Total Pageviews

Translate

Thursday, November 13, 2025

Time Of Your Life

This had always been on my mind. I had been thinking about it many, many times. But the thought somehow took a back seat, waiting for its right moment. Last week, it resurfaced again at the church – a place that occasionally inspires me – though I couldn't recall what triggered the thought-provoking idea.

You see, for something that can be measured scientifically, time feels pretty fluid. When I was a student in Pontianak, I swear that every year felt very long. But now that I'm a father, it seems to me that my daughters grow up too quickly. Just the other day, my wife posted on Facebook that 12 years had passed since I last carried my daughter in one hand.

I had a similar feeling when I was working in Jakarta. I literally waited for the weekdays to end. Now that I'm in Singapore, I wish I had more time to do things. It got me thinking whether it was due to different cultures and lifestyles. The pace was slower in Indonesia, faster in Singapore. Or perhaps it was simply the time I enjoyed wasting, so that I got busy without realizing it?

I don't know for sure, but I do know this: suddenly a year doesn't feel very long anymore. When I was a kid, it felt like a lifetime to grow into a young adult. But these days, a period of 12 months is very much a blink of an eye. Between work and holidays, all of a sudden, Christmas time is here again. That's how fast it is. As that happens, the kids grow up and the parents grow old. Gradually.

Funny how a year or two of waiting doesn't seem that long now. It's just doable. But for the fact that time passes so quickly, one question becomes obvious and inevitable: given our mortality, how many more years do I have left? It was a question better left unanswered. 

When I was younger, my optimism felt limitless, as if life would go on forever. Now, with age, I find myself cherishing each moment and recognizing the true blessing that time brings. Ultimately, the question I have serves as a reminder to live in the present, focusing on today. Plan all you like for tomorrow, but live for today.

Growing old. From left to right: age 2, 18, 28, 32, 45.




Waktu Dalam Hidup Kita 

Hal ini selalu terlintas di benak saya. Saya sudah memikirkannya berkali-kali. Namun entah kenapa, pikiran itu seolah menepi, menunggu saat yang tepat. Minggu lalu, topik ini terngiang-ngiang lagi saat saya berada di gereja — tempat yang kadang memberi saya inspirasi — meski saya tidak ingat apa yang memicu gagasan yang menggelitik itu.

Begini, untuk sesuatu yang bisa diukur secara ilmiah, waktu terasa sangat fleksibel dan semena-mena. Ketika saya masih pelajar di Pontianak, saya bersumpah setiap tahun terasa sangat panjang. Tapi sekarang, sebagai seorang ayah, rasanya anak-anak saya tumbuh terlalu cepat. Belum lama ini, istri saya menulis di Facebook bahwa sudah 12 tahun berlalu sejak terakhir kali saya menggendong putri saya dengan satu tangan.

Saya juga pernah merasakan hal yang sama saat bekerja di Jakarta. Saya benar-benar menunggu hari kerja segera berakhir. Sekarang, di Singapura, saya justru berharap punya lebih banyak waktu untuk melakukan berbagai hal. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini karena perbedaan budaya dan ritme hidup. Ritmenya lebih lambat di Indonesia, lebih cepat di Singapura. Atau mungkin karena waktu habis karena saya nikmati, sehingga saya sibuk tanpa menyadarinya?

Saya tidak tahu pasti, tapi saya tahu satu hal: tiba-tiba masa satu tahun rasanya sebentar saja. Saat kecil, butuh waktu seolah seumur hidup untuk tumbuh menjadi remaja. Tapi kini, 12 bulan terasa hanya sekejap mata. Antara pekerjaan dan liburan, tiba-tiba Natal sudah datang lagi. Begitu cepat rasanya. Dan seiring waktu berlalu, anak-anak tumbuh besar dan orang tua menua. Perlahan tapi pasti.

Lucu rasanya, menunggu setahun atau dua tahun kini tidak lagi terasa lama. Rasanya bisa dijalani. Namun karena waktu berlalu begitu cepat, satu pertanyaan muncul — jelas dan tak terhindarkan: mengingat bahwa kita fana, berapa banyak tahun lagi yang saya miliki? Sebuah pertanyaan yang sebaiknya tak dijawab.

Ketika saya masih muda, optimisme saya seolah tak terbatas, seakan hidup akan terus berjalan selamanya. Sekarang, seiring bertambahnya usia, saya belajar untuk menghargai setiap momen dan menyadari berkah sejati yang dibawa oleh waktu. Pada akhirnya, pertanyaan saya itu menjadi pengingat untuk hidup di masa kini, fokus pada hari ini. Rencanakanlah untuk esok, tetapi hiduplah untuk hari ini.

Usia yang bertambah. Dari kiri: age 2, 18, 28, 32, 45.

Saturday, November 8, 2025

Roadblog101 On AI

My CEO had mentioned NotebookLM to me a while ago. "Good stuff," he said. "Just put your source in, then you can start asking questions or get the AI to summarize it for you." And I suddenly remembered this again when I was cleaning up the apps on my Pixel 10. It was like, "oh, NotebookLM. Let's give it a spin."

At first glance, I wasn't really impressed by the chat feature. It was nothing ChatGPT or Gemini couldn't do. But then I saw the audio overview. When I clicked the play button, I was blown away by what I heard. Not only did it sound so professional, but I was also impressed by what I heard. It was interesting to listen to people discussing what I wrote. If it was a song, it was like hearing a different take or a cover version. 

Excited, I shared it with my high school group. The quick-witted Eday immediately pointed out Spotify as the appropriate channel for this, but I wasn't quite done with my exploration. I soon figured out that the web version had a lot more features than the app version did.

The video overview was really a hidden gem. The ability to generate some visuals in both English and Bahasa Indonesia suited me really well. Before long, a more organized thought was formed. These videos would be distributed through the existing Roadblog101's YouTube channel.

