn't pursue it any further. He also cited the same reason in explaining why he didn't participate in any photography trip, at least for now. Still, things may change in the future, so never say never!

And that left me with last question that I actually forgot to ask. Endrico had gone through the era of digital camera, DSLR and smartphones. Now that drones with camera are quite common, I wonder if he will buy one, too! Aerial photography with a flying camera, how sexy does that sound? Be tempted and get one already, Mr. Richard!

A night in Singapore.


Sang Fotografer 

Nama Endrico Richard harusnya tidak asing lagi bagi para pembaca Roadblog101. Dia adalah seorang teman yang baik dan juga sesama pengelana di berbagai cerita yang saya tulis. Foto-foto hasil jepretannya kadang masih dipakai sebagai ilustrasi meskipun ia tidak tampil di dalam cerita. Ya, karyanya bagus dan saya termasuk seorang penggemarnya. Saya sering berkata bahwa kita senantiasa bisa berlibur dengan santai dan menyerahkan dokumentasi foto kepada Endrico karena dia selalu beraksi dengan kameranya. Belakangan ini saya menyadari, bakatnya sebagai fotografer belum pernah dibahas sama sekali. Orang yang bertalenta patut dihargai dan saya dengan senang hati menjadi orang yang bercerita tentang kemampuannya.

Saya ingat dengan liburan ke Bali 14 tahun yang lalu. Saat itu kita masing-masing membawa kamera digital dan Endrico menggunakan kamera Canon IXUS berwarna hitam. Kebetulan saya menyimpan foto-foto karya kami berdua dan kalau saya bandingkan, saya merasa bahwa hasil jepretannya lebih bagus. Kesabarannya dalam menunggu saat yang tepat, instingnya dan juga minatnya dalam mengeksplorasi kemampuan kamera (saya ingat dia sering menyebut kata makro dan memotret bunga) menunjukkan bahwa Endrico memang memiliki potensi sebagai fotografer dari sejak dulu.

Foto makro.

Ketika masih bocah, Endrico suka melihat-lihat album foto orang tuanya. Sewaktu dia berada di jenjang SMP, ayahnya memperkenalkan kamera padanya, tanpa sadar memicu minatnya terhadap bidang fotografi. Bertahun-tahun kemudian, Endrico membeli kamera pertamanya, Canon IXUS, di Jim Col Enterprise (toko ini masih bisa ditemukan di Lucky Plaza, Orchard). Umur kamera ini luar biasa panjang, digunakan sampai awal tahun 2010an dan baru dipensiunkan dalam kondisi masih berfungsi setelah kelahiran putri pertamanya. 

Sewaktu melihat hasil pemotretan bayi, Endrico jadi sadar kalau kamera Canon yang dimilikinya tidak bisa berbuat banyak. Ia lantas mulai membaca tentang DSLR dan tertarik untuk mencobanya. Akan tetapi fotografi adalah hobi yang mahal dan harga kamera Nikon yang ingin ia beli itu dua kali lipat gajinya pada saat itu! Endrico jadi tidak yakin, namun istrinya mengerti pentingnya kamera itu bagi suaminya dan memberikan dukungan.

Momen yang terabadikan.

Endrico akhirnya membeli kamera, tapi tidak disertai dengan berbagai aksesori seperti lensa bersudut lebar dan lainnya. Inilah alasannya kenapa Endrico jarang memotret pemandangan. Secara pribadi, dia juga lebih senang berfokus pada emosi yang terpancar saat orang yang difoto sedang tidak berpose untuk kamera. Beberapa orang mungkin tidak suka difoto dalam keadaan tidak siap, namun tidak sedikit juga mereka yang tertawa melihat hasilnya. Reaksi-reaksi seperti inilah yang merupakan bentuk apresiasi yang paling disukai oleh Endrico. 

Kamera DSLR pun menjadi andalannya semenjak itu. Ketika kita berlibur ke Vietnam dan Kamboja 10 tahun yang lalu, sepanjang perjalanan kamera itu tergantung di lehernya. Selama satu dekade terakhir ini, dia telah mengganti kamera DSLR dengan yang lebih baru, menerima pesanan fotografi untuk acara ulang tahun dan pra-nikah, berpartisipasi dalam beberapa lomba (hanya Tuhan yang tahu apakah dia pernah menjadi pemenang, tapi the Beatles juga tidak pernah memenangkan kompetisi apa pun, jadi tidak apa-apa kalau tidak juara). Selain itu, dia juga pernah mendapat kesempatan untuk membantu fotografer profesional yang menggunakan akun @tristonyeo.

Foto pra-nikah di Singapura. 

Mengingat kecanggihan kamera pada telepon genggam zaman sekarang, saya jadi penasaran dengan pendapatnya. Saya tertegun ketika mengetahui bahwa Endrico bukanlah penggemar fotografi dengan menggunakan telepon genggam. Dia tidak menyangkal bahwa telepon genggam memang lebih praktis, tapi fungsinya masih belum bisa menyaingi kamera DSLR. Jika hasil fotonya hanya dipakai untuk diunggah di media sosial, maka kamera telepon genggam pun sudah cukup memadai. Tidak demikian halnya jika fotografi ini ditekuni sebagai hobi. Kamera DSLR tentu saja memiliki lebih banyak fitur dan kelebihan. Meski Endrico tidak memiliki pilihan khusus dalam hal ini, dia tetap menghasilkan foto-foto yang bagus dengan kamera di telepon genggam yang dimilikinya. 

Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa bagi orang-orang berbakat, peralatan yang dipakai itu hanya sekedar meningkatkan kualitas karyanya.  Dari sejak awal, kemampuan dan pengalaman itu ada pada orangnya, bukan peralatannya. Saya senantiasa percaya bahwa dia memiliki naluri yang luar biasa, namun ketika saya minta dia untuk menjelaskan lebih lanjut, Endrico mengaku tidak bisa. Dia memberikan perbandingan bahwa apa yang saya sebut sebagai naluri fotografi itu tidak berbeda dengan bagaimana saya menulis. Semuanya tergantung perasaan dan seperti halnya saya, dia tahu dengan sendirinya bahwa saat yang tepat telah tiba baginya untuk memotret.

