Total Pageviews

Translate

Wednesday, June 14, 2023

The Europe Trip: How It Began

Switzerland had always been in my wife's wishlist long before she started seeing the country's photos and reels on the feed of her Instagram. On the other hand, I was also inspired by my friend Isaac. He brought his family to France last year and it got me thinking that at least once in my life, I wanted to bring my family to Europe while I could. It'd be nice to look back and reminisce these memories and togetherness one day.

Geneva, Switzerland.

And so we listed down the places we were going to visit. I read about the cities on Wikivoyage and all the outdoor destinations for nature lovers were planned by my wife. Since I included the need to get a Hard Rock t-shirt or two, Lyon was part of the itinerary since the beginning. I also wanted to go to Hard Rock Hotel in Davos and this small country called Liechtenstein, but my wife reasoned that it didn't make sense to waste time traveling a rather similar route two days in a row. 

Eventually I decided to forgo Davos. We'd go to Vaduz in Liechtenstein instead. As I looked at the map, I began thinking, "what if we visited Austria, too, since it's already so close to Liechtenstein?" There was this town called Feldkirch nearby and I told my wife that it'd be cool to go to a rarely visited town in Austria.

Salzburg, Austria.

She, of course, didn't think it was a cool idea. If we were expanding our itinerary to Austria, then we might as well visit the country properly. This is why Salzburg was included. My wife loves the Sound of Music since she was a little girl and the city was the birthplace of Mozart, too. I concurred, but with one condition: let's stop in Innsbruck for another Hard Rock t-shirt.

We continued to refine the details of our itinerary, but it was more or less fixed since then. Once the schedule of school holiday 2023 was out, I booked the tickets in November 2022. I checked the flights with one stop over. Emirates was excellent but a bit on the high side, so I decided that we should try Qatar Airways instead. 

Since this would be a trip to Europe, I had no misconception that everything was going to be pricey. Hence I spent bit by bit in the coming months. In December, I bought the travel insurance. In January, I booked the hotel in Geneva and so forth. That's when I realized that there are a lot of Meininger Hotels scattered across Switzerland and Austria. Since the price was very reasonable, it became my preferred hotel. Turned out to be good, except the last one in Salzburg.  

A typical family room at Meininger Hotels.

In the meantime, my wife also got busy. She worked on the cost comparison between Swiss Travel Pass and Eurail Pass, then cross-referenced it with places she'd like to visit such as Jungfraujoch to see if it was covered by the pass. Quite an impressive spreadsheet, I would say. As luck would have it, by the time we bought the pass, there was a promotion of 4+1 days going on!

Apart from changing cash to CHF and EUR, I also topped up my UOB Mighty and Youtrip cards. As a back up, I also brought my Instarem along. Had been loving debit cards since my last trip to Japan! Much to my surprise, it happened to be very useful in Europe. Cards are the preferred method of payment these days!

Last but not least, I activated my Airsim and bought one for my wife, too, so that she could stay connected while traveling. It's very convenient to travel using Google Maps in 2023, therefore having the internet is a must! At the same time, I was toying with the eSIM technology as well. After comparing few options, I went for Airalo. It worked well in Europe. Airalo's data subscription price is competitive for European countries, but more expensive for Asia.

At Hamad International Airport in Doha.

Now that all were set, a new adventure finally began when the day came. We flew to Doha at night. I was curious to see Hamad International Airport, the best airport in 2022, but it didn't turn out to be fantastic. I don't know, may be it's because I didn't had a chance to explore much during the layover. After an hour or so in Doha, I boarded the plane again. Next stop: Geneva!



Liburan Ke Eropa: Asal Mula Cerita

Swiss sudah dari dulu menjadi tempat yang ingin dikunjungi oleh istri saya Yani, jauh sebelum foto dan video singkat tentang Swiss bermunculan di akun Instagramnya. Di satu sisi, saya juga terinspirasi oleh teman saya Isaac yang membawa keluarganya ke Perancis tahun lalu. Semenjak itu, saya berangan-angan untuk berlibur bersama keluarga ke Eropa selagi saya bisa. Pasti berkesan rasanya bila kebersamaan tersebut dikenang lagi suatu hari nanti. 

Geneva, Swiss.

Jadi saya dan Yani pun membuat daftar tempat-tempat yang ingin kita kunjungi. Saya membaca Wikivoyage tentang berbagai kota di Swiss sementara istri saya merencanakan kunjungan ke tempat yang indah pemandangan alamnya. Karena saya ingin membeli kaos Hard Rock, Lyon menjadi bagian dari destinasi. Saya juga ingin pergi ke Hard Rock Hotel di Davos dan juga negara kecil bernama Liechtenstein, tapi istri saya menyarankan pilih salah satu saja, soalnya rute ke dua tempat ini hampir sama, sebelum akhirnya berpisah ke jalan yang berbeda. 

Akhirnya saya memilih ke Vaduz di Liechtenstein dan melupakan Davos. Sewaktu melihat peta, saya jadi berpikir, bagaimana kalau kita main ke Austria juga, mumpung sudah dekat? Ada kota bernama Feldkirch di samping Liechtenstein dan kita bisa ke tempat yang jarang dikunjungi turis ini. 

Salzburg, Austria.

Setelah mendengar usul saya, Yani justru berpendapat, kalau sungguh mau ke Austria, mungkin sebaiknya ke tempat yang lebih berkesan. Dari diskusi inilah Salzburg akhirnya masuk ke rute perjalanan. Yani suka the Sound of Music dari sejak kecil dan lagi pula kota ini terkenal sebagai tempat kelahiran Mozart. Saya setuju dengan idenya, tapi dengan satu syarat: kita singgah ke Innsbruck untuk membeli kaos Hard Rock.

Meski detil rute perjalanan masih berubah, secara garis besar sudah dipastikan kota tujuannya. Begitu jadwal liburan sekolah 2023 dirilis, saya lantas membeli tiket di bulan November 2022. Saya cek penerbangan dengan sekali transit di Timur Tengah. Emirates memang bagus dan sudah saya coba sewaktu ke Inggris, tapi lebih mahal juga tiketnya, jadi kali saya putuskan untuk membeli tiket Qatar Airways.

Karena tujuan liburan kali ini adalah Eropa, saya tahu ongkosnya tidak akan murah. Oleh karena itu saya cicil biayanya di bulan-bulan berikutnya. Saya membeli asuransi perjalanan di bulan Desember, lalu memesan hotel di Geneva di bulan Januari dan seterusnya. Di saat itu saya menyadari bahwa ternyata ada banyak Hotel Meininger di Swiss dan Austria. Karena harganya yang bersahabat, saya akhirnya memesan hotel tersebut. Hotelnya bagus, kecuali yang terakhir di Salzburg. 

