Total Pageviews

Translate

Wednesday, July 31, 2024

Traveling With My Daughters

In our family, we don't always travel together. There are family trips, of course, but sometimes it could be solo trips, just me and my wife, the parent and friends, mother and daughters. I myself had done the father and daughter trip with Linda, but I never traveled with my younger daughter Audrey before, until recently. 

It was an achievement unlocked! Now I can safely say that in my life, I had travel with each daughter. Both gave me fulfilling experiences as a father. I had to be there as the adult who took care and loved them unconditionally, even when they didn't behave. It gave me a glimpse of what my wife went through everyday. It ain't an easy job, I can vouch for it! 

With Linda, at Supadio Airport. 

With Linda, it's always more straightforward. She's playful, a fun travel companion. She could be picky with food, though. A bit difficult when we were in Hong Kong, but it got better when we visited my hometown. Then again, it was two different eras. She was five when we had our first trip and she was 11 when the next one happened. In a way, I got a chance to see her change of personality. Still talkative, but now she enjoyed a good hotel and afternoon nap, haha. 

Audrey is the exact opposite of talkative. Our trip wasn't something that I planned, but something that I needed to do. Audrey is neither cranky or difficult, but she requires more attention and this can be exhausting. She also has this quirk of running towards convenience stores to buy ice cream or candy and she's lightning fast! Once Audrey is in the store, there'll be a lot of convincing to be done. Either that or I simply have to buy her something, haha.

Audrey at SATS Premier Lounge. 

As Linda's stories had been told before, I'd like to share a bit about the trip with Audrey. My brother-in-law passed away, hence the sudden trip to Tasikmalaya. It was noon when Audrey and I reached Changi. We had our meal at SATS Premiere Lounge and everything was fine until she saw the Cocoa Trees. She dashed in and stayed there until an uncle that was in the midst of floor sweeping took pity and gave me four chocolate candies. That got her moving again.

The flight to Jakarta was all right. As the matter of fact, Audrey had been good until we exited the Jakarta immigration and saw Circle K, the 7-Eleven equivalent in Jakarta. She wanted something, but I totally had no cash at all. It was the remaining of four candies that came to the rescue! Right after that, I managed to find the ATM that was working and I finally had some IDR in my wallet. Then we found ourselves waiting for Grab to Halim Station.

Few hours later, inside Whooosh. 

There was another convenience store at the station, but as we waited for our takeaway at HokBen, there wasn't much time left. I told her that we had to hurry and we ran to the platform as fast as we could. 36 minutes later, not long after we finished our meal, we changed train at Padalarang Station and headed to Bandung. Around 7.45 PM, we were already in our room at Harris Hotel. 

That concluded our journey for the day. Audrey had been good and she was rewarded with Häagen-Dazs when we went to the mall connected to Harris. But turned out that ice cream was more tempting than ramen, so I was the one that finished the meal I ordered for her. We returned to hotel, showered and called it a night. 

The next morning, I was wondering what was good for breakfast. Nasi uduk sounded like something she'd love to have, so I fired up Grab Food and ordered one from Nasi Kuning Ibu Leny. It was just a pack of good old nasi uduk, but it was oddly satisfying to see your daughter ate it heartily. It was like, okay, turned out that I was a quite a decent father that knew her daughter well. 

Finally met Mama again. 

The last three hours of our trip to Tasikmalaya was a car ride. We arrived safely and Audrey finally reunited with her mother. There was a sense of relief that I did a good job, but it wasn't the end of our adventure together. Audrey and I explored Tasikmalaya on the following morning and, as we followed Google Maps, we ended up in a small alley that was blocked by cockfight. I mean, there were literally two roosters fighting in the middle of the alley and we couldn't get through!

It was a good and fun memory, though. Linda and Audrey couldn't be more different. The former has a the same sense of humor as mine while the latter is the quiet one. Traveling with Linda is about leisure. Nothing fast-paced, just a relax trip. It also gives me chances to introduce the world to her from my perspective. With Audrey, I am more protective. I have to be. More tiring, but it's worth it. 

Linda and Audrey, on our way to Mirabellgarten. 

Now, how about travelling with a two of them? I foresee that it can be challenging, but I sort of did it last year. We were in Salzburg and Yani went for the Sound of Music tour, so both girls were with me. We lazed around in the room until it was time for us to meet Yani at Mirabellgarten. Audrey could be stubborn at times and it was one of the moments she chose to do so. She wouldn't budge and it was frustrating, but Linda helped persuading her sister as much as she could. 

So, yeah, I don't know how my wife does it so effortlessly, but traveling with two girls is a lot of work! If anything, it only makes me appreciate my wife even more. And if life is about creating memories, then the time when we were together was the time well-spent. The memories would live on. I hope. 

A moment with Linda. 



Berlibur Bersama Linda Dan Audrey

Di keluarga saya, kita tidak selalu berlibur bersama. Ya, tentu saja kita ada liburan keluarga, namun terkadang bisa saja liburan sendiri, hanya berdua bersama istri, bersama teman atau bisa jadi cuma ibu dan anak-anak. Saya sendiri juga pernah liburan ayah dan anak bersama Linda, tapi saja belum pernah jalan-jalan bersama Audrey sebelum bulan Juni lalu. 

Rasanya seperti prestasi tersendiri. Sekarang saya bisa berkata bahwa di dalam hidup ini, saya memiliki petualangan tersendiri dengan Linda dan Audrey. Dua pengalaman berbeda ini memberikan saya kepuasan sebagai seorang ayah karena saya harus menjadi orang dewasa yang menjaga dan menyayangi mereka tanpa pengecualian, bahkan di saat mereka sedang rewel. Hal ini juga memberikan saya kesempatan untuk melihat apa yang istri saya jalani setiap hari. Saya berani bersumpah bahwa ini bukanlah pekerjaan yang mudah! 

