Total Pageviews

Translate

Sunday, December 8, 2019

The Divorce

Indonesian netizens were once again busy with a much-publicized divorce of a controversial public figure recently. It was even compared with what Ahok went through in 2018. I remember that when I heard of Ahok's case, the first thing that came to my mind was the divorce of John Lennon and Cynthia. It just happened to be that way, but as you read on, it would be clearer why. 

More often than not, divorce is viewed as so wrong, taboo and negative that it has become a norm to condemn at least one party in the broken marriage, even without hearing the facts. To make it worse, most of the time, one gets to hear only the one-sided story, not the full picture. To think that it takes at least two people to break up a marriage. 

On the other hand, we probably don't want to listen the story, too. It's kind of awkward, really. Screenshots of a wife cheating on her husband were shown to me before and, after a short glance, I couldn't bring myself to read all of them. It was a very uncomfortable experience. It's like I was very much aware this was a private matter that I shouldn't get involved with. 

The more important thing is, yes, divorce is awful, but should a person be judged by it? Does it mean that, because of it, all the good a person had done were wiped off and suddenly he or she became a lesser person than they used to be? These questions were exactly why I immediately remembered John Lennon when I heard of Ahok's case.

By any definition, John was a flawed character. He was anything but a saint. But his divorce happened so long ago, it became a chapter I read about his life. What I remember about him the most are the songs he wrote and that's what counts. He was primarily a musician and that's how he's supposed to be remembered. 

Same goes for Ahok, though unlike John, his divorce was still fresh in mind. It actually hit me hard when I read about it on the news. Those who admired him were understandably disappointed. Those who hated him were having a field day. They got busy condemning him as a failure, some even went as far as saying, "he couldn't even take care of his family, how are we going to trust him to govern Jakarta?" 

Remembering John gave me a perspective to survive the bad news about my hero. Regardless what the reason behind it was, the divorce was something personal and it should stay that way. To me, the memories about Ahok would always be about what he had done for Jakarta. The positive changes he made and his exemplary leadership, those are his legacies. That's how he's supposed to be remembered, too.

Nobody in a right mind would have wanted a divorce, but when it happened, we just had to suck it up and live with it. Life is not a Disney Princess movie and it doesn't always end happily ever after. But it's not right when a divorce blinds us from the truth. Remember the person at his best, not what he failed to do. Divorce is never a problem and shouldn't stop us from appreciating what's good in others...

With "John Lennon" nearby the Cavern, Liverpool.
Photo by Evelyn Nuryani. 


Tentang Perceraian

Baru-baru ini netizen Indonesia dihebohkan oleh perceraian seorang tokoh agama yang kontroversial. Kasusnya bahkan dibandingkan dengan apa yang Ahok alami di tahun 2018. Saya jadi ingat kisah setahun yang lalu, ketika saya mendengar tentang perceraian Ahok. Saat itu, yang langsung muncul di benak saya adalah perceraian John Lennon dan Cynthia. Untuk memahami kenapa begitu, teruslah membaca. 

Seringkali yang namanya perceraian itu dipandang sebagai suatu kesalahan besar yang tabu dan negatif. Kita jadi sibuk mencela setidaknya satu pihak yang bercerai, meskipun kita belum tentu tahu apa sebenarnya penyebab perceraian itu. Kalau pun tahu, biasanya kita hanya mendengar cerita sepihak, bukan keseluruhan, padahal butuh dua orang atau lebih untuk membubarkan sebuah pernikahan. 

Di sisi lain, mungkin kita pun tidak mau mendengarkan kisah di balik perceraian tersebut. Rasanya sangat canggung. Suatu ketika saya pernah disodori screenshot percakapan seorang istri yang berselingkuh dan setelah saya lihat sekilas, saya langsung berhenti karena merasa bahwa sebaiknya saya tidak tahu. Lewat pengalaman yang tidak menyenangkan ini saya sadar bahwa ini adalah masalah pribadi yang sangat sensitif dan sebisa mungkin saya tidak ingin terlibat. 

Ya, perceraian adalah perkara yang emosional dan tidak mengenakkan, tapi yang lebih penting lagi, apakah seseorang lantas dihakimi karena bercerai? Karena seseorang bercerai, lantas kebaikan dan jasanya sirna begitu saja dan dia pun dicap sebagai orang yang buruk? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mengingatkan saya kembali pada John Lennon saat saya mendengar tentang kasus Ahok.

Dilihat dari sudut pandang mana pun, John adalah karakter yang tidak luput dari banyak kesalahan. Dia jelas bukan orang suci, tapi dia sangat manusiawi. Akan tetapi perceraiannya telah lama terjadi dan menjadi bagian dari kisah hidupnya yang saya baca. Apa yang senantiasa saya ingat tentang John adalah lagu-lagu yang ditulisnya dan inilah yang paling penting. John adalah seorang musisi dan dari karya-karyanyalah dia sepatutnya dikenang. 

Sama halnya dengan Ahok pula, meskipun perceraiannya baru terjadi setahun yang lalu. Jujur saya katakan bahwa berita tersebut membuat saya gundah. Semua yang mengaguminya pastilah merasa tidak percaya bahwa hal ini bisa terjadi. Mereka yang membencinya pun bagaikan mendapat kesempatan untuk menghujatnya. Mereka sibuk mencela, bahkan sampai mengatakan, "dia bahkan tidak bisa mengurus keluarga, bagaimana mungkin bisa mengurus Jakarta?"

Mengenang apa yang dialami John memberikan saya perspektif untuk menyikapi berita buruk tentang Ahok. Apa pun alasan di balik perceraiannya, itu adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan kita harus membiarkannya untuk tetap seperti itu. Bagi saya, jasa Ahok adalah apa yang telah dia lakukan untuk Jakarta. Perubahan positif dan teladan yang ia berikan adalah peninggalannya bagi kita. Sepak-terjang inilah yang seharusnya kita kenang. 

