Total Pageviews

Translate

Sunday, September 28, 2025

Prisoner Of The Past

One great thing about churchgoing is the entertaining and inspiring sermon. And that usually happened when our senior pastor was preaching. I have an affinity for funny people, and he certainly met the criteria, so there I was, listening attentively. That's when I heard the phrase, "prisoner of the past."

It was so cool and intriguing that it immediately got me thinking. The love I have for all the good times I had, does that make me the prisoner of the past? No, I tend to think that is simply cherishing the lovely memories. How about those who go on spending sprees on vintage toys? While that might be overcompensating, it was more of fulfilling a childhood dream. Then I recalled a friend who always harped on his failed marriages.

That had to be it: the failures that haunted and shackled you forever. But while I was quick to think of others as examples, the real value in understanding this was to see if I, too, was a prisoner of my past. Then I did a bit of soul-searching. All my life, it has been about fulfilling dreams and the time well spent. Even things I failed to achieve became blessings in retrospect. I laugh a lot and often the loudest. As far as I'm concerned, I don't think I have much regret.

The closest thing I could think of was my inability to swim. For more than four decades, I was the prisoner of the past. I made excuses so that I didn't have to do anything about it. When I wanted to learn, I didn't persevere. That was always the case until one day, when I saw my daughter laughing at me playfully as she swam past me. I decided perhaps it was time to confront my past. 

The feelings were a mixed bag. I was embarrassed, but then I learned that it was for nothing. People actually didn't really care if a middle-aged stranger learned how to swim. I had a phobia when the water level reached my neck, but I pushed it through. I was worried that the water would flood into my ears, but that didn't happen. Finally, when I wore the swimming goggles and opened my eyes in the water, the fear subsided instantly. And just like that, I was liberated. I was no longer a prisoner of my past. 

I learned that being a prisoner of the past is a matter of choice. You can continue feeling sorry for yourself, or you can do something about it. You either let it define who you are, or you take control and change it. In a world where we are quick to point out others' flaws, it's not going to be easy, but it's doable nonetheless.

My earliest documented visit to a swimming pool. Couldn't swim since then.





Terbelenggu Masa Lalu

Satu hal yang saya sukai dari kebaktian di gereja adalah khotbah yang lucu dan menginspirasi. Dan seringkali itulah yang terjadi bila pastor senior kita berbicara di panggung. Saya selalu tertarik dengan orang yang lucu dan pintar, jadi saya pun mendengarkan dengan seksama. Lantas terucapkan olehnya istilah tahanan yang terbelenggu oleh masa lalu. 

Frase tersebut sangat menggelitik sehingga saya serta-merta berpikir. Bagaimana halnya dengan kegemaran saya dalam bernostalgia tentang kebersamaan, apakah ini membuat saya terbelenggu masa lalu? Rasanya tidak, karena ini lebih cenderung mengenang masa-masa bahagia. Lalu bagaimana pula dengan mereka yang menghamburkan uang untuk mainan lama? Walau ada kesan kompensasi berlebihan, yang ini lebih condong ke perwujudan impian masa kecil. Kemudian saya teringat dengan teman yang suka mengungkit tentang pernikahannya yang gagal.

Sepertinya inilah definisi yang cocok: kegagalan yang menghantui dan senantiasa membelenggu. Namun walau saya bisa dengan cepat memikirkan orang lain sebagai contoh, yang paling penting dari pemahaman ini adalah mencari tahu, apakah saya pun terbelenggu oleh masa lalu. Saya lantas merenung. Hidup ini sudah saya jalani dengan mewujudkan aneka impian dan saya juga menggunakan waktu sesuai keinginan hati. Bahkan kegagalan saya pun menjadi berkat bila saya lihat kembali. Saya tertawa dan tak jarang pula tertawa paling keras. Jadi sejauh ini saya tidak memiliki banyak penyesalan. 

Satu hal dari masa lalu yang bisa dikatakan pernah membelenggu saya adalah keahlian berenang yang tidak saya miliki. Selama lebih dari 40 tahun, saya terbelenggu oleh masa lalu. Ada saja alasan saya agar tidak perlu belajar dan mengatasi kekurangan saya ini. Bahkan di kala saya belajar, saya tetap tidak gigih dan bersungguh-sungguh. Selalu saja begitu, sampai pada suatu hari, saat melihat putri saya tertawa polos sewaktu berenang santai melewati saya. Saya lantas berpikir, mungkin sudah waktunya bagi saya melakukan sesuatu. 

Perasaan saya pun bercampur aduk. Saya merasa malu, namun lekas saya sadari bahwa perasaan itu sebenarnya tidak perlu, sebab tidak ada orang di sekitar yang peduli kalau pria berumur 40an sedang belajar berenang di kolam ini. Saya memiliki fobia saat permukaan air mencapai leher saya, tapi saya tetap lanjut. Saya khawatir bahwa air akan masuk ke telinga, namun kekhawatiran itu tidak terbukti. Selanjutnya, ketika saya mengenakan kacamata renang dan membuka mata di dalam air, saat itu pula rasa takut saya sirna. Saya terbebaskan dan tak lagi terbelenggu oleh masa lalu. Kini saya bisa berenang.

Dari situ saya belajar bahwa menjadi tahanan masa lalu hanyalah masalah sebuah pilihan. Anda bisa terus-terusan merasa malang, atau anda lakukan sesuatu untuk keluar dari kemalangan tersebut. Anda bisa bersembunyi dan membiarkan masa lalu itu mendefinisikan anda, atau anda justru dengan rendah hati menerima kegagalan anda dan mulai melakukan perubahan yang berarti. Di dunia di mana kita dengan gesit menunjukkan kesalahan orang lain, tidaklah gampang untuk mengakui kelemahan kita sendiri, tapi percayalah bahwa semua itu bisa dilakukan.



Saturday, September 20, 2025

The Cashless Society

I have always been a fan of the cashless payment mode. I'm so fond of it that one of my favorite moves is waving a credit card to settle the payment. The freedom of it, so liberating! Carrying so much cash, especially when traveling, is never my thing. 

And the world seems to agree with this, hence the QR code payment. I was too irritated to realize it last year, but looking back, the QRIS at Whoosh's Tegalluar Station outside the city of Bandung was a telltale sign. At that time, I was simply pissed off that the stall didn't accept either cash or credit card in such a godforsaken place!

The awakening time happened in China. During our visit, it was safe to say that cash was overrated. Everything could be paid using Alipay or WeChat Pay. It was crazily practical and efficient. That's when I started paying attention to this QR payment. 

Then came the Vientiane trip a few months ago. The Loca Pay inside Loca app was convenient. After that, right before my trip to Jakarta, I saw this app called Dana appearing on my Facebook. I downloaded it and not only it was useful, but it also saved me from the hassles that might have occurred during the trip if I hadn't had the app. By the time I was going for another trip to JB, I had TNG eWallet ready on my phone. 