Kamar keluarga di Hotel Meininger.

Sementara itu, istri saya juga mengerjakan bagiannya. Dia membandingkan harga Swiss Travel Pass dan Eurail Pass, lalu dicek lagi apakah tempat yang ingin dikunjunginya, misalnya Jungfraujoch, juga sudah termasuk. Perbandingan yang dibuat olehnya di Excel sangat informatif dan mudah dimengerti untuk membuat keputusan. Saat kita beli, kebetulan ada promosi harga 4 hari plus gratis ekstra satu hari pula! 

Selain menukar uang tunai dari SGD ke CHF dan EUR, saya juga mengisi kartu UOB Mighty and Youtrip. Sebagai cadangan, saya juga membawa kartu Instarem. Saya suka kartu debit sejak liburan terakhir saya di Filipina dan Jepang! Ternyata di Eropa juga sudah lebih condong menggunakan kartu, bahkan untuk transaksi seharga dua franc dan euro. 

Saya juga kembali mengaktifkan Airsim saya dan membelikan satu lagi untuk istri saya supaya dia tetap memiliki internet. Berkelana di tahun 2023 sangatlah praktis, tapi dengan catatan harus memiliki internet! Selain itu, saya juga mencoba teknologi eSIM juga. Setelah mengamati pilihan yang tersedia, saya akhirnya mencoba Airalo. Jaringannya bagus di Eropa. Harga pun bersaing, tapi lebih mahal bila digunakan untuk internet di Asia.

Di bandara udara Doha.

Setelah persiapan beres, liburan pun dimulai. Ketika tiba harinya, kita terbang ke Doha di malam hari. Saya penasaran dengan Hamad International Airport, bandara terbaik di tahun 2022, tapi ternyata tidak sebagus Changi. Mungkin juga ini dikarenakan saya tidak sempat menjajaki lebih lanjut di saat transit. Namun setelah sejam lebih di sana, saya pun meneruskan perjalanan lagi. Pemberhentian berikutnya: Geneva! 

Friday, June 9, 2023

Behind The Camera

The thing with this guy named Fendy is, I'd known him since college and he didn't seem to be one that would pick up photography. So there had to be a story behind it. True enough, there was one, and it was the kind I like: one that was based on an inspiration.

His story began back in 2018. While doing the research to buy a mirrorless camera, he stumbled into two news feeds on social media. The photos were so brilliant that he just had to find out more. The camera was Fujifilm X-Pro2. It was above his price range, but instead of being discouraged, he settled with one with a lower spec: the X-T30.

Now armed with camera, he attended the workshops to find his way. He fell in love with landscape and cityscape. Eager to practice, he participated in a photo trip to Bali. God knows how he survived that as a beginner, but what he didn't do right, he evaluated and asked. He also watched YouTube for tips and tricks. 

Exploring the nature.

Up until here, you could see that Fendy's basics were interest and hard work. But photography is an art, hence I had to ask the default question: is it something one can learn or does it entirely depend on talent? According to him, it was 30% theory, 30% talent and 40% practice. That's what it takes for him to churn out photos using his trusted X-T5 these days. 

The camera is the top end of the range and it's water resistant, too. And that might get you wondering if photography was an expensive hobby or not. Well, it is certainly not cheap, but Fendy would reason that a good photo came with a price. 

Luckily for us, that isn't the only thing that matters. Editing is now inseparable from digital photography and the touch up really helps. For a simple one on the phone, Fendy uses Lightroom. For heavy lifting, he'll go for Adobe Photoshop on a computer. The same thing can't be done for the conventional film photography, hence Fendy doesn't dabble in it.

Jakarta.

Fendy worked hard on his craft to the extent that he is now capable of leading the photography trips and giving workshops. His arsenal includes stuff likd long exposure and neutral-density filter. If the terms sound alien, perhaps they can be described like this: the photo with long, laser-like in the night, that is the result of long exposure. The one that gives the cloudy effect to the sea waves, that is the ND filter.

Throughout his adventures thus far, one would forever stand out. It was the five-level Kuweg Waterfall. The road trip to the destination was long and challenging. Car could only bring him so far and he had to continue with a motorbike due to the challenging terrain. Then he had to climb up. In total, it took him about 10 hours to get to the destination from Pontianak, but it was worth it.  

And finally we got to the part made possible by technology these days: videography. Since today's cameras are able to film, I couldn't help asking if Fendy loves it, too. He did video recording from time to time, but he didn't really like it. Unlike photography, video-editing is too much work. That explained his lack of interest, haha. Anyway, if you are keen, check out his Instagram account @fendy_chandra!

Kuweg Waterfall.



Dari Balik Kamera

Saya kenal Fendy dari sejak kuliah dan tidak terbayangkan oleh saya bahwa suatu hari nanti dia akan menekuni fotografi. Karena itu pasti ada kisah di balik semua ini. Dan benar saja, ceritanya menarik. Saya suka karena asal mulanya berdasarkan inspirasi dan juga menginspirasi. 

Kisah Fendy sang fotografer dimulai di tahun 2018. Ketika dia mencari tahu tentang kamera mirrorless untuk jalan-jalan, dia menemukan dua penggiat sosial media yang mengagumkan foto-fotonya. Fendy sangat terpukau, sampai-sampai dia tergelitik untuk mengetahui, kamera apa gerangan yang bisa menghasilkan foto sebagus itu. Mereknya adalah Fujifilm X-Pro2, investasi yang cukup mahal untuk pemula, jadi dia pun membeli kamera yang spesifikasinya sedikit lebih rendah: X-T30.

Berbekal kamera tersebut, dia pun menghadiri kelas-kelas pemula. Ternyata pemandangan alam dan kota terasa lebih cocok baginya. Terpicu untuk lekas praktek, dia turut serta dalam acara foto di Bali. Fendy yang masih pemula pun menjepret sana-sini sebisanya. Apa yang tidak terlihat baik lantas dievaluasi dan ditanyakan kepada yang lebih mahir. Dia juga melihat YouTube untuk mengetahui lebih lanjut tentang seluk-beluk fotografi. 

Menjelajahi alam.

Sampai sejauh ini, bisa kita lihat bahwa basis Fendy adalah minat dan upaya keras. Akan tetapi fotografi adalah seni, jadi saya pun wajib bertanya, "apakah fotografi ini sesuatu yang bisa dipelajari atau sepenuhnya tergantung pada bakat?" Menurut Fendy semua ini adalah 30% teori, 30% talenta dan 40% praktek. Ini adalah kesimpulannya setelah menghasilkan foto-foto bagus dengan kamera X-T5 sekarang ini. 