But what about the Spotify idea, though? It was not forgotten, of course. When I had lunch at Mak Nom Nom, International Plaza in Tanjong Pagar, I checked with my trusted AI, Perplexity, how to do the setup. So there I was, one hand holding a spoon and the other on the phone. 30 minutes later, the first podcast was published and shared.

Just like that, Roadblog101 is suddenly available on Spotify. It was no sweat, and the output was outstanding. I mean, it was almost like the good stuff was handed over to me on a silver platter. That's how powerful AI is. Give it some time, and it'll surprise us even more. The question now is, do we want to fear and shun it? Or will we learn and make use of it? The way I see it, you'll have more to watch and listen to, so subscribe to my YouTube and Spotify channels, okay?

Roadblog101 on Spotify.



Roadblog101 Dan AI

CEO saya pernah menyebut tentang NotebookLM. “Bagus,” katanya. “Cukup masukkan sumbermu, lalu kamu bisa mulai bertanya atau minta AI merangkum untukmu.” Saya tiba-tiba teringat lagi soal ini ketika sedang menghapus-hapus aplikasi di Pixel 10 saya. Rasanya seperti, “Oh, NotebookLM. Mari coba.”

Sekilas, saya tidak terlalu terkesan dengan fitur chat-nya. Tidak ada yang belum bisa dilakukan ChatGPT atau Gemini. Tapi kemudian saya melihat fitur audio overview. Begitu saya menekan tombol play, saya benar-benar terkesima dengan apa yang saya dengar. Suaranya terdengar sangat profesional, dan saya kagum dengan hasilnya. Menarik rasanya mendengar orang lain membahas tulisan saya. Kalau diibaratkan lagu, rasanya seperti mendengar versi lain atau interpretasi orang lain.

Dengan antusias, saya bagikan hasilnya ke grup teman SMA. Eday yang selalu cepat tanggap langsung menyebut Spotify sebagai kanal yang tepat, tapi saya belum selesai uji-coba. Tak lama kemudian, saya menyadari kalau versi web ternyata punya lebih banyak fitur dibanding versi aplikasinya.

Fitur video overview ternyata benar-benar permata tersembunyi. Kemampuannya menampilkan visual dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia sangat cocok untuk saya. Dalam waktu singkat, pikiran saya mulai tersusun lebih sistematis. Video-video ini akan didistribusikan lewat kanal YouTube Roadblog101 yang sudah ada.

Lalu bagaimana dengan ide Spotify tadi? Tentu tidak terlupakan. Saat sedang makan siang di Mak Nom Nom, International Plaza Tanjong Pagar, saya meminta bantuan AI andalan saya, Perplexity, untuk mencari tahu cara membuat kanal podcast. Dengan satu tangan memegang sendok dan ponsel di tangan lain, saya bereksperimen. Tiga puluh menit kemudian, podcast pertama berhasil dirilis dan dibagikan.

Dengan segampang dan secepat itu, Roadblog101 tiba-tiba sudah hadir di Spotify. Semuanya terasa mudah, dan hasilnya luar biasa. Rasanya seperti semua hal bagus itu disajikan di atas piring perak. Begitulah hebatnya AI. Beri waktu sedikit, dan AI akan kian mengejutkan kita. Pertanyaannya sekarang, apakah kita ingin takut dan menolaknya, atau kita mau belajar dan memanfaatkannya? Menurut saya, kamu akan punya lebih banyak hal untuk ditonton dan didengarkan, jadi jangan lupa subscribe kanal YouTube dan Spotify saya, ok?

Wednesday, October 22, 2025

The Place We Called Pulau

Today's story began on November 23, 2018. My friend Iwan had an eatery in Jakarta called Kedai 7. He was about to close it and moved to Pangkalpinang, so I organized a movement called Aksi Bela Kedai 7. It was a parody that echoed the political sentiment at that time. The date itself, 2311, could be summed up as 7, a clever reference to Kedai 7. 

I promised Iwan that I would visit him one day, but of course nobody could have seen that life in the time of corona was just around the corner. A few years later, when we exited COVID-19, it was totally a different world. I remember one afternoon when I stood in front of my daughter's primary school. I was going through Google Flights as I waited for her to come out. Much to my dismay, post-pandemic, the flight route from Batam to Pangkalpinang was simply no more.

Aksi Bela Kedai 7 in 2018.

That promise I made could only be fulfilled seven years later. I bought my tickets this year on February 13, fully embracing the fact that I would depart from Batam and fly back to Singapore via Jakarta. Soon it became another trip by Robinson Travel, a micro-travel that brought us to a place I affectionately dubbed Pulau because it was a remote island. Surianto, Endrico and Taty were quickly ticketed, but it would be about eight months later before we had another six people joining us.

But it wouldn't be an Indonesian domestic flight if it didn't throw us a curveball. We received the news that our flight from Batam had been postponed to a later time. Just when we thought it couldn't get any worse, we received another news that the same flight was cancelled. We must now fly to Jakarta before connecting to Pulau! But it was too much effort to make a last-minute change, so we went through the motions.

Half way in Jakarta.

Surianto, myself and Endrico hung out in Batam, enjoying the food ranging from fried kway teow, chai kue, nasi Padang, satay Padang and sweet martabak. The next day, we met Taty at Hang Nadim Airport in Batam while other friends such as Alvin, Parno, Susan, etc. had already made their way to Pulau and spent their afternoon exploring. We arrived just in time for dinner. Iwan, the host, wasted no time in introducing us to the pride of Pulau: saucu, the roasted pork!

Dinner at RM Ali.

The first kilogram of saucu was finished at RM Ali (Chau Bok), a popular local restaurant that also served mei cai kou rou (梅菜扣肉). I personally loved the veggie fried with pork skin. Kinda unique and very delicious. After that, we drove around at night to see the city. It occurred to me that Pangkalpinang was slightly bigger than Sei Pinyuh, the hometown of Hendra Wijaya (a friend who went to Singapore for the first time last year), but clearly less advanced than our hometown Pontianak. It didn't even have a mall!