Just like I said earlier, I don't like carrying cash. In a situation where I can't use my card, all these QR payment apps help me to achieve what I want. As my credit card is linked to the app, the logic remains the same to me. I'm still paying with my card, not cash. It allows me to use my card, albeit by proxy, but that is just fine. 

It's a different time these days, really. Gone are the days when you had to carry a lot of cash and this change suits me well. Yes, sometimes there'll be extra charges on top of the actual amount, but if compared with paying in cash, that's definitely the price I'm willing to pay. 

Scan and pay!





Dunia Non-Tunai

Saya selalu menggemari pembayaran non-tunai, sampai-sampai salah satu gerakan favorit saya adalah kibas-kibas kartu kredit. Begitu fleksibel dan bebas rasanya. Kalau bawa banyak uang kontan, terutama di saat berlibur, rasanya tidak praktis.

Dan dunia sepertinya sepakat dengan pola pembayaran ini, makanya pembayaran dengan kode QR bermunculan. Saya terlalu jengkel untuk menyadarinya tahun lalu, namun bila saya lihat kembali, QRIS di Stasiun Tegalluar khusus Whoosh yang berada di luar kota Bandung adalah pertanda. Di kala itu, saya gusar karena kedai yang saya hampiri tidak menerima pembayaran kontan dan kartu kredit di tempat terpencil seperti ini! 

Pandangan saya terbuka saat berada di Cina. Selama kunjungan kita di sana, boleh dikatakan uang kontan sebenarnya tidak diperlukan. Semua bisa dibayar dengan Alipay atau WeChat Pay. Benar-benar luar biasa efisien! Dari sinilah saya mulai mengamati pembayaran berdasarkan kode QR. 

Lantas tiba liburan ke Vientiane di pertengahan tahun ini. Loca Pay di dalam aplikasi Loca membuat segalanya terasa gampang. Setelah itu, sebelum saya ke Jakarta, aplikasi Dana muncul di Facebook saya. Saya pun unduh dan terbukti berguna. Saya terlepas dari segala kesulitan yang pasti harus saya hadapi kalau saja saya tidak memiliki Dana. Selanjutnya, sebelum saya ke Johor Bahru, saya sudah menyiapkan TNG eWallet di telepon genggam saya. 

Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, saya tidak suka membawa uang tunai. Dalam situasi di mana saya tidak bisa menggunakan kartu kredit, aplikasi pembayaran QR ini tetap membuat saya mencapai apa yang saya inginkan. Karena kartu kredit saya sudah terdaftar di aplikasi, saya tetap membayar menggunakan kartu dan bukan tunai. 

Zaman sudah berubah. Kita tak perlu lagi membawa banyak uang tunai dan perubahan ini cocok untuk saya. Ya, terkadang memang ada biaya tambahan, tapi bila dibandingkan dengan pembayaran tunai, maka biaya tambahan tersebut adalah harga yang siap saya bayar dengan senang hati. 

Sunday, September 14, 2025

Day Trip To JB With Bernard

Bernard is easily one of my closest friends, but as I sat down with him in JB and looked back, I realized that I rarely traveled with him. Granted, we did Jakarta and Batam, but Laos was our farthest trip so far. When it comes to Malaysia, we visited Kuching in 2012. 13 years later, there we were in JB for the first time ever. 

One week before the trip, he checked with me to see if I could accompany him to JB for furniture shopping. I checked with my wife if she had anything planned for family and, since she had none, I said okay. It was also a good opportunity to test out the MVNO data plan I just subscribed to. Lastly, since Loca Pay in Laos and Dana in Indonesia, I also downloaded TnG eWallet for this trip.

Off we went on a rainy Saturday. Once we passed through the autogate in Malaysia, it was time to test the MVNO SIM cards. Eight worked like a charm, but Circles.Life failed. Upon checking with the support team, turned out that my data plan of Circles.Life didn't cover the roaming services, haha. 

First stop, lunch. Bernard wanted to eat Soon Huat Bak Kut Teh in Taman Sentosa. Apparently he was a regular here and I'd learn that we basically followed his usual itinerary. The queue for Soon Huat seemed long, but it was quite fast. The food wasn't that fantastic, I am afraid. Even Bernard said that the quality had dropped, though I'm not sure if he was influenced by the clear pork soup remark that I showed him when I checked in using Swarm

At the first shop.

Next stop was the furniture shops. The first one was in Taman Johor Jaya, close to Tebrau. The second shop where we got the recliner sofa, was in Skudai. The testing, at least for me, was quite amusing. The more you got the potato couch feeling, the more you could be sure that it was the one you'd want to buy. Bernard was more systematic. He checked the neck and back support in both sitting and reclining positions. To put it simply, he was more meticulous. 

At the second shop, Art Home Furniture.

Now that we got the sofa, we headed to Hard Rock Cafe Puteri Harbour to see if there was anything new. From there we headed back to Taman Sentosa again, this time we ate at Taman Sri Tebrau Hawkers Centre. It was an old fashioned eatery. Bernard joked that even the signboards were probably older than us. We had crayfish there, which reminded me of the seafood restaurant in Tanjung Balai.

Visiting Hard Rock.

The last thing we did right after dinner was foot massage at Fizzio that is located across the street. Painful at times, but that, perhaps, what the feet and legs needed. After an hour, I finally got a chance to test TnG eWallet. I love cashless payment! Then we made our way back to the border and returned to Singapore...



Sehari Di JB Bersama Bernard

Bernard adalah salah satu teman terdekat saya, tapi sewaktu saya lihat kembali, ternyata kita jarang berlibur bersama. Ya, tentu saja kita bepergian ke Jakarta dan Batam, tapi Laos adalah tempat terjauh yang pernah kita kunjungi bersama. Akan halnya Malaysia, kita ke Kuching tahun 2012. 13 tahun kemudian, kita mengunjungi Johor Bahru untuk pertama kalinya. 

Satu minggu sebelum tanggal keberangkatan, Bernard bertanya apakah saya bisa menemaninya ke JB untuk berbelanja furnitur. Saya konfirmasi dengan istri, siapa tahu dia sudah merencanakan sesuatu untuk keluarga. Berhubung tidak ada acara, saya pun mengiyakan Bernard. Ini juga kesempatan yang bagus untuk menguji data MVNO yang saya beli baru-baru ini. Dan sejak Loca Pay di Laos serta Dana di Indonesia, saya juga mengunduh TnG eWallet untuk liburan singkat ini. 

Lantas berangkatlah kita di Sabtu pagi yang rintik-rintik. Saatnya mengetes MVNO begitu kita melewati pintu imigrasi otomatis di Johor Bahru. Eight berfungsi dengan baik, namun Circles.Life tidak bisa dipakai di Malaysia. Setelah saya tanyakan ke bagian pelayanan pelanggan, ternyata paket data Circles.Life tidak mencakup koneksi internet di luar Singapura, haha. 