Tidak ada orang waras yang ingin bercerai setelah menikah bilamana bukan dikarenakan oleh hal-hal tertentu yang tidak terelakkan lagi, jadi kalau perceraian terjadi, kita sebagai orang luar hanya bisa menerima. Ini adalah kehidupan nyata, bukan film kartun Disney, jadi tidak selalu berakhir dengan kebahagiaan selama-lamanya. Kendati begitu, tidaklah tepat bila perceraian tersebut lantas membuat kita menilai rendah seseorang. Kenanglah orang pada saat ia berjasa, bukan saat ia gagal melakukan sesuatu dalam hidupnya...


Friday, December 6, 2019

Slowhand

I'm always ambivalent when it comes to Eric Clapton. He's such a legend that if we're into music, it's impossible not to know him. Yet at the same time, most of his stuff are very bluesy that I find them too heavy for my liking. Still I listened to him, watched him on TV, attended his concert and, recently, I was drawn into Eric again through a song called My Father's Eyes

I first knew Eric from my late uncle. It was in the 90s and the song was Tears in Heaven (I heard of Wonderful Tonight many times before because it was a popular karaoke song, but I didn't know it was written by Eric). I acknowledged it was a good song, but that was all. I only learnt about who Eric really was much later on, when I knew that he played lead guitar in While My Guitar Gently Weeps.

George Harrison (left) and Eric Clapton at the Carl Perkins show.
Photo: Dave Hogan/Getty Images. 

His relationship with George Harrison from the Beatles triggered my interest. I started reading about Eric Clapton. With graffiti from the 60s saying, "Clapton is God," there is no doubt about how good Eric is. But what's more mind-blowing is the fact that both guitarists once loved and married the same woman (George called him husband-in-law). After what they went through, they still stayed friends. Pattie herself eventually became the muse for three memorable hits: Something by George, Layla and Wonderful Tonight by Eric.

That bizarre relationship aside, I admire the friendship between them. Eric took the back seat and supported George with his band when the latter did his concert in Japan. To hear them guitar-duelling was a privilege of a lifetime! Then, when George died, Eric celebrated his life and music by organising Concert for George. Everybody, from Ravi Shankar to Paul and Ringo, was there. Thanks to Eric for making it happen.

Cream: Jack Bruce, Ginger Baker and Eric Clapton.
Photo: forgottenguitar.com.

Eric himself was, of course, a great artist in his own right. He had a long and remarkable career. He was the guitarist of Cream, the first super group ever (because each of them was an outstanding musician at that time, the cream of the crop). Jack Bruce played bass and Ginger Baker was the drummer. Yes, I watched the band on YouTube and listened to the music before, but I'm afraid I can't appreciate it, haha. 

In short, his early stuff are neither pop-oriented nor a straight rock and roll, but if you enjoyed blues, you would probably like them. That's why I was feeling lost when I attended his concert in Singapore. I didn't recognise most of the songs he was playing. It also didn't help that, unlike Paul McCartney in concert, Eric wasn't very interactive. I only knew Layla that got us up on our feet (the intro was so energetic that the audience couldn't help it) and Wonderful Tonight that made lovely couples dance.

Eric Clapton - Singapore, 13 Jan 2007
Image Credit: polscoecottage.co.uk 

As a guitarist, Eric's style was unique. He was not exactly a rocker that got busy on stage like Slash from Guns N' Roses. Eric was calm, often just stood there and, for the lack of better expressions, be soulful. But he was good, extremely good. Close your eyes and listen to his solo on Tears in Heaven. It was so beautiful that you could feel his pain of losing his son. 

Same goes for My Father's Eyes. I was into the song recently, probably because I subconsciously missed my father. The song is upbeat. You can sense a slight worry and pessimism when the song begins, but carry on listening and you'll feel it is going to be alright. I like the part when Eric sang, "bit by bit, I've realised that he was here with me and I looked into my father's eyes." Then of course there was the guitar solo that is preceded by a couple of strumming. When it starts, you'll understand why the graffiti said Clapton is God. It's because he plays only the right notes...

PS: just in case you are wondering why the title is Slowhand, that's his nickname. Eric is a fast guitar player. It was due to his habit of pausing and changing broken string on stage that he earned the nickname. In Clapton - The Autobiography (2007), Eric said, "on my guitar I used light-gauge guitar strings, with a very thin first string, which made it easier to bend the notes, and it was not uncommon during the most frenetic bits of playing for me to break at least one string. During the pause while I was changing my string, the frenzied audience would often break into a slow handclap, inspiring Giorgio to dream up the nickname of 'Slowhand' Clapton."[1]

Footnote:
[1] https://www.whereseric.com/the-vault/biographical-information-eric-clapton/how-did-eric-clapton-get-his-nickname-slowhand

My Father's Eyes.


Slowhand 

Saya selalu merasa tidak yakin kalau berbicara tentang Eric Clapton. Dia adalah seorang legenda dan bila anda adalah pencinta musik, mustahil jika anda tidak pernah mendengar tentangnya. Akan tetapi lagu-lagunya condong berirama blues sehingga tidak terlalu cocok bagi saya. Kendati begitu, saya masih mendengarkan beberapa lagunya serta menonton pertunjukannya lewat Youtube dan juga secara langsung di konser. Belakangan ini, saya terpikat dengan lagunya yang berjudul My Father's Eyes

Saya pertama mendengar tentang Eric lewat paman saya kini yang telah meninggal. Saat itu adalah tahun 90an dan lagu Eric yang tenar pada waktu itu adalah Tears in Heaven (saya sering mendengar Wonderful Tonight karena ini adalah lagu yang populer di karaoke, tapi tidak saya ketahui bahwa lagu tersebut ditulis oleh Eric). Saya akui bahwa lagunya enak, namun hanya sebatas itu. Saya baru mengetahui siapa Eric Clapton sebenarnya saat saya menyadari bahwa pemain gitar di While My Guitar Gently Weeps adalah Eric.

Tulisan Clapton is God di London.