The first night ended after a quick drink at Bangka. Lingga, an old friend of us that we hadn't seen for God knows how long, surprised us by downing almost three bottles of beer by herself, a feat that she would repeat on the following night. The second surprise came from Parno. Iwan's friend Ah Fung, nicknamed Black, has a wife who looks uncannily like Wiwi and Parno was the first to notice! 

Buying our supply of traditional cakes. 

The next morning, around 8 AM, a Hiace van arrived to pick us up soon after we did our postcard tradition. Then we headed to Anggrek Restaurant to pick up our host. We had breakfast at Bakmi Afui, where Iwan ordered all the menus for us to try. If not for Endrico, he would have ordered 20 plates of noodles for us, too! Good stuff, though. After that, we stopped for traditional cakes before making our way to Sungailiat.

At Pagoda Nusantara.

The first destination was Pagoda Nusantara. It had been closed for a long time, so our host was equally surprised that it was actually open. As a matter of fact, we were the only visitors there. The road that led to the Pagoda was so bad and steep that it was a miracle our Hiace could actually reach the summit. But it was worth it. The view there was quite beautiful, as nice as it could be for a secluded local attraction.

At Pauw's in Sungailiat.

From there, we went to Pauw's, a famous coffee shop in Sungailiat. It reminded me of the similar setup we visited in Chiang Mai. The food was good and cheap. I liked the fish soup that had a tinge of sour taste. It was brilliant. The fish maw soup, wanton soup, beef kway teow and crab porridge were nice, too. The crab meat toast was unusual, but was still all right. 

The crucifixion. 

The next stop right after that was Taman Bintang Samudra. It was a nice surprise, something I didn't expect from Pulau. Its interpretation of Via Dolorosa, also known as the Stations of the Cross, is of international standard. The first station was so artfully done that I was convinced we should continue walking. The Golgotha replica somehow reminded me of the Giant Buddha of Leshan. It carried a similar colossal vibe, though not as old or as historical.

The ladies in Rambak Beach.

Rambak Beach was the final tourist spot we visited for the day. When the rest headed to the sandy beach, I accompanied Alvin while sipping from a fresh coconut. Only when his chiropractic client arrived did I join the other friends to sit on the boulders and munch on our first half a kilogram of saucu for the day. 

The live perfomance. 

We returned to Pangkalpinang before sunset, bought our fair share of Bangka snacks from Godai Sejiwa, then freshened up at our hotel before going out again for dinner, this time at RM Sefo. The place was awfully quiet for a big restaurant, just us and another table, but it featured a stage where everyone could just get up and sing. The pig head skin (豬頭皮) was exquisite! Before the food came, we opened the last half a kilogram of saucu. At the rate I ate, I personally think I had finished up my lifetime quota of saucu!

The last group photo at Kopi Sejati.

But all good things must come to an end. The next morning, we went to Kopi Sejati for breakfast and our time in Pulau was up. We flew back to Jakarta and, since we had enough time, we went to PIK to eat Ou Kie, the famous noodles from our hometown. Mul AW came to meet us while we were at Aming Coffee. After that, we returned to the airport and headed back to Singapore.

With Mul AW.

Overall, it was a fun trip filled with laughter and togetherness. I wouldn't call it short. It was a time well spent, one that neither ran its course nor overstayed its welcome. Iwan did a good job as a host and Lingga was a nice addition to the familiar crowd I know and love. To top it off, it was a long-time promise fulfilled, a chapter closed and a new life event cherished...

The Pulau memories...


Tempat Yang Disebut Pulau... 

Kisah hari ini dimulai pada tanggal 23 November 2018. Teman saya, Iwan, memiliki sebuah kedai makan di Jakarta bernama Kedai 7. Saat itu ia akan menutup usahanya dan pindah ke Pangkalpinang. Maka dari itu, saya pun mengadakan sebuah gerakan bernama Aksi Bela Kedai 7, sebuah parodi yang mencerminkan sentimen politik pada masa itu. Tanggal 23/11 sendiri jika dijumlahkan menjadi 7 — sebuah referensi cerdas yang berhubungan dengan Kedai 7.

Saya berjanji pada Iwan bahwa suatu hari saya akan mengunjunginya. Namun tentu saja tidak ada yang bisa memprediksi bahwa kehidupan di masa corona akan segera datang. Beberapa tahun kemudian, saat kita keluar dari pandemi COVID-19, dunia telah berubah total. Saya masih ingat satu sore saat saya berdiri di depan sekolah dasar anak saya. Sambil menunggu ia keluar, saya membuka Google Flights. Betapa kecewanya saya ketika mengetahui bahwa rute penerbangan dari Batam ke Pangkalpinang tidak lagi ada setelah pandemi.

Aksi Bela Kedai 7 in 2018.

Janji yang saya ucapkan hanya bisa ditepati tujuh tahun kemudian. Saya membeli tiket pada tanggal 13 Februari 2025, sepenuhnya menerima kenyataan bahwa saya bisa berangkat dari Batam namun harus pulang ke Singapura lewat Jakarta. Tak lama kemudian, ini menjadi perjalanan Robinson Travel lainnya — sebuah perjalanan mikro yang membawa kami ke sebuah tempat yang saya juluki Pulau, karena letaknya yang terpencil. Surianto, Endrico, dan Taty lekas membeli tiket, sementara enam orang lainnya baru bergabung sekitar delapan bulan kemudian.

Namun tentu saja, penerbangan domestik Indonesia tidak akan lengkap tanpa kejutan. Kami mendapat kabar bahwa penerbangan dari Batam ditunda dari jam satu ke jam lima sore. Saat saya berpikir bahwa situasinya tidak akan lebih buruk lagi, muncul kabar kedua: penerbangan kami dibatalkan. Kami kini harus terbang ke Jakarta dulu sebelum melanjutkan ke Pulau! Namun karena perubahan mendadak akan terlalu merepotkan, kami tetap mengikuti rencana.