Bak Kut Teh.

Pemberhentian pertama, makan siang. Bernard ingin menyantap Soon Huat Bak Kut Teh di Taman Sentosa. Ternyata dia sering makan di sana dan saya lekas menyadari bahwa hari ini kita akan mengikuti rute regulernya. Antrian di Soon Huat cukup panjang, tapi cepat pula pergerakannya. Rasa masakannya biasa saja. Bahkan Bernard mengakui bahwa kualitasnya sudah turun, walau saya tidak tahu apakah pendapatnya itu dipengaruhi oleh komentar tentang sup babi jernih yang saya tunjukkan padanya saat saya menggunakan Swarm

At the first shop.

Sesudah makan, tujuan berikutnya adalah dua toko furnitur. Yang pertama terletak di Taman Johor Jaya, tak jauh dari Tebrau. Yang kedua, tempat kita membeli sofa malas, berada di Skudai. Cara kita menguji kenyamanannya cukup menarik. Bagi saya, semakin malas rasanya saya beranjak dari sofa, berarti makin nyaman. Bernard lebih sistematis. Dia memeriksa penyangga leher dan punggung dengan lebih seksama, baik dari saat duduk tegak sampai posisi berbaring santai. 

At the second shop, Art Home Furniture.

Setelah mendapatkan sofa, kita singgah sejenak di Hard Rock Cafe Puteri Harbour untuk melihat koleksi terbaru. Dari situ kita kembali ke Taman Sentosa lagi, kali ini untuk makan malam di  Taman Sri Tebrau Hawkers Centre. Ini tempat makan tradisional dan Bernard bercanda bahwa papan nama penjualnya mungkin lebih tua dari kita. Kita memesan udang karang di sini, menu yang mengingatkan saya saat makan di restoran di Tanjung Balai

Visiting Hard Rock.

Hal terakhir yang kita lakukan adalah pijat kaki di Fizzio di seberang jalan. Sakit juga pijatannya, tapi mungkin itu yang dibutuhkan tapak dan tungkai kaki setelah berjalan seharian. Satu jam pun berlalu dan akhirnya saya bisa mencoba TnG eWallet. Saya suka pembayaran non-tunai! Setelah itu, kita melaju ke perbatasan dan kembali ke Singapura... 

MVNO

MVNO... Never heard of it? So did I! This story started after my wife came back from her birthday party. She simply said that the eight SIM-only plan was cheaper. I had no idea what she was talking about. My first time hearing it. But like any good husbands that tried avoiding further nagging from the wife, I did my due diligence. 

So I fired up Perplexity, my trusted AI, and started researching. That's when I first discovered the plethora of MVNO providers. But first thing first, the key of MVNO (Mobile Virtual Network Operator) is the word virtual, which means they are telcos without physical network infrastructure. That's why the cost is the cheaper, but that also means they are the second class citizens in the telco world. Think of them as the stripped down version. 

I'd been loyal to Starhub for so long that all these MVNOs such as eight, Vivifi, Gomo, etc. were below my radar. But I like traveling, and throughout my journey for the past 25 years, I have seen how the technology has evolved in terms of internet use. Things had changed drastically from portable Wi-Fi to eSIM. Now this! The convergence! For the first time ever, I noticed that the international roaming for selected countries, such as TH, MY and ID were included in the package deal. 

But while the low price and big data plan is attractive, the question now is its reliability as a whole. So I got one data-only Circles.Life just to test it out. It's been all right, the signal has been quite steady even when I am inside the MRT. Support-wise, it was a bit odd to have it available on Facebook Messenger, but it worked well for me! However, the plan I subscribed to didn't work outside Singapore. 

Back to eight, I switched and ported my daughter's StarHub number to the MVNO provider. It was easy to set up, though I still saw her temporary number as the SMS sender even a week after the successful port-in (it was eventually fixed). She was unhappy, complaining that the internet connection was choppy. Not sure if it was true, but the 4G was totally gone at least once right after the initial setup. When I borrowed the SIM card for a day trip to JB, I'd say the signal was pretty reliable. 

As for me, I had been using Star Plan. It worked well, but I disliked the idea of not having a proper contact number for what I'd consider as a premium MNO service these days. I mean, it didn't make sense to pay so much when its chat support is worse than Circles.Life. So one fine day, while taking the train to the office, I switched to M1. Similar service, still MNO, but monthly recurring cost was reduced from SGD 27.5 to SGD 11.5. Bye, StarHub! It had been a good 15 years or so!

MNO v. MVNO.



MVNO

MVNO... Belum pernah dengar? Sama juga halnya dengan saya! Cerita ini bermula setelah istri saya pulang dari pesta ulang tahunnya. Dia dengan santai berujar kalau paket SIM-only dari eight itu lebih murah. Saya tidak tahu apa yang ia bicarakan. Baru kali ini saya dengar yang namanya eight. Namun sebagai suami yang baik dan senantiasa berusaha menghindari ocehan lebih lanjut dari istrinya, saya pun lakukan riset.

Saya aktifkan Perplexity, AI andalan saya, lalu mulai mencari informasi. Dari situlah saya pertama kali tahu tentang banyaknya penyedia MVNO. Tapi hal pertama yang penting untuk dipahami dari MVNO (Mobile Virtual Network Operator) adalah kata virtual, artinya mereka ini adalah operator tanpa infrastruktur jaringan fisik. Karena inilah biayanya lebih murah, tapi juga berarti mereka ini seperti “warga kelas dua” di dunia telko. Bisa dibilang versi sederhana dari operator asli.

Saya sudah begitu lama setia dengan StarHub sampai semua MVNO seperti eight, Vivifi, Gomo, dan lain-lain benar-benar tidak masuk radar saya. Tapi saya suka berlibur, dan selama 25 tahun terakhir saya melihat sendiri bagaimana teknologi internet berkembang. Dulu orang pakai portable Wi-Fi, lalu beralih ke eSIM. Dan sekarang ini! Sebuah titik temu! Untuk pertama kalinya saya perhatikan roaming internasional untuk negara tertentu, seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia, sudah termasuk dalam paket.

Tapi meskipun harga murah dan kuota besar itu menarik, kuncinya sekarang tentu saja adalah soal keandalan secara keseluruhan. Jadi saya coba ambil paket data-only dari Circles.Life untuk uji coba. Lumayan, sinyal cukup stabil bahkan di kala saya berada di dalam MRT. Dari sisi pelayanan, agak aneh juga karena harus lewat Facebook Messenger, tapi buat saya cukup efektif! Sayangnya, paket yang saya ambil tidak bisa digunakan di luar Singapura.

