Total Pageviews

Translate

Tuesday, May 3, 2022

The First Trip After Corona

At last! It finally happened! In a way, destination: Bali was a historical moment in many levels. It was the first trip after two years of isolated life in the time of corona. It was also a return to Bali after 17 years. If you recalled the last time I saw Nagasaki, there were places I thought I'd never visit again simply because once was enough. Yes, even Bali fell into the same category, especially after I visited the world-famous island three times in a row, from 2004 to 2005. 

Anyway, let's rewind a bit, starting with the title of this blog post. I used the phrase after corona because it was dealt with and done. COVID-19 finally got me and I survived, so let's call it even and part ways. The travel regulation was ever changing (two doses of vaccine and one dose of booster and you are good to go for now) and it only got better since then, so hopefully it stayed that way. 

The corona legacy, or what's left of it, was the PCR test that had to be done within 2x24 hours before the departure time. Since my flight was at 4:10pm on Wednesday, I paid the price of SGD 115 and did it at 4:45pm on Monday. The travel insurance, which was now covering COVID-19, was purchased several weeks earlier. I just loved to be prepared.

So happy that I could travel again!

On the day itself, I was very excited. I shut down my laptop after the lunch hour meeting and happily headed to Changi Airport. It was my first time using the red passport and if it ever felt awkward, it only got weirder when I landed as a foreigner in a country I knew so well and spoke the language fluently. It was surreal. Felt so different and yet the same at the same time.

I don't know if it's just me or due to the fact that I hadn't traveled for quite some time, but it just didn't meet the expectation the moment I arrived. The Bali airport looked below par for what's supposed to be the first impression for a popular tourist destination. It was not chaotic, but the amenities were bare minimum. On top of that, the waiting time to collect the luggage was about 25 minutes, long enough for the excitement to fade away.

As if that wasn't irritating enough, the local number on my BlackBerry phone also didn't work. I happened to retain one prepaid number from long ago and it was able to call and send SMS when I was in Singapore. However, when in Indonesia, the phone failed to get any connection because the IMEI was blocked. This was a rather interesting but quite an unfortunate way to find out how the IMEI blocking works in Indonesia. 

I was lucky that I activated the international roaming (it was SGD 20 and 3GB was more than enough) so I still had the mobile internet connection in Bali. I l eventually learnt that there was actually a tourist prepaid card from Telkomsel (valid for 30 days), but it was way more practical to use the international roaming. People call from WhatsApp these days and Grab drivers call from their app, so throughout my stay in Bali, I didn't have the need to make a call or send SMS.

The hotel view from the restaurant.

Anyway, back to our story, I was tired and hungry by the time I reached Alantara Hotel in Sanur, but the sight of the family was a wonder to behold. It was great to meet uncles, aunties and cousins again. That, plus a plate of fried rice for my dinner and few bottles of Singaraja beer shared among us, surely rejuvenated and prepared me for the next morning, as in quite early in the morning, before sunrise.

Oh yes, we woke up early to get ready for the wedding. There was this Balinese attire we needed to wear and we clearly had no idea how to dress up. Hence a team was mobilised to help us out. Pak Putu then drove us to the wedding venue, which turned out to be a very spacious yard containing Balinese houses here and there. It seemed like the whole immediate family stayed within the same compound. 

Sporting the Balinese attire!

Then began the Balinese wedding. Both the bride and groom were in the traditional attires. My cousin, the bride, had this intricate headgear (and she revealed later on that it was heavy). A priest did the ceremony with two voice actors on stage, narrating the events in Balinese, unknowingly leaving us Chinese wondering what was going on. 

But the situation was eventually rectified. Right after I whispered to my uncle that they should have gotten a MC to translate all this, one of the coordinators came to apologise that they'd just realized we might be confused. It was their first time having a non-Balinese marrying into their family, therefore it took them a while to notice the language issue. 

With my uncles.