Setengah jalan di Jakarta.

Saya, Surianto, dan Endrico menghabiskan waktu di Batam dengan menikmati berbagai makanan — mulai dari kwetiau goreng, chai kue Pontianak, nasi Padang, sate Padang, hingga martabak manis. Keesokan harinya, kami bertemu Taty di Bandara Hang Nadim, Batam, sementara teman-teman lain seperti Alvin, Parno, Susan, dan lainnya sudah lebih dulu tiba di Pulau dan menghabiskan sore mereka menjelajahi kota. Kami tiba tepat saat makan malam. Iwan sebagai tuan rumah tidak membuang waktu — ia langsung memperkenalkan kami pada kebanggaan Pulau: saucu alias babi panggang!

Makan malam di RM Ali.

Satu kilogram pertama saucu kami habiskan di RM Ali (Chau Bok), restoran lokal populer yang juga menyajikan mei cai kou rou (梅菜扣肉). Saya pribadi sangat suka sayur tumis kulit babi — unik dan lezat. Setelah itu, kami berkeliling kota pada malam hari. Saya menyadari bahwa Pangkalpinang sedikit lebih besar dari Sei Pinyuh — kampung halaman Asun (teman kami yang pertama kali ke Singapura tahun lalu) — tetapi jelas lebih tertinggal dibanding Pontianak. Kecuali Transmart, Pulau tidak memilki mal lainnya.

Malam pertama kami akhiri dengan minum santai di Bangka. Lingga, teman lama yang sudah lama tak bertemu, mengejutkan kami dengan menenggak hampir tiga botol bir sendirian — dan ia mengulang prestasi itu malam berikutnya. Kejutan kedua datang dari Parno: istri teman Iwan, Afung (yang dijuluki Black), mirip sekali dengan Wiwi, dan Parno yang pertama menyadarinya!

Membeli kue. 

Keesokan paginya sekitar pukul delapan, sebuah van Hiace menjemput kami setelah kami melakukan tradisi kartu pos. Kami kemudian menjemput Iwan di Restoran Anggrek dan melanjutkan perjalanan ke Bakmi Afui, di mana Iwan memesan semua menu untuk kami coba. Kalau bukan karena Endrico, ia mungkin akan memesan 20 piring mi sekaligus! Sarapannya enak. Setelah itu, kami mampir untuk membeli kue tradisional sebelum menuju Sungailiat.

Di Pagoda Nusantara.

Tujuan pertama kami adalah Pagoda Nusantara. Tempat ini sudah lama tutup, sehingga Iwan pun terkejut saat mengetahui bahwa pagoda tersebut sudah dibuka kembali. Faktanya, hanya kami satu-satunya pengunjung saat itu. Jalan menuju pagoda sangat rusak dan menanjak, jadi benar-benar sebuah keajaiban van Hiace kami bisa sampai puncak. Namun pemandangannya sepadan — indah untuk ukuran tempat wisata lokal yang sepi.

Makan di Pauw's yang berada di kota Sungailiat.

Dari sana, kami lanjut ke Pauw’s, kedai kopi terkenal di Sungailiat. Tempatnya mengingatkan saya pada kedai serupa yang kami kunjungi di Chiang Mai. Makanannya enak dan murah. Saya suka sup ikan dengan rasa asam segar — luar biasa. Sup perut ikan, sup pangsit, kwetiau sapi, dan bubur kepiting juga enak. Roti panggang isi daging kepiting agak unik, tapi tetap oke.

Di bawah salib Yesus. 

Setelah itu, kami ke Taman Bintang Samudra. Ini kejutan menyenangkan, tidak saya sangka ada di Pulau. Interpretasi Via Dolorosa atau Stations of the Cross-nya setara dengan standar internasional. Stasiun pertama sangat artistik, membuat saya yakin untuk melanjutkan perjalanan sampai Golgota. Replika Golgota-nya mengingatkan saya pada Buddha Raksasa Leshan — sama-sama megah, meski tentu tak setua dan sebersejarah situs di Cina.

Di Pantai Rambak.

Pantai Rambak menjadi tempat wisata terakhir hari itu. Saat teman-teman melangkah ke pantai, saya menemani Alvin sambil menikmati kelapa muda. Ketika klien Alvin datang, barulah saya bergabung dengan teman-teman lainnya, duduk di batu besar dan menyantap setengah kilogram saucu pertama kami hari itu.

CP dan Endrico di atas panggung. 

Kami kembali ke Pangkalpinang sebelum matahari terbenam, membeli camilan Bangka dari Godai Sejiwa, lalu bersih-bersih di hotel sebelum keluar lagi untuk makan malam di RM Sefo. Tempatnya sepi — hanya ada kami dan satu meja lain — tapi ada panggung di mana siapa pun boleh menyanyi. Kulit kepala babi (豬頭皮)-nya memang sedap! Sebelum makanan datang, kami membuka setengah kilogram terakhir saucu. Dengan porsi sebanyak itu, saya yakin saya telah menghabiskan jatah seumur hidup saucu saya!

Foto bersama terakhir di Kopi Sejati.

Namun semua yang indah pasti berakhir. Keesokan paginya kami sarapan di Kopi Sejati dan waktu kami di Pulau pun usai. Kami terbang ke Jakarta, dan karena masih ada waktu, kami mampir ke PIK untuk makan Ou Kie, mi legendaris dari Pontianak. Mul AW datang menyapa saat kami ngopi di Aming Coffee. Setelah itu, kami kembali ke bandara dan pulang ke Singapura.

Bersama Mul AW.

Secara keseluruhan, ini adalah perjalanan yang menyenangkan, penuh tawa dan kebersamaan. Saya tidak akan menyebutnya singkat — ini waktu yang benar-benar dimanfaatkan dengan baik, tidak terlalu cepat berakhir dan tidak pula berlarut-larut. Iwan menjalankan perannya sebagai tuan rumah dengan sangat baik, dan kehadiran Lingga memberi warna tersendiri di antara teman-teman lama. Secara simbolik, sebuah janji lama akhirnya terpenuhi, sebuah babak ditutup dan kini menjadi kenangan berharga dalam hidup…

Kenangan di Pulau...