Kamera ini adalah yang paling bagus dari kategorinya dan anti air pula. Anda mungkin jadi berpikir, kalau begitu, apakah fotografi ini adalah hobi yang mahal atau tidak. Fendy berpendapat bahwa hobi ini tidaklah murah, tapi di satu sisi, kualitas kamera tidak berbohong.

Namun untunglah kamera bukan satu-satunya faktor penentu dalam fotografi. Editing juga tak kalah pentingnya dan sangat membantu meningkatkan kualitas foto. Untuk yang cepat dan ringkas, Fendy mengunakan Lightroom di hapenya. Untuk yang kelas berat, dia akan berkutat di depan komputer menggunakan Adobe Photoshop. Hal yang sama tidak bisa dilakukan dengan kamera biasa yang masih menggunakan film, jadi Fendy pun tidak mencobanya. 

Jakarta.

Fendy tekun di bidang yang disukainya dan kini dia bisa memimpin liburan tim fotografer dan mengajar di kelas fotografi. Tekniknya dalam berfoto antara lain long exposure dan filter densitas netral. Jika istilah ini terasa asing, penjabarannya kurang-lebih demikian: foto yang memiliki cahaya panjang dan mirip laser di malam hari, ini adalah hasil dari jepretan long exposure. kalau yang memberikan efek mirip awan pada ombak dan buih di laut, itu namanya filter ND. 

Dari berbagai objek wisata yang sudah dikunjunginya, ada satu yang memberikan kesan mendalam baginya. Tempat ini namanya Riam Kuweg yang memiliki lima tingkat air terjun. Perjalanan ke sana memakan waktu lama dan sangat menantang. Mobil hanya bisa sampai separuh jalan karena buruknya kondisi sehingga ia harus naik motor. Setelah itu pengunjung harus mendaki ke atas. Secara keseluruhan, perjalanan ke sana memakan waktu 10 jam dari Pontianak, tapi semua kelelahan itu terobati oleh keindahan alamnya.

Dan akhirnya kita sampai di bagian yang kini dimungkinkan oleh kecanggihan teknologi: videografi. Di zaman sekarang, kamera pun bisa merekam film, jadi saya pun bertanya apakah Fendy juga menjajal bidang ini. Dia ternyata juga membuat video dari waktu ke waktu, tapi dia kurang menyukai prosesnya. Berbeda dengan fotografi, editing video membutuhkan waktu lama. Karena alasan inilah Fendy kurang berminat, haha. Bagi yang berminat, bisa liat karyanya di akun Instagram @fendy_chandra!

Rian Kuweg.


Thursday, June 1, 2023

Remembering Dad

Dad was a truly remarkable person who lived life to the fullest and found joy in even the simplest of pleasures. He was a casual and down-to-earth individual, someone who always reminded us that life is meant to be enjoyed.

He was never one to stay at home. Dad loved to go out and explore the world around him. Whether it was a short walk around the neighborhood or a spontaneous trip, he always had this curiosity. But when he did stay home, you could always find him in the company of his beloved TV and newspaper, keeping up with the latest news and stories, although sometimes the news was misinterpreted.

One unforgettable memory that perfectly captures my dad's playful and mischievous nature was during Chinese New Year. As tradition dictates, Dad would serve delicious bakwa, a delectable treat enjoyed during the festive season. However, he also had a mischievous surprise up his sleeve. On one occasion, he decided to amuse our friends with fake electronic firecracker toys. The toys were so convincingly loud that when they went off, our unsuspecting friend was startled and left everyone in fits of laughter. It was a testament to my dad's ability to find joy in pranks and his love for making others smile.


I will forever cherish the memory of my dad's returning home. As soon as I heard the familiar sound of his footsteps approaching the front door, I would rush to be the first to open it. And there he would be, arms full of things he had bought during his outing—delicious treats or some surprise trinkets. It was a small gesture, but it symbolized his thoughtfulness and the joy he found in making others happy. 

It's true that my dad didn't always express his affection in overt ways. He did not present in certain family occasions, but there was no doubt that he loved us and his grandchildren deeply. He might not have been one for grand display of affection, but his actions spoke volumes. The care he gave, and the little surprises he brought home were all expressions of his love. 

My dad is a people person. He had this incredible ease in connecting with people from all walks of life. His friendly and approachable nature made him a cherished companion to both young and old, male and female alike. I dare say that most of my childhood friends proudly call him their friend as well. He had an ability to bridge generational and gender gaps, effortlessly build meaningful connections with everyone he met. His genuine interest in people and his warmth, welcoming spirit left a mark on the hearts of those fortunate enough to know him. 


In addition to his many wonderful qualities, my dad was undeniably a handsome and lucky gentleman. His charm would light up a room, and he had a way of making everyone feel at ease in his presence. He lived a fortunate life, surrounded by the love of his family and the friendships he cultivated throughout the years. "He is one of my favourite uncle," one relative quoted. 

As we say goodbye to my dad, we want to remember him for the incredible person he was. Let's celebrate his love for life, his enjoyment of the simplest pleasures, and his ability to find happiness in every moment. And as we carry his memory in our hearts, let us strive to live our lives with the same zest, patience, and kindness that he showed us. 

Thank you, Dad, for the legacy of love and joy you have left behind. You will be dearly missed, but your spirit will live on in our hearts forever. Rest in peace May your soul find eternal happiness.



Mengenang Papa

Papa adalah seorang pria luar biasa yang menjalani hidup sepenuhnya dan selalu bersuka-cita bahkan dalam hal-hal kecil. Dia adalah individu yang santai dan sederhana, sosok yang mengingatkan anak-anaknya bahwa hidup itu seharusnya dinikmati. 

Papa senang keluar dan melihat dunia di sekitarnya. Entah itu jalan-jalan singkat di dekat kawasan rumah atau bepergian secara spontan, dia selalu penuh dengan rasa ingin tahu. Saat dia di rumah, bisa dipastikan dia berada di depan TV dan membaca koran. Dia gemar mengikuti berita terkini, meskipun apa yang ditonton dan dibacanya kadang disalahtafsirkan.