Bersama Linda di Bandara Supadio. 

Linda lebih gampang diajak jalan-jalan. Dia senang bercanda, tapi ada kalanya sulit dan pemilih saat makan. Menunya terbatas saat kita ke Hong Kong, tapi ada kemajuan sewaktu kita ke Pontianak. Namun perlu saya jelaskan pula bahwa pengalaman ini berdasarkan dua periode yang berbeda. Dia masih berumur lima tahun saat kita bepergian di tahun 2018 dan usianya sudah 11 tahun ketika saya membawanya pulang ke kampung halaman saya. Secara tidak langsung, saya berkesempatan melihat perubahannya dari bocah ke usia remaja. Linda masih aktif berbicara seperti dulu, tapi sekarang dia juga menikmati hotel bagus dan istirahat siang di kamar, haha. 

Audrey memiliki karakter yang bertolak belakang dengan kakaknya. Perjalanan kita bukanlah sesuatu yang saya rencanakan, tapi sesuatu yang harus saya lakukan. Audrey tidaklah rewel atau sulit, tapi dia memerlukan lebih banyak perhatian dan ini cukup membuat cape. Dia juga mempunyai kebiasaan berlari ke toko untuk membeli es krim atau permen dan dia luar biasa gesit! Kalau sudah berada di toko, susah untuk membujuknya keluar. Jalan pintasnya adalah membelikan apa yang dia mau, haha. 

Audrey di SATS Premier Lounge.

Karena cerita Linda sudah dikisahkan sebelumnya, saya ingin bercerita tentang Audrey untuk kesempatan ini. Adik ipar saya meninggal bulan lalu, jadi saya pun mendadak harus ke Tasikmalaya. Hari sudah siang ketika saya dan Audrey tiba di Changi. Kita makan siang di SATS Premiere Lounge. Semuanya berjalan santai sampai Audrey melihat Cocoa Trees. Dia lekas masuk dan berdiam di sana sampai seorang petugas toko yang sedap menyapu merasa iba melihat saya, lalu memberikan empat permen coklat. Audrey akhirnya berhasil disogok. 

Penerbangan ke Jakarta berjalan lancar. Audrey patuh sampai kita melewati imigrasi dan melihat Circle K di bandara. Dia ingin membeli sesuatu, tapi saya tidak mengantongi uang kontan sama sekali. Untung saja permen coklatnya masih tersisa. Segera setelah itu, saya menemukan ATM yang berfungsi untuk menarik rupiah. Selanjutnya kita menanti Grab yang membawa kita ke Stasiun Halim. 

Ada toko serupa lagi di stasiun, namun kita sudah menghabiskan waktu menunggu pesanan di HokBen sehingga sudah mepet waktunya dengan jam keberangkatan kereta. Saya katakan padanya bahwa kita harus bergegas dan kita pun berlari ke platform. 36 menit kemudian, seusai makan, kita berganti kereta di Stasiun Padalarang dan menuju ke Bandung. Sekitar jam 7.45 malam, kita sudah masuk ke kamar di Hotel Harris. 

Beberapa jam kemudian di dalam Whooosh. 

Perjalanan hari itu pun berakhir. Sebagai hadiah atas sikapnya yang lumayan penurut, saya membelikannya Häagen-Dazs. Ternyata es krim lebih menggiurkan daripada ramen, jadi saya yang akhirnya menyantap habis makanan yang saya pesankan untuknya. Kita lantas kembali ke hotel, mandi dan tidur. 

Keesokan paginya, saya berpikir tentang sarapan apa yang cocok untuk Audrey. Sepertinya dia suka nasi uduk, jadi saya pun pesan Nasi Kuning Ibu Leny lewat Grab Food. Hanya nasi kuning yang biasa disantap sebagai sarapan pagi, tapi puas rasanya melihat Audrey makan dengan lahap. Ada perasaan yang seolah-olah berkata, ternyata saya becus juga jadi ayah yang tahu makanan yang disukai oleh anaknya. 

Bertemu dengan Mama lagi.

Tiga jam perjalanan ke Tasikmalaya ditempuh dengan mobil. Kita sampai dengan selamat dan Audrey akhirnya bertemu lagi dengan mamanya. Akan tetapi petualangan kita belum berakhir. Audrey dan saya menjelajah Tasik menggunakan panduan Google Maps. Siapa sangka kita malah masuk ke gang kecil yang diblokir oleh sabung ayam. Maksud saya, tiba-tiba saja terlihat dua ayam jantan yang bertarung di tengah jalan sehingga saya ragu untuk lewat! 

Namun itu adalah pengalaman yang berkesan. Linda dan Audrey memang berbeda. Sang kakak memiliki selera humor yang sama dengan saya sementara adiknya sangat pendiam. Berlibur bersama Linda boleh dikatakan santai. Tidak ada kejar setoran dan saya berkesempatan untuk memperkenalkan dunia lewat perspektif saya padanya. Dengan Audrey, saya lebih protektif. Lebih melelahkan, tapi wajib dilakukan. 

Linda dan Audrey, dalam perjalanan kita ke Mirabellgarten. 

Namun bagaimana halnya bepergian bersama mereka berdua? Saya rasa akan sangat menantang, tapi saya pernah mengalami versi singkatnya di tahun lalu. Waktu itu kita berada di Salzburg dan Yani ikut tur the Sound of Music, jadi anak-anak pun tinggal bersama saya di hotel. Kita bersantai di kamar sampai tiba waktunya untuk menjumpai Yani di Mirabellgarten. Ada kalanya Audrey itu keras kepala dan di hari itu sikapnya muncul. Dia tak mau beranjak dan sangat membuat frustrasi. Namun di satu sisi saya melihat bahwa Linda juga tidak tinggal diam, melainkan ikut membujuk adiknya.