Wednesday, October 15, 2025

The Game Changer

Sometimes all it took was the most trivial thing to remind you that life had come a long way. It was one fine morning, I was on my way to the bus stop. Just like most of us these days, I was busy doomscrolling. Then I saw something that made me wonder why Akira Toriyama created Vegeta, the Prince of Saiyans from Dragon Ball Z, as a physically short character. Just like that, I fired the question on Perplexity, my go-to AI.

It was the aftermath that got me thinking. It was that easy to get my answer. AI was really a game-changer, eh? Looking back, since the dawn of the internet, dating all the way back to 1998 for me, I've been incredibly fortunate to witness firsthand and experience these game-changing moments.

I remember the time I discovered Amazon. When I first saw it in 1999, I was convinced that this was the future of shopping. I was so impressed by the books and CD collections that I applied for my first credit card. Didn't work out well for me at that time, though. But fast forward to years later, online shopping is a norm. So are contactless and QR code payments.

Another thing that kept evolving was the chat app. From just a tool to have some fun and get a date on Saturday night, it was revolutionized by BBM a decade later. Today, WhatsApp is an integral part of my life when it comes to chatting and calling. Gone are the days when you had to buy international calling cards. I can just call my mum in Pontianak anytime now. 

Then there are various ride-hailing apps. I always think of it as something you didn't know you needed, but there's no turning back once you knew it. The idea was so genius and sneaky at the same time that it changed the way of life quietly. For the better. Grab, Uber, and many more are parts of my life now. No more waiting in uncertainty. You either get your ride or you don't.

The next one I'm going to tell you may not be too significant for some, but I really love having my data on the go. Prior to this, I had been a fan of Apple's Time Capsule. I didn't understand why Apple stopped refreshing the product. Only when I shifted my data to the cloud did I realize why. If information is power, it was like having power at the palm of your hands. The cloud was practical, no more hardware to maintain, and proven to be useful time and again.

And the last was of course AI. I said this before and I'll say it again. For the longest time, the word google was a verb. But it immediately became a thing of the past the moment I tried AI. It was like having someone to read and summarize the answer you need. And it could even do more than that. The possibilities are endless. From here onwards, life as we know it won't be the same anymore.

For the first 18 years of my life in Pontianak, I went through an era before the internet. Yes, to a certain extent, life in a small town could do without some of the things I mentioned above. One could even say, in a rather ignorant manner, that life was less complicated without all this. 

But the technology I described above is not only a game-changer, but also inevitable. You are either left behind, living in a borrowed time, or you actually embrace it. The game changer is here to stay and, for the fact that it can be integrated seamlessly, I don't think it should be feared. If anything, it should be learnt, so that our life quality can be improved. 

The five that I mentioned above.



Terobosan

Hidup ini lucu. Terkadang justru hal remeh yang terbersit di benak yang mengingatkan anda kembali, betapa hidup ini sudah jauh berubah. Cerita kali ini bermula di suatu pagi, saat saya berjalan ke halte bis dan sibuk menggulirkan bacaan di Facebook. Lantas saya melihat sesuatu yang membuat saya penasaran, kenapa Akira Toriyama menciptakan Vegeta, sang Pangeran Saiyan dari Dragon Ball Z, sebagai karakter yang pendek secara fisik. Berbekal pertanyaan tersebut, saya lantas cari tahu di Perplexity, AI andalan saya. 

Saya dapat jawabannya, tapi apa yang saya lakukan itu lalu membuat saya berpikir. Betaap mudahnya mencari jawaban di masa kini. AI memang sebuah terobosan handal. Bila saya lihat kembali, sejak saya mengenal internet di tahun 1998, saya sudah menyaksikan dan mengalami langsung beberapa terobosan yang mengubah hidup kita. 

Saya ingat saat pertama kali saya menemukan Amazon. Di tahun 1999, saya percaya bahwa inilah masa depan cara berbelanja. Saya sangat terperangah dengan lengkapnya koleksi buku dan CD musik di Amazon, sampai-sampai saya tergerak untuk memohon kartu kredit. Akan tetapi semuanya tidak selancar yang saya bayangkan. Bertahun-tahun kemudian, berbelanja di internet sudah lumrah. Demikian pula halnya dengan pembayaran nirsentuh dan kode QR. Memang terbukti.

Hal lain yang senantiasa berubah adalah aplikasi chat. Dari sekedar alat untuk berkencan di malam Minggu, fungsinya berubah drastis dengan kemunculan BBM yang revolusioner. Hari ini WhatsApp adalah aplikasi utama saya dalam menghubungi dan menelepon. Kini saya tak lagi perlu membeli kartu telepon internasional. Saya bisa menelepon ibu saya setiap saat.  

Kemudian ada pula aplikasi untuk jasa antar mobil. Saya selalu merasa bahwa ini adalah sesuatu yang tanpa sadar selalu dibutuhkan. Ide ini begitu jenius dan mengubah pola hidup secara senyap. Dan hidup pun menjadi lebih baik dan praktis. Sekarang Grab, Uber dan beberapa aplikasi lainnya senantiasa tersedia di Google Pixel saya. Kini tak ada lagi penantian tanpa kepastian. Yang ada cuma mendapatkan tumpangan atau tidak. 

Selanjutnya, yang akan saya sampaikan berikut ini mungkin tidak begitu signifikan bagi sebagian pembaca, tapi saya suka dengan data pribadi yang selalu terjangkau oleh saya. Sebelumnya, saya adalah penggemar Time Capsule dari Apple. Saya heran ketika Apple menghentikan produk ini. Ketika saya pindahkan data ke cloud, barulah saya mengerti kenapa. Jika informasi adalah kekuatan, analoginya adalah seperti menggenggam kekuatan dalam telapak tangan. Cloud begitu praktis, tak lagi perlu bagi saya untuk memperbaharui perangkat, dan sudah terbukti berguna pula di aneka kesempatan. 