Satu kenangan yang dengan sempurna menggambarkan sisi Papa yang suka bercanda dan iseng adalah suatu ketika di Tahun Baru Cina. Sudah menjadi tradisi di rumah bahwa Papa akan menawarkan bakwa, cemilan lezat di salah satu toples di meja saat Tahun Baru Cina. Di hari itu, siapa sangka dia masih memiliki satu kejutan lagi? Tiba-tiba saja dia menyalakan petasan listrik yang nyaring seperti aslinya, sampai-sampai seorang teman terlonjak kaget. Yang lain pun tergelak. Kenangan di hari tersebut menunjukkan kecintaan Papa dalam membuat orang lain tersenyum. 


Saya akan selalu mengenang saat Papa pulang ke rumah. Begitu saya mendengar suara langkah kaki yang saya kenal baik mendekati pintu rumah, saya akan berlari dan membukakan pintu. Dan dia pun berdiri di depan saya dengan tangan penuh makanan dan hadiah lain yang dibelinya saat bepergian. Lewat hal kecil seperti ini, beliau menunjukkan perhatiannya.

Papa tidak selalu menunjukkan kasih sayangnya secara berlebihan. Bahkan ada kalanya dia tidak hadir dalam acara keluarga. Kendati begitu, tidak ada keraguan bahwa dia mencintai anak-anak dan cucu-cucunya. Dia bukanlah tipe yang ekspresif mengungkapkan perhatiannya, tapi perbuatannya mencitrakan semua itu. Kepedulian dan hadiah kecil yang senantiasa ia bawa pulang ke rumah adalah wujud dari cintanya pada keluarga.

Sebagai orang yang ramah, Papa gampang berkenalan dan membina hubungan dengan siapa saja. Gayanya yang bersahabat dan tidak mengintimidasi membuatnya disukai oleh tua-muda, baik pria maupun wanita. Saya berani menjamin bahwa teman-teman dari masa kecil saya juga menganggapnya sebagai teman. Papa mahir dalam pendekatan antar generasi dan juga ke lawan jenis. Dia luwes dalam bergaul dengan setiap orang yang ditemuinya. Keingintahuan yang tulus dan keramahtamahannya meninggalkan kesan yang mendalam bagi mereka yang mengenalnya. 


Selain kepribadian yang memikat, Papa juga tampan dan bagus peruntungannya. Pesonanya tidak bisa dipungkiri dan dia memiliki cara untuk membuat orang lain di sekitarnya merasa nyaman. Hidupnya dikelilingi oleh keluarga dan teman yang mencintainya. "Dia adalah paman favorit saya," demikian ujar seorang kerabat. 

Dalam perpisahan ini, kami ingin mengingat Papa sebagai sosok yang mengagumkan. Mari rayakan kecintaannya akan hidup, caranya menikmati hal yang paling sederhana sekalipun, dan juga kemampuannya dalam bersuka-cita di setiap waktu. Dan dengan kenangan akan dirinya yang membara di hati, semoga kita pun bisa menjalani hidup seperti apa yang sudah beliau contohkan. 

Terima kasih, Papa. Terima kasih untuk cinta dan kebahagiaan yang sudah engkau tinggalkan. Kami akan merasa kehilangan, tapi semangatmu akan hidup di hati kami selamanya. Beristirahatlah dengan tenang. Semoga engkau menemukan kedamaian di sana.

Saturday, May 20, 2023

The Drinking Tradition

As a child from the 80s, I always love how things turned out to be. We had a happy, internet-free childhood. Then we lived through the dawn of mobile technology as we matured as adults. My favorite time, as I recall, was when BBM ruled the earth. For the first time ever, we were able to chat on the go. 

But as much as I wanted it to be, it wasn't during BBM's time that things fell into places. On the contrary, the technology at that time still wasn't good enough. it was also too chaotic for all the aspects in our life to be aligned yet. It was one generation later, by the time WhatsApp became the standard, that we as friends really kept in touch again. 

The year was 2015. We were in our mid 30s, now settling down with enough freedom to enjoy the fruit of our hard labor for the past 10 years or more. Our high school group chat was founded. And in Singapore, the drinking tradition would soon begin to take shape. 

It started with Eday's visit to Singapore for work and doing his jury duty for Gundam stuff. Those who lived in Singapore would naturally play the host. We had dinner, drinks and most importantly, we exchanged ideas and talked about untold stories old and new. For that few hours, we were simply those guys from the same high school in Pontianak again. The togetherness was a much-needed liberation that it would repeat once a year since 2015.

The past events.

In the early days, we would still have some random participants such as Andiyanto and Jimmy Lim, but Darwin's natural selection happened and the members remained the same since then. For few years in a row, there were only Eday, Endrico, Surianto, Taty and I. It stayed that way, almost permanently. 

AW changed all this when he joined us in 2020, but little did we know that the pandemic was just around the corner. COVID-19 put a stop to almost everything, including our six-year-old tradition. But even when we could only wait, we still made plans. And after our trip of 13 people to Japan, getting a similar number of crowd to come to Singapore seemed less challenging than before.

That night, on the same day Nintendo released the sequel of Breath of the Wild, our drinking tradition resumed with a vengeance. It was bigger and better than before. How so? For a start, this year was supposed to be our 25 year reunion celebration and it was great to have Wiwi, Eday and Jimmy on the same table for the first time ever since our graduation. It's an achievement unlocked, I would say. 

Eday and Jimmy.

We had Surianto complaining from one end of the table to another and he eventually spilled the beer on my shorts. There was Jimmy preaching as always, saying stuff like togetherness such as this was a treasure, especially because we weren't getting any younger. There was also AW breaking the beer glass as he got too excited. Then we had this memorable moment when Eday hugged Jimmy and told him that he would always be remembered as a loyal friend. 

In order to understand the importance of the scenes that unfolded, I had to say that we weren't saints. We had our differences. Throughout the years, on the pretext of jokes, we might have said and done things that were hurtful to others. But by the end of the day, it was touching to see our friendship thrived and grew stronger than ever. While I can't speak on behalf of others, I personally think we have too much history together to just throw it all away. That's why the friendship lasts...

Drinking With Eday 2023.

Epilogue: 
The next morning, Jimmy woke up wondering who had covered him with a blanket. It wasn't a very macho thing to do and it was quickly sugarcoated with jokes, but it was a small gesture like this that went a long way to illustrate how our friendship is like...



Tradisi Minum Bersama Eday

Sebagai orang yang berasal dari dekade 80an, saya suka dengan rentetan peristiwa yang terjadi sepanjang hidup saya. Generasi saya melewati masa kecil yang bebas internet. Setelah itu saya mengalami perkembangan teknologi handphone sewaktu saya beranjak dewasa. Masa favorit saya adalah saat BBM mendominasi pasar. Untuk pertama kalinya, kita bisa chatting tanpa perlu duduk di depan komputer. 