Kembali ke eight, saya akhirnya pindahkan nomor StarHub anak saya ke penyedia MVNO itu. Prosesnya mudah, tapi seminggu setelah pemindahan nomor berhasil, nomor sementara anak saya masih muncul sebagai pengirim SMS (problem ini akhirnya beres juga). Dia kurang senang, katanya koneksi internet suka putus-putus. Entah benar atau tidak, tapi 4G sempat benar-benar hilang tak lama setelah saya aktifkan. Tapi waktu saya pinjam kartu SIM-nya untuk perjalanan sehari ke JB, menurut saya sinyalnya lumayan stabil.

Kalau saya sendiri, sebelumnya saya pakai Star Plan. Selama ini berjalan lancar, tapi saya kurang suka dengan konsep layanan MNO premium yang bahkan tidak menyediakan nomor kontak yang jelas. Maksud saya, untuk apa bayar lebih kalau pelayanan via chat-nya malah lebih buruk daripada Circles.Life? Jadi suatu hari, saat naik kereta ke kantor, saya putuskan pindah ke M1. Layanannya mirip, masih MNO, tapi biaya bulanan turun dari SGD 27,5 jadi SGD 11,5. Selamat tinggal, StarHub! Terima kasih untuk kebersamaan selama 15 tahun terakhir!

Monday, August 25, 2025

Rebound

In 2023, I made up my mind to become Catholic. I added “Simon” in front of my name, so I became Simon Parno. It was also reasonable for my father to take a new name, and he became Lukas Bong Ket Tjhiung. At that time, I was unable to earn any stable income, even though I had worked as a shopkeeper from a very young age until now, at 46. I have a wife and two children to support, but the only income I managed to make was from online hailing jobs—which was far from enough.

After six months of struggling with little to no income, my wife decided to work with her friend as a helper in the evenings, from 4 p.m. until 11 p.m., to help cover our children’s expenses. I had no choice but to let her do it for the sake of our family. During that difficult period, Hauhau introduced me to the property world. At first, I was never interested in it, but over time I realized it could be a solution for earning more and easing my burdens. Even though it was new to me, it slowly gave me peace of mind and convinced me that property could be my path to financial stability.

Before anything else, I had to pay the fee of IDR 200K to become a proper broker with a license. I acknowledged that moment when my high school friend Landak came back to his hometown in Pontianak to see his beloved family.

In the beginning, the first few months were full of doubt. I wasn’t convinced about myself at all because my mindset wasn’t there yet. I even remember refusing to meet Hauhau when he wanted to introduce me to the broker world. That action was reported in our WA Petrus group, and my friends scolded me for being so stubborn—hahaha 🤣. But still, I told myself, I’ll try, I’ll try to get into the vibe of becoming an agent.

Week by week, month by month, I pushed myself to stick to the principle of listing houses every day. Slowly, I adjusted to the property world, and eventually, I started to believe in it. My first closing with a fellow agent truly changed my life. Even though it was just a small rental fee, it all began from someone simply seeing my WA status and asking me if there was a house for rent. I quickly checked someone’s listing, made the connection, and it turned into a 2-year rental deal.

Three months later, I hit the jackpot with a big closing that brought in a significant sum of money. I felt so proud. The following month, I had another closing—not as big, but still meaningful and worth it.

Those two months were a real relief for me, especially since I managed to achieve high-income closings during that time. It was the moment I truly began to acknowledge myself in the property world. Of course, it’s not a smooth ride—I know I’ll be facing many challenges ahead—but from now on, I feel a little more confident. I’m still adjusting myself step by step, but this marks the end of my first achievement.

Number #1!


Bangkit Kembali

Pada tahun 2023, saya memutuskan untuk menjadi Katolik. Saya menambahkan nama “Simon” di depan nama saya, sehingga saya menjadi Simon Parno. Ayah saya juga mengambil nama baru, dan ia menjadi Lukas Bong Ket Tjhiung. Pada saat itu, saya tidak memiliki penghasilan tetap, meskipun saya sudah bekerja sebagai penjaga toko sejak kecil hingga usia saya 46 tahun sekarang. Saya punya istri dan dua anak yang harus saya nafkahi, tetapi satu-satunya penghasilan yang saya dapat hanyalah dari pekerjaan ojek online—yang jelas sangat tidak mencukupi.

Setelah enam bulan berjuang dengan penghasilan yang hampir tidak ada, istri saya memutuskan untuk bekerja bersama temannya sebagai pembantu pada malam hari, dari jam 4 sore sampai 11 malam, demi membantu menutupi kebutuhan anak-anak kami. Saya tidak punya pilihan selain merelakannya demi keluarga. Pada masa sulit itu, Hauhau memperkenalkan saya pada dunia properti. Awalnya saya sama sekali tidak tertarik, tetapi lama-kelamaan saya menyadari bahwa dunia properti bisa menjadi solusi untuk mendapatkan penghasilan lebih dan meringankan beban saya. Meskipun hal itu benar-benar baru bagi saya, perlahan saya merasa lebih tenang dan mulai yakin bahwa properti bisa menjadi jalan menuju kestabilan finansial saya.

Sebelum memulai, saya harus membayar biaya Rp. 200 ribu untuk menjadi broker resmi dengan lisensi. Saya mengingat momen itu ketika teman SMA saya, Landak, pulang ke kampung halamannya di Pontianak untuk menemui keluarga tercintanya.

Pada awalnya, bulan-bulan pertama penuh dengan keraguan. Saya sama sekali tidak yakin pada diri sendiri karena pola pikir saya belum siap. Saya bahkan ingat pernah menolak bertemu dengan Hauhau ketika ia ingin memperkenalkan saya ke dunia broker. Tindakan itu kemudian dilaporkan di grup WA Petrus, dan teman-teman saya menegur saya karena dianggap terlalu keras kepala—hahaha 🤣. Tapi tetap saja, saya berkata pada diri saya, saya akan coba, saya akan coba menyesuaikan diri untuk menjadi seorang agen.

Minggu demi minggu, bulan demi bulan, saya berusaha konsisten dengan prinsip untuk terus membuat listing rumah setiap hari. Perlahan-lahan, saya mulai menyesuaikan diri dengan dunia properti, dan akhirnya saya mulai percaya pada jalan ini. Closing pertama saya bersama seorang agen lain benar-benar mengubah hidup saya. Walaupun hanya berupa komisi kecil dari rumah kontrakan, semuanya berawal dari seseorang yang melihat status WA saya dan bertanya apakah ada rumah untuk disewa. Saya segera mengecek daftar rumah orang lain, menghubungkannya, dan akhirnya menghasilkan kontrak sewa selama 2 tahun.

Tiga bulan kemudian, saya mendapat jackpot dengan closing besar yang membawa sejumlah uang yang signifikan. Rasanya sangat membanggakan. Bulan berikutnya, saya mendapat closing lagi—meski tidak sebesar sebelumnya, tetap saja berarti dan sangat berharga.