Personally, I liked how very friendly and welcoming they were. Balinese wedding was grand and elaborate. Witnessing such a cultural event was an eye-opener. When I couldn't help wondering why the banquet in the late afternoon was kind of quiet, I was told that it lasted for days and some guests might have attended the banquet yesterday. Cool, huh? 

We left when the night came, heading back to hang out in my hotel room. Bali was hot and humid, so it was really nice to hang out in an aircon room. Bottles of beer, this time Bintang, were quickly produced by my uncle. Potato chips and fish crackers were also passed around. It was a fun and memorable family gathering. But now that the wedding was done, tomorrow would be a new adventure, one that would bring me Kuta and Ubud. That, of course, is a story for another time...



Liburan Pertama Setelah Korona

Akhirnya terjadi juga! Liburan ke Bali ini adalah sebuah momen bersejarah. Ini adalah liburan pertama setelah dua tahun terisolir dalam hidup di tengah wabah korona. Selain itu, saya pun kembali ke Bali lagi setelah 17 tahun lamanya. Jika anda ingat dengan kisah kali terakhir saya melihat Nagasaki, ada tempat yang kiranya tidak akan pernah saya singgahi lagi karena sekali saja sudah cukup. Ya, bahkan Bali masuk ke kategori yang sama, terutama setelah saya kunjungi tiga kali berturut-turut di tahun 2004-2005. 

Sebelum kita masuk ke cerita, mari kembali ke judul. Saya gunakan frase setelah korona karena bagi saya sudah selesai. Saya akhirnya terjangkit COVID-19 namun telah pulih kembali, jadi semua yang perlu terjadi pun sudah terjadi. Peraturan mengunjungi Indonesia juga kian hari kian dipermudah (dua kali vaksin dan satu kali booster sudah cukup untuk saat ini) dan semoga saja terus begitu sampai normal kembali. 

Peninggalan korona yang tersisa adalah tes PCR yang harus dilakukan 2x24 jam sebelum jam keberangkatan. Karena jadwal penerbangan saya adalah hari Rabu jam 4:10 sore, maka saya bayar ongkos PCR sebesar SGD 115 dan melakukan tes pada pukul 4:45 sore di hari Senin. Asuransi perjalanan yang kini sudah mencakup perlindungan untuk COVID-19 sudah saya beli beberapa minggu sebelumnya. Saya cenderung lebih suka bersiap-siap dari awal. 

Senangnya bisa jalan-jalan lagi!

Di hari keberangkatan, saya sangat gembira. Saya matikan laptop saya setelah meeting jam makan siang usai, lantas bergegas ke Changi Airport. Ini adalah kali pertama saya menggunakan paspor merah. Ada perasaan janggal dan kian aneh lagi rasanya setelah saya mendarat sebagai orang asing di negeri yang saya kenal baik dan kuasai dengan lancar bahasanya. Rasanya campur aduk, berbeda tapi sama.

Saya tidak apakah ini hanya ekspektasi saya atau karena saya sudah lama tidak berlibur, tapi sejak saya tiba, rasanya tidak sesuai harapan. Sebagai tempat pertama yang dilihat turis saat menginjakkan kaki di Bali, bandara udara Ngurah Rai tidak terlihat mengesankan. Untuk destinasi sepopuler Bali, bandaranya malah tampak biasa. Lumayan teratur, tapi fasilitasnya hampir tidak ada. Selain itu, butuh waktu 25 menit untuk mengambil bagasi. Setelah menunggu cukup lama, kegembiraan di hati pun pudar. 

Seakan-akan ini masih belum cukup menjengkelkan, masih ada lagi masalah dengan nomor lokal di BlackBerry saya. Kebetulan saya memiliki nomor prabayar dari sejak lama dan saya bisa menelepon serta mengirimkan SMS sewaktu berada di Singapura. Kendati begitu, saat berada di Indonesia, saya tidak mendapat sinyal karena nomor IMEI BlackBerry saya diblok. Meski tidak menyenangkan, dari pengalaman ini saya akhirnya memahami cara kerja blokir IMEI di Indonesia.