Hubungannya dengan George Harrison dari the Beatles memicu minat saya untuk mencari tahu. Saya pun mulai membaca tentang Eric Clapton. Ada kisah tentang tulisan di dinding pada tahun 60an yang berbunyi, "Clapton is God." Dari sejak dulu orang sudah mengakui kehebatannya, namun yang lebih mencengangkan lagi adalah fakta bahwa dua gitaris ini pernah mencintai dan menikahi wanita yang sama (karena hal ini pula George lantas berkomentar bahwa Eric adalah suami iparnya). Setelah apa yang mereka lalui, mereka masih bersahabat karib. Pattie sendiri menjadi inspirasi dari tiga lagu yang tersohor: Something yang ditulis George, Layla dan Wonderful Tonight yang merupakan karya Eric.

Di samping hubungan yang tidak lazim ini, yang lebih menarik perhatian adalah persahabatan mereka. Eric dan grupnya dengan senang hati menjadi band pengiring saat George menggelar konser di Jepang. Adalah suatu kesempatan langka bisa mendengar keduanya beradu gitar! Kemudian, tatkala George meninggal, Eric mengorganisir acara Concert for George untuk mengenang hidup dan musik George. Semua hadir di situ, mulai dari Ravi Shankar sampai Paul dan Ringo.

Eric dan Paul Mccartney di Concert for George. 
Foto: beatles.fandom.com

Eric sendiri adalah seorang musisi yang luar biasa. Karirnya panjang dan dashyat. Suatu ketika di zaman dulu, dia adalah gitaris Cream yang merupakan grup super karena setiap anggotanya adalah yang paling jago memainkan alat musik andalannya. Dua anggota lainnya adalah Jack Bruce yang memainkan bass dan Ginger Baker yang menabuh drum. Ya, saya menyaksikan grup ini dan mendengarkan musiknya di Youtube, tapi jujur saya katakan kalau grup ini tidak cocok untuk saya, haha.

Singkat kata, karya-karya di awal karirnya tidak bernuansa pop dan rock and roll. Jika anda menyukai blues, mungkin anda akan suka. Karena inilah saya merasa tidak mengerti saat menghadiri konsernya di Singapura. Saya tidak tahu lagu-lagu yang ia mainkan dan, berbeda dengan Paul McCartney, Eric tidak interaktif saat konser. Saya hanya mengenal Layla yang membuat semua orang berdiri karena intro lagunya yang energik dan menggugah. Lagu lainnya, Wonderful Tonight, membuat banyak pasangan menari dengan romantis.

Layla.

Sebagai gitaris, Eric unik gayanya. Dia bukan roker yang sibuk berjingkrak di atas pentas seperti Slash dari Guns N' Roses. Eric berpenampilan tenang, seringkali hanya berdiri di tempat dan larut dalam permainan gitarnya sendiri. Anda bisa coba memejamkan mata sambil mendengarkan gitar solonya di Tears in Heaven. Begitu merdu dan indah, sampai-sampai anda bisa mendengarkan kepedihannya saat kehilangan putranya. 

Sama juga halnya dengan My Father's Eyes. Saya sering mendengarkan lagu ini, mungkin karena tanpa sadar teringat dengan ayah saya. Iramanya mantap. Lewat liriknya, anda bisa merasakan kegalauan penulis di bagian awal lagu, namun tetap dengarkan dan anda akan merasa bahwa semuanya membaik. Saya suka bagian, "bit by bit, I've realised that he was here with me and I looked into my father's eyes." Lalu gitar solo yang didahului oleh kocokan gitar pun melantun. Di saat itu pula anda akan mengerti kenapa dulu ada tulisan Clapton is God di dinding. Karena dia hanya memainkan not dan nada yang tepat!

NB: jika anda bingung kenapa judul tulisan ini adalah Slowhand, nama ini adalah julukannnya. Akan tetapi jangan salah paham. Eric adalah pemain gitar yang cepat. Dia mendapat julukan ini karena kebiasaannya berdiri di panggung saat mengganti senar yang putus. Di dalam buku Clapton - The Autobiography (2007), Eric berkata, "saya menggunakan senar yang tipis pada gitar saya sehingga mudah untuk dimainkan, tapi tidak jarang pula senar itu putus saat saya bermain cepat. Sewaktu saya berhenti untuk mengganti senar, penonton akan bertepuk tangan dengan perlahan sehingga Giorgio pun memberikan saya julukan 'Slowhand' Clapton."[1]

Catatan kaki:
[1] https://www.whereseric.com/the-vault/biographical-information-eric-clapton/how-did-eric-clapton-get-his-nickname-slowhand

Kompilasi lagu-lagu terbaik Eric Clapton.




Sunday, December 1, 2019

The Last Ride

It's been a while since I wrote a blog post here. I remember writing one called GRAB: My Life. I once believed the online ride hailing services could lead to a properous life and increase my daily income, haha. But come to think of it again, it was awful. I'd been a Grabber for a year and a half, then I suddenly got fired from Grab because of my carelessness.

Needless to say, in the beginning of my career, I was a diligent Grabber. After a few months at Grab, I made a decent earning that was enough to pay the daily expenses. I was happy I could continue earning. It was like a tiny little goal in life came true. That year end, I got a substantial amount of cash deposited into my Grab account. I was happy when I withdrew it. Really happy, indeed. But that didn't last long.

Taking a break and hanging out with a friend.

In early 2019, I received a SMS that IDR 300K would be rewarded to me as a bonus from Grab. I thought it was real. Then I had a call and was told that in order to obtain the reward, I had to go to the ATM to transfer money. Silly me, I did what the caller said even though everything was so weird. Somehow the caller managed to convince me.

It was horrible, man. I lost IDR 800K instead of earning IDR 300K. I was so dumb and greedy. The worse part was, after I transferred the money, he still called and asked if anybody I knew had any ATM cards. I said I had no such knowledge, but he relentlessly asked me to get another ATM cards. Feeling helpless, I went to my wife's friend to borrow the ATM card and punched in the PIN number. Then the caller, I don't know how, said the ATM card didn't have money. From that moment onwards, I realised that I had been fooled. If I transferred the money successfully, let's say around IDR 30 millions, the con man would have gotten it and the money would disappear. What was I going to do? I was going to die, that was for sure!

A happier time with Grab.