Dua bulan itu benar-benar menjadi kelegaan bagi saya, terutama karena saya berhasil mendapatkan closing dengan penghasilan tinggi. Saat itulah saya mulai benar-benar mengakui diri saya di dunia properti. Tentu jalannya tidak selalu mulus—saya tahu akan ada banyak tantangan di depan—tetapi mulai saat ini, saya merasa sedikit lebih percaya diri. Saya masih terus menyesuaikan diri langkah demi langkah, namun inilah penutup dari pencapaian pertama saya.


Original version:

Its was 2023 i Made up my mind to be khatolic dude with a name in front of Parno turned to be Simon Parno its was reasanable for my father also become Lukas bong ket ttjhiung , at time i was not Able to earn income at all after a long perioud of being a shop keeper from my youngest years till im 46 right now ! I have a wife 2 childrens need to feeed , the only income i Made is hailing online earning its was totally not enought for sure , after 6 months of repettion life in a non income dude my wife decided to work with her friend as a helper in the night from 4 pm till 11 pm thats its for lighten my children expensesis , from that reason i got no choices beside let her do for good Familly , during that moment hauhau already ignite me in property world , I Was never fond on it but turn out to be a solution for me to earn more money to enlighten my burden , even throught its can relief me in peace of mind , but for me its slowly convince me of earning money in the world of property

Well before that you have to pay 200 ribu fee for becoming a proper broker with a licences , i aknowledge myself its when my high school friend landak is coming home town to see he beloved family in ptk , Then be it , the early month was full of dout because i was never been so convinse about my self  because my mind set still not in it because before that i still not get in it yet , i remembered i refused to see hauhau in order to introduction to the broker world , n my action was reported to grup that i was to be mad by my follow friend in WA Petrus group hahaha 🤣, stubbern i am, but i ll try ill try to get in vibe in becoming an agen , i went wheel by weeks month by months n sticking to the principal in listing houses everdays  and so on , until i have adjusted my vibe in this world of property make me convinced when the time i had my closing with fellow agen , its really change my life even throught i had a small fee of renting home its surely just see my WA status and asked me Its there a home for rent , I Quickly use my konsisten to cek somebody list and suddenly deal with this house they rented for 2 years n then 3 month later i got a big jackpot which its a big closing that its a rented a big sums of money 1 feel proud n the next month i got another closing this time is average not much but it worthed 

Well in those two months was a relief for me not for mention i was become the high income closing for those month , n i acknowledge myself in property , its not a smooth ride but im gonno be facing alot of problem in property world to come, but i feel conviden a little bit from now on , i kind a adjusting my self first … end of my achievementt

Wednesday, August 13, 2025

A Birthday Trip To Remember

The way it started, I just couldn't help feeling that our trip this round would be different. I mean, we woke up quite early only to be greeted by a message from a friend, bearing the news or her hospitalized husband. It had taken a turn for the worse. As the only one who was around before dawn, I felt obliged to respond as her sounding board.

In all honesty, I don't know if I was any helpful. What I really felt was the mood set by the conversation. The birthday trip we were having suddenly became sombre. It was like, while we were about the celebrate a birthday, one life was probably going to end on the other side. It couldn't get more extreme than this. 

So off we went to Jakarta. The news trickled in bit by bit, each one worse than the last. In the midst of all this, I celebrated my daughter's birthday and mine, binge-watched Cobra Kai, met a friend who does chiropractic. Given my ailing friend's condition, I couldn't shake the feeling that he might pass away any time. It was like, would it happen on National Day? Or on my birthday? Or while we were flying back to Singapore? 

But no, it happened the morning after, when I was getting ready for work. Just like that, a life ended. Two things came to my mind. The first one was George Harrison's life flows on within you and without you. How it rang true. The world goes on. It doesn't stop, almost as if it doesn't care. We're really only very small.

The other was Hamilton's the World Was Wide Enough:
Death doesn't discriminate
Between the sinners and the saints
It takes and it takes and it takes

It was a weird birthday experience, really. I can't say it wasn't a happy one, but it was certainly unforgettable. To me, this was the only birthday when my wife and I ever asked, "what if this happened to us?" It was a stark reminder of our mortality, but also a revelation that, for me, it has been a life well lived. I intend to keep it that way.

The birthday celebration.



Hari Ulang Tahun Yang Tak Terlupakan 

Dari awal sudah terasa bahwa liburan kali ini terasa berbeda. Di pagi buta saya tertegun saat membaca kabar tentang seorang teman yang sedang dirawat di rumah sakit. Kondisinya yang sempat membaik tiba-tiba menjadi parah dan koma. Sebagai satu-satunya orang yang sudah membaca WhatsApp sebelum fajar menyingsing, saya tergerak untuk merespon pertanyaan istrinya yang sedang gundah. 

Jujur saya katakan bahwa saya tidak tahu apakah respon saya ini membantu. Yang justru terasa adalah nuansa setelah percakapan usai. Liburan ini jadi terkesan sedih. Di satu sisi kita hendak merayakan ulang tahun, namun di sisi lain, sebuah kehidupan mungkin akan berakhir. Benar-benar ekstrim. 

Kita lantas terbang ke Jakarta. Kabar selanjutnya pun terbaca, semakin lama semakin buruk. Selagi semua ini terjadi, saya berpesta, menonton serial Cobra Kai, lalu bertemu teman yang membantu meluruskan tulang belakang. Di dalam benak saya selalu terngiang bahwa teman yang sedang koma ini bisa meninggal setiap waktu. Apakah akan terjadi di hari kemerdekaan Singapura? Atau hari ulang tahun saya? Atau saat kita dalam penerbangan pulang ke Singapura? 

Namun apa yang saya cemaskan ternyata terjadi di pagi berikutnya, selagi saya bersiap-siap untuk berangkat kerja. Dan hanya seperti itu, satu kehidupan pun berakhir. Dua hal langsung terpikirkan oleh saya. Yang pertama adalah lirik George Harrison yang berbunyi, life flows on within you and without you. Sungguh benar adanya. Dunia terus berjalan, tidak berhenti, seakan-akan tidak peduli. Kita hanyalah setitik debu. 

Yang satunya lagi adalah lagu The World Was Wide Enough dari Hamilton:
Death doesn't discriminate 
(Kematian tidak membedakan)
Between the sinners and the saints
(Antara orang suci dan pendosa)
It takes and it takes and it takes
(Kematian hanya merenggut dan merenggut)

Pengalaman ulang tahun kali ini sungguh tidak lazim. Saya tidak mengatakan bahwa kesannya tidaklah gembira, tapi yang jelas tidak terlupakan. Bagi saya, ini adalah sekali-kalinya ultah di mana saya dan istri bertanya, "bagaimana kalau ini terjadi pada kita?" Kejadian ini adalah peringatan tentang realita kehidupan kita sebagai manusia. Kendati begitu, lewat introspeksi ini saya juga menyadari bahwa sejauh ini hidup saya sudah dijalani sesuai dengan panggilan hati. Saya akan usahakan agar tetap seperti itu. 