Saya beruntung karena telah mengaktifkan layanan jelajah internasional (harganya SGD 20 dan 3GB sudah lebih dari cukup), jadi saya tetap memiliki koneksi internet di Bali. Saya akhirnya mengetahui bahwa Telkomsel menjual kartu prabayar khusus turis yang berlaku selama 30 hari, tapi lebih praktis menggunakan layanan jelajah internasional. Sekarang orang cenderung menelepon dari WhatsApp dan para pengemudi Grab bisa menelepon dari aplikasinya, jadi selama saya di Bali, saya tidak memiliki keperluan untuk menelepon secara konvensional atau mengirim SMS.

Pemandangan hotel dari restoran.

Kembali ke cerita, saya sudah lelah dan lapar ketika tiba di Alantara Hotel yang berada di kawasan Sanur. Kendati begitu, senang rasanya bisa bertemu dengan para paman, tante dan sepupu lagi. Pertemuan tersebut, dan juga sepiring nasi goreng dan beberapa botol bir Singaraja yang diminum bersama, membuat saya merasa segar kembali. Saya siap untuk acara besok pagi yang dimulai sebelum matahari terbit.

Oh ya, kita bangun saat hari masih gelap-gulita untuk bersiap-siap. Ada pakaian adat Bali yang harus kami pakai, tapi kami tidak tahu caranya, makanya perlu bantuan para penata rias. Pak Putu kemudian mengantar kami ke tempat pernikahan yang diselenggarakan di sebuah kawasan dengan halaman luas dan rumah-rumah yang saling berdekatan. Sepertinya seluruh keluarga dekat dari pihak suami tinggal di tempat ini. 

Mengenakan busana Bali.

Kemudian prosesi pernikahan pun dimulai. Pengantin pria dan wanita pun menggunakan pakaian adat Bali. Sepupu saya yang menjadi pengantin wanita mengenakan perhiasan kepala yang rumit dan berwarna emas (dan setelah saya tanya, dia bilang perhiasan kepalanya cukup berat). Seorang pemuka agama duduk di tengah dan memimpin jalannya upacara sementara dua orang lain membacakan semacam narasi dalam bahasa Bali.   

Saya terus-terang tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan lantas bergumam kepada paman saya, mungkin akan sangat membantu kalau mereka menyewa seorang MC yang bisa menerjemahkan semua ini. Seorang koordinator acara lalu menghampiri kami dan meminta maaf karena mereka baru menyadari bahwa kami mungkin tidak mengerti rangkaian acara ini. Ternyata ini adalah kali pertama mereka menerima menantu yang bukan orang Bali, jadi lupa bahwa ada kendala bahasa. 

Bersama paman-paman saya.

Secara pribadi, saya sangat terkesan dengan keramahtamahan orang Bali. Pernikahannya pun sangat kental dengan budaya lokal yang khas Hindu. Ada satu momen di mana saya merasa bingung, kenapa resepsinya terlihat sepi. Kemudian saya mendapat penjelasan bahwa resepsi ini sudah berlangsung beberapa hari dan tamu-tamu lain mungkin sudah datang sebelumnya. Dahsyat, ya? 

Kami kembali ke hotel ketika hari sudah malam. Bali sungguh panas dan lembab, jadi enak rasanya berkumpul di ruangan ber-AC. Bir Bintang pun beredar. Keripik kentang dan kerupuk ikan juga berpindah tangan saat kita berbincang. Senang rasanya berkumpul, sebab kita jarang bertemu. Namun pernikahan pun selesai sudah. Hari esok akan membawa saya ke Kuta dan Ubud. Petualangan ini akan mengisi cerita berikutnya... 