Foto di Bali. Ada kesan damai yang membuat saya menyukai karyanya ini. 

Bicara soal hasil, kualitas foto bisa menjadi lebih baik lagi jika diedit sedikit. Endrico juga sering memberikan sentuhan seperlunya. Dia menggunakan Photoscape di komputer dan Snapseed di telepon genggamnya. Terkadang dia juga menggunakan nuansa sepia dan hitam-putih untuk foto-foto tertentu yang memang cocok untuk warna tersebut. Bila anda berminat untuk melihat lebih lanjut, anda bisa mengikutinya di akun @endrico.richard di media sosial Instagram. 

Sampai di sini, anda telah membaca banyak tentang kemampuannya, akan tetapi seperti yang saya sebutkan sebelumnya, fotografi adalah hobi yang mahal. Keputusan untuk menjadi seorang fotografer profesional mungkin lebih mudah dijalankan ketika masih muda dan beda halnya ketika seseorang telah menjadi ayah dari tiga orang anak. Karena masalah waktu dan biaya, fotografi pun hanya menjadi sekedar hobi baginya. Endrico juga menyebutkan alasan yang sama ketika ditanya kenapa dia tidak mengikuti liburan wisata fotografi. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan masih ada kesempatan di lain waktu. 

Dan saya masih memiliki satu pertanyaan yang tidak sempat saya tanyakan tempo hari. Endrico sudah melewati masa-masa kamera digital dan telepon genggam. Sekarang ada lagi yang namanya kamera dengan drone, pesawat berbaling-baling tanpa awak yang bisa dikontrol dari jarak jauh. Kamera terbang ini bisa digunakan untuk memotret dari ketinggian. Seru, bukan? Mari, Endrico, cepat beli!

Foto pemandangan. 

Friday, August 23, 2019

The Humbling Experience

I often said travelling is a humbling experience. This particular quote appeared once in a while since the beginning of Roadblog101, but you might find that I never really elaborated further about it. For this occasion, let's dig deeper! The beauty of travelling, especially to new places, is the whole new world that you will discover. Whatever it was you thought you knew best, it was suddenly rocked to the core as your horizon was broadened.

The very first time I ever realised it was when I travelled to Bali from Jakarta. At that time I seldom travelled, even domestically. I probably only visited Singkawang and Bandung prior to the trip. Based on what I had seen, I had this general idea of how Indonesia looked like: the cities were developing and the atmosphere, regardless whether it had quite a substantial population of Chinese or not, felt quite Islamic.

The first trip to Bali!

Much to my surprise, Bali was so different. It was like visiting a foreign country that happened to use rupiah as its currency. The Hindu influence was so profound there, deeply entrenched into the life of the Balinese that on a very surface level, you'd see canang sari (flowers for puja offering) everywhere! They were proud of their babi guling (suckling pig). Hindu temples, statues that sometimes wore sarong, you'd see them wherever you went. Life was so relax in an island filled with magnificent natural landscapes. People were so friendly and tourists were aplenty.

It was quite liberating to see a totally different lifestyle in Indonesia. Growing up and lived in Pontianak for 22 years, I must be so naive that I subconsciously thought the small town was the center of the universe. I was so used to the culture and not much had really changed for me in Jakarta that I ended up believing it was the only way of life. The visits to Bali opened my eyes. I was wrong and I was glad to be proven wrong in such a fashion. It was good to know that there were choices out there.

With Benny in Khao San Road, Bangkok, 2010.
Photo by Swee Hin.

The next one that gave me a good impression was Bangkok. Okay, Kuching would always be the first foreign city that I visited and Singapore gave me the exposure of a first world country, but it was Bangkok that charmed me the most. It was more modern than Jakarta, but it never lost its characteristics. Everywhere I went, I met people greeting me with a smile, the wai gesture and, "สวัสดีครับ (S̄wạs̄dī khrạb)." It was so infectious that I couldn't help returning the favour in a same manner!

Then of course I had mentioned Japan and its famous hospitality, too. I remember the trip to Tokyo that I had with my wife and daughter in 2014. I lost my way to the hotel and, after deciding that he was getting nowhere in explaining the direction, the person I asked actually brought us to the right exit of Nihombashi train station even though he wasn't heading there! Another great example would be this person that sat next to me at Paul McCartney concert. When he knew that I was from Indonesia, this stranger left his seat and went out to the merchandise store to buy me a keychain as a souvenir. How the Japanese would go for the extra mile!

In front of the hotel we were looking for.
Photo by Evelyn Nuryani.

Experiences like these made you think again, that when things became cynical in life, it was good to know kindness still existed. It taught us not to be afraid to be kind, even though you gained nothing in return, because it was never about gaining. It was always about sincerity in life. If strangers could do that, so could I, and the world would be a better place.

Through travelling, I also learnt to be thankful. Cambodia was so memorable, but I'm afraid not for a good reason. In 2009, even the capital city was so rundown, let alone towns such as Siem Reap. The place was so dry and hot that even the cows were skinny. I'd never forget the dusty cyclone that engulfed the roadside bread cart. It was a sight to remember and when I saw that, I was like, "how on earth are people going to eat that?"

Visiting Bayon Temple, Siem Reap.

Simply put, the condition was so bad that I suddenly realised how blessed I was to be born in Indonesia. All this while, it was easy for Indonesians to complain and forget what we actually had. But seeing was believing. It screamed right at my face that there were less fortunate people out there. I was shocked to see the only entertainment they had at night: the neighbourhood people were either playing rope skipping or doing the slow dance.

And yet the Cambodians looked genuinely happy. They might not have whatever it was that outside world could have then, but they seemed to have a good time. The moral of the story was, if I considered myself blessed but couldn't be at least as happy as they were, something must be wrong inside my heart. What I saw reminded me that one just had to be appreciative in life. It didn't take much to be happy.