I was damned. I'll never forget that day, but I now slowly repent by going to church and praying for my mental and spiritual health. I say only what's good for positive mindset. Good thing I'm an easy going guy with an ability to forget things easily. I hope you guys also have this attitude, haha. Then life went on and I returned to the Grab routines. But bad people were still out there to hurt me. I really bit the dust this time.

One night in September 2019, I suited up as a Grab rider and waited for orders. It was a quiet night and it had been quite late when an odd delivery order with the same pick up and destination address appeared. I thought, "finally," then I took the order, but when I arrived at the pick up address, there was no one. I contacted the customer but got no response. Much to my surprise, I received a call from someone who knew my personal data and my motorcycle's plate number. The caller did some verification and I believed he was somebody from Grab, so when he said my Grab account was locked and asked me for my login credentials, I just let him know. Then he said I didn't have to work for the rest of that night. I was advised to get some rest while my account would be unlocked in the morning.

When a friend managed to get Parno!

I went home afterwards. The next morning, I saw my face on the Facebook Page of Grab community in Pontianak! Darn! What the hell, my account was never locked, but it had been used by another bad user. After finding out, I went to the local office to explain what had happened. The officer there had warned and sent notifications to my account many, many times. The officer then gave me the final chance and tried creating a new account for me. It was too late.

By the way, before I was terminated by Grab, I had another call from this bad guy. This time I was really mad and told him that he was a fake client services guy, but he convinced me that he was a staff, then started asking me my number again. I was so gullible that I gave him what he asked for. Ohh, I was so stupid! How could I be so dumb? That night, I could see around IDR 50K. I thought it was all good, but my account was actually under the control of the bad person, because every time I got an order, the cashless payment vanished as it was withdrawn by him.

People who read this experience of Parno as Grabber, please beware and be cautious. Anyway, after I was fired, I was feeling down. But I didn't stop finding new hopes and finally I joined another online ride hailing services. A new job, something with yellow colour, haha!

Proudly posing in front of Grab Singapore office.



 

Thursday, November 28, 2019

The Seiko Moments

A watch can be many things, from fashion to a symbol of prestige. I certainly am the last person you'd call fashionable and I couldn't care less about being prestigious, but hey, surprise! I actually like wearing watch! No, it didn't have to be a fancy one that went into sleep mode when it wasn't being look at. Just the plain and simple good old fashioned one would do. 

The funny story about my watch is, I didn't really buy the timepiece I'm wearing. The last time I ever bought one (or two, as the recent photos discovery showed, haha) for myself was easily two decades ago, when I was still living in Pontianak. It was a second-hand watch from Eday. Always a trendsetter among us, he got this funky-looking black watch that I liked. I think I wore it until the rubber strap gave way. Then I bought a new, boring-looking one from Yoviana, another friend that happened to be a watch shopkeeper at that time. It didn't last very long, I'm afraid.

That black watch from Eday, worn during Parno's 20th birthday in 1999. 

I don't recall wearing a watch again until 2008. Yani gave me one for my birthday when I visited her in the Philippines. I remember going to Greenbelt in Manila to have the metal strap resized. It was a Seiko 5 watch, one that I would wear almost every day, through thick and thin, be it rain or shine. It was with me wherever I went, from Indonesia to United Kingdom

The automatic watch never gave me any problems since the day I wore it, but 10 years were probably long enough to wear it out. It might be coated with stainless steel, but it was still battle-scarred! Then, on the fateful Sunday, May 20, 2018, when I was carrying my younger daughter, one pin suddenly fell off, undoing the whole wrist strap, causing the watch to fall and smash on the pavement. The front glass cracked and my heart was broken.

That Seiko 5 moment in year 2009.

The watch had already been with me for so long that I would have gotten it fixed just for a sentimental reason. But before I could do that, my wife gave me a birthday present: another Seiko watch! A slightly bigger one with more features (that I never use), because apparently it was worth investing more on her husband than on her boyfriend. Just kidding, haha. 

From that moment on, I retired the old one and started wearing the new one instead. But 2018 was a different time, no pun intended, because people were talking about smartwatches now. I tried a step tracker, but I soon grew to dislike it. I hated tapping on the screen just to see the time and I was annoyed by the need to charge the watch. That's when I realized that what I liked best was the watch did its one and only job in no time (again, no pun intended).

Oh yes, if human is a creature of habits, then I love wearing the conventional watch due to the fact that it's the most practical way to tell time and date. Unlike my BlackBerry that may be hiding in my pocket or somewhere else, my watch is often right there on my wrist. I just have to tilt it a bit and voila! I know what time it is! Still the most elegant solution for an increasingly complicated life in a modern society!

The new and the old Seiko watches.


Saat-Saat Bersama Seiko

Yang namanya jam itu bisa berarti apa saja, mulai dari gaya sampai gengsi. Saya jelas bukan orang yang paling bergaya dalam hal mode, bukan pula orang yang perlu mengenakan sesuatu yang bergengsi, tapi saya senang memakai jam tangan. Tidak, saya tidak perlu arloji pintar yang bisa "tertidur" saat tidak sedang ditatap. Cukup jam tangan biasa saja.

Ada satu cerita tentang jam yang saya kenakan sekarang ini. Seiko ini adalah hadiah ulang tahun. Sudah lama saya tidak membeli arloji. Kali terakhir saya membeli jam tangan mungkin sekitar 20 tahun yang lalu, ketika saya masih tinggal di Pontianak. Jam tangan ini adalah bekas milik Eday (bisa dilihat di foto ulang tahun Parno di atas). Dari sejak dulu, dia memiliki selera bagus yang menjadi standar bagi teman-temannya. Jam hitam yang modis ini saya pakai sampai putus tali (strap) karetnya. Setelah itu saya membeli jam tangan yang membosankan modelnya dari Yoviana yang kebetulan saat itu bekerja di toko arloji. Seingat saya, jam tangan ini juga tidak berumur panjang, haha.

Di Kuching, tahun 2000, dengan jam dari toko yang dijaga Yoviana.