Sunday, April 17, 2022

Bitterness

A recent coversation between some of my high school friends and I revealed a lovely surprise that they also enjoyed to be in WhatsApp group for the same reason: it was kinda like a sanctuary for us. In a world where we were expected to play many other roles, the group chat allowed us to be ourselves. 

At the same time, having so many different personalities in one group was not without its fair share of problems. The chemistry could be so volatile sometimes that it threw the group off balance. As a long time member, I had seen some ugly truth happening from time to time. 

Bitterness was one of them. The pattern, as I observed it, was typical. The resentment bottled up throughout a certain period of time. As it wasn't let go, it was bound to erupt one day. Whether the victims realized it or not, the bitterness clouded their judgement unnecessarily. Before they knew it, whatever the other person said or did, it just seemed wrong and annoying. That eventually led to a clash.

When that happened, more often than not I was partly blamed for making it worse as I thrived in chaos. As the one nicknamed gas stove, I just loved roasting them when opportunities knocked, haha. But in more calm and thoughtful moments, I actually pitied those who were trapped in bitterness. It was sad, really.

I remember talking to one friend, theorizing that perhaps it got to do with the upbringing. I was no expert, but the bitterness was, perhaps, the unsettled trauma that happened in someone's childhood. It lodged in there, laying dormant, never truly forgotten nor let go. Deep down inside, you still hated it for happening and you'd subconsciously try compensate it now. In this context, it was at the cost of somebody else you decidedly didn't like.

Oh yes, that happened, too. This bitterness could be so problematic that some of us actually nursed the hatred towards somebody else, be it intentionally or not. In the two cases that happened, those guys never interacted with each other for the longest time and started off on the wrong foot in the group. The first impression was awful, it only got worse, then came the day when it blew up.

I'd say it was a petty mindset. I failed to understand why a person would harbour such thoughts and, back to what I said earlier, it was probably because I had a carefree attitude and happy upbringing that I didn't feel the need to hate the world. Oftentimes, I just simply laughed it off while muttering my favourite mantra from John Lennon: "how do you sleep at night?"

But my perspective aside, what I'd like to emphasize here was the danger of how toxic bitterness was. You nurtured it, oblivious to the fact that the bitterness ate you inside out. The reality was, for all the energy and thoughts you spent, did all this make you a better person than the one you condemned? 

I somehow doubted that, but what mattered here is how the person in question saw it. If you were humble enough to realize that it wasn't right, that it didn't make you a better person, then perhaps it's time to let the bitterness go. You were definitely better off without it...

Probably the only bitterness you need in life...



Kepahitan

Baru-baru ini, percakapan dengan beberapa teman SMA membuat saya menyadari bahwa mereka ternyata juga menyukai grup WhatsApp SMA karena alasan yang sama: grup ini bagaikan suaka yang aman bagi kita semua. Di dunia di mana kita memainkan begitu banyak peran, mulai dari pasangan hidup, orang tua sampai aneka profesi di lingkungan kerja, hanya grup ini yang memberikan kesempatan sejenak bagi kita untuk menjadi diri sendiri. 

Meskipun demikian, di saat yang sama, menyatukan berbagai macam kepribadian di dalam satu grup juga bisa melahirkan beragam masalah. Dinamika hubungan di dalam grup yang bebas mengutarakan pendapat bisa dengan cepat berubah bilamana yang satu tersinggung oleh perkataan yang lain. Sebagai anggota yang sudah lama di grup, saya sudah cukup sering menyaksikan peristiwa seperti ini. 

Ada kalanya kepahitan menjadi awal dari sengketa ini. Pola yang saya amati sejauh ini biasanya kurang-lebih sama. Ada rasa tidak senang yang disimpan di dalam hati dalam kurun waktu tertentu. Karena selalu dipendam, lama-lama pasti meluap. Entah disadari atau tidak, kepahitan cenderung mempengaruhi sudut pandang seseorang dalam menilai sesuatu. Alhasil, apa pun yang dikatakan orang lain selalu terdengar salah dan menyebalkan. Pada akhirnya ini hanya masalah waktu sebelum pertikaian itu terjadi. 