Friday, August 1, 2025

Book Review: Waxing On

I like Cobra Kai long before I watched the Karate Kid. But as someone from the 80s, even a boy from a place as remote as Pontianak had heard of the infamous crane kick. Yes, it was that popular, though allegedly illegal, if one could trust Johnny Lawrence, haha. Now that there was a book written by the Karate Kid himself, of course I had to read it!

And what a great and easy reading the book is. It reminded me of what Ringo said. To paraphrase his words, he has lived well into his 80s, but most people are only interested in that 8 years of his life as a Beatle. In the case of Ralph Macchio, the career span is even shorter: he is forever known as the Karate Kid. Not even My Cousin Vinny can change this.

Ralph knew and he acknowledged this through his book, Waxing On. Even the title was a homage to Mr. Miyagi's teaching. And it focused on all things Karate Kid, with a taste of Cobra Kai. I like how he dedicated each chapter to Pat Morita,  Elisabeth Shue and William Zabka. The one with Pat was especially endearing. He was truly Mr. Miyagi. 

Now, back to the fact that even people from Pontianak had heard of the Karate Kid, it was even more impressive to read how Ralph's further elaboration on this. The movie was up there, together with Rocky, Ghostbusters, Back to the Future, becoming part of the pop culture that we know and love. Okay, even if you hadn't watched them, you'd at least know about them!

Then of course there was the birth of Cobra Kai series. Its origin story was hilarious. It was the unlikeliest story, but yet that's how it happened, with a little help from How I Met Your Mother

If you like the Karate Kid and its expanded Miyagiverse, this is clearly a book for you. It's both humble and funny. It's also a story of acceptance. People love having options, but sometimes we're defined by the one thing we did right in life. And that's how it is for Ralph Macchio. He might not like it at first, but he has made peace with the fact that we'll always remember him as Daniel LaRusso...




Ulasan Buku: Waxing On

Saya suka Cobra Kai jauh sebelum saya menonton Karate Kid. Namun sebagai seseorang yang berasal dari dekade 80an, bahkan bocah dari tempat terpencil seperti Pontianak pun pernah mendengar tentang tendangan bangau yang termasyhur. Ya, jurus tersebut sedemikian populernya pada saat itu, meskipun disinyalir ilegal kalau Johnny Lawrence bisa dipercaya, haha. Sekarang, setelah saya tahu ada buku yang ditulis oleh pemeran Karate Kid, tentu saja saya harus membacanya.

Dan ini adalah buku yang gampang dibaca dan mengingatkan saya pada perkataan Ringo. Kira-kira begini kalimatnya: meski dia sudah hidup 80 tahun lebih, orang-orang hanya tertarik dengan delapan tahun hidupnya sebagai anggota the Beatles. Dalam konteks Ralph Macchio, karirnya lebih singkat lagi: dia selamanya dikenal sebagai Karate Kid. Bahkan sukses My Cousin Vinny pun tidak bisa mengubah hal ini. 

Ralph tahu dan mengakui hal ini lewat bukunya, Waxing On. Bahkan judulnya pun mengacu pada ajaran Mr. Miyagi. Buku ini menjabarkan segala sesuatu tentang Karate Kid, termasuk Cobra Kai. Saya suka caranya yang mempersembahkan masing-masing satu bab untuk Pat Morita, Elisabeth Shue dan William Zabka. Cerita tentang Pat sangat menyentuh. Pat sungguh merupakan Mr. Miyagi yang otentik. 

Nah, kembali ke fakta tentang orang asal Pontianak yang pernah mendengar tentang Karate Kid, sangat berkesan rasanya saat membaca tentang dampak Karate Kid pada dunia lewat sudut pandang Ralph. Film ini setara dengan Rocky, Ghostbusters serta Back to the Future dan menjadi bagian dari budaya pop yang kita kenal baik. Ok, walau anda belum pernah menonton film-film ini, setidaknya anda pasti pernah dengar!

Dan tentu saja Ralph kemudian juga bercerita tentang serial Cobra Kai. Asal mulanya kocak juga. Seperti suatu cerita yang mustahil, tapi memang demikian kisahnya, dengan sedikit bantuan dari How I Met Your Mother

Jika anda suka Karate Kid dan cerita yang akhirnya berkembang menjadi Miyagiverse, maka ini adalah buku untuk anda. Kisahnya bersahaja dan lucu. Selain itu, temanya juga tentang penerimaan. Sebagai manusia, kita pasti ingin memiliki pilihan, tapi terkadang kita ditentukan oleh satu hal yang kita lakukan dengan baik dalam hidup ini. Dan inilah yang terjadi pada Ralph Macchio. Pada awalnya dia mungkin tidak suka, tapi sekarang dia sudah berdamai dengan fakta bahwa kita akan selalu mengingatnya sebagai Daniel LaRusso...


Sunday, July 13, 2025

Micro-Travel

As seen from Life Events: Travel, I had been blessed with a lot of opportunities to travel for the past 25 years. My record was about two weeks, such as the trip to China or Europe, but more often than not, I had short trips. 

And recently I came across the terms for it: micro-travel. No, it's different than weekend getaways. Micro-travel is a trip that typically lasts four days or less. This is my kind of trip. And looking back, there's a good reason why!

In order to explain this, let me share with you the problems I faced with long trips: the fading wow factor and the food. I remember the feeling when I first landed in Geneva. It was like, "wow, Europe again. The building, the food, the lifestyle." It was fun to embrace the new experience. But by the tail end of the trip, the last few cities felt the same: old town by the river, etc. And the food! Be it in Japanese or Indian, regardless how delicious the food was, after a week or so, I wished it was something else that I was familiar with.

This is where micro-travel was different. It was so short and concise that it was a time well spent. You didn't have a chance to grow weary of it. By the time you returned from your break, the amount of work piling up for you wasn't that bad, haha. 

Case in point, this year's trip to Seremban. It was a good break. The carefree feeling to be just ourselves again, the excitement of meeting old friends, the food hunting, the exploration into the unknown that we did together, the stories and laughter we shared, it was rejuvenating! And it didn't overstay its welcome.

That's not to say I'm against long trips. They were different kind of fun that came with different set of expectations for us to manage. My point here is more on why micro-travel worked for me thus far. I enjoy speeding through the experience and the outcome of the quick break is rewarding. Instead of seeing things from the same old, same old perspective, it's good to be recharged and refreshed once in a while! That's what I really like!

The trip to Seremban. A micro-travel!




Liburan Mikro

Seperti yang bisa dilihat di Life Events: Travel, saya telah diberkati dengan banyak kesempatan untuk berjalan-jalan dalam 25 tahun terakhir ini. Rekor saya adalah kira-kira dua minggu dalam sekali jalan, misalnya sewaktu ke Cina atau ke Eropa. Selain itu, saya juga sering menjalani liburan singkat yang hanya memakan waktu beberapa hari. 