Dan yang terakhir tentu saja adalah AI. Saya sudah pernah mengatakan ini, dan saya akan ulang lagi. Selama bertahun-tahun, kata “google” sudah menjadi sebuah kata kerja. Namun, semua itu langsung terasa usang setelah saya mencoba AI. Rasanya seperti memiliki seseorang yang membaca dan merangkumkan jawaban yang kita butuhkan. Bahkan, AI bisa melakukan lebih dari itu. Kemungkinannya tak terbatas. Mulai sekarang, hidup kita tidak akan pernah sama lagi.

Selama 18 tahun pertama hidup saya di Pontianak, saya melewati masa sebelum adanya internet. Ya, sampai batas tertentu, kehidupan di kota kecil bisa berjalan tanpa beberapa hal yang saya sebutkan di atas. Bahkan, seseorang bisa saja berkata dengan naif bahwa hidup terasa lebih sederhana tanpa semua ini.

Namun teknologi yang saya jelaskan di atas bukan hanya mengubah hidup kita, tetapi juga tidak dapat dihindari. Kita hanya punya pilihan-pilihan berikut ini: ketinggalan zaman, tetap pasif menanti semua itu terjadi, atau menerima perubahan ini sepenuhnya. Perubahan besar ini akan terus ada, dan karena dapat diintegrasikan dengan begitu mulus, saya rasa tidak ada alasan untuk takut. Justru sebaliknya, teknologi ini sebaiknya diterima dan dipelajari agar kualitas hidup kita menjadi lebih baik lagi.

Sunday, September 28, 2025

Prisoner Of The Past

One great thing about churchgoing is the entertaining and inspiring sermon. And that usually happened when our senior pastor was preaching. I have an affinity for funny people, and he certainly met the criteria, so there I was, listening attentively. That's when I heard the phrase, "prisoner of the past."

It was so cool and intriguing that it immediately got me thinking. The love I have for all the good times I had, does that make me the prisoner of the past? No, I tend to think that is simply cherishing the lovely memories. How about those who go on spending sprees on vintage toys? While that might be overcompensating, it was more of fulfilling a childhood dream. Then I recalled a friend who always harped on his failed marriages.

That had to be it: the failures that haunted and shackled you forever. But while I was quick to think of others as examples, the real value in understanding this was to see if I, too, was a prisoner of my past. Then I did a bit of soul-searching. All my life, it has been about fulfilling dreams and the time well spent. Even things I failed to achieve became blessings in retrospect. I laugh a lot and often the loudest. As far as I'm concerned, I don't think I have much regret.

The closest thing I could think of was my inability to swim. For more than four decades, I was the prisoner of the past. I made excuses so that I didn't have to do anything about it. When I wanted to learn, I didn't persevere. That was always the case until one day, when I saw my daughter laughing at me playfully as she swam past me. I decided perhaps it was time to confront my past. 

The feelings were a mixed bag. I was embarrassed, but then I learned that it was for nothing. People actually didn't really care if a middle-aged stranger learned how to swim. I had a phobia when the water level reached my neck, but I pushed it through. I was worried that the water would flood into my ears, but that didn't happen. Finally, when I wore the swimming goggles and opened my eyes in the water, the fear subsided instantly. And just like that, I was liberated. I was no longer a prisoner of my past. 

I learned that being a prisoner of the past is a matter of choice. You can continue feeling sorry for yourself, or you can do something about it. You either let it define who you are, or you take control and change it. In a world where we are quick to point out others' flaws, it's not going to be easy, but it's doable nonetheless.

My earliest documented visit to a swimming pool. Couldn't swim since then.





Terbelenggu Masa Lalu

Satu hal yang saya sukai dari kebaktian di gereja adalah khotbah yang lucu dan menginspirasi. Dan seringkali itulah yang terjadi bila pastor senior kita berbicara di panggung. Saya selalu tertarik dengan orang yang lucu dan pintar, jadi saya pun mendengarkan dengan seksama. Lantas terucapkan olehnya istilah tahanan yang terbelenggu oleh masa lalu. 

Frase tersebut sangat menggelitik sehingga saya serta-merta berpikir. Bagaimana halnya dengan kegemaran saya dalam bernostalgia tentang kebersamaan, apakah ini membuat saya terbelenggu masa lalu? Rasanya tidak, karena ini lebih cenderung mengenang masa-masa bahagia. Lalu bagaimana pula dengan mereka yang menghamburkan uang untuk mainan lama? Walau ada kesan kompensasi berlebihan, yang ini lebih condong ke perwujudan impian masa kecil. Kemudian saya teringat dengan teman yang suka mengungkit tentang pernikahannya yang gagal.

Sepertinya inilah definisi yang cocok: kegagalan yang menghantui dan senantiasa membelenggu. Namun walau saya bisa dengan cepat memikirkan orang lain sebagai contoh, yang paling penting dari pemahaman ini adalah mencari tahu, apakah saya pun terbelenggu oleh masa lalu. Saya lantas merenung. Hidup ini sudah saya jalani dengan mewujudkan aneka impian dan saya juga menggunakan waktu sesuai keinginan hati. Bahkan kegagalan saya pun menjadi berkat bila saya lihat kembali. Saya tertawa dan tak jarang pula tertawa paling keras. Jadi sejauh ini saya tidak memiliki banyak penyesalan. 

Satu hal dari masa lalu yang bisa dikatakan pernah membelenggu saya adalah keahlian berenang yang tidak saya miliki. Selama lebih dari 40 tahun, saya terbelenggu oleh masa lalu. Ada saja alasan saya agar tidak perlu belajar dan mengatasi kekurangan saya ini. Bahkan di kala saya belajar, saya tetap tidak gigih dan bersungguh-sungguh. Selalu saja begitu, sampai pada suatu hari, saat melihat putri saya tertawa polos sewaktu berenang santai melewati saya. Saya lantas berpikir, mungkin sudah waktunya bagi saya melakukan sesuatu. 