Saya akui, terkadang saya terlibat dalam kemelut yang terjadi karena banyak kesempatan untuk berbuat konyol di tengah kekacauan. Sebagai orang yang dijuluki kompor gas, saya sulit melewatkan peluang untuk turut berpartisipasi, haha. Akan tetapi, ketika saya memiliki waktu untuk melihat kembali apa yang terjadi, misalnya saat saya sedang menulis seperti sekarang, saya sebenarnya kasihan dengan mereka yang terperangkap dalam kepahitan. Sejujurnya ini sungguh sebuah perkara yang sedih. 

Saya ingat saat berbincang dengan seorang teman. Saya merasa bahwa kepahitan ini ada hubungannya dengan masa lalu. Saya bukan pakar, tapi tampaknya kepahitan ini bisa jadi bermula dari trauma yang terjadi di masa kecil seseorang. Kepahitan ini begitu membekas, tidak terlupakan dan malah dipendam. Di dalam lubuk hati terdalam, ada rasa tidak terima, kenapa ini bisa terjadi, sehingga tanpa sadar sampai hari ini pun anda masih berusaha melakukan sesuatu untuk menebus kepahitan di masa lalu. Di dalam konteks cerita kali ini, terkadang semua ini dilampiaskan kepada orang yang tidak anda sukai. 

Oh ya, ini adalah sesuatu yang nyata dan sungguh terjadi. Kepahitan bisa terasa sangat pedih sehingga seseorang bisa menyimpan rasa benci kepada orang lain, baik dengan sengaja atau tidak. Di dalam dua kasus yang pernah terjadi, sesungguhnya dua orang yang bertikai ini tidak begitu mengenal satu sama lain dan juga tak pernah berinteraksi lagi dari sejak lama. Ketika mereka kembali bertemu di grup, awal hubungan ini tidak mulus karena sesuatu dan lain hal. Karena kesan pertama sudah buruk, selanjutnya menjadi kian buruk dan akhirnya tiba hari di mana rasa tidak suka yang terpendam pun mencuat ke permukaan. 

Terus-terang saya rasa ini adalah pola pikir yang picik. Saya gagal memahami kenapa orang bisa berpikir seperti itu, tapi ini mungkin karena saya memiliki watak yang riang dan masa kecil yang bahagia sehingga saya tidak merasa perlu untuk tidak menyukai orang lain. Seringkali saya hanya tertawa sambil mengucapkan mantra favorit saya dari John Lennon: "bagaimana mereka bisa tidur dengan nyenyak di malam hari?" 

Selain sudut pandang saya di atas, yang lebih ingin saya tekankan adalah bahaya dari kepahitan itu sendiri. Kalau sampai anda pelihara kepahitan itu, anda mungkin tidak menyadari bagaimana kepribadian anda berubah karena digerogoti dari dalam. Kenyataannya adalah, apakah energi dan beban pikiran anda dalam memupuk kepahitan ini membuat anda menjadi pribadi yang lebih baik dari orang yang tidak anda sukai? 

Saya jujur merasa ragu, tapi yang penting di sini adalah bagaimana anda sendiri melihatnya. Jika anda cukup rendah hati untuk mengakui bahwa ini tidaklah benar dan tidak membuat anda menjadi lebih baik, mungkin sudah waktunya untuk merelakan dan mengikhlaskan kepahitan ini. Buat apa lagi? Saya yakin anda akan lebih baik tanpa kepahitan di hati...

Sunday, April 10, 2022

Through The Looking Glass

This story began with a really bad news for BlackBerry fans like me: OnwardMobility, a company that promised to deliver a 5G BlackBerry phone, decided to fold. I was so disappointed. The last hope for BlackBerry's revival was gone!

From OnwardMobility.