I could go on and on, but you might have gotten the gist by now. If you stayed too long in one place and did the same routines all the time, you'd end up believing your way of life was the only way to go. Travel the world, discover new things, and be humbled by the experience. There's a reason why holiday is refreshing. It's meant to be a break from what you are doing everyday, so that you get a new perspective in living your life differently...

Capturing moments in Cambodia.
Photo by Endrico.


 Pengalaman Yang Bersahaja

Saya sering berucap bahwa melanglang buana itu adalah pengalaman yang bersahaja. Perkataan ini muncul berulangkali dari sejak Roadblog101 bermula, namun saya mungkin tidak pernah bercerita lebih lanjut tentang apa makna pernyataan saya ini. Pada kesempatan ini, mari kita bahas lebih jauh! Yang menarik dari liburan, terutama bila kita mengunjungi tempat yang baru, adalah sebuah dunia baru yang terbentang di hadapan kita, menanti untuk dijelajahi. Di saat itu pula, apa pun kiranya yang selama anda ketahui pasti akan berubah karena wawasan anda bertambah luas. 

Saya pertama kali menyadari hal ini saat saya berkelana dari Jakarta ke Bali. Sebelum ini saya jarang ke mana-mana, baik luar negeri maupun domestik. Seingat saya, saat itu saya hanya pernah mengunjungi Singkawang dan Bandung. Berdasarkan apa yang saya lihat, saya memiliki gambaran bahwa Indonesia itu kira-kira seperti ini: kota-kotanya sedang berkembang dan suasananya, tidak peduli apakah kota tersebut memiliki populasi Tionghoa yang cukup banyak atau tidak, tetaplah memiliki pengaruh Islam yang kental.

Endrico di tengah-tengah orang lokal dan turis asing saat kita mengunjungi Tanah Lot, Bali.

Di luar dugaan saya, Bali ternyata sangat berbeda. Rasanya seperti mengunjungi negeri asing yang menggunakan mata uang rupiah. Budaya Hindu terasa sangat dominan dan begitu mengakar di kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Sebagai contoh sederhana, anda bisa melihat canang sari (bunga persembahan) yang bertaburan di pinggir jalan. Mereka bangga dengan masakan babi guling. Pura dan patung yang terkadang memakai sarung pun terlihat segenap penjuru Bali. Hidup terasa begitu santai di Pulau Dewata yang menakjubkan alam dan pemandangannya. Orang-orang di sana sangat bersahabat dan turis dari manca negara tumpah-ruah di Bali. 

Mencengangkan rasanya melihat gaya hidup yang begitu berbeda di Indonesia. Lahir dan tumbuh dewasa di Pontianak selama 22 tahun lamanya, saya begitu naif karena sekian lama terkungkung di kota kecil ini. Saya terbiasa dengan budaya Pontianak dan juga pola hidup yang sama selama saya tinggal di Jakarta. Kunjungan ke Bali sungguh menginspirasi. Selama ini saya salah sangka dan saya senang saat mengetahui bahwa ada pilihan lain di luar sana. 

Di Bangkok.
Foto oleh Endrico.

Kota berikutnya yang memberikan kesan mendalam adalah Bangkok. Ya, Kuching mungkin saja kota luar negeri pertama yang saya kunjungi dan Singapura memberikan saya pengalaman, seperti apa negara maju itu sebenarnya, tapi Bangkok sungguh mempesona! Ibukota Thailand ini lebih maju dari Jakarta, tapi tidak pernah kehilangan karakteristiknya. Ke mana pun saya pergi, orang-orang selalu menyapa dengan senyum, membungkuk dan mengucapkan, "สวัสดีครับ (S̄wạs̄dī khrạb)."  Sapaan khas Thailand ini begitu menarik sehingga saya pun tanpa sadar membalas dengan cara yang sama!

Selain Thailand, tentu saja Jepang dan keramahtamahannya perlu saya jabarkan. Saya ingat dengan kunjungan pertama ke Tokyo bersama istri dan anak di tahun 2014. Saat itu saya tersesat di stasiun kereta Nihombashi dan, setelah merasa bahwa dia tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata, orang yang saya tanyai itu membawa kami ke pintu keluar yang mengarah ke hotel walaupun dia sebetulnya tidak menuju ke arah yang sama. Contoh lainnya adalah orang Jepang yang duduk di sebelah saya sewaktu konser Paul McCartney di Tokyo. Tatkala dia mengetahui bahwa saya berasa dari Indonesia, orang asing ini beranjak dari tempat duduknya dan keluar untuk membeli gantungan kunci yang merupakan cinderamata konser. Dashyat ramahnya!

Bersama Linda, tak jauh dari Stasiun Nihombashi.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Pengalaman seperti ini jelas membuat anda berpikir lagi, apabila hidup ini terasa sinis, betapa lega rasanya saat mengingat kembali bahwa kebaikan itu masih ada. Hal ini mengajarkan kita untuk tidak takut berbagi kebaikan, meskipun kita tidak diuntungkan sama sekali, sebab intinya bukanlah untung rugi, melainkan ketulusan terhadap sesama. Jika orang asing bisa berbuat seperti ini, saya rasa saya pun bisa, dan dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik. 

Petualangan ke berbagai negara juga membuat saya belajar untuk bersyukur. Kamboja takkan terlupakan, tapi sayang sekali bukan karena alasan yang menyenangkan. Di tahun 2009, bahkan Phnom Penh yang merupakan ibukota negara pun masih terbelakang, jadi kota-kota lain seperti Siem Reap lebih parah lagi. Iklimnya kering dan panas, sampai-sampai sapinya pun kurus. Saya tidak akan lupa dengan angin puting-beliung yang berdebu dan berputar menggulung gerobak roti di tepi jalan. Saat melihat pemandangan itu, di dalam hati saya berkata, "bagaimana caranya orang menyantap roti ini?"