Semenjak itu, saya tidak pernah lagi memakai jam tangan. Di tahun 2008, Yani memberikan hadiah jam tangan saat saya mengunjunginya di Filipina. Saya ingat bahwa saya pergi ke kawasan perbelanjaan Greenbelt di Manila bersamanya untuk menyesuaikan tali jam dengan ukuran pergelangan tangan saya. Jam tersebut adalah Seiko 5 yang kemudian saya kenakan hampir setiap hari dan menyertai saya ke mana pun saya pergi, mulai dari Indonesia sampai Inggris

Jam tangan otomatis ini tidak pernah bermasalah sejak pertama saya pakai dan 10 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk usia sebuah arloji. Seiko 5 memang dilapisi dengan baja anti karat, tapi penuh goresan setelah satu dekade lamanya! Pada hari Minggu tanggal 20 Mei  2018, ketika saya sedang menggendong putri saya, arloji ini akhirnya menyerah dan copot talinya sehingga jatuh menghantam lantai berubin. Kaca depan remuk, demikian juga hati saya.


Di Boracay, Filipina, bersama Seiko 5. 

Jam tangan ini sudah begitu lama bersama saya sehingga sempat terlintas di benak saya untuk memperbaikinya demi kenangan terindah. Sebelum saya sempat mengunjungi tempat reparasi Seiko, istri saya kembali memberikan hadiah ulang tahun yang serupa: sebuah jam Seiko yang lebih bagus dan memiliki beberapa fitur (yang tidak pernah saya pakai). Kalau saya pikirkan lagi, memang masuk akal untuk menghamburkan uang untuk suami dibandingkan untuk pacar, haha. 

Sejak saat itu, jam yang lama akhirnya saya simpan dan yang baru pun mulai saya pakai. Akan tetapi tahun 2018 adalah era arloji pintar. Saya lantas mencoba memakai pengukur langkah yang juga berfungsi sebagai penunjuk waktu, namun saya merasa tidak nyaman karena harus menekan permukaan jam untuk melihat waktu. Selain itu saya juga tidak suka mengecas jam dari waktu ke waktu. Konyol rasanya. Dari situ saya jadi tambah yakin bahwa yang cocok untuk saya adalah penunjuk waktu yang tepat guna dan efektif dalam menunjukkan waktu.

Di Surabaya, 2019, saat mengenakan pengukur langkah.

Oh ya, bila manusia adalah makhluk yang bergantung pada kebiasaannya, maka saya menyukai jam tangan biasa karena ini adalah cara paling praktis untuk mengetahui tentang waktu dan tanggal. Berbeda dengan BlackBerry saya yang biasanya disimpan di saku, arloji saya senantiasa berada di pergelangan tangan saya. Saya cukup memutar lengan saya sedikit dan segera bisa saya lihat pukul berapa sekarang. Jam tangan memang masih merupakan solusi paling elegan di kehidupan yang kian rumit di zaman modern ini! 



Wednesday, November 20, 2019

Book Review: Around The World In 60 Seconds

First of all, yes, this is the same Nas Daily you might have seen on Facebook, so reading the book did feel like watching his videos in a writing form. Less visual, more imagination, though. And since the book was written after the videos were made, it was actually more reflective. Around the World in 60 Seconds was Nuseir Yassin looking back at the past 1000 days. 

A lot of good stuff here, especially if you are wondering how a young man could travel for almost three years without doing a 9-to-5 job (though we might have overlooked that travelling and making a video everyday was also a job). Spoiler alert: he was a boy from a middle class family, made it to Harvard and had a good job that paid extremely well before he began his journey. On top of that, he was a smart man inspired by Steve Jobs to do something different. The chemistry was right, the timing couldn't be better. 

I like the beginning, when Nas told the story of his childhood and the origin of the name Nas. To certain extent, I surely could relate with his story of how he grew up as an Arab in Israel and how he picked up English. The Rubik's Cube story was also very original and inspiring. I also like the part where he talked about the use of drones. Very insightful! When I looked at his photos again, those taken by drones literally gave a different perspective about how I saw things!

Such a background story made the following pages more interesting. You see, I only watched some of his videos prior to this and only remembered the ones about Armenia and Albania because my friends and I discussed which one of the two that we were going to visit. With such impressions in mind, I thought Nas was a travel vlogger. The book went on to show that he was much more than that. He was some sort of reporter and most importantly, he brought us the stories of humanity from around the world. 

His stories were good. I personally liked the chapters about India (yes, there is a little bit of India in everyone of us), Japan (totally agree that there are modern and underdeveloped countries, then there is Japan) and Singapore (I live here and it's interesting to see the country from his perspective). The chapter about the discrimination he experienced in Jerusalem reminded me of what I went through as a minority in Indonesia (his was worse, though). The section called Nas Moments is also brilliant, easily my favorite.

Granted, some of the stories felt like a wishful thinking, but the optimism was infectious. That, perhaps, is what we need these days. A good faith in humanity. Now, if the humbling experience of a man that just completed 1000 days of globetrotting doesn't inspire you in any way, I don't know what else will. Overall, good reading!

The latest addition on my book rack!


Ulasan Buku: Keliling Dunia Dalam 60 Detik

Kalau anda merasa kenal dengan orang di sampul buku, maka jawabannya adalah ya, ini adalah Nas Daily yang mungkin pernah anda lihat di Facebook. Membaca bukunya itu terasa seperti melihat video-videonya dalam bentuk tulisan. Dan karena buku ini ditulis setelah videonya dirilis, kesannya terasa lebih reflektif. Keliling Dunia Dalam 60 Detik adalah rangkuman Nuseir Yassin saat dia melihat kembali perjalanannya selama 1000 hari. 

Banyak hal-hal menarik di buku ini, terutama bila anda membayangkan bagaimana seorang anak muda bisa berkelana hampir tiga tahun lamanya tanpa memiliki pekerjaan tetap di kantor (walau kita mungkin lupa bahwa membuat video setiap hari juga sebuah pekerjaan). Sebagai bocoran, Nas berasal dari keluarga kalangan menengah, lulusan Harvard dan memiliki pekerjaan yang tinggi gajinya sebelum dia memutuskan untuk melanglang buana. Selain itu, dia juga seorang yang pintar, yang kemudian terinspirasi oleh Steve Jobs untuk melakukan hal yang berbeda. Latar belakangnya pas dan waktunya pun tepat baginya.