Kendati begitu, apa yang hendak saya ceritakan ini tidak terjadi di masa BlackBerry. Teknologi saat itu masih belum cukup matang. Aspek-aspek kehidupan kita pada saat itu pun belum tertata baik. Di iterasi berikutnya, ketika WhatsApp menjadi standar, barulah kita sebagai teman-teman mulai saling menghubungi satu sama lain lagi. 

Saat itu tahun 2015. Kita berusia 35an, kini lebih teratur hidupnya dan memiliki cukup kebebasan untuk menikmati kerja keras kita selama 10 tahun terakhir. Grup WhatsApp SMA pun dibentuk. Di Singapura, tradisi minum bersama Eday pun bermula. 

The past events.

Semua ini bermula dari kunjungan Eday ke Singapura dalam rangka kerja dan menjadi juri untuk kompetisi Gundam. Kita yang tinggal di Singapura akhirnya menjadi tuan rumah. Saat berkumpul, kita bersantap malam dan minum. Kita juga bertukar ide dan cerita. Selama beberapa jam, kita kembali lagi menjadi mereka yang berasal dari sekolah yang sama di Pontianak. Kebersamaan yang unik ini pun akhirnya menjadi tradisi. Sekali dalam setahun, kita meluangkan waktu untuk berkumpul pas Eday datang. 

Di awal tradisi masih ada pula peserta-peserta yang hanya hadir sekali dua kali, misalnya Andiyanto dan Jimmy Lim. Namun teori Darwin tentang seleksi alam terjadi dan akhirnya hanya orang-orang tertentu yang meluangkan waktu setiap tahun. Untuk beberapa tahun ke depan, yang selalu hadir sewaktu Eday datang hanyalah saya, Endrico, Landak dan Taty.

Mul turut serta untuk pertama kalinya di tahun 2020, namun tidak disangka bahwa pandemi akan segera melanda. COVID-19 mengubah banyak hal dan membuat tradisi yang sudah berlangsung enam tahun ini gagal diselenggarakan di dua tahun berikutnya. Sambil bersabar menanti, kita tidak berhenti membuat rencana. Setelah liburan bersama 12 orang lainnya ke Jepang di awal tahun ini, koordinasi peserta dengan jumlah serupa ke Singapura tidak lagi terasa sulit untuk dilakukan. 

Di malam itu, di hari yang sama ketika Nintendo merilis lanjutan Breath of the Wild, acara Minum Bersama Eday kembali digelar. Kali ini jauh lebih ramai dan lebih baik dari sebelumnya. Kenapa begitu? Perlu diingat kembali bahwa tahun ini seharusnya kita merayakan reuni 25 tahun. Ini adalah pertama kalinya Wiwi, Eday dan Jimmy duduk semeja lagi setelah lulus SMA. Rasanya seperti prestasi tersendiri. 

Eday dan Jimmy.

Landak melampiaskan isi hati dari ujung meja kanan ke kiri, bahkan sempat menumpahkan bir di celana saya pula. Lantas ada lagi Jimmy yang berceramah tentang betapa berharganya kebersamaan, terutama karena kita tidak bertambah muda. AW tanpa sengaja memecahkan gelas karena terlalu berapi-api. Kemudian Eday juga memeluk Jimmy sambil mengenangnya sebagai teman yang setia kawan. 

Untuk memahami kenapa semua ini terasa begitu bermakna, saya perlu sampaikan bahwa kita ini bukanlah kumpulan orang kudus. Dari tahun ke tahun, meski konteksnya bercanda, ada berbagai perkataan dan perbuatan yang mungkin membuat orang lain tersinggung. Di malam itu, saya senang bahwa persahabatan kita masih terasa kental. Walau saya tidak bisa berbicara mewakili yang lain, saya cenderung berpikir bahwa kita semua melewati begitu banyak hal bersama untuk dibuang begitu saja. Inilah alasannya kenapa persahabatan itu bertahan dan nyata... 

Minum Bersama Eday 2023.

Epilog: 
Keesokan paginya, Jimmy bangun dan menyadari bahwa ada yang menyelimutinya di saat ia tertidur. Ini bukanlah perbuatan yang maskulin untuk sesama pria dan langsung menjadi guyonan. Namun di balik semua itu, hal kecil seperti ini menggambarkan seperti apa sesungguhnya persahabatan kita. Kita peduli satu sama lain dan saya senang menjadi bagian dari semua ini...

Tuesday, May 9, 2023

Salvaging The Good Start

It was supposed to be Strava Time: Singapore End to End. A great plan, one that would have gone down to history as a milestone in life, but it wasn't meant to be. We started early at 4:26 AM at the Inscription of the Island, the easternmost of Singapore. As we walked, the premonition happened: Eday almost tripped, I almost laughed.

The starting point.

Now, in order to understand the significance of the event, Eday and I had a long history of tripping over since 2015. I had fallen down twice when I walked with him. One was right after we had a drink, the other was recently, during our trip to Hakone in Japan. So when he lost but regained his footing immediately, I chuckled. We looked at each other and laughed at the very same thing only we knew.

Eday jokingly prayed for protection, but given our history, there was this insecure feeling haunting me. True enough, about 4 KM later, as we crossed the bridge to Loyang in the dark, I missed the last step and fell as I walked down the stairs. It was quite painful that I had cold sweat at the back of my neck, but as I stood and paced back and forth, I reckoned that we could continue. 

But soon it felt different. The right ankle had swollen that my shoe actually felt pretty tight. When I took off the sock, my friends Eday and AW saw that and forbade me from continuing the long walk. In Bedok Reservoir, after we walked about 11 KM, the mission was aborted immediately. I felt bad for being the cause of it, but my friends would have none of this apologetic behavior, reasoning that it was an accident so nothing to be sorry about. 

In their attempt to help, Eday gave a video call to Alvin and AW followed the example of the reflexology moves shown by Alvin on the video. When he couldn't do it right, Eday took his turn and tried. It was, in a way, hilarious. Alvin said it should have just taken one quick jolt to sort it out, but as the two weren't professional masseuses, I got easily 10 jolts and I was barely able to walk when they gave up doing that. Then AW innocently muttered something like the limping walked real fast, haha.

But here's the thing from my point of view. We were good friends, all right, but I was still impressed with them doing what they could without showing any hesitation. I mean, putting both hands on your friend's foot, that was unusual by my standard. While it didn't work out well, I was still thankful for the effort.