Menyusuri jalan di Phnom Penh bersama kawan-kawan.
Foto oleh Endrico. 

Begitu buruknya kondisi sana sehingga saya jadi berterima kasih bahwa saya lahir di Indonesia. Terkadang lebih mudah bagi kita untuk mengeluh daripada bersyukur atas apa yang kita miliki. Apa yang saya lihat mengingatkan saya kembali bahwa masih banyak orang yang lebih tidak beruntung di luar sana. Saya tertegun saat melihat hiburan mereka di malam hari: orang-orang di sekitar penginapan saya bermain lompat tali dan menari pelan di depan rumah. 

Akan tetapi mereka terlihat gembira. Ya, mereka memang tidak memiliki hiburan seperti yang biasa kita lihat, tapi mereka menikmati hidup mereka. Intinya adalah, jikalau saya yang merasa lebih beruntung tidak bisa segembira mereka, mungkin ada yang salah dalam hati saya. Pengalaman saya di Kamboja mengingatkan saya kembali bahwa tidaklah rumit untuk menjadi bahagia. Yang penting itu bisa bersyukur. 

Saya bisa lanjut bercerita lagi, tapi saya rasa sampai di sini anda sudah mengerti. Bila anda tinggal terlalu lama di suatu tempat dan mengerjakan hal yang sama berulang-ulang, anda lambat-laun akan percaya, seperti itulah hidup. Saran saya adalah, bertualanglah bilamana anda bisa, temukan hal baru dan dapatkan pengalaman yang bersahaja. Ada alasannya kenapa berlibur itu disebut refreshing. Liburan memberikan kesempatan bagi anda untuk berhenti sejenak dari rutinitas sehingga anda memiliki sudut pandang baru dalam menjalani hidup anda...

Wednesday, August 7, 2019

Listen To Dispute

My colleague Uncle Eddie is the venerable IT man known for his favorite catchphrase: no rocket science. He is good, he knows his stuff well and when he's involved in troubleshooting, you'll understand that improving our system is, indeed, no rocket science. What is not known by many is, perhaps, his second favorite catchphrase: listen to dispute. It was something that suddenly came to my mind when I attended the church service last Sunday.

When Uncle Eddie said, "listen to dispute," he was talking about human nature. It was something that I could relate with, because it happened around us. It was like, you'd listen attentively just to wait for the very moment to say no to other people and tell them they were wrong. All the good points went down the drain because they weren't what you were paying attention to.

I'd be lying if I said I didn't have such a revolting tendency. I did it all the time in friendly chat groups I knew and loved, but that was mainly for fun. It was easy for me to counter whatever comments my friends had, because... well, let's just say I had years of practice in talking nonsense, haha. When it was a serious conversation, I would react differently.

There were two reasons why I didn't listen to dispute. The first and positive one was, different opinions were actually normal. To quote Bruce Lee, "absorb what is good, discard what is not." I guess if we were humble enough to listen, we'd always learn something new from others. The second one was the fact that I wasn't wired to be argumentative. I wasn't that fast in reasoning, probably because I wasn't that smart, haha. However, if I knew for sure and the people I was talking to kept arguing, I'd let them have their way. Most of the time, I simply I had neither the drive nor energy to convince people any further if they didn't wish to listen.

This is the reason why I suddenly remembered Uncle Eddie's catchphrase when I was at the church. It came to my mind that Christianity is something that you need to try. If you want it, come and get it. You don't just hear it from others. You have to experience it. May be you'll like the Christian way, may be you won't. The point is, the relationship with God is always personal.

It's a pity when people listened just to slam it down, because you might have missed what was good for you. It's even sadder if the person felt glorious about it. I don't think there'd be anyone emerging as a winner in such a conversation, because it wasn't a debate to begin with. Yes, there'd be time when we had to stand our ground, but you'd recognize it immediately and this certainly wasn't it. Humility is the key here and for all you know, the next time you listen humbly may be the time your life is changed forever for the better. Give it a try...

In Yangon with Uncle Eddie and other colleagues.


Mendengar Untuk Membantah

Kolega saya, Pak Eddie, adalah seorang IT senior yang terkenal dengan slogan favoritnya: no rocket science. Dia tahu apa yang dia kerjakan dan mengerti luar-dalam tentang bidang database yang ditekuninya sedari dulu. Kalau dia membeberkan hasil investigasi tentang suatu masalah IT, anda akan setuju bahwa mengatasi akar permasalahan tersebut bukanlah sesuatu yang rumit. Pokoknya no rocket science. Begitu seringnya dia mengucapkan frase itu sehingga yang berikut ini mungkin luput dari perhatian orang banyak: mendengar untuk membantah. Demikian bunyi frase lain yang suka dipakainya dan frase ini tiba-tiba terngiang di benak saya saat sedang berada di gereja. 

Sewaktu Pak Eddie berujar, "mendengar untuk membantah," dia berbicara tentang kebiasaan manusia. Ini adalah sesuatu yang bisa dilihat di sekeliling kita. Contoh nyata dari frase ini adalah mereka yang menyimak pembicaraan hanya untuk menantikan saat berkata tidak kepada orang lain dan bersikeras kalau lawan bicara mereka salah. Semua hal baik yang terucap selama percakapan akhirnya hilang begitu saja karena bukan itu yang mereka perhatikan.  

Saya pastilah berbohong bila saya katakan kalau saya tidak mempunyai kebiasaan seperti itu. Saya senantiasa melakukannya di chat group, tapi itu karena saya memang iseng. Mudah bagi saya untuk membantah apa saja karena saya berpengalaman puluhan tahun dalam perbincangan yang konyol. Ketika saya terlibat dalam diskusi serius, reaksi saya jelas berbeda. 