Baru-baru ini saya menemukan istilah untuk apa yang sering saya lakoni ini: liburan mikro. Dan ini berbeda dengan liburan akhir pekan. Liburan mikro ini biasanya berkisar empat hari atau kurang dari itu. Saya suka ini. Bila saya lihat kembali, ada alasan tersendiri kenapa liburan mikro ini mantap.

Untuk menjelaskan ini dengan baik, mungkin saya jabarkan dulu masalah yang saya hadapi dengan liburan yang terlalu panjang: pudarnya faktor pesona dan juga problem makanan. Saya ingat dengan apa yang saya rasakan waktu mendarat di Jenewa: "wow, akhirnya ke Eropa lagi. Gedungnya, makanannya, budayanya. Wow!" Tapi di penghujung liburan, beberapa kota terakhir terasa sama: pemandangan kota tua di tepi sungai. Dan makanannya! Tidak peduli betapa lezatnya makanan Jepang atau India, setelah seminggu lebih saya merindukan masakan yang saya kenal baik di Singapura.

Dan inilah yang membuat liburan mikro terasa berbeda. Liburan ini singkat, padat dan tepat guna waktunya. Oleh karena itu saya tidak sempat merasakan kelelahan yang timbul setelah berada terlalu lama di suatu negara. Ketika liburan usai, tidak banyak pekerjaan kantor yang menumpuk, haha. 

Contoh terkini adalah liburan ke Seremban. Ini adalah waktu santai yang pas. Selama liburan, saya berkesempatan untuk menjadi diri saya apa adanya, juga menikmati kebersamaan dengan teman lama, eksplorasi makanan dan tempat-tempat baru bersama, bercerita dan tertawa, semua ini sangat menyejukkan kalbu. Tidak ada kesan terlalu lama. 

Ini tidak berarti bahwa saya menentang liburan panjang, tapi perlu saya tekankan bahwa rasa dan ekspektasinya berbeda. Apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah kenapa saya menyukai liburan mikro. Saya suka kecepatan dan efisiensinya. Hasilnya pun sangat mujarab. Saya kembali ke realita, tersembuhkan dari kelelahan dan memiliki perspektif yang baru dalam menyikapi hidup ini. Hal inilah yang saya sukai! 

Sunday, July 6, 2025

The Doomscrolling

And we thought binge-watching on Netflix was bad! Like many others, I've also got my own addictions to battle. For example, I am still hooked by crackberry, even long after BBM ended (it was simply replaced by WhatsApp). It was a struggle to sit down and really make a conversation with a person in front of you, just like what I did with my wife when we had a dinner. Oh yes, dinner and drink were probably the few times I could totally put my phone down on the table. 

The Crackberry addiction...

Now, on top of the ongoing crackberry addiction, I began realizing a new pattern that I developed lately. Yes, scrolling down the newsfeed on Facebook was already part of my lifestyle for as long as I could remember. However, I couldn't help noticing that recently, I spent a lot of times watching those short videos on Facebook.

I just had to click one, let's say a snippet of Two and a Half Men, then from that point onwards, anything else that caught my attention would continue to appear. It could be a few minutes of stand-up comedy, then scenes of crocodiles in action (yeah, I am somehow fascinated by how unpredictable crocodiles are), a quick laugh with Everybody Loves Raymond, etc. And I'd keep scrolling down until I reached office. 

The reels on Facebook.

The biggest difference between the two behaviours described above is this: I could still stop scrolling down the newsfeed on Facebook. But those videos, it was as if there was this voice whispering to me, may be one more? By the time I reached Downtown Station, what felt like a harmless suggestion had turned out to be more than one video for sure. 

I remember reading a specific term about this before. When I cross-checked this on Perplexity AI, there were many names for the syndrome: infinite scroll, zombie scrolling and doomscrolling. They all basically meant the same thing: the unconscious act of scrolling through social media or other content, typically without a clear goal or endpoint.

Kinda spooky, though. I'm not a TikTok user, but I reckon it could be worse for them. Time for digital detox, perhaps? Maybe it's time to try out the Minimal Phone? Or probably I should wait a bit for the BlackBerry Classic revival in the form of Zinwa Q25? We shall see!

The Minimal Phone.



Kecanduan Digital

Dan kita dulu menyangka bahwa yang namanya binge-watching di Netflix itu tidak baik! Tak berbeda dengan orang lain, saya pun memiliki masalah kecanduan yang perlu saya atasi. Sebagai contoh, sampai hari ini saya masih terbelenggu crackberry, lama setelah BBM tamat (dan kini tergantikan dengan WhatsApp). Perlu perjuangan untuk bisa duduk dan benar-benar berbincang dengan lawan bicara, seperti halnya yang saya lakukan dengan istri saat kita makan malam di luar. Oh ya, acara makan dan minum adalah sekali-kalinya saya bisa mengabaikan telepon saya di meja. 

Kecanduan Crackberry...

Selain masalah ketergantungan crackberry, saya menyadari bahwa ada pola baru yang mulai saya jalani tanpa sadar. Membaca berita di Facebook adalah bagian dari hidup sejak penghujung dekade pertama di abad 21. Akan tetapi menghabiskan waktu menonton video singkat di Facebook adalah perihal baru yang tidak biasa. 

Saya cukup menekan satu, misalnya cuplikan Two and a Half Men, lalu apa saja yang menarik perhatian saya akan terus bermunculan, mulai dari beberapa menit komedi, lalu video tentang buaya (ya, entah kenapa saya selalu tertarik dengan tindak-tanduk buaya yang tidak bisa diprediksi), tawa singkat bersama Everybody Loves Raymond dan lain-lain. Saya akan terus membuka video berikutnya sampai saya tiba di kantor. 

Reels di Facebook.

Perbedaan paling mendasar dari dua prilaku ini adalah kontrol diri. Untuk berita Facebook, saya masih bisa berhenti. Tapi untuk video-video singkat ini, sepertinya ada suara yang berbisik, tak apa-apa, satu video lagi saja. Dan di saat saya tiba di Stasiun Downtown, saran bawah sadar itu membuat saya menghabiskan waktu melihat entah berapa banyak video selama perjalanan ke kantor. 

Saya ingat bahwa saya pernah membaca tentang hal ini sebelumnya. Ketika saya cari lagi menggunakan Perplexity AI, sindrom ini muncul dalam berbagai nama: gulir tanpa akhir, gulir zombi dan gulir hingga kiamat. Semua ini memiliki definisi yang kurang-lebih sama: perbuatan menggulir ke bawah tanpa sadar untuk melihat konten media sosial yang tidak jelas tujuannya dan tidak memiliki akhir. 