And as we sat down nearby the parking lot, we looked back and realized that we had two choices now: we either regretted the plan that failed to materialise or we laughed at how things turned out for us. We chose the latter. Eday said I should try out the wheelchair. Since every step was bloody painful now, I accepted the fact that I needed one and took the full benefit of it. 

Being helpless and wheelchaired.

When we reached the hotel, Taty, Susan and Andiyanto were ready. I was wheeled into the room and Susan had the sprain spray delivered. In short, I was taken care of by my wife and friends while jokes were flying wild. Even Karma, the wheelchair brand, was mentioned. 

I was eventually pushed to the therapy centre where my foot was twisted and turned by a young Chinese man wearing a traditional Chinese attire. I don't think I'm known for a high pain tolerance level, so I was quite miserable during the longest few minutes in my life. It felt like a torture!

Give me something for the pain!

Once done, I had a glimpse of life on a wheelchair in a country that is so wheelchair-friendly. I was pushed around for early lunch and coffee, with Eday giving me a taste of what could have happened if the guy who pushed the wheelchair decided to go handsfree. As I needed to recover, I went home. No point sticking around and be a burden for the rest. 

As I was on my way home I looked back and was amused by the turn of events. Yes, it could have been another glorious day for us, conquering Singapore from end to end. But we were humbled by what happened to me. To think that we could have been complaining about it, but we made the best out of the unfortunate situation and decided to have some fun instead. It was also nice to receive calls from friends asking what had happened. Good to know that we still had such a caring and positive mindset...

Heading for coffee.



Menyelesaikan Permulaan Yang Baik

Awalnya semua ini dicanangkan sebagai Strava Time: Singapore End to End. Sebuah rencana bagus, yang harusnya akan menjadi bagian dari prestasi hidup, tapi semua itu tidak terjadi. Kita mulai di pagi buta jam 4:26 pagi di Inscription of the Island, ujung timur Singapura. Sewaktu kita berjalan, sebuah pertanda buruk terjadi: Eday hampir terjatuh, saya nyaris tergelak.

The starting point.

Nah, untuk memahami pentingnya kejadian ini, saya perlu jelaskan bahwa Eday dan saya memiliki sejarah panjang tentang jatuh di jalan dari sejak tahun 2015. Saya sudah dua kali tersungkur sewaktu berjalan dengannya. Insiden ini pertama kali terjadi seusai acara Minum Bersama Eday, lalu terulang lagi saat kita mengunjungi Hakone di Jepang. Jadi ketika dia tersandung namun kembali berdiri tegak, saya tanpa sadar tertawa kecil. Kita lantas saling pandang dan menertawakan satu rahasia kecil yang hanya kita berdua pahami. 

Eday lantas bercanda dan meminta perlindungan, tapi saya jadi merasa tidak nyaman di hati. Benar saja, 4 KM kemudian, ketika kita menyeberangi jembatan ke Loyang di dalam gelap, saya tidak melihat anak tangga terakhir dan jatuh keseleo. Sakitnya langsung membuat saya berkeringat dingin di tengkuk. Ketika saya kembali berdiri dan mencoba melangkah dalam nyeri, saya merasa masih bisa melanjutkan perjalanan.

Namun sesuatu terasa berbeda ketika kita berjalan kian jauh. Kaki kanan saya bengkak sampai sepatu terasa ketat. Ketika saya duduk dan melepaskan kaus kaki, Eday dan AW melarang saya untuk meneruskan perjalanan. Di Besok Reservoir, setelah berjalanan sejauh 11 KM, misi kita pun dibatalkan. Saya bersedih karena menjadi penyebab semua ini, tapi teman-teman saya merasa semua ini adalah musibah sehingga tidak perlu maaf-maafan.

Sebagai upaya dalam memberikan pertolongan pertama, Eday menelepon Alvin yang pakar pijat dan AW mengikuti panduan Alvin di video. Ketika dia merasa tidak mengerjakannya dengan benar, Eday pun mengambil alih. Kalau dipikirkan lagi, sebenarnya ini kocak juga, Alvin berkata bahwa semua ini bisa dibereskan dalam sekali genjot, tapi karena mereka berdua bukanlah profesional di bidang ini, kaki saya ditarik mungkin sekitar 10 kali dan saya hampir tidak bisa berjalan setelah itu. Kemudian AW bergumam tentang si pincang berjalan kencang, haha. 

Dari sudut pandang saya, ini yang saya lihat: ya, kita memang teman akrab, tapi saya sangat terkesan dengan ketulusan dalam upaya mereka. Maksud saya, bahkan untuk ukuran teman baik pun canggung rasanya dalam memegang kaki teman dengan dua belah tangan, tapi mereka tidak ragu-ragu. Meski jerih-payah mereka tidak sepenuhnya sukses, saya masih sangat berterimakasih. 

Sewaktu kita duduk di samping lapangan parkir, saya menyadari bahwa kita hanya memiliki dua pilihan sekarang: kita bisa duduk menyesali batalnya rencana atau kita tertawakan nasib dan menikmati perubahan tak terduga ini. Eday berkata bahwa saya mungkin ingin mencoba kursi roda. Karena setiap langkah terasa sakit sekarang, saya menerima kenyataan ini dan mencoba idenya. 

Jadi cacat di kursi roda.

Tatkala kita sampai di hotel, Taty, Susan dan Andiyanto sudah siap. Saya duduk di kursi dan didorong ke kamar sementara Susan mengambil obat semprot yang sudah ia pesan. Di kamar, saya dirawat oleh istri dan teman-teman di tengah lelucon demi lelucon. Bahkan Karma, merek kursi rodanya pun tak luput dan disebut-sebut.

Jam 10 pagi, saya pun didorong ke tempat terapi di belakang hotel. Kaki saya diputar dan ditekuk oleh pemuda Cina dengan pakaian tradisional. Saya tidak memiliki toleransi yang tinggi terhadap rasa sakit, jadi saya pun menjerit dan meringis selama beberapa menit terpanjang dalam hidup saya. Rasanya seperti disiksa!

Saat dipelintir dan ditekuk.

Setelah selesai dipelintir oleh pakar pijat, saya berkesempatan untuk melihat hidup dari sudut pandang orang yang duduk di kursi roda di negara yang ramah bagi kursi roda. Saya didorong ke sana kemari untuk santap siang dan kopi. Eday juga memberikan pengalaman bagaimana rasanya bila yang mendorong kursi roda memutuskan untuk lepas tangan. Kemudian, karena saya perlu beristirahat, saya pun pulang. Tidak ada gunanya menjadi beban bagi yang lain. 