Ada dua alasan kenapa saya tidak mendengar untuk membantah. Yang pertama dan berkesan positif adalah karena perbedaan pendapat itu normal. Bruce Lee pernah berucap, "ambil yang baik, buang yang tidak baik." Saya rasa jika kita cukup rendah hati untuk mendengarkan, kita akan selalu bisa belajar hal yang baru dari orang lain. Alasan kedua adalah karena saya bukan tipe orang yang senang berargumen. Terus-terang saya tidak cukup cepat untuk berdebat, mungkin karena saya memang tidak begitu pintar, haha. Jikalau saya tahu pasti akan suatu hal dan lawan bicara saya masih mau membantah, saya hanya akan menggeleng dan membiarkannya. Saya tidak punya cukup energi untuk meyakinkan orang yang tidak mau mendengar. 

Inilah sebabnya kenapa saya tiba-tiba teringat dengan ucapan Pak Eddie ini ketika saya sedang berada di gereja. Terlintas di benak saya bahwa yang namanya Kristen itu sesuatu yang harusnya dicoba. Jika anda mau tahu, datang dan rasakan sendiri. Jangan hanya dengar dari orang lain, tapi alami sendiri. Mungkin anda akan merasa cocok, mungkin juga tidak. Intinya adalah, hubungan dengan Tuhan itu selalu bersifat pribadi antara anda dan yang di atas. 

Saya merasa iba kepada mereka yang mendengar hanya untuk membantah, karena anda mungkin melewatkan apa yang sebenarnya baik untuk anda. Akan lebih menyedihkan lagi bila anda merasa unggul karena membungkam lawan bicara yang sebenarnya hanya ingin berbagi pengalaman dengan anda. Dalam percakapan seperti itu, saya rasa hendaknya tidak perlu ada yang muncul sebagai pemenang, sebab itu bukanlah debat. Ya, ada saatnya anda perlu dengan teguh mempertahankan pendapat anda dan secara naluriah anda akan tahu kalau saatnya tiba. Kalau bukan itu yang anda rasakan, maka dengarkan saja dengan rendah hati, siapa tahu apa yang anda dengarkan itu justru mengubah hidup anda menjadi lebih baik. Silahkan dicoba...

Saturday, August 3, 2019

The Chronicler, The Impresario

This story began with a phrase, "who died and made you..." that lingered in my mind. While it was often used a sarcastic response, the phrase was somewhat relevant with what I went through since high school till now. You see, every generation had one chronicler that brought them together and for ours, that person seemed to be me. No, nobody died and made me take it up. I wasn't nominated and I didn't ask for it, too. I just happened to fit the profile, I subconsciously filled the gap and I grew into the role gradually.

In order to understand how this happened, let's look back at the seemingly random bits and pieces in my life. First of all, I had been blessed with a memory like an elephant that allowed me to remember past events in life clearly. Secondly, as a person who lived apart from my family since high school, I naturally established close relationship with friends who were there for me when I had no one else. They were like my family and I loved them all. Then, of all the prized items a poor young man could have in the 90s, I happened to have a camera to capture the moments! Lastly, I had to admit that I seldom wrote a good story from a scratch. What I did best was blending what I observed and I experienced into writing seamlessly. The result was not my story. Since the very beginning, it was always our story.

1998-2008, our first 10 years. 

To summarise, it was a case of right things fell into right places. I became the person that cared enough to keep in touch and I organized those friendly hangouts, especially after we left high school. As I had latest contacts and updates, I once maintained a website that shared news and photos. Oh yes, while I was never a keen photographer, it seemed like I always had a camera at any point of time. In early 21st century, I was a proud owner of Sony Cyber-shot 3.2 megapixels.

Back to our story, long before Friendster and Facebook existed, there was anthony-ventura.tripod.com, the trusted source for our high school community. It was fine and well-received for a while, but I eventually learnt that some people found it intrusive. I guess I must be too excited in connecting people that I had offended some unknowingly. It was unpleasant as I didn't mean to hurt anyone. That's partly the reason why I quit.

Singing session with Pheng iu, right after Wawa's wedding.
Photo owned by Ng Lina.

The other half of the reason is the fact that I was relocating from Indonesia to Singapore. Things went sour after the last episode and I thought it was an end of era, but at the same time, it was also the beginning of a new one. My relationship with high school friends went on hiatus, replaced by the good times I had with a bunch of housemates now formerly known as Pheng iu. I was far from home, trying to make a living in a foreign country, and Pheng iu was the closest thing to a family that I had. By the way, if the name Pheng iu sounded familiar, that's probably because you might have seen it from the movies or the stories.

The 19 of us didn't stay together for long, but yet we were never really apart. When we moved out from Kembangan, we split into smaller groups and we still made an effort to be together in many occasions, from simple dinner, birthday and even travelling. Oh yes, it was during this time that I caught the wanderlust bug. We travelled to Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia and, of course, Indonesia!

Markus, Darto, Endrico and I at the night market in Siem Reap, Cambodia.

But all good things must come to an end. In 2011, we either got married or went back to Indonesia. Around the same time, chat group started to become the in-thing. First BBM, then WhatsApp, and I reconnected with my high school friends again. When the old sentimental feeling was building up, I saw my acquaintance's reunion on Facebook. That's when I was inspired to do our own in 2014. Since then, I always organised activities with high school friends. We recorded We Are the World before Smule became popular. We had events such as Parno's SG Outing in 2015, the Karawang trip in 2016, Guns N Roses Concert in 2017 and many more. The last one, happened only few weeks ago, was when my friend and I watched Juventus vs. Tottenham Hotspur.

Were the events always successful? No, I had my fair share of failures, too, like the Sri Lanka trip that was supposed to happen this month or the event of attending Asian Games in Jakarta, back in 2018.

If that's the case, why bother trying? Well, I simply had the passion, I reckon. A friend once told me in 2016, "only you can make I happen. You have what it takes." The sincere remark was made out of the blue. When I heard it, I was stunned. Funny that I never realised it before.