Jadi, ya, saya tidak tahu bagaimana istri saya bisa membuat semuanya terlihat mudah, tapi bepergian dengan dua anak itu tidaklah segampang yang dibayangkan. Setelah mengalaminya sendiri, saya jadi kian apresiasi terhadap upaya istri saya. Dan jika hidup adalah tentang membuat kenangan, maka kebersamaan kita adalah waktu yang dihabiskan dengan baik. Kenangan itu akan hidup selamanya. Saya harap begitu. 

Sunday, July 21, 2024

Book Review: The Kite Runner

A friend of mine, the same one who went to Syria last year, is going to Afghanistan. When he told me that he had bought the tickets, I found myself browsing Wikivoyage, my favourite website for traveling. As I read about Afghanistan, I saw the section about recommended books. I checked those books on the library app and the fourth title was available. It was a novel called the Kite Runner.

I didn't have much expectation, but the book turned out to be almost as engaging as Harry Potter. The first part was about the friendship of Amir and Hassan, two boys from different ethnicities and social status who lived in the same house. The former was the master, the latter was the servant. The story was told from Amir's point of view.

I like the way the author took his time to educate the readers about Afghanistan. There was a time when Afghanistan was fine, though the tensions and differences were always brewing there: the Sunni and the Shi'a, the Pashtuns and the Hazaras. This information was added bit by bit to bring the story forward. It was humorous at times, coupled with a childlike innocence, until it took a sharp turn right before Afghanistan changed. 

The second part was about Amir and his father escaping from Kabul to Peshawar in Pakistan. The next thing we knew was his time as a young man in the US. Not exactly exciting, but a bridge needed by the story before the final adventure back in Pakistan and Afghanistan. Yes, he could run away to America, but his past would eventually catch up with him. 

Then came the last part, the story about his long lost friend Hassan and Amir's encounter with the Taliban. Amir was on a mission that brought him back to Kabul. Lots of twists and turns here, some weren't expected at all. Last but not least, it closed all the loops and reminded us again, why the book was called the Kite Runner. 

PS: my friend Hendra Wijaya told me that there was a movie based on this book, so I immediately watched it after I finished reading. While the movie followed the storyline quite faithfully, it felt rushed and some parts were omitted. I'd say that the movie painted a better picture, but the book told a better story. Overall, highly recommended. 

The Kite Runner.



Ulasan Buku: Pengejar Layang-layang

Teman saya, yang tahun lalu ke Syria, akan pergi ke Afghanistan. Saat saya dikabari bahwa dia telah membeli tiket, saya jadi tergelitik untuk membaca tentang Afghanistan di Wikivoyage, situs favorit saya tentang bepergian ke manca negara. Di situ tertera daftar buku bacaan yang direkomendasikan, jadi saya pun mencari tahu apakah ada yang tersedia di perpustakaan. Buku ke-empat, sebuah novel berjudul Pengejar Layang-layang, berhasil ditemukan.

Saya tidak memiliki ekspektasi apa-apa saat mulai membaca, tapi siapa sangka buku ini menarik sepertinya halnya Harry Potter? Bagian pertama adalah tentang persahabatan Amir dan Hassan, dua bocah yang berbeda etnis dan status sosial, namun tinggal di rumah yang sama. Amir adalah majikan, Hassan adalah pembantu. Ceritanya ditulis dari sudut pandang Amir. 

Saya suka gaya penulisan yang memperkenalkan budaya dan situasi Afghanistan pada pembaca lewat cerita. Afghanistan juga pernah menjadi negara yang damai, meski perbedaan itu selalu ada dan siap bergejolak: ada Islam Sunni dan Shi'a, ada etnis Pashtun dan Hazara. Semua informasi ini disisipkan sedikit demi sedikit. Ceritanya terkadang lucu dan polos, sampai semua itu sirna bersamaan dengan berubahnya Afghanistan. 

Bagian kedua berkisah tentang perjalanan hidup Amir dan ayahnya yang melarikan diri dari Kabul ke Peshawar di Pakistan. Kemudian dia pindah dan tumbuh dewasa di Amerika. Bagian ini agak datar, namun diperlukan untuk menjembatani cerita sebelum tokoh utama kembali ke Pakistan dan Afghanistan. Ya, dia bisa saja meninggalkan kehidupan sebelumnya dan hijrah ke Amerika, tapi masa lalu kembali mendatanginya.

Kemudian tibalah bagian terakhir yang kembali mengisahkan tentang Hassan. Selain itu Amir juga kembali ke Kabul yang kini dikuasai oleh Taliban. Banyak kejutan di sini dan beberapa di antaranya di luar dugaan. Di akhir cerita, semua alur dituntaskan dan pembaca pun diingatkan kembali, kenapa buku ini berjudul Pengejar Layang-layang. 

Catatan kaki: Teman saya Hendra Wijaya memberitahu bahwa ada film yang dibuat berdasarkan novel ini, jadi saya lekas menonton setelah menamatkan bukunya. Film keluaran tahun 2007 ini mengikuti alur di buku dengan cukup setia, tapi terasa tergesa-gesa dan beberapa bagian dihilangkan pula. Bila dibandingkan, film memang memberikan visual tentang cerita, tapi novel bisa bercerita dengan lebih baik. Direkomendasikan untuk membaca. 