I had been sticking with Titan Pocket, the BlackBerry wannabe, since October 2021 while patiently waiting for the real deal to return. Since it wasn't going to happen and the dream was over, I switched to my favourite back-up plan: Google Pixel. It was no secret that I loathed the subpar camera of Titan Pocket, especially when I took pictures at night. With that in mind, if I were to change my phone, I knew I had to go for the best one there was.

In the meantime, I'd been doing my Strava time for a while. I enjoyed the activity and I would, from time to time, take the pictures of the nice views that I saw. The result taken with Titan Pocket thus far was never that nice. The color was so dull, it was laughable. But that was I had and after five months, the poor quality became a norm to me.

A picture from one fine afternoon.

Imagine my surprise when I took one with Google Pixel 6 in one late afternoon, as I passed by the pub where I once had a drink with Endrico and Ardian. It was spontaneous and effortless, as I just simply snapped it as I walked, but yet the photo was so gorgeous. It looked unbelievably zen that it somehow reminded me of the Carpenters' song: "and when the evening comes, we smile..."

Later on that night, I took another picture. It was actually quite dark, but the result was still something pretty amazing. It had just the right amount of brightness and vivid color. I liked what I saw and I wished to share them as well. That's when I thought of posting at most four pictures for each Strava time!

And when the evening came.

The idea was to show the many sides of Singapore that really caught my eyes. My Strava time had given me chances to explore the sides of Singapore I hadn't seen before. It also allowed me to connect the dots. One example that happened recently was Tanglin Road. Just realized that it led to Alexandra Road, which was quite a walking distance from Orchard. I enjoyed discovering parts of the city that I never knew before and got me saying, "oohhh."

I loved the fact that Singapore was not only beautiful and clean, but also so thoughtfully and thoroughly developed. On top of that, it still had its fair share of surprises. Oh yes, I even bumped into a group of boarlets in Hillview! And as excited as I was to see them roaming in the city, I detoured a bit and avoided them, haha.

The wild boars!

Singapore was the sum of many things: the green hills, the lush parks, cultural places, the skyscrapers in the CBD areas, etc. But what did I like the most? I liked it best when the water, the bright blue sky, the greeneries and the high-rise buildings blended seamlessly in one beautiful landscape. Love capturing it through the looking glass of Google Pixel!

PS: this story was still written using BlackBerry Key2. The great feeling of typing on it was still irreplaceable!

My favorite view!



Lewat Lensa Kamera

Cerita kali ini dimulai dari kabar buruk bagi penggemar BlackBerry seperti saya: OnwardMobility, sebuah perusahaan Amerika yang menjanjikan BlackBerry 5G, mendadak gulung tikar di bulan Februari. Saya sungguh merasa kecewa. Kebangkitan BlackBerry yang saya tunggu-tunggu mendadak sirna begitu saja.

From OnwardMobility.
 
Saya telah dengan sabar menggunakan imitasi BlackBerry yang bernama Titan Pocket sejak October 2021 sambil menantikan peluncuran BlackBerry terbaru. Ketika impian ini buyar, saya akhirnya mengeksekusi rencana cadangan saya: Google Pixel. Bukan rahasia lagi kalau saya tidak suka dengan hasil jepretan Titan Pocket, apalagi di malam hari. Berbekal ketidakpuasan ini di benak saya, saya ingin menggunakan kamera telepon Android terbaik bila saya membeli yang baru. 

Di saat yang sama, saya juga sudah menekuni rutinitas Strava untuk beberapa bulan lamanya. Saya menikmati aktivitas ini dan dari waktu ke waktu, saya suka mengambil foto pemandangan yang saya temui. Sejauh ini, foto Titan Pocket tidak bagus dan seperti luntur warnanya. Akan tetapi selama lima bulan terakhir, hanya itu yang saya punya dan lambat-laun saya jadi terbiasa melihat kualitas fotonya yang buruk.

Foto di suatu senja.