Was it worth it? What's in it for me? As we approached the age of 40, I saw death started happening around us. Yes, be it rich or poor, people our age died. Last June, when I let go of my Dad's ashes into the sea, it dawned on me that only memories remain. When we were around, we touched people's lives. For every moment we spent together in happiness, we were one good memory richer than before. So, yeah, it's definitely worth it...

Lunch at Nasi Campur Alu with Eday.
Photo owned by Angelina. 


Yang Mencatat Dan Membuat Acara

Cerita berikut ini dimulai dengan sebuah frase bahasa Inggris yang terngiang-ngiang di benak saya: "who died and made you..." Walau frase ini sebenarnya adalah respon sarkasme, namun ada relevansinya dengan yang senantiasa saya kerjakan dari sejak SMU sampai sekarang. Setiap generasi memiliki seseorang yang mencatat berbagai kisah para teman dan untuk angkatan saya, sepertinya penulis itu adalah saya. Tidak, saya tidak dinomasikan ataupun mencalonkan diri. Saya hanya kebetulan memiliki kepribadian yang cocok, kemudian mengerjakan apa yang saya kerjakan dan akhirnya menikmati peran tersebut. 

Untuk memahami bagaimana ini bisa terjadi, mari kita lihat berbagai penggalan kisah hidup saya. Pertama-tama, saya diberkati dengan ingatan yang luar biasa kuat sehingga bisa mengingat berbagai kejadian di masa lampau. Kedua, sebagai seorang yang hidup terpisah dari keluarga sejak SMU, saya menjadi dekat dengan teman-teman yang berada di sekeliling saya di saat saya membutuhkan kehadiran mereka. Teman-teman ini tak ubahnya seperti saudara dan saya menyayangi mereka. Kemudian, dari semua harta berharga yang mungkin dimiliki oleh seorang pria muda miskin di akhir tahun 90an, saya memiliki sebuah kamera yang bisa dipakai untuk mengabadikan berbagai peristiwa. Terakhir, saya harus mengakui bahwa saya jarang menulis cerita bagus yang orisinil. Apa yang bisa dan sering saya lakukan dengan baik dan benar adalah menggabungkan beraneka kisah yang saya amati dan alami. Hasilnya bukanlah cerita saya. Dari sejak awal, apa yang saya tulis adalah sebuah kisah bersama.

Makan malam di Dangau, Pontianak. Foto kamera Ricoh, sebelum era digital. 

Dari paragraf di atas bisa disimpulkan bahwa apa yang terjadi adalah beragam faktor yang akhirnya membuat saya memainkan peran ini. Saya menjadi orang yang peduli untuk tetap menjalin hubungan dan menghubungi teman-teman untuk berkumpul, terutama setelah kita lulus SMU. Karena saya senantiasa memiliki informasi terbaru, saya pun berbagi cerita dan foto lewat situs internet. Bicara soal foto, meskipun saya tidak pernah benar-benar tertarik dengan bidang fotografi, saya sepertinya selalu memiliki kamera di setiap waktu. Di awal tahun 2000an, saya memiliki kamera digital Sony Cyber-shot 3.2 megapixels, sebuah piranti keras yang terbukti berguna pada saat itu!

Kembali ke cerita kita, jauh sebelum Friendster dan Facebook muncul, anthony-ventura.tripod.com adalah situs terpercaya bagi komunitas teman-teman SMU. Pada awalnya situs ini mendapat tanggapan positif, namun kemudian saya mendapat kabar bahwa ada yang merasa kalau keberadaan situs ini sangatlah intrusif. Saya mungkin terlalu bersemangat dalam mengumpulkan berita sehingga tanpa sadar telah menyinggung beberapa orang. Ini adalah pengalaman yang tidak menyenangkan karena saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Pada akhirnya saya pun berhenti.

Suhendi di Carrefour Cempaka Mas. Buku di tangannya adalah panduan Sony Cyber-shot yang baru saja saya beli. 

Alasan lain yang juga membuat saya memutuskan untuk berhenti adalah kepindahan saya dari Indonesia ke Singapura. Rasanya seperti akhir dari sebuah era, namun zaman yang baru pun bermula pada saat yang bersamaan. Hubungan saya dengan teman-teman SMU digantikan oleh saat-saat seru bersama teman-teman serumah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pheng iu. Saat itu saya berada jauh dari rumah, mengadu nasib dan mengais rejeki di negeri asing. Pheng iu boleh dikatakan sebagai kerabat terdekat saya pada waktu itu. Oh ya, kalau nama Pheng iu terdengar akrab, itu mungkin karena anda pernah melihat film atau membaca ceritanya

Ada 19 orang termasuk saya pada saat itu. Kita sebenarnya hanya tinggal serumah dalam waktu yang singkat, tapi kita pun tidak pernah benar-benar berpisah. Ketika kita pindah dari Kembangan, kita berpencar menjadi kelompok yang lebih kecil dan kita masih menyempatkan diri untuk berkumpul dalam berbagai acara, mulai dari makan malam, ulang tahun, Natal dan bahkan berlibur. Di saat bersama Pheng iu inilah saya mulai senang jalan-jalan. Bersama-sama kita berkelana ke Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia dan tentu saja Indonesia!

Makan malam perpisahan dengan Tommy di 2010.
Foto oleh Endrico.

Namun semua hal yang baik harus berakhir. Di tahun 2011, banyak di antara kita yang menikah atau kembali ke Indonesia. Di saat bersamaan, chat group mulai populer dan mengubah cara berinteraksi. Dari BBM dan kemudian WhatsApp, saya kemudian terhubung lagi dengan teman-teman SMU. Ketika persahabatan kembali terjalin, seorang kenalan yang hadir di reuni mengunggah fotonya di Facebook. Saya jadi terinspirasi untuk mengadakan reuni juga dan akhirnya terwujud di tahun 2014. Sejak saat itu, saya selalu mengadakan berbagai aktivitas bersama teman-teman SMU. Kita merekam lagu We Are the World sebelum Smule populer. Kita memiliki acara seperti Parno's SG Outing di tahun 2015, liburan ke Karawang di tahun 2016, menghadiri konser Guns N Roses di tahun 2017 dan masih banyak lagi. Yang terkini, yang baru saja berlalu beberapa minggu lalu, adalah ketika saya dan Muliady menonton Juventus vs. Tottenham Hotspur.