Saya suka awal cerita, ketika Nas mengisahkan tentang masa kecilnya di Israel dan asal mula nama Nas. Karena saya melalui peristiwa yang serupa, ada kesan tersendiri saat membaca bagaimana dia yang berdarah Arab tumbuh di Israel dan belajar bahasa Inggris. Cerita tentang kubus Rubik juga sangat unik. Bagian lain yang juga saya sukai adalah tentang drones. Sangat informatif! Ketika saya melihat foto-fotonya lagi, foto yang diambil dengan drones memberikan perspektif yang sungguh berbeda! 

Permulaan cerita yang menarik kian membuat halaman-halaman berikutnya memukau. Jujur saya katakan, sebelum ini, saya hanya melihat beberapa videonya. Saya hanya ingat video tentang Armenia dan Albania karena saya dan teman-teman pernah berdiskusi tentang negara apa yang hendak kita kunjungi tahun depan. Berdasarkan pengalaman tersebut, saya sempat mengira bahwa Nas adalah seorang vlogger tujuan wisata. Buku ini membuka wawasan saya tentang apa yang sesungguhnya ia kerjakan. Ternyata Nas itu tak ubahnya seperti wartawan dan dia membawakan kita berbagai cerita tentang kemanusiaan dari berbagai penjuru dunia. 

Cerita-ceritanya bagus. Saya sendiri suka dengan cerita mengenai India (ya, saya setuju kalau pengaruh India itu sedikit-banyak ada pada diri kita), Jepang (kategorinya tentang negara maju, negara berkembang dan Jepang terasa benar karena Jepang memang berbeda) dan Singapura (karena saya tinggal di sini dan senang membaca tentang Singapura dari sudut pandangnya). Satu bab tentang diskriminasi yang dialaminya di Yerusalem juga mengingatkan saya dengan apa yang saya alami sebagai kaum minoritas di Indonesia (tapi apa yang ia ceritakan rasanya lebih parah). Bagian yang bernama Nas Moments juga bagus dan merupakan favorit saya. 

Ya, beberapa ceritanya mungkin terasa terlalu indah untuk menjadi kenyataan, tetapi rasa optimisnya sungguh menular. Mungkin ini yang kita perlukan di zaman sekarang. Rasa percaya pada kemanusiaan. Jika pengalaman dari seseorang yang baru saja menyelesaikan perjalanan 1000 hari keliling dunia tidak membuat anda tergugah, saya tidak tahu lagi apa yang bisa membuat anda tersentuh. Secara keseluruhan, buku yang bagus untuk dibaca! 


Friday, November 15, 2019

Pacific Rim

As mentioned before, I'm not a fan of beaches, but from time to time, I do read about the neighbouring countries on the Pacific Rim. There are some that you might have heard of before, such as Fiji, Guam (a territory of the US) or even Vanuatu. I found them fascinating, mainly because these tiny dots are quite far from the nearest continent. I imagined it'd be like stranded in the middle of the ocean, but yet the islanders seemed to be doing fine. 

Of all these sovereign states, I always thought that I would visit New Caledonia one day. The French territory is easily the most beautiful and advanced country in the Oceania region. But it comes with the price. The flights to New Caledonia aren't cheap!

Kiribati.
Image from worldnomads.com

Kiribati is also interesting, but it was due to the fact that the country used to be split into two by the International Date Line (IDL). Back then, if you travelled to the eastern side of the country, suddenly you were one day behind simply because you crossed the IDL. 

Another one that caught my attention was Palau. I never realized that the island country's location is not exactly far from the Philippines and Indonesia, but yet I never heard of it until recently. It's famous for Rock Islands and Jellyfish Lake.

Palau.
Image from kayak.com

Then there is Nauru, the third smallest country in the world, right after Vatican and Monaco. Nauru is heavily dependent on Australia as it has almost nothing, but when I checked out the videos on YouTube, the Nauruans seemed to live quite a happy life down there. 

Closer to home is East Timor. I had mixed feelings about this country, because it used to be part of Indonesia. When I realized that two of my friends, Mul and William, actually went there before, I was intrigued. Why would they go there and what was it like? Curious, I asked about their experiences.

The International Airport of East Timor.
Photo by Mul.

They took different routes to get there. Mul flew directly from Jakarta to Dili whereas William stopped in Bali before making his way to Dili. Another alternative according to Mul was to travel from Kupang, East Nusa Tenggara. It took approximately eight to nine hours to reach Dili (and Mul did the reversed route when he returned to Indonesia). At the immigration checkpoint, they applied for visa on arrival (it's USD 30 these days). While Bahasa Indonesia still can be used in East Timor, rupiah isn't a legal tender note. English isn't widely spoken as the national language is Portuguese. 

Both of them had a rather memorable first impression. Mul said it was like entering an African country that one would see on National Geographic. It was hot, dry and dusty. William saw the UN helicopter when he landed. There were military and civilians from various NGOs in East Timor.

The seaside of East Timor.
Photo by Mul.

The country was underdeveloped and the view from airport to city was not dissimilar to small towns in Indonesia. The city centre was basically a strech of buildings on the street next to the seashore. No shopping malls, at least during the time when they visited Dili. The tallest building was four stories. The food was quite on the high side, roughly around USD 5 per meal.

As he was on a rather short business trip (only two days and one night) William had no time for sightseeing. Still he had unforgettable moments there. When he checked in to his hotel, he bumped into a fellow Teochew from Pontianak. In Dili of all places! To make it more astounding, his hotel was actually a cruise ship that was docking at the port! It's not everyday one could wake up with a brilliant sea view! William reminisced about the time he was on the ship deck. He saw a lot of fishing boats dotting the sea under the bright blue sky.

Cristo Rei of Dili.
Photo by Mul.

Mul was in Dili for work purpose, too, but he had more time there. He managed to visit Cristo Rei of Dili, the statue of Jesus, a major tourist attraction in town. Not much can be said about night time because Mul was advised not to go out after dark. The safety concern was real and valid. William recalled seeing bullet holes on the wall. 