Bayangkan betapa terkejutnya saya ketika saya dengan iseng memotret dengan Google Pixel 6 di suatu senja saat saya sedang Strava dan melewati tempat di mana saya, Endrico dan Ardian pernah minum bersama dulu. Aksi saya ini spontan dan saya mengambil gambar selagi berjalan, namun tak disangka bahwa fotonya terlihat memikat. Fotonya tampak begitu tenang dan damai, mengingatkan saya pada lirik lagu Carpenters: "and when the evening comes, we smile..."

Di malam yang sama, saya kembali memotret. Saat itu sebenarnya cukup gelap, tapi hasil fotonya masih sangat mengesankan. Pencahayaannya cukup dan warnanya pun menonjol. Saya suka dengan apa yang saya lihat dan jadi ingin membagikannya di media sosial. Di saat itulah saya jadi berpikir untuk mengunggah maksimal empat foto setiap kali saya Strava. 

Ketika malam tiba. 

Foto-foto ini menampilkan sisi kota Singapura yang menarik perhatian saya. Aktivitas Strava memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi bagian Singapura yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya juga akhirnya jadi tahu setiap sudut kota. Sebagai contoh, Tanglin Road. Selama ini saya hanya tahu bahwa kawasan Tanglin itu di dekat Orchard, namun baru-baru ini saya temukan bahwa jalan ini mengarah ke Alexandra Road. Ada rasa kepuasan tersendiri saat tahu bahwa, "ohh, ternyata tembus ke sini."  

Eksplorasi ini mengingatkan saya kembali bahwa Singapura bukan hanya sebuah kota yang indah dan bersih, tapi juga dibangun dengan perencanaan yang matang di setiap jengkalnya. Meskipun demikian, kota ini masih saja menyimpan kejutan. Oh ya, saya bahkan sempat berpapasan dengan tiga ekor babi hutan di daerah Hillview! Melihat binatang liar di tengah kota adalah suatu pengalaman unik, meskipun saya harus memutar sedikit lebih jauh supaya aman, haha. 

Babi hutan!

Singkat kata, Singapura ada perpaduan dari banyak pemandangan, mulai dari bukit yang hijau, taman yang rindang, aneka tempat budaya sampai pencakar langit di daerah perkantoran dan lain-lain. Tapi apa yang paling saya sukai? Pemandangan favorit saya adalah aliran air, langit biru, hijaunya daun dan gedung-gedung tinggi yang menyatu menjadi satu pemandangan yang indah dan rapi. Saya suka melihat dan mengabadikannya dari balik lensa Google Pixel!

PS: cerita ini masih ditulis dengan BlackBerry Key2. Nikmatnya belum tergantikan!

Pemandangan favorit saya.

Wednesday, March 16, 2022

COVID-19: End Of The Line?

The COVID-19 pandemic had been a long, strange and exhausting journey so far. I heard of SARS and MERS before, but this was the first time I saw a pandemic of this scale. Even H1N1, the last full-blown pandemic that happened worldwide back in 2009, didn't seem to last this long. To be frank, I barely had any recollection of how life was during H1N1. 

But COVID-19 was surely a life-changing experience and a rather scary one, if I might add. From just something I heard happening in Wuhan, it came to Singapore in early 2020. I could sense how tense and uncertain the situation was. Then, before long, it changed life as we knew it. We suddenly wore mask, worked from home and met online. I wryly joked sometimes that a new generation was born not knowing that there were times when we actually didn't wear mask.

Right before Delta: the quiet and eerie atmosphere at Shenton House during lunch time.
Photo by Keenan.

When the pandemic first happened and all the preventive measures including lockdown were introduced, it felt rather strange. Raffles Place, a bustling business district, became a ghost town. At the center of this peculiar time was COVID-19 itself. Alpha variant, as we called it then, was so mysterious that when somebody contracted it, we knew it was bad, but we couldn't tell how bad it was because we knew only so little about it.