Apakah acara yang saya organisir selalu sukses? Tidak juga. Beberapa di antaranya gagal, misalnya liburan ke Sri Lanka yang dijadwalkan pada bulan ini. Contoh lainnya adalah acara menyaksikan pertandingan bulutangkis di Asian Games Jakarta di tahun lalu.

Jika terkadang gagal, lantas buat apa mencoba? Hmm, singkat cerita, karena saya senang melakukannya. Di tahun 2016, seorang teman berkata pada saya, "hanya kamu yang bisa melakukan hal seperti ini. Dari segi karakter, kamu memiliki apa yang diperlukan untuk mewujudkan kegiatan seperti ini." Ungkapan yang tulus dan tiba-tiba itu membuat saya tertegun. Lucu rasanya karena saya tidak pernah menyadari hal ini sebelumnya. 

Kalau begitu, apakah hasilnya sepadan dengan jerih payahnya? Apa untungnya bagi saya? Jujur saya katakan, di usia kita yang hampir mendekati umur 40, saya melihat banyak yang telah meninggal. Ya, kaya atau miskin, teman seusia saya meninggal. Juni lalu, ketika saya melepaskan kantung abu ayah saya ke dalam laut, saya jadi sadar bahwa yang tersisa dari manusia hanyalah kenangan. Selagi kita masih hidup, kita menyentuh kehidupan orang di sekitar kita. Untuk setiap kesempatan yang kita lewatkan bersama dalam kegembiraan, kita menjadi satu kenangan lebih kaya dari sebelumnya. Dengan demikian, bisa dengan mantap saya katakan, "ya, hasilnya sungguh sepadan." Sebisa mungkin jangan pernah berpikir lain kali saja baru ikut, karena kita tidak tahu kapan waktu kita akan berlalu. Ciptakanlah kenangan selagi bisa.

Menjadi teknisi di acara saat reuni 2014 berlangsung.

Saturday, July 27, 2019

The Sports, Featuring Juventus Vs. Tottenham

If you've been following Roadblog101 for a while, you'll notice that I never talked about sports before. However, that doesn't mean I don't enjoy sport at all. Admittedly, I'm not a sporty type, but I used to play volley ball in high school. Looking back, I wouldn't see a better example of Darwin's theory of natural selection in a modern society than my inclusion in the team: they'd choose me only if they didn't have enough players, haha. I was an awful player that was barely able to serve the ball, so my friends were actually happier to have me outside the court, keeping scores for them.

While my participation was minimum or next to nothing, I don't mind watching sports from time to time. In fact, I loved watching Mike Tyson before he started biting ears. I also followed tennis when Steffi Graf ruled the game. I remember those unforgettable matches between Chicago Bulls and Utah Jazz in 1998. Then of course there was World Cup. I probably had started watching it since 1994, when Romário and Bebeto were playing, but the memories were rather conflicting because my earliest recollection of football was van Basten and Gullit from the late 80s.

Heading to the National Stadium with Muliady The. 

I happened to have some experiences with live games, too, since early age. While this might not be known by many, my hometown Pontianak actually hosted Indonesia Open 1989 and I got the chances to see the likes of Huang Hua and Xiong Guobao live in action. Prior to that, the Chinese badminton players had an up, close and personal session at Kartika Hotel and I seem to recall the legendary Yang Yang was there, too.

During the last year of high school, we had a soccer tournament. My classmates fashioned themselves after Juventus and named the team Lickersfull, haha. The amateur matches were held at Sepakat, an uneven football field that was full of potholes. From time to time, you'd see players disappear while running as they tripped and fell down. I was watching from the courtside when Mul AW scored the one and only goal that made us the champion of the league!

That low resolution picture from 21 years ago. Muliady The was the second from the right, next to the girl. 

The opportunity to watch a professional soccer game came 10 years later in 2008, when Singapore played against Brazil. This is one the matches that you'd know how it'd end. The part we didn't know is how bad it was going to end for Singapore and we were there to witness it, haha. It turned out to be 3-0. Not bad, actually. One of the goals was contributed by Ronaldinho. It was so phenomenal as he didn't even kick the ball to score. He moved past few players and the goalkeeper, then literally dribbled the ball right into the goal!

Fast forward to 2019, 21 years after my classmates posed as pseudo-Juventus, there was a news that the real deal was coming to Singapore. This was a group that meant something to us back in the days, so I asked around to see if anybody was keen to watch. Muliady The, one of Lickersfull members, said yes and I immediately booked the tickets. So there we were, few months later, at the National Stadium.

Bumped into my colleague, Ariff.
(Photo owned by Ariff)

The atmosphere was brilliant! It was the main reason why I loved to be in the crowd and watched it live. You could feel the excitement. It was electrifying! At the same time, the thought of other friends watching the same game from TV while the two of us were there was somewhat strange, haha. Thanks to WhatsApp chat group, we could talk about it even though we were far away from each other. 

And what a good game it was. To be frank, since I don't really follow soccer and both teams had players with jersey number seven, I actually couldn't tell which one was Juventus, haha. It took me a while to figure out that Tottenham was wearing dark blue. I was surprised by how good they were and it was only fitting that they scored the first goal. The second half was when it got really exciting. Juventus struck back and scored two goals. Tottenham made it even afterwards. Up to minute 90, it was a tie. Then Harry Kane took a shot from the middle of the field during injury time. Not only it was spectacular, it was also a game changer. I came to watch simply because of Juventus and I left the stadium with a newfound respect for Tottenham...

Muliady, looking happy before the game started. 