Agak seram juga nama dan penjabarannya. Saya bukan pengguna Tiktok, tapi saya jadi membayangkan, mungkin lebih parah lagi bagi mereka. Apa sudah waktunya untuk detoksifikasi digital? Ganti ke Minimal Phone? Atau mungkin tunggu sampai bulan depan untuk menantikan kembalinya BlackBerry Classic dalam bentuk Zinwa Q25? Hmm, mari kita lihat bersama-sama...

Minimal Phone.

Saturday, July 5, 2025

All The Money In The World

It was another Tuesday morning. Just like most of the people from my generation these days, I scrolled the newsfeed on my Facebook immediately I woke up. Soon I found myself staring at all the flags shown under the caption saying countries with lowest inflation rate. Bahrain captured my attention and I did some research on my Perplexity AI. For the Middle East standard, apparently Bahrain wasn't an expensive country. 

What I did just now reminded me of Australia and other countries I visited before. For a country with a currency weaker than SGD, Australia certainly was more expensive. On average, the meal was two times of what I would have paid in Singapore! So, no, Australia, didn't feel affordable. Perth was a nice place, though. And very generous with french fries.

Similar experience was felt in Hong Kong. I definitely felt the pinch the moment I traveled out from Shenzhen. Hong Kong was cramped and expensive. A tiny, costly hotel room as opposed to a much cheaper and spacious unit with living room that I had while I was in Shenzhen. China was generally okay, but Hong Kong was an exception!

India, on the other hand, was very cost friendly for SGD holders. The price of the Uber ride was so cheap that I couldn't help pressing the confirm button. It was the same feeling in Malaysia, especially Ipoh. The price was so unbelievably attractive that I wished I could have ordered ten Grab ride at one go.

Taiwan was also budget friendly. The most memorable moment I had was when I went through the Din Tai Fung bill. It was just about SGD 50. You certainly can't get this price for a family of four if you eat at any Din Tai Fung in Singapore!

Europe was a different ball game, though. The currencies, be it GBP, EUR or CHF, are stronger than SGD. Everything in UK and Western Europe also felt more expensive than Singapore. The time in Europe was one of the few times I felt inferior earning SGD. One consolation I had was the gelato. It was somehow much cheaper in Salzburg!

Brunei is unique because the currency is pegged to SGD at a fixed 1:1 exchange rate. I had this thought that it must be as developed as Singapore, too. Imagine my surprise when I visited the country. It was nowhere close to Singapore and somewhat comparable to Malaysia. I might be biased, but I couldn't shake of the feeling that things should have been cheaper in Brunei. 

Having said that, the rest of Southeast Asia, from Myanmar to Indonesia, was a good place for me to travel. It was so affordable. Good and cheap! Cambodia was probably the only other exception, as KHR had a fixed exchange rate and the country also used USD as a legal tender. When we entered Cambodia from Vietnam, some of us actually paid USD 1 just to use the toilet.

Overall, it's still pretty cool to earn SGD and spend it on another currencies. It was fun to feel like a king. Even when things were much more expensive for us, at least SGD was strong enough to cushion it, haha. That probably explained why traveling was an option, not a luxury...






Uang dan Nilai Tukar 

Di hari Selasa pagi, seperti kebanyakan orang di generasi saya, saya melihat-lihat Facebook begitu saya bangun. Ada satu gambar dengan banyak bendera yang memiliki tajuk negara-negara dengan tingkat inflasi terendah. Bendera Bahrain menarik perhatian saya. Riset pun segera dilakukan dengan Perplexity AI. Untuk ukuran Timur Tengah, ternyata Bahrain tidak tergolong mahal untuk dikunjungi. 

Apa yang baru saja saya lakukan ini mengingatkan saya pada Australia dan beberapa negara lain yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Untuk negara dengan mata uang lebih lemah dari SGD, Australia tidaklah murah. Secara rata-rata, harga sekali makan bisa dikatakan dua kali lipat dari harga di Singapura. Tapi Perth enak suasananya. Dan tempat makan di sana sangat murah hati dengan kuantitas kentang gorengnya. 

Pengalaman serupa terasa di Hong Kong. Perbedaan drastis ini dialami saat saya keluar dari Shenzhen. Hong Kong terasa padat dan mahal. Kamar hotelnya kecil, berbeda dengan kamar yang luas plus ruang tamu yang saya tempati di Shenzen. Rata-rata kota di Cina masih wajar harganya, tapi Hong Kong adalah pengecualian! 

Di sisi lain, India sangat terjangkau bagi pemegang SGD. Harga Uber di sana sungguh terasa murah, sampai-sampai saya menekan konfirmasi tanpa keraguan. Sama halnya pula dengan Malaysia, terutama di Ipoh. Harganya selalu membuat saya tertawa dan berharap seandainya saja saya bisa langsung pesan 10 mobil sekaligus. 

Taiwan juga ramah bagi yang ingin berhemat. Yang paling mengesankan adalah restoran Din Tai Fung. Hanya kisaran SGD 50 untuk makan siang. Harga segini sungguh mustahil bagi satu keluarga dengan dua anak yang bersantap di Din Tai Fung Singapura!

Kalau Eropa beda lagi ceritanya. Mata uangnya, mulai dari GBP, EUR atau CHF, lebih perkasa dari SGD. Segala sesuatu di Inggris dan Eropa Barat terasa lebih mahal dari Singapura. Satu hal yang sering terasa di Eropa adalah lemahnya SGD. Satu-satunya penghiburan yang saya temukan adalah gelato. Di Salzburg, harganya dua kali lebih dari Singapura. 

Brunei tergolong unik karena mata uangnya yang dipatok 1:1 dengan SGD. Saya jadi membayangkan bahwa negaranya pastilah semaju Singapura juga. Bayangkan betapa kagetnya saya pas tiba di sana. Negara ini lebih mirip Malaysia daripada Singapura. Saya mungkin bias, tapi berdasarkan apa yang saya lihat, saya jadi merasa seharusnya harga barang-barang di Brunei lebih murah.

Negara-negara lain di Asia Tenggara, mulai dari  Myanmar sampai Indonesia, sangat ramah bagi kantong saya. Murah dan terjangkau! Kamboja mungkin satu-satunya pengecualian karena KHR memiliki kurs tetap dan juga menggunakan USD dalam jual-beli. Ketika kita memasuki Kamboja dari Vietnam, beberapa di antara kita membayar mahal USD 1 hanya untuk kencing. 

Secara umum, pendapatan SGD dan pengeluaran menggunakan mata uang lain memang masih ok. Sedap rasanya saat menjadi seperti raja. Bahkan ketika segala sesuatu terasa lebih mahal, ketangguhan SGD sangat membantu dalam membendung kemahalan yang terasa. Mungkin ini alasannya kenapa berjalan-jalan adalah pilihan, bukan kemewahan...