Di dalam taksi, saya kembali memikirkan apa yang terjadi. Ya, hari ini harusnya menjadi hari di mana kita menaklukkan Singapura dari ujung ke ujung. Tapi kita justru mendapatkan sudut pandang lain yang tidak kalah berharga setelah kemalangan yang terjadi pada saya. Kita bisa saja mengeluh dan menyesali keadaan, tapi kita justru memilih untuk melakukan yang terbaik dari situasi yang tidak menyenangkan ini. Alhasil kita pun masih bisa tertawa. Selain itu, ada kesan tersendiri saat menerima telepon dari teman-teman seperti BL dan Gunawan. Senang rasanya mengetahui bahwa kita masih memiliki rasa peduli dan pola pikir yang posifif... 

Pergi menikmati secangkir kopi.

Saturday, April 15, 2023

Book Review: The Rape Of Nanking

I can't remember when I first heard of the Nanjing Massacre, but it felt like I had known about it for the longest time. Must have read it on Wikipedia years ago. The Memorial Hall in Nanjing was one of the best museums I ever visited. Right at the end of the gallery, I saw the words from survivor Li Xiuying hanging on the wall: remember history, but not with hatred. Not only it summed up what the museum was all about, but it was also a powerful reminder, one that I still vividly remember today. 

Fast forward to five years later, I happened to read about the Nanjing Massacre again on Time magazine recently. It somehow brought me back the time when I passed by the statue of Iris Chang as I exited the museum. She died young, tragically killed herself as he was suffering from depression. For those who never heard of her, Iris was the author of a book called the Rape of Nanking. And this is how I ended up borrowing the book from the library.

The Rape of Nanking.

Now, throughout the years, I had heard about how influential the book was. But none of this prepared me for what I was about to read. It was fast-paced and structured. Informative and disturbing at times due to the graphic description of the events. 

It opened with historical moments in Japan that preceded the war. Once the prelude ended, it was like sitting on the front seat to watch how the Japanese troops made their way to Nanjing. A killing spree that happened next left not much to imagination. The choice of words used to describe the atrocities were beyond what I had ever read before! 

It was one hell of a massacre, all right. But amidst the chaos and brutality, hope lingered and kindness did shine. Then came the aftermath and the story finally drew to a close as it examined the attempts to cover up and erase the event from history. 

The whirlwind of information ended as fast as it came. Iris' storytelling style was as smooth as it could be. If not for its content, I would have called it an easy reading. But it isn't and it's never meant to be one. It is supposed to be a reminder, that no matter how bleak or shameful it was, the massacre did happen. Just like the slogan in the museum said, "bear history in mind, cherish peace."

When we visited the museum in Nanjing.

But history aside, what's the key takeaway for me? All this while, I couldn't reconcile the two contradicting facts about the wartime Japanese troops' cruelty and the politeness of Japanese people when I visited the country. This book finally gave me the answer.

Almost a hundred years ago, the Japanese soldiers believed the emperor was divine and they lived solely to serve the emperor. If they themselves were worthless, then the Chinese were just a bunch of pigs that they could slaughter without blinking. That's the danger of a doctrine gone wrong. As I lived through the '98 riots and ethnic violence of Dayak-Madura, it's a plausible explanation that I can accept. 



 Ulasan Buku: Pemerkosaan Nanking

Saya tidak ingat lagi kapan pertama kalinya saya mendengar tentang Pembantaian Nanjing, tapi rasanya saya sudah lama tahu akan hal ini. Mungkin saya baca di Wikipedia bertahun-tahun silam. Memorial Hall di Nanjing boleh dikatakan sebagai salah satu museum terbaik yang pernah saya kunjungi. Di akhir galeri, saya melihat kata-kata dari Li Xiuying, korban yang selamat dari pembantaian: ingat sejarah, tapi tidak dengan dendam. Ucapannya itu menyimpulkan museum tersebut dengan baik dan juga menjadi nasehat yang selalu saya ingat hingga hari ini. 

Lima tahun setelah kunjungan ke Nanjing, saya kebetulan membaca lagi kisahnya di majalah Time. Saya jadi terkenang dengan saat saya melewati patung Iris Chang saat saya keluar dari museum. Dia meninggal muda, bunuh diri karena depresi. Bagi yang tidak tahu siapa dia, Iris adalah pengarang buku the Rape of Nanking. Saya lantas meminjam buku karangannya dari perpustakaan

Permerkosaan Nanking, karya Iris Chang.

Nah, sebelum ini, saya sudah sering dengar tentang pentingnya buku ini. Namun apa yang saya ketahui tidak membuat saya siap dengan apa yang saya baca. Cepat dan terstruktur, deskripsi di buku ini juga sangat detil dan mengerikan. 

Tulisan Iris dibuka dengan sejarah di Jepang sebelum perang dimulai. Setelah itu, pembaca bagaikan duduk di kursi depan dan menyaksikan langsung bagaimana tentara Jepang menyerbu ke Nanjing. Pembantaian yang terjadi dijabarkan dengan detil, sampai-sampai tidak sulit untuk membayangkannya lagi. Kata-kata yang dipakai untuk melukiskan kekejaman Jepang benar-benar berbeda dengan kalimat dari buku-buku yang biasa saya baca.

Di tengah kebrutalan Jepang yang menimbulkan kekacauan, masih tersisa harapan dan kebaikan dari orang-orang asing yang bertahan di Nanjing dan mendirikan suaka untuk membantu dan melindungi orang Cina. Kemudian perang usai dan cerita pun diakhiri dengan pengamatan terhadap upaya menghilangkan jejak kekejaman ini dari catatan sejarah. 

Gaya Iris dalam bercerita tergolong enak untuk dibaca, meski berat dan bertubi-tubi informasinya. Kalau bukan karena topiknya, saya bisa menyebutnya sebagai bacaan santai. Akan tetapi buku ini lebih merupakan rangkuman catatan dan peringatan bahwa tidak peduli seberapa kelamnya sejarah, pembantaian ini pernah terjadi. Ini sejalan dengan slogan di museum, "ingatlah sejarah, hargai perdamaian." 

Ketika kita berkunjung ke museum di Nanjing.

Di samping sejarah, apalagi yang saya dapatkan dari buku ini? Selama ini, saya selalu sulit membayangkan kenapa laskar Jepang di zaman perang sungguh kejam sementara keramahan orang Jepang saat saya datang sebagai turis sama sekali tidak tertandingi? Buku ini akhirnya menjawab pertanyaan saya. 