Perasaan saya pun bercampur aduk. Saya merasa malu, namun lekas saya sadari bahwa perasaan itu sebenarnya tidak perlu, sebab tidak ada orang di sekitar yang peduli kalau pria berumur 40an sedang belajar berenang di kolam ini. Saya memiliki fobia saat permukaan air mencapai leher saya, tapi saya tetap lanjut. Saya khawatir bahwa air akan masuk ke telinga, namun kekhawatiran itu tidak terbukti. Selanjutnya, ketika saya mengenakan kacamata renang dan membuka mata di dalam air, saat itu pula rasa takut saya sirna. Saya terbebaskan dan tak lagi terbelenggu oleh masa lalu. Kini saya bisa berenang.

Dari situ saya belajar bahwa menjadi tahanan masa lalu hanyalah masalah sebuah pilihan. Anda bisa terus-terusan merasa malang, atau anda lakukan sesuatu untuk keluar dari kemalangan tersebut. Anda bisa bersembunyi dan membiarkan masa lalu itu mendefinisikan anda, atau anda justru dengan rendah hati menerima kegagalan anda dan mulai melakukan perubahan yang berarti. Di dunia di mana kita dengan gesit menunjukkan kesalahan orang lain, tidaklah gampang untuk mengakui kelemahan kita sendiri, tapi percayalah bahwa semua itu bisa dilakukan.



Saturday, September 20, 2025

The Cashless Society

I have always been a fan of the cashless payment mode. I'm so fond of it that one of my favorite moves is waving a credit card to settle the payment. The freedom of it, so liberating! Carrying so much cash, especially when traveling, is never my thing. 

And the world seems to agree with this, hence the QR code payment. I was too irritated to realize it last year, but looking back, the QRIS at Whoosh's Tegalluar Station outside the city of Bandung was a telltale sign. At that time, I was simply pissed off that the stall didn't accept either cash or credit card in such a godforsaken place!

The awakening time happened in China. During our visit, it was safe to say that cash was overrated. Everything could be paid using Alipay or WeChat Pay. It was crazily practical and efficient. That's when I started paying attention to this QR payment. 

Then came the Vientiane trip a few months ago. The Loca Pay inside Loca app was convenient. After that, right before my trip to Jakarta, I saw this app called Dana appearing on my Facebook. I downloaded it and not only it was useful, but it also saved me from the hassles that might have occurred during the trip if I hadn't had the app. By the time I was going for another trip to JB, I had TNG eWallet ready on my phone. 

Just like I said earlier, I don't like carrying cash. In a situation where I can't use my card, all these QR payment apps help me to achieve what I want. As my credit card is linked to the app, the logic remains the same to me. I'm still paying with my card, not cash. It allows me to use my card, albeit by proxy, but that is just fine. 

It's a different time these days, really. Gone are the days when you had to carry a lot of cash and this change suits me well. Yes, sometimes there'll be extra charges on top of the actual amount, but if compared with paying in cash, that's definitely the price I'm willing to pay. 

Scan and pay!





Dunia Non-Tunai

Saya selalu menggemari pembayaran non-tunai, sampai-sampai salah satu gerakan favorit saya adalah kibas-kibas kartu kredit. Begitu fleksibel dan bebas rasanya. Kalau bawa banyak uang kontan, terutama di saat berlibur, rasanya tidak praktis.

Dan dunia sepertinya sepakat dengan pola pembayaran ini, makanya pembayaran dengan kode QR bermunculan. Saya terlalu jengkel untuk menyadarinya tahun lalu, namun bila saya lihat kembali, QRIS di Stasiun Tegalluar khusus Whoosh yang berada di luar kota Bandung adalah pertanda. Di kala itu, saya gusar karena kedai yang saya hampiri tidak menerima pembayaran kontan dan kartu kredit di tempat terpencil seperti ini! 

Pandangan saya terbuka saat berada di Cina. Selama kunjungan kita di sana, boleh dikatakan uang kontan sebenarnya tidak diperlukan. Semua bisa dibayar dengan Alipay atau WeChat Pay. Benar-benar luar biasa efisien! Dari sinilah saya mulai mengamati pembayaran berdasarkan kode QR. 

Lantas tiba liburan ke Vientiane di pertengahan tahun ini. Loca Pay di dalam aplikasi Loca membuat segalanya terasa gampang. Setelah itu, sebelum saya ke Jakarta, aplikasi Dana muncul di Facebook saya. Saya pun unduh dan terbukti berguna. Saya terlepas dari segala kesulitan yang pasti harus saya hadapi kalau saja saya tidak memiliki Dana. Selanjutnya, sebelum saya ke Johor Bahru, saya sudah menyiapkan TNG eWallet di telepon genggam saya. 

Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, saya tidak suka membawa uang tunai. Dalam situasi di mana saya tidak bisa menggunakan kartu kredit, aplikasi pembayaran QR ini tetap membuat saya mencapai apa yang saya inginkan. Karena kartu kredit saya sudah terdaftar di aplikasi, saya tetap membayar menggunakan kartu dan bukan tunai. 

Zaman sudah berubah. Kita tak perlu lagi membawa banyak uang tunai dan perubahan ini cocok untuk saya. Ya, terkadang memang ada biaya tambahan, tapi bila dibandingkan dengan pembayaran tunai, maka biaya tambahan tersebut adalah harga yang siap saya bayar dengan senang hati. 

Sunday, September 14, 2025

Day Trip To JB With Bernard

Bernard is easily one of my closest friends, but as I sat down with him in JB and looked back, I realized that I rarely traveled with him. Granted, we did Jakarta and Batam, but Laos was our farthest trip so far. When it comes to Malaysia, we visited Kuching in 2012. 13 years later, there we were in JB for the first time ever. 