Monday, July 15, 2024

Book Review: The McCartney Legacy: Volume 1

I read a similar book about the Beatles back in 2013. I remember it well because the book called Tune In by Mark Lewisohn was unusually thick (944 pages) and it covered only the first few years of the Beatles. It was all the more memorable because I was in Bangkok, reading the book in my room while taking care of my daughter who had high fever. Her mum was taking a day off, exploring the city with her siblings.

11 years later, I discovered the McCartney Legacy: Volume 1: 1969 - 73. The book had 720 pages, not as thick, but equally comprehensive. It began in 1969, starting from Get Back that eventually became Let It Be. It was quite in-depth, peppered with tiny details I never knew before. It was exciting, but the excitement lasted only until the Beatles disbanded. 

In 1970, John, Paul, George and Ringo went their separate ways. The book did well in revealing Paul's darkest days after the Beatles. It hit him the hardest, for he loved being a Beatle and yet he had to be the one to publicly quit the Beatles, much to John's chagrin. And it was quite an ordeal before he managed to pull himself up again, with a lot help from Linda. 

But then it got less interesting from here onwards. As I continued reading, I realized that I didn't really care much about Wings and its members. Yes, people like Denny Seiwell and Henry McCullough were talented, but they were pretty much Paul's sidekicks. To make it more obvious, the band was sometimes billed as Paul McCartney and Wings. As a comparison, back when he was a Beatle, Paul was simply one of the guys and the four of them were equally interesting.

So apart from learning the history of songs from post-Beatles era such as Maybe I'm Amazed, My Love and, of course, Live and Let Die, the best part of the book got to do with Paul's interaction with John, George and Ringo. The last bit that talked about Band on the Run and its recording sessions in Lagos was great, though.

Overall, I think the writers did a good job compiling the story. It's not their fault that most of it aren't that interesting, because as good as Wings were, the Beatles were a tough act to follow. It is just impossible to tell a good story right after the greatest story ever told. 





Ulasan Buku: The McCartney Legacy: Volume 1

Di tahun 2013, saya membaca buku serupa tentang the Beatles. Saya ingat betul karena buku berjudul Tune In karya Mark Lewisohn ini tergolong sangat tebal (944 halaman) dan hanya bercerita tentang beberapa tahun pertama karir the Beatles. Kenangan itu kian membekas karena saat itu saya membaca di kamar hotel sambil menjaga putri saya yang demam. Kala itu istri saya dan saudara-saudarinya berjalan-jalan menjelajah kota Bangkok. 

11 tahun kemudian, saya menemukan The McCartney Legacy: Volume 1: 1969 - 73. Buku ini setebal 720 halaman dan sangat detil pula. Kisahnya dimulai di tahun 1969, mulai dari Get Back yang akhirnya berubah menjadi Let It Be. Banyak cuplikan cerita yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya, jadi buku ini seru di bagian awal sampai bubarnya the Beatles. 

Di tahun 1970, John, Paul, George dan Ringo berpisah. Buku ini lantas mengisahkan hari-hari Paul yang depresi setelah the Beatles usai. Dia sangat terpukul terutama karena dia senang menjadi seorang Beatle, tapi dia pula yang harus mengumumkan bahwa dia telah berhenti dari grup, satu hal yang membuat John jengkel. Dan hari-harinya terasa tidak berarti sampai akhirnya dia bangkit lagi dengan bantuan istrinya, Linda. 

Namun justru cerita menjadi kurang menarik setelah Paul memulai lagi dari awal. Semakin dibaca, semakin saya menyadari bahwa saya tidak peduli dengan Wings dan anggotanya. Ya, musisi seperti Denny Seiwell and Henry McCullough memang berbakat, tapi mereka lebih condong seperti pemeran pembantu. Dan kesan itu diperkuat dengan nama grup yang kadang disebut Paul McCartney dan Wings. Sebagai perbandingan, saat dia masih seorang Beatle, Paul cuma satu dari empat karakter yang sama-sama memiliki pesona dan daya tarik. 

Selain informasi tentang sejarah lagu-lagu setelah era the Beatles, misalnya Maybe I'm Amazed, My Love dan Live and Let Die, bagian yang juga cukup menarik adalah interaksi Paul dan John, George serta Ringo. Beberapa bab terakhir yang bercerita tentang Band on the Run dan sesi rekaman di Lagos juga seru untuk dibaca.

Secara keseluruhan, saya kira dua penulisnya sukses dalam merangkum cerita sedetil ini. Bukan salah mereka kalau sebagian ceritanya kurang menarik. Meski Wings populer di zamannya, tidak gampang bagi mereka untuk menandingi the Beatles yang fenomenal. Siapa pun pasti akan kesulitan melanjutkan cerita setelah kisah paling inspiratif yang pernah terjadi di tahun 60an.  

Monday, June 24, 2024

The Longest Trip To Tasikmalaya

There are news you don't wish to know right before you sleep. In my case, it was disturbing to read that my mother-in-law started getting ready for her son's funeral. I was worried that I'd wake up to a really bad news. And that's exactly what happened. So bad that I was emotionally overwhelmed when I heard my wife crying on the other end of the phone. 

After that, I made a couple of phone calls and sent a couple of texts. I, too, needed to prepare. Linda stays back in Singapore. She is doing P6 now and school is about to start. Audrey could skip school, so I booked last minute tickets to Jakarta for both of us. Thus began the longest trip ever to Tasikmalaya. 

As Roadblog101 is heading into its eighth year, I guess it's pretty much established that I love traveling. But this one felt different. It was going to be done with a weary heart. Just the thought of traveling from Singapore to Bandung via Jakarta before resuming another 3-hour journey on the following morning was exhausting.

Audrey and I as we began our journey. 

But it also gave me time to look as far back as 2005. Almost two decades ago. That was probably the first time I met my future brother-in-law. He was an architect. Academically smart, but not exactly a serious type. He was blessed with a quirky sense of humor that always made his siblings laugh. It was as if he didn't even try. His honest answer was somehow funny. 