Olahraga, Juventus Dan Tottenham

Jika anda sudah cukup lama mengikuti Roadblog101, mungkin pernah terpikirkan oleh anda kenapa saya tidak pernah berbicara tentang olahraga. Ini tidak lantas berarti saya tidak menyukai olahraga. Saya akui bahwa saya bukanlah orang yang berbakat dalam aktivitas ini, tapi dulu saya senang bermain voli di sekolah. Kalau saya lihat kembali, apa yang terjadi saat itu adalah penerapan dari teori Darwin tentang seleksi alami: teman-teman hanya akan memanggil saya kalau mereka kekurangan pemain. Ini dikarenakan oleh ketidakbecusan saya dalam bermain, haha. Saya bahkan sering kali gagal dalam servis sehingga membuat mereka tegang pada saat penentuan, jadi teman-teman sebenarnya lebih senang kalau saya berada di luar lapangan dan membantu mereka menghitung hasil pertandingan yang sedang berlangsung.

Walau partisipasi saya dalam bidang olahraga boleh dikatakan minimum atau hampir tidak ada, saya tidak keberatan untuk menyaksikan pertandingan dari waktu ke waktu. Saya selalu mengikut pertarungan Mike Tyson, jauh sebelum dia mulai menggigit telinga. Saya juga mengikuti tenis ketika Steffi Graf mendominasi permainan cabang olahraga ini. Saya juga ingat masa-masa tidak terlupakan ketika Chicago Bulls melawan Utah Jazz di tahun 1998. Dan Piala Dunia sudah mulai saya tonton sejak tahun 1994, saat Romário and Bebeto merajai lapangan rumput, namun sepertinya saya berkenalan dengan sepak bola sejak van Basten dan Gullit menjadi idola di akhir tahun 80an.

Kebetulan saya juga mendapat kesempatan untuk menyaksikan pertandingan langsung dari sejak kecil. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Pontianak pernah menjadi tuan rumah Indonesia Open di tahun 1989. Saat saya menyaksikan para pemain seperti Huang Hua dan Xiong Guobao berlaga di lapangan bulutangkis. Sebelum itu, delegasi dari Cina ini sempat dijamu di restoran Hotel Kartika. Seingat saya, pemain legendaris Yang Yang juga hadir.

Bersama Cicilia (tengah) dan Ardian (paling kanan) serta dua teman sekampus. Ardian cemberut, mungkin karena kalah bertanding, haha. 

Di tahun terakhir masa SMU, para murid menggelar liga pelajar. Teman-teman sekelas saya mengenakan kostum Juventus dan tim mereka bernama Lickersfull, haha. Pertandingan amatir ini diadakan di Sepakat, sebuah lapangan bola yang bergelombang dan banyak lubangnya. Dari waktu ke waktu, pemain yang sedang berlari bisa tiba-tiba lenyap dari pandangan karena jatuh tersungkur. Saya menonton dari samping lapangan ketika Mul AW mencetak satu-satunya gol di babak final dan mengantarkan kelas kita menjadi juara liga.

Peluang untuk menonton pemain bola profesional muncul 10 tahun kemudian. Singapura bertanding melawan Brazil di tahun 2008. Ini adalah pertandingan yang kira-kira sudah terbayang hasilnya. Yang ingin saya saksikan adalah seberapa parah hasilnya bagi Singapura dan saya ingin berada di sana untuk menyaksikannya secara langsung. Singapura dicukur 3-0 oleh Brazil. Tidak terlalu buruk sebenarnya. Yang mengesankan adalah gol yang dicetak oleh Ronaldinho. Dia melewati banyak pemain dan mengecoh kiper, lalu menggiring bolanya ke gawang! Memang dashyat!

Di tahun 2019, 21 tahun setelah teman-teman sekelas saya berpose sebagai tim Juventus gadungan, beredar berita bahwa tim tersebut akan datang ke Singapura. Ini adalah tim besar yang menjadi inspirasi kita pada masa remaja, jadi saya pun bertanya kepada teman-teman, apa ada yang berminat untuk menonton. Muliady The, mantan anggota Lickersfull, menyambut tawaran ini dengan antusias, jadi saya langsung membeli tiket sebelum kehabisan. Beberapa bulan kemudian, kita pun berada di National Stadium dan hadir sebagai penonton.

Tiket pertandingan. 

Suasananya sungguh luar biasa dan mengingatkan saya kembali, kenapa saya suka berada di tengah keramaian untuk menyaksikan pertandingan secara langsung. Anda bisa merasakan energi dan semangat yang meluap dari penonton. Begitu gegap gempita! Pada saat bersamaan, sempat terpikir oleh saya bahwa teman-teman juga menonton pertandingan yang sama dari layar TV. Berkat WhatsApp, kita pun bisa berdiskusi sepanjang pertandingan. 

Dan Juventus vs. Tottenham adalah sebuah pertandingan yang layak untuk disaksikan. Secara jujur saya akui bahwa saya tidak selalu mengikuti perkembangan sepakbola dan karena dua tim ini memiliki pemain bernomor punggung tujuh, awalnya saya tidak tahu yang mana sebenarnya Juventus, haha. Setelah beberapa saat kemudian, baru saya sadari bahwa pemain Tottenham mengenakan kaos biru tua. Saya jadi terpukau oleh penampilan timnya yang prima. Tidak mengherankan kalau mereka bisa mencetak gol pertama. Namun Juventus mulai memberikan perlawanan di babak kedua dan mengoyak kandang lawan dengan dua gol dalam kurun waktu kurang dari lima menit. Tottenham lantas membalas dan menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Sampai menit ke-90, permainan tetap berimbang. Sesuatu yang gemilang akhirnya terjadi pada saat waktu tambahan di penghujung babak kedua. Harry Kane menembak dari tengah lapangan dan masuk! Golnya bukan saja spektakuler, tapi juga memenangkan timnya. Saya datang untuk menyaksikan Juventus dan saya pulang dengan kekaguman terhadap Tottenham...

Muliady menantikan pertandingan dimulai.