And there was only so much they could tell about East Timor. Quite an experience, but probably not one that I would want to experience myself. From what they described, it might take years for East Timor to become a tourist destination. In the meantime, probably I should stick with New Caledonia...

The East Timor passport stamps.
Photo by Mul.



Pacific Rim

Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, saya bukanlah anak pantai. Kendati begitu, terkadang saya suka membaca tentang negara-negara tetangga yang berada di sekeliling Samudera Pasifik. Mungkin anda mengenal beberapa di antaranya, misalnya Fiji, Guam (yang merupakan kawasan Amerika Serikat) atau bahkan Vanuatu. Saya senantiasa merasa bahwa negara-negara ini menakjubkan, terutama karena pulau-pulau kecil ini jauh dari benua terdekat. Kalau saya bayangkan, rasanya seperti terdampar di tengah lautan, tapi para penghuni pulau-pulau ini sepertinya menikmati kehidupan mereka.  

Dari berbagai negara di Pasifik, saya berangan-angan bahwa suatu hari nanti saya akan ke New Caledonia. Negara yang termasuk dalam wilayah Perancis ini boleh dikatakan negara yang paling indah dan maju di kawasan Oceania. Masalahnya adalah, tiket ke sana mahal harganya!

New Caledonia.
Image from Pinterest.com

Kiribati juga menarik, tapi lebih dikarenakan oleh Garis Batas Penanggalan Internasional (IDL) yang dulunya melintasi negeri ini. Sebelum koreksi dilakukan di pertengahan tahun 90an, kita akan kembali ke satu hari sebelumnya begitu kita berkelana ke sebelah timur Kiribati dan melewati IDL. 

Negara lain yang juga menarik perhatian saya adalah Palau. Tidak pernah saya sadari sebelumnya kalo negara pulau ini berada di antara Filipina dan Indonesia. Palau terkenal dengan gugusan Rock Islands dan Danau Ubur-ubur.

Nauru.
Foto dari bbc.com.

Kemudian ada lagi yang namanya Nauru, negara terkecil ketiga di dunia, setelah Vatikan dan Monaco. Nauru yang luasnya hanya 21 km2 (34,5 kali lebih kecil dari Singapura) ini hampir tidak memiliki apa-apa dan sangat tergantung pada Australia, namun saat saya lihat YouTube, para penduduk Nauru terlihat gembira dengan kehidupan mereka di pulau kecil di tengah samudera.

Yang paling dekat dengan Indonesia adalah Timor Timur. Ada perasaan yang susah dijelaskan kalau bicara tentang negara ini, sebab Timor Timur merupakan bagian dari Indonesia dulu. Ketika saya mengetahui bahwa dua teman saya, Mul dan William, pernah ke sana, saya jadi tertarik untuk mendengarkan cerita mereka. 

Dua teman ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanan ke Timor Timur. Mul terbang langsung dari Jakarta sementara William transit di Bali sebelum lanjut ke Dili. Alternatif lain yang ditempuh Mul sewaktu pulang adalah perjalanan darat. Menurut Mul, rute Dili-Kupang (Nusa Tenggara Timur) membutuhkan waktu delapan sampai sembilan jam. Di imigrasi, pengunjung dengan paspor Indonesia perlu mengajukan visa on arrival (harganya USD 30 sekarang). Meski Bahasa Indonesia masih bisa dipergunakan Timor Timur, rupiah tidak lagi berlaku. Bahasa Inggris tidak dipergunakan secara luas karena bahasa nasional di sana adalah Portugis. 

Mul dan William memiliki kesan pertama yang tidak terlupakan. Mul merasa seperti memasuki negara Afrika yang dilihatnya di dokumenter National Geographic. Negara ini panas, kering dan berdebu. William melihat helikopter PBB begitu mendarat. Banyak militer dan orang asing dari berbagai NGO di sana. 

Timor Timur masih terbelakang dalam hal pembangunan. Pemandangan dari bandara ke kota hampir sama dengan Indonesia. Pusat kotanya hanya sederet gedung di jalan raya yang terletak di tepi pantai. Tidak ada mal di Dili pada saat mereka berkunjung ke sana. Bangunan paling tinggi hanya empat lantai. Makanan pun agak mahal, kira-kira sekitar USD 5 sekali makan. 

Karena pergi dalam rangka bisnis selama dua hari satu malam, William tidak sempat berwisata. Walaupun demikian, dia masih memiliki kenangan tersendiri di sana. Ketika dia registrasi di meja resepsionis hotel, dia bertemu dengan sesama orang Tiociu yang berasal dari Pontianak. Bayangkan, di Dili, negeri antah-berantah! Yang lebih mengesankan lagi, hotel tempat William menginap adalah sebuah kapal pesiar yang berlabuh di sana. Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan untuk bangun pagi dengan pemandangan laut yang luar biasa. William ingat betul saat dia berada di dek kapal, memandang laut yang dipenuhi dengan kapal-kapal nelayan yang berlayar di bawah langit biru.

Cristo Rei of Dili.
Foto oleh Mul.

Mul berada di Dili dalam rangka kerja juga, tapi waktunya lebih panjang di sana. Dia sempat mampir dan melihat Cristo Rei of Dili, patung Yesus yang merupakan atraksi turis di Dili. Karena alasan keamanan, Mul disarankan untuk tidak keluar hotel setelah hari gelap. William juga mendapatkan saran yang sama. Ketika dia bepergian dengan mobil, William ingat betul dengan lubang-lubang peluru di dinding gedung yang dilewatinya.  

Dan hanya inilah yang bisa mereka ceritakan tentang Timor Timur. Unik pengalamannya, tapi mungkin bukan sesuatu yang ingin saya alami. Berdasarkan deskripsi mereka, sepertinya butuh waktu lama bagi Timor Timur untuk siap menjadi tujuan wisata. Untuk saat ini, saya rasa New Caledonia masih merupakan pilihan yang tepat...