I remember asking what he usually did during the weekend, when he was growing up in a small town named Tasikmalaya. Much to my surprise, he said he used to spend time with friends at the church. I found it quite hilarious as none of my friends that I hung out with really did that. But I knew there and then he was a nice person.

Visiting Chinese Garden. 

A year later, he visited me in Singapore. I just managed to find a job after so much uncertainty during the transition, so it was good to see familiar faces from the previous phase of my life. We went to places such as Chinese Garden and Snow City. The time he slided down from the snow slope and accidentally hit the Snow City staff was just unforgettably funny. 

We still met whenever we had chances, be it in Tasik, Bandung or Jakarta. I attended his wedding banquet and he was there the day I got married. Together with almost all of his siblings, we went to Bangkok to support my father-in-law as he participated in the Standard Chartered half marathon at the age of 72. 

In Bangkok, right after the half marathon. 

My wife and I also welcomed him when he visited Singapore again. I was someone he knew during his first visit, someone who was hopelessly in love with his sister. He was a family man and I had been his brother-in-law for six year during his last visit. It'd been quite a journey for us.

Then came the Chinese New Year earlier this year. His birthday happened to be on the same day as the reunion dinner. A happy occasion and he was in a good mood, considering all the bad news he had to go through for the past two years. Little did we know it would be his last celebration. 

Birthday celebration. His birthday was the same Audrey's!

He was ill again four months after that. We still talked, though. I even included Gunawan so that he felt motivated and looked forward to his Penang trip. But it wasn't meant to be. Three days after our conversation, his life took turn for the worse. He was brought back to life twice with CPR, but no more miracle when his heart rate monitor went flat line for the third time. 

So there I was today to pay respect and have a glimpse of him for one last time. It was very surreal to see him lying there, motionless and lifeless. Earthly life is fragile indeed. But as I talked to my wife, she mentioned that he was the funniest among the siblings. I was stunned. That's exactly how I felt, too! 

So rest in peace, Brother-in-Law. For the fact that your sister and I could only think of the same thing, you must have left behind the memorable times that we cherish so much. In my book, that's a life well-lived. 



Perjalanan Panjang Ke Tasikmalaya

Ada kabar tertentu yang kiranya tidak ingin kita ketahui sebelum kita tidur. Dalam konteks ini, saya jadi risau saat membaca tentang ibu mertua saya yang berkata bahwa hendaknya kita mulai menyiapkan keperluan rumah duka putranya. Rasanya akan terdengar kabar buruk saat saya bangun nanti. Dan benar saja, itulah yang terjadi. Saya jadi ikut merasa emosional saat mendengar istri saya terisak di telepon. 

Setelah itu, saya menelepon dan mengirimkan beberapa pesan lewat WhatsApp. Saya juga perlu bersiap-siap. Linda harus tetap tinggal di Singapura. Dia sudah kelas enam sekarang dan liburan sekolah baru saja usai. Audrey bisa bolos, jadi saya pun memesan tiket ke Jakarta untuk berdua. Perjalanan panjang ke Tasikmalaya pun bermula. 

Roadblog101 kini memasuki tahun ke-delapan. Dari cerita-cerita yang sudah ada, saya rasa sudah jelas bahwa saya suka jalan-jalan. Akan tetapi yang satu ini terasa berbeda. Ada rasa berat dan lelah di hati sebelum perjalanan dimulai. Saat saya membayangkan perjalanan dari Singapura ke Bandung lewat Jakarta yang kemudian dilanjutkan dengan tiga jam lagi ke Tasik pada keesokan paginya, saya jadi kian letih. 

Audrey and I as we began our journey. 

Tapi panjangnya perjalanan juga memberikan saya kesempatan untuk melihat kembali ke tahun 2005. Sudah hampir dua dekade lamanya. Di tahun tersebut saya bertemu dengan calon adik ipar saya untuk pertama kalinya. Dia adalah seorang arsitek. Dia pintar secara akademis, tapi bukan merupakan tipe yang serius. Selera humornya unik dan selalu membuat adik-adik dan kakaknya tertawa. Dia tidak terlihat seperti berusaha melucu, tapi jawabannya yang polos itu mengundang gelak tawa.

Saya ingat ketika saya bertanya, apa yang biasanya dia lakukan di akhir pekan, saat dia masih anak sekolah di Tasikmalaya. Di luar dugaan, jawabannya adalah menghabiskan waktu bersama teman-teman di gereja. Saya jadi tercengang sekaligus tergelitik, sebab rasanya tidak ada teman-teman saya di Pontianak yang seperti ini. Namun saya jadi tahu bahwa dia ini baik kepribadiannya. 

Mengunjungi Chinese Garden. 

Setahun kemudian, dia mengunjungi saya di Singapura. Kala itu saya baru saja dapat kerja setelah masa transisi yang penuh ketidakpastian, jadi senang rasanya bisa bertemu dengan wajah-wajah yang saya kenal dari fase kehidupan saya yang sebelumnya di Jakarta. Kita mengunjungi tempat-tempat seperti Chinese Garden dan Snow City. Ada kenangan lucu sewaktu dia meluncur turun dan tanpa sengaja menabrak karyawan Snow City sampai pingsan, haha. 

Setelah itu, kita masih bertemu di beraneka kesempatan, entah itu di Tasik, Bandung atau Jakarta. Saya menghadiri pernikahannya dan dia tentu saja hadir saat saya menikah. Bersama dengan hampir semua adik-adiknya, kita ke Bangkok untuk mendukung ayah mertua saya yang mengikuti setengah maraton di usia 72. 