Hampir 100 tahun silam, tentara Jepang percaya bahwa kaisar adalah titisan dewa dan mereka hidup untuk melayani kaisar. Jika nyawa mereka sendiri tidak berharga, maka orang-orang Cina lebih rendah lagi martabatnya, hanya sekumpulan babi yang patut dijagal. Inilah bahaya dari doktrin yang keliru. Karena saya pernah melewati Kerusuhan '98 dan perang etnis Dayak-Madura, saya bisa menerima penjelasan ini. 

Saturday, April 8, 2023

The Details

I told you about my creative process a while ago. Turning ideas into something tangible is what I do. It's fun. So addictive. But one thing I didn't tell you previously, the defining factor that was equally exciting, is the fact-checking process.

Oh yes, I'm really proud of the roadblog101's accuracy. My memory is pretty good that it enables me to tell story the way it happened. More often than not, I remember the events vividly. But names of places sometimes eluded me, especially when they sounded so foreign. This is when the fact-checking began.

At the sake bar I was looking for. 

The recent Japan trip series reminded me again how I normally did this. In this particular story, I was searching high and low for the name of the sake bar I went with Eday. As the place was an integral part of the story, I'd like to include it. But even enlarging Asakusa region on Google Maps didn't help! I still couldn't find it.

Then I remember that I paid the bill using my debit card. I searched for the payment record and I found a long, odd name in one word. As I couldn't read Japanese, I didn't even realize that the name was actually truncated. But it was sufficient for me to use it as a keyword. The moment I googled it, the name appeared: Sake no Daimasu Kaminarimon. It worked!

Timeline on Google Maps.

Another trick I learnt from writing the Japan series is how to make use of Timeline on Google Maps. Now, I'm not sure how many of you are aware of this, but Google is tracking our movement. I could actually open Google Maps and click the Timeline menu to see where I had been from morning till evening, let's say, two weeks ago. It'd show me the whole day route I took. By using this, I could ensure that similar events didn't get mixed up. 

Then of course there is my all-time favorite: Swarm. I've told you this before on a separate story, but let's summarize it here. This app is extremely useful in searching for the places I had been. I can use the keyword I roughly remember, I can search based on the city and I can even zoom into the map to find the location.

A Swarm check-in.

Lastly, and this perhaps works only for me, I actually used the Hard Rock t-shirt as a marker in my mind. For example, the Fukuoka t-shirt reminds me of the visit to Madura, the Paris t-shirt was memorable because I wore it during the trip to Karawang and so forth. Most, if not all t-shirts, were closely associated to a certain event in my life.

So there you go. This is how I got the details right. But why bother? Well, the answer is, because it's the right thing to do. It doesn't matter if the readers check the facts or not. But on a personal level, it is fun. Quite often it is one head-scratching moment, I'll admit, but when you figure it out, it is like, "eureka!"

And I enjoy that feeling.

Visiting Madura.





Detil Cerita

Saya sudah bercerita tentang proses kreatif saya dalam menulis beberapa waktu lalu. Mengubah ide menjadi sesuatu yang bisa dibaca adalah sesuatu yang saya lakukan. Seru dan bikin ketagihan pula. Namun satu hal yang tidak saya jabarkan sebelumnya, yang tidak kalah serunya juga, adalah proses memeriksa kembali fakta cerita. 

Oh ya, saya sangat bangga dengan keakuratan roadblog101. Daya ingat saya tergolong bagus sehingga memungkinkan saya untuk bercerita sesuai dengan kejadian. Saya bisa mengingat rangkaian peristiwa dengan baik. Yang kadang agak menyulitkan itu adalah nama tempatnya, terutama yang berbau asing. Di kala seperti inilah proses pengecekan fakta dimulai.  

Di sake bar yang saya cari-cari.

Liburan ke Jepang baru-baru ini mengingatkan saya kembali, bagaimana saya mengerjakan proses ini. Di salah satu episode, saya mencari nama bar sake yang saya kunjungi bersama Eday. Karena tempat ini adalah bagian integral dari cerita, saya ingin memasukkan namanya. Akan tetapi saya tidak bisa menemukannya, meski sudah saya perbesar kawasan Asakusa di Google Maps. 

Kemudian saya teringat bahwa saya membayar tagihan tersebut dengan kartu debit. Saya cari data pembayarannya dan menemukan sebuah kata yang panjang dan mirip bahasa Jepang. Karena saya tidak mengerti bahasa Jepang, saya bahkan tidak tahu bahwa namanya terpotong. Kendati begitu, apa yang saya temukan ini cukup untuk dijadikan sebagai kata kunci. Begitu saya cari, namanya pun muncul: Sake no Daimasu Kaminarimon!

Timeline di Google Maps.

Trik lain yang saya pelajari dari kisah Jepang ini adalah cara menggunakan Timeline di Google Maps. Saya tidak tahu apakah anda pernah menyadari bahwa Google sebenarnya memantau pergerakan kita setiap hari. Dengan demikian, saya bisa membuka open Google Maps Dan memilih menu Timeline untuk melihat di mana saja saya seharian berjalan, misalnya dua minggu silam. Dengan demikian saya tidak akan keliru dalam bercerita bilamana ada dua peristiwa yang nyaris serupa terjadi dua hari berturut-turut. 

Kemudian ada pula favorit saya dalam memastikan nama tempat: Swarm. Sudah pernah saya ceritakan apa sebenarnya Swarm ini, tapi mari kita rangkum lagi. Applikasi ini sangat berguna untuk mencari tempat yang sudah dikunjungi. Saya tinggal gunakan kata kunci yang saya ingat, saya bisa cari berdasarkan nama kota dan bisa pula saya lacak berdasarkan peta lokasi.

Swarm.

Terakhir, dan yang satu ini mungkin hanya bisa diterapkan oleh saya sendiri, adalah kaos Hard Rock yang identik dengan tempat-tempat tertentu. Misalnya kaos Fukuoka selalu mengingatkan saya pada Madura, kaos Paris berkaitan dengan kunjungan ke Karawang dan sebagainya. Hampir semua kaos ada kenangan tersendiri.

Jadi demikian caranya bagaimana saya bisa mendapatkan detil yang akurat. Kalau pertanyaannya adalah, apa perlu sampai segitunya? Jawabannya adalah karena ini adalah hal benar untuk dilakukan. Tidak masalah apakah pembaca mengecek ulang nama tempatnya atau tidak. Namun di sisi yang lebih personal, semua ini asyik untuk dikerjakan. Ya, seringkali sampai bikin garuk kepala, apa nama tempatnya ini, tapi begitu ditemukan, rasanya seperti, "eureka!"

Dan saya suka perasaan itu.

Di Madura.