One week before the trip, he checked with me to see if I could accompany him to JB for furniture shopping. I checked with my wife if she had anything planned for family and, since she had none, I said okay. It was also a good opportunity to test out the MVNO data plan I just subscribed to. Lastly, since Loca Pay in Laos and Dana in Indonesia, I also downloaded TnG eWallet for this trip.

Off we went on a rainy Saturday. Once we passed through the autogate in Malaysia, it was time to test the MVNO SIM cards. Eight worked like a charm, but Circles.Life failed. Upon checking with the support team, turned out that my data plan of Circles.Life didn't cover the roaming services, haha. 

First stop, lunch. Bernard wanted to eat Soon Huat Bak Kut Teh in Taman Sentosa. Apparently he was a regular here and I'd learn that we basically followed his usual itinerary. The queue for Soon Huat seemed long, but it was quite fast. The food wasn't that fantastic, I am afraid. Even Bernard said that the quality had dropped, though I'm not sure if he was influenced by the clear pork soup remark that I showed him when I checked in using Swarm

At the first shop.

Next stop was the furniture shops. The first one was in Taman Johor Jaya, close to Tebrau. The second shop where we got the recliner sofa, was in Skudai. The testing, at least for me, was quite amusing. The more you got the potato couch feeling, the more you could be sure that it was the one you'd want to buy. Bernard was more systematic. He checked the neck and back support in both sitting and reclining positions. To put it simply, he was more meticulous. 

At the second shop, Art Home Furniture.

Now that we got the sofa, we headed to Hard Rock Cafe Puteri Harbour to see if there was anything new. From there we headed back to Taman Sentosa again, this time we ate at Taman Sri Tebrau Hawkers Centre. It was an old fashioned eatery. Bernard joked that even the signboards were probably older than us. We had crayfish there, which reminded me of the seafood restaurant in Tanjung Balai.

Visiting Hard Rock.

The last thing we did right after dinner was foot massage at Fizzio that is located across the street. Painful at times, but that, perhaps, what the feet and legs needed. After an hour, I finally got a chance to test TnG eWallet. I love cashless payment! Then we made our way back to the border and returned to Singapore...



Sehari Di JB Bersama Bernard

Bernard adalah salah satu teman terdekat saya, tapi sewaktu saya lihat kembali, ternyata kita jarang berlibur bersama. Ya, tentu saja kita bepergian ke Jakarta dan Batam, tapi Laos adalah tempat terjauh yang pernah kita kunjungi bersama. Akan halnya Malaysia, kita ke Kuching tahun 2012. 13 tahun kemudian, kita mengunjungi Johor Bahru untuk pertama kalinya. 

Satu minggu sebelum tanggal keberangkatan, Bernard bertanya apakah saya bisa menemaninya ke JB untuk berbelanja furnitur. Saya konfirmasi dengan istri, siapa tahu dia sudah merencanakan sesuatu untuk keluarga. Berhubung tidak ada acara, saya pun mengiyakan Bernard. Ini juga kesempatan yang bagus untuk menguji data MVNO yang saya beli baru-baru ini. Dan sejak Loca Pay di Laos serta Dana di Indonesia, saya juga mengunduh TnG eWallet untuk liburan singkat ini. 

Lantas berangkatlah kita di Sabtu pagi yang rintik-rintik. Saatnya mengetes MVNO begitu kita melewati pintu imigrasi otomatis di Johor Bahru. Eight berfungsi dengan baik, namun Circles.Life tidak bisa dipakai di Malaysia. Setelah saya tanyakan ke bagian pelayanan pelanggan, ternyata paket data Circles.Life tidak mencakup koneksi internet di luar Singapura, haha. 

Bak Kut Teh.

Pemberhentian pertama, makan siang. Bernard ingin menyantap Soon Huat Bak Kut Teh di Taman Sentosa. Ternyata dia sering makan di sana dan saya lekas menyadari bahwa hari ini kita akan mengikuti rute regulernya. Antrian di Soon Huat cukup panjang, tapi cepat pula pergerakannya. Rasa masakannya biasa saja. Bahkan Bernard mengakui bahwa kualitasnya sudah turun, walau saya tidak tahu apakah pendapatnya itu dipengaruhi oleh komentar tentang sup babi jernih yang saya tunjukkan padanya saat saya menggunakan Swarm

At the first shop.

Sesudah makan, tujuan berikutnya adalah dua toko furnitur. Yang pertama terletak di Taman Johor Jaya, tak jauh dari Tebrau. Yang kedua, tempat kita membeli sofa malas, berada di Skudai. Cara kita menguji kenyamanannya cukup menarik. Bagi saya, semakin malas rasanya saya beranjak dari sofa, berarti makin nyaman. Bernard lebih sistematis. Dia memeriksa penyangga leher dan punggung dengan lebih seksama, baik dari saat duduk tegak sampai posisi berbaring santai. 

At the second shop, Art Home Furniture.

Setelah mendapatkan sofa, kita singgah sejenak di Hard Rock Cafe Puteri Harbour untuk melihat koleksi terbaru. Dari situ kita kembali ke Taman Sentosa lagi, kali ini untuk makan malam di  Taman Sri Tebrau Hawkers Centre. Ini tempat makan tradisional dan Bernard bercanda bahwa papan nama penjualnya mungkin lebih tua dari kita. Kita memesan udang karang di sini, menu yang mengingatkan saya saat makan di restoran di Tanjung Balai

Visiting Hard Rock.

Hal terakhir yang kita lakukan adalah pijat kaki di Fizzio di seberang jalan. Sakit juga pijatannya, tapi mungkin itu yang dibutuhkan tapak dan tungkai kaki setelah berjalan seharian. Satu jam pun berlalu dan akhirnya saya bisa mencoba TnG eWallet. Saya suka pembayaran non-tunai! Setelah itu, kita melaju ke perbatasan dan kembali ke Singapura...