Di Bangkok, setelah setengah maraton selesai. 

Saya dan istri menyambut kedatangannya saat ia mampir lagi ke Singapura. Saya adalah seorang kenalan yang jatuh cinta dengan kakaknya ketika dia pertama kali ke Singapura. Di kali terakhir ke Singapura, dia adalah seorang kepala keluarga dan saya adalah abang iparnya selama enam tahun terakhir. Satu perjalanan hidup telah kita tempuh sampai sejauh ini.

Kemudian tibalah Tahun Baru Cina di awal tahun ini. Ulang tahunnya bertepatan dengan makan besar keluarga. Itu adalah hari yang gembira dan dia terlihat riang, terutama setelah berbagai berita buruk yang harus dia jalani selama dua tahun terakhir. Tak pernah kita sadari bahwa itu akan menjadi perayaan ulang tahun yang terakhir baginya. 

Perayaan bersama Audrey karena hari ulang tahunnya sama.

Dia sakit lagi empat bulan kemudian. Kita masih sempat berbincang dan saya bahkan memperkenalkan Gunawan supaya dia bisa bertukar cerita dan memotivasi adik ipar saya untuk berobat lebih lanjut ke Penang. Siapa sangka semua itu buyar begitu saja. Tiga hari setelah percakapan kita, kondisinya memburuk. Ketika monitor jantung kembali menunjukkan garis lurus untuk ketiga kalinya, hidupnya pun berakhir. 

Jadi di kampung halamannya saya hadir hari ini untuk memberikan penghormatan terakhir. Saya sempat berdiri di samping peti untuk melihatnya. Sulit untuk percaya bahwa dia terbujur kaku di dalamnya, tak bergerak dan tak lagi hidup. Dunia fana memang rapuh. Sewaktu saya mengobrol dengan istri saya, dia menyeletuk bahwa adiknya ini adalah yang paling lucu dari enam bersaudara. Saya tertegun karena saya juga merasakan hal yang sama. 

Jadi beristirahatlah dengan tenang, Adik Ipar. Kita yang ditinggalkan bahkan bisa memikirkan hal yang sama tentang dirimu. Itu artinya engkau telah meninggalkan kenangan terbaik yang akan senantiasa hidup di hati kita. Bagi saya, itulah hidup yang telah dijalani dengan sebaik mungkin. 

Tuesday, June 18, 2024

The Taiwan Trip: Taichung

There was a lot of information about the ride to Taichung, but I had just a little time to digest it. When we reached Taipei Main Station, I had to look around and figured out the difference between Taiwan Railway (TRA) and Taiwan High Speed Rail (HSR). I must consider both the cost and the speed, but it was made easy by the fact that there was no TRA ticket available for last minute purchase, haha. 

Hence we could only opt for HSR. The next train was about to depart, so I quickly grabbed four tickets with non-reserved seats. My Chinese ain't that good, but I'm quite sure that the officer said non-reserved seats started from car #9. But it wasn't the case for the train we boarded and we were kicked out from our seats at Taoyuan Station. 

When we reached Taichung HSR Station.

For almost an hour, I loitered around the vestibule as I left the luggages inside car #9. My wife Yani was brilliant, though. She entered car #10 and secured the non-reserved seats for the kids and herself. As I couldn't really see the sign of the station, we almost missed our stop. It was a rather unpleasant experience, so the moment we reached Taichung HSR Station, I immediately booked the return tickets with reserved seats. 

We called Uber and headed to La Vida Hotel. Unlike Taipei, there's only one metro line in Taichung and it was of no use to us, so everywhere we went, we had to take Uber. The first sight of Taichung didn't really meet the expectation. The city centre was fine, but Xitun District looked pretty much the same as any other Chinatown. The cramped and poorly maintained low-rise buildings as well as the non-existent pavement reminded me of the place I originally came from.

KFC in Taiwan.

We went to the laundromat next to the hotel, then headed to KFC for early dinner. I am always keen to try out fast food in other countries because there could be a menu or two that were only available in the said country. And the KFC in Taiwan didn't disappoint. The Italian chicken tasted really good. According to my daughter Linda, the rice dumpling was nice, too. 

After our meal, we went back to the hotel. Later that night, we visited the nearby Feng Chia Night Market. But there are only so many night markets you can visit in one trip. It was almost the same as Shilin Night Market in Taipei. And the smell of stinky tofu certainly didn't help. The kids were cranky and we eventually made a U-turn back to hotel. 

Linda, right before we entered Feng Chia Night Market. 

The next morning, after a good breakfast (oh yes, after what we had at Hotel Midtown Richardson in Taipei, I really should mention this), we went to Rainbow Village. It was not an actual village, but a couple of tiny houses painted colorfully by an old soldier who used to live there (he died of old age at 101 earlier this year). Coupled with such a backstory, it was a neat little tourist spot. 

But Rainbow Village was only good for a quick browse. We called Uber and headed to Mitsui Shopping LaLaport Taichung. The mall, comprised of two buildings, was all right. My daughter Audrey had her lunch there, then we continued the journey to Zhongshe Flower Market. 

Mum and daughter at Zhongshe Flower Market. 

Zhongshe is a real flower market, similar to those you can find in Caldecott, Singapore! However the garden was so beautiful that Yani thought it was worth visiting. It was raining for a while when we got there, so only Yani and Linda went out to explore. 

From there, we went to Mala Bay at Lihpao Resort for a swim. Yes, we went swimming at a place that looked like Wild Wild Wet in Singapore! After a few rounds of wave pool and lazy river, it was closing time and we returned to the city. We went to this mall called Tiger City for dinner. I wanted to eat at the Hakka restaurant, but Yani and Linda wanted Don Don Donki instead. As we couldn't reach an agreement, we walked to another mall called Top City.