Friday, November 8, 2019

Untuk Adik-Adik Di STMIK Pontianak

Tulisan berikut ini terinspirasi dari foto-foto kunjungan siswa-siswi yang baru-baru ini dipos oleh Pak Sandy. Para remaja ini terlihat masih begitu muda sehingga saya jadi ikut membayangkan masa depan seperti apa yang membentang di hadapan mereka. Saya teringat bahwa dua dekade yang lalu, saya juga pernah berada di posisi yang sama, duduk di bangku mendengarkan kuliah dari Pak Sandy di STMIK Pontianak, tapi di gedung lama di samping Harum Manis.

Oh ya, beberapa bulan silam, saya sempat mampir ke kampus. Ada rasa senang di hati saat bertamu dan melihat perkembangan tempat dimana saya kuliah dulu. Jauh lebih bagus gedung dan fasilitasnya sekarang. Kalau saya ingat kembali, 20 tahun yang lalu adalah zaman yang sungguh berbeda. Hmm, mungkin saya bisa bercerita sedikit, seperti apa perbedaannya. 

Saya memasuki jenjang kuliah di tahun 1998, tepat di saat internet baru bermula di Pontianak. Dulu internet hanya bisa dipakai di tempat yang namanya warung internet dan proses registrasi satu email address di Hotmail membutuhkan waktu satu jam lamanya karena lambatnya koneksi internet. Yang namanya telepon genggam pada saat itu merupakan barang mewah yang cuma bisa dipakai untuk menelepon dan mengirim SMS. Era internet di handphone baru mulai setelah iPhone diluncurkan pada tahun 2007, sembilan tahun setelah setelah saya mengenal internet. 

Tahun ajaran pertama, 1998-1999.

Sebagai contoh lainnya, jaringan komputer itu bagaikan sesuatu yang abstrak. Dipelajari di kampus, tapi tidak jelas seperti apa bentuknya. Semuanya baru menjadi jelas setelah saya mendapat kesempatan untuk berkecimpung dan melihat langsung. Saat itu laboratorium komputer masih menggunakan Novell dan Windows 3.1. Sewaktu dua mahasiswa tingkat akhir melakukan upgrade ke Windows 2000 dan Linux Red Hat sebagai bagian dari skripsi, saya dan Pak Gat yang pada saat itu bekerja sebagai asisten lab pun turut dilibatkan. Itulah pertama kalinya saya mengerti, seperti apa jaringan komputer itu.

Bayangkan kehidupan kalian sekarang yang baru lahir setelah internet ada. Tumbuh besar dan terbiasa pula dengan yang namanya teknologi dalam genggaman tangan (tapi kalian mungkin tidak tahu apa yang namanya disket, haha). Kalian bukan saja memiliki kesempatan, tapi juga jauh lebih siap karena sudah terbiasa dengan kehidupan berinternet. Bagi kalian, internet ini bukan lagi barang mewah, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari. 

Saya tidak tahu bagaimana pola pikir anak muda sekarang, namun sebagai seseorang yang berasal dari Pontianak, saya ingin berbagi sedikit pengalaman dengan harapan agar kalian menjadi lebih tahu dan tidak lagi membuat kekeliruan yang sama. Dulu saya tidak memiliki gambaran seperti apa masa depan saya nanti, terlebih lagi karena saya tidak punya uang. Adalah tante saya, yang saat itu bekerja di Taiwan, yang memberikan saya uang untuk mendaftarkan diri di perguruan tinggi. Saya memilih STMIK Pontianak semata-mata karena teman dekat saya, Hendri Muliadi, mengajak saya untuk registrasi di sana.

Saya sering bingung saat kuliah karena tidak mengerti apa sebenarnya yang dijelaskan oleh dosen. Mata kuliah seperti keamanan komputer, pengolahan data terdistribusi atau jaringan komputer yang disebutkan di atas, semuanya dijelaskan secara teori. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa penerapannya. Satu-satunya yang terlihat jelas adalah mata kuliah pemrograman, sehingga muncul pemikiran bahwa setelah lulus kuliah, saya nantinya akan menjadi programmer. Saya jadi agak cemas, sebetulnya, sebab saya tidak menguasai programming dengan baik. 

Bersama bos dan rekan-rekan tim network dan web di Kalbe Farma.

Akan tetapi IT bukanlah tentang programming saja. IT mencakup banyak hal, mulai dari helpdesk, application support, email administrator, IT security, server team, network team, project manager dan lain-lain. Saya baru mengetahui hal ini di tahun 2002, sewaktu saya melamar kerja di Kalbe Farma yang memiliki kantor di Jakarta dan Cikarang. Kalau anda belum tahu mau jadi apa dan tidak mahir di programming, semoga sekarang lebih terbuka wawasannya dan bisa mengambil ancang-ancang untuk menekuni salah satu profesi di atas.

Oh ya, 17 tahun yang lalu, sesudah wisuda, saya hanya bercita-cita untuk kerja di Jakarta. Saya tidak terlalu pintar, tidak pula paham apa yang ingin saya kerjakan di bidang IT, maka dari itu impian saya pun tidak terlalu muluk. Namun jalan hidup saya ternyata tidak berhenti di situ dan membawa saya ke Singapura. Saya mulai dari bawah, dari seorang helpdesk hingga menjadi salah satu pimpinan IT regional di sebuah perusahaan sekuritas (anda bisa lihat detilnya di profil LinkedIn saya). Saya mendapat kepercayaan untuk memimpin tim yang terdiri dari orang Singapura, Malaysia dan India.

Jadi apa makna dari cerita di atas? Saya hanya ingin memberitahukan bahwa seseorang dari kota kecil bernama Pontianak yang merupakan lulusan STMIK Pontianak pun bisa bersaing di negara maju. Jangan pernah berkecil hati, tapi tekunlah dalam berusaha. Jika saya bisa, saya percaya bahwa anda yang lebih muda pasti bisa melangkah lebih jauh dan berbuat lebih banyak lagi. Satu pesan saya, selain mendalami apa yang anda pelajari di kampus, biasakan juga berbahasa Inggris. Ini penting. Tanpa Bahasa Inggris, anda tidak akan bisa berkiprah di luar Indonesia. Selamat belajar dan semoga sukses! Buktikan pada dunia bahwa lulusan STMIK Pontianak tidak kalah unggulnya! 

Makan siang bersama staf di Singapura.