Lihpao Resort, as we headed to Mala Bay. 

Top City was a high-end shopping mall. The Din Tai Fung had a long queue and apart from that, there weren't much options left. We went to the mall next door, Shin Kong Mitsukoshi, and eventually ate there. Then, as we'd be leaving Taichung on the following day, I fancied the idea of enjoying the night by walking back to the hotel. 

Miyahara was the last place we visited in Taichung. It was a souvenir shop that looked like Hogwarts, which probably explained why it was a popular tourist destination. Miyahara also sells ice cream. Linda's choice, the grape flavored ice cream, was a good one. It tasted really good and fruity. 

Audrey and Mama at Miyahara.

There was a train station nearby and I thought that was the one we should go to. However, when we reached there, it didn't look like the one we knew. Again, it got to do with TRA and HSR. Taichung Station was for TRA, so we had to board the commuter train and alight at Xinwuri Station. The passageway then led us to HSR Station. Before we left Taichung, we had lunch at Sukiya.

We didn't return to Taipei this time, but headed to another city called Taoyuan. That's where the international airport is. We checked in at the Novotel next to the airport. The room was big and nice, one of the few that had two toilets and one shower room. The breakfast that we had the next morning was also the best.

At Novotel, before we went to airport for our dinner. 

Anyway, it was late in the afternoon when we were done checking in, so we still had a bit of time before we called it a night. We could have returned to Taoyuan HSR Station to explore Gloria Outlets, but Linda preferred a nearer destination, so we went to the airport instead. 

Now, bear in mind that in Singapore, Changi Airport is a place we visit quite frequently, even when we aren't flying anywhere. It is like a mall and Jewel was right there at the center of it. Due to this habit, I subconsciously couldn't help comparing other airports with Changi. 

The hidden and colourful side of Taoyuan Airport. 

And Taoyuan Airport just wasn't that good. It was small and therefore felt very crowded by the time we were there for check-in the next morning. The atmosphere was neither cozy nor welcoming and the design somehow got me thinking of hospital. From Terminal 2, we took the skytrain to Terminal 1 and eventually had our dinner there. That officially ended our trip to Taiwan. 

So what about Taichung as a tourist destination? For the fact that we went swimming like locals, I think it didn't have much to offer. But to be fair, we also had only one day to explore the city effectively. If we had gone to Cingjing Farm that day, we'd see even less of the city! Taichung and us, we were just not meant to be!

Mum and daughters, Rainbow Village.




Liburan Ke Taiwan: Taichung

Ada banyak informasi tentang kereta ke Taichung, tapi hanya ada sedikit waktu untuk mencernanya. Ketika kita tiba di Taipei Main Station, saya harus melihat penanda jalan dan mencari tahu beda antara Taiwan Railway (TRA) dan Taiwan High Speed Rail (HSR). Perbedaan menentukan harga dan durasi perjalanan, tapi akhirnya semua ini dipermudah karena tidak ada tiket TRA yang tersisa untuk dibeli di loket pada hari itu, haha. 

Oleh karena itu kita hanya bisa ke Taichung dengan transportasi HSR. Kereta berikutnya akan segera berangkat, jadi saya bergegas membeli tiket tanpa konfirmasi tempat duduk. Bahasa Mandarin saya tidak begitu bagus, namun saya yakin petugas tiket memberitahukan saya bahwa tempat duduk untuk tiket saya ini mulai dari gerbong sembilan. Akan tetapi terjadi kekeliruan dan kita akhirnya harus mengungsi ke gerbong berikutnya saat penumpang dengan tiket sah naik dari Stasiun Taoyuan. 

Tatkala kita tiba di Taichung HSR Station.

Kurang-lebih sejam lamanya saya harus luntang-lantung di lorong antar gerbong karena koper-koper kita ada di gerbong sembilan. Istri saya Yani bergerak cepat dan mengamankan tempat duduk untuk anak-anak di gerbong sebelah. Karena saya tidak bisa melihat dengan jelas penanda di setiap stasiun yang disinggahi kereta, kita hampir gagal turun di Taichung. Sesudah pengalaman yang kurang menyenangkan ini, saya ke loket stasiun dan langsung membeli tiket pulang dengan nomor tempat duduk yang telah terkonfirmasi. 

Kita lantas memesan Uber dan menuju ke La Vida Hotel. Berbeda dengan Taipei, hanya ada satu jalur metro di Taichung dan jalur ini tidak berguna bagi kita, jadi ke mana pun kita pergi, kita harus menggunakan Uber. Pusat kotanya terlihat maju, tapi Distrik Xitun mirip seperti Pecinan di negara lain. Gedung-gedung yang rendah dan kurang terawat saling berdempetan. Trotoarnya yang dipakai untuk tempat berusaha pun tampak seperti tempat di mana saya berasal

KFC di Taiwan.

Kita mampir ke binatu di samping hotel, lalu lanjut ke KFC untuk makan malam. Saya selalu berminat untuk mencoba makanan cepat saji di negara lain karena biasanya ada menu yang hanya ditemukan di negara tersebut. KFC Taiwan ini tidak mengecewakan. Ayam dengan gaya Italia yang saya pesan sangat sedap rasanya. Menurut Linda, nasi kepalnya pun enak juga. 

Setelah bersantap, kita kembali ke hotel. Di malam itu, kita mengunjungi Pasar Malam Feng Chia. Tapi yang namanya pasar malam cenderung mirip satu sama lain dan yang satu ini tidak berbeda jauh dengan Shilin. Selain itu, aroma tahu busuk benar-benar mengganggu. Anak-anak jadi rewel dan tak lama kemudian kita kembali ke hotel. 

Linda, sebelum kita masuk ke Pasar Malam Feng Chia Night. 

Keesokan paginya, setelah sarapan yang nikmat (oh ya, setelah menu Hotel Midtown Richardson di Taipei, kelezatan sarapan di hotel ini patut disebutkan), kita pergi ke Rainbow Village. Tempat ini bukanlah kampung dalam pemahaman orang Indonesia, tapi lebih condong ke beberapa rumah mungil dalam satu kompleks. Rumah-rumah ini dicat dan dilukis oleh seorang prajurit tua yang dulunya tinggal di sini. Beliau meninggal di usia 101 pada awal tahun ini dan karyanya menjadi tempat wisata. 

Rainbow Village bisa diselesaikan dalam sekejap, jadi kita memanggil Uber lagi dan tujuan kita kali ini adalah Mitsui Shopping LaLaport Taichung. Pusat perbelanjaan ini terdiri dari dua gedung. Putri saya Audrey makan siang di sini, lalu kita lanjut ke Pasar Bunga Zhongshe. 

Yani dan Linda di Pasar Bunga Zhongshe. 

Sesuai dengan namanya, Zhongshe adalah pasar bunga sungguhan seperti yang bisa kita temukan di Caldecott, Singapore! Kebun bunganya bagus, jadi Yani ingin mengunjunginya. Saat kita tiba, hujan deras turun untuk beberapa saat lamanya. Setelah reda, Yani dan Linda pun berfoto-foto di kebun. 

Dari pasar bunga, petualangan berlanjut ke Mala Bay di Lihpao Resort. Ya, kita pergi berenang di tempat yang menyerupai Wild Wild Wet di Singapore! Setelah beberapa ronde di kolam ombak dan kolam sungai yang mengalir, Mala Bay pun tutup saat hari menjelang senja. Kita kembali ke kota dan turun di mal bernama Tiger City. Saya ingin makan di restoran Hakka, tapi Yani dan Linda hendak makan di Don Don Donki. Karena tidak terjadi kesepakatan, kita lantas lanjut ke mal lain bernama Top City.

Di Lihpao Resort, saat kita berjalan ke Mala Bay. 

Top City adalah mal kelas atas yang mirip Takashimaya di Orchard. Din Tai Fung di sana pun panjang antriannya dan tak banyak pilihan makanan lain di sana. Setelah melihat papan restoran-restoran di mal sebelah yang bernama Shin Kong Mitsukoshi, kita akhirnya makan di sana. Berhubung besoknya kita akan meninggalkan Taichung, saya jadi berpikir untuk menikmati malam terakhir di sini dengan berjalan kaki pulang ke hotel.

Miyahara adalah destinasi turis terakhir yang kita singgahi di Taichung. Sebenarnya ini adalah toko oleh-oleh, tapi tata ruangnya mirip Hogwarts sehingga terlihat unik. Miyahara juga menjual es krim dan rasa anggur yang dibeli oleh Linda sungguh lezat dan terasa buahnya. 

Audrey dan Mama di Miyahara.

Ada stasiun kereta yang terletak tak jauh dari Miyahara. Saya sempat mengira bahwa itulah tempat tujuan kita, tapi setelah kita sampai di sana, stasiun kereta tersebut terlihat berbeda. Ternyata yang ini adalah stasiun TRA, jadi kita harus naik kereta menuju Xinwuri Station. Stasiun ini terhubung langsung dengan Taichung HSR Station. Sebelum kita berangkat, kita sempat makan siang dulu di Sukiya.

Kali ini kita tidak kembali ke Taipei, melainkan ke kota di dekatnya yang bernama Taoyuan. Di sinilah letak bandara internasional Taiwan. Kita menginap di Novotel yang berada di sebelah bandara. Kamarnya luas, dilengkapi dengan dua toilet dan satu tempat mandi. Sarapan paginya pun mantap. 

Di Novotel, sebelum kita makan malam di bandara. 

Setelah menaruh koper di kamar, kita masih memiliki waktu untuk makan malam di luar. Sebenarnya kita bisa saja kembali ke Taoyuan HSR Station untuk berjalan-jalan di Gloria Outlets, namun Linda memilih tempat yang lebih dekat, jadi kita akhirnya ke bandara. 

Perlu diingat bahwa Bandara Changi di Singapura cukup sering kita kunjungi, meskipun kita tidak bepergian ke luar negeri. Ini dikarenakan suasananya yang seperti mal dan Jewel yang tersohor juga berada di tengahnya. Karena kebiasaan ini, tanpa sadar saya memiliki tendensi untuk membandingkan bandara di negara lain dengan Changi. 

Sisi tersembunyi di Bandara Taoyuan. 

Dan Bandara Taoyuan tidaklah sebagus Changi. Bandara ini terlihat kecil dan terasa sesak ketika kita check-in keesokan paginya. Suasananya tidak terasa rileks dan nyaman. Entah kenapa desainnya mengingatkan saya dengan rumah sakit. Dari Terminal 2, kita naik kereta ke Terminal 1 dan makan malam di sana. Petualangan kita di Taiwan pun berakhir di situ. 

Jadi apa pendapat saya tentang Taichung sebagai tempat tujuan wisata? Sungguh tidak terbayangkan bahwa kita akan ke kolam renang seperti layaknya turis lokal, jadi saya rasa Taichung tidak memiliki banyak destinasi yang menarik. Di satu sisi, kita sendiri juga hanya memiliki satu hari efektif di Taichung. Bila kita ke Cingjing Farm, bisa dipastikan lebih sedikit lagi yang kita lihat dari kota ini. Saya rasa memang tidak berjodoh dengan Taichung! 

Mama dan dua putrinya di Rainbow Village.