Then came the time when vaccinations started, but COVID-19 also returned with a vengeance. The Delta strain appeared and it was the deadliest so far. The death toll hit the roof and it felt like COVID-19 was closing in, because we always heard about someone we knew infected by it almost on daily basis. 

Having lunch at Potong Pasir.

I had to say that I had been so sick of living like this. It was sickening to be confined in fear and uncertainty. As I had this meal on 5 October 2021 (I knew the exact date because that was when I got my Titan Pocket and the picture taken here was sync-ed seamlessly to the cloud), I remember thinking how on earth we were going to survive this. COVID-19 didn't seem like going away, so I became convinced that the only way out of this was to be immune to it. 

What I didn't foresee, of course, was the appearance of Omicron about one month later. This one was more contagious, but less deadly than Delta. Even though the number of cases increased exponentially, it didn't seem to matter that much anymore. I was wondering why Delta seemed like disappearing overnight, as if it was replaced by Omicron. Then I saw this explanation in Time magazine:

"Textbook teach that viruses, being a relatively simple entities they are, have limited resources to devote to their one goal: survival. Every time they make copies of themselves, viruses can mutate to become more or less infectious, or more or less harmful to their hosts. Because a virus can't reproduce on its own, and need to borrow the reproductive machinery of cells from those it infects, it's all about balance: finding the mutations that allow it to spread more effectively, while not causing its hosts to die."

Three days and counting...

The explanation made sense. It was also in-line with what I had in mind. We had gone a long way, so long that it was no longer the question of how to avoid it, but when I would have it. When I was tested positive, I was relieved. It was like, "finally, it's my turn." It was ironic how this actually felt right. But like I said earlier, it had been a long, strange and exhausting journey, and hopefully it ended here.

Now, how bad was COVID-19 today? What I felt was slight body ache (on the day before I was tested positive) and a feverish feeling that came together with nose and throat discomfort, as if there were mucus and phlegm. Not much worse than normal, full-fledged flu. The scarier part was probably the psychological factor. After seeing how damaging COVID-19 was throughout the pandemic, there was this thought that it shouldn't be taken lightly...



COVID-19: Akhir Dari Sebuah Pandemi?

COVID-19 sungguh merupakan sebuah perjalanan yang panjang, aneh dan juga melelahkan. Saya pernah dengar tentang SARS dan MERS sebelumnya, tapi baru kali ini saya melewati pandemi dengan skala seperti ini. Bahkan H1N1, pandemi yang terjadi secara global di tahun 2009, tidak terasa berlarut-larut seperti ini. Jujur saya katakan bahwa saya tidak memiliki kenangan seperti apa hidup kita ketika H1N1 melanda.

Tidak diragukan lagi bahwa COVID-19 adalah suatu pengalaman yang bukan saja mengubah hidup, tapi juga cukup mengerikan. Bermula dari berita sayup-sayup tentang kejadian di Wuhan, COVID-19 tiba di Singapura pada awal 2020. Saya ingat betul suasana mencekam yang terasa saat hal ini diumumkan. Tak lama setelah itu, hidup berubah total. Kita mendadak mengenakan masker, bekerja dari rumah dan bertemu lewat Zoom. Terkadang saya bergumam dengan kecut bahwa telah lahir generasi yang percaya bahwa kita selalu memakai masker setiap hari. 

Sebulan sebelum Delta: suasana yang sepi di Shenton House pas jam makan siang.
Foto oleh Keenan.

Ketika pandemi dimulai dan segala macam proses kesehatan termasuk lockdown diterapkan, rasanya aneh sekali. Raffles Place, kawasan bisnis yang biasanya sibuk, menjadi sepi seperti kota mati. Di tengah suasana yang galau ini COVID-19 pun merebak. Varian Alfa, nama yang kita kenal pada saat itu, begitu misterius dan bagaikan aib. Ketika ada yang terjangkit, kita tahu ini kabar buruk, tapi tidak tahu seberapa buruk karena informasi saat itu masih simpang-siur.

Saat mulai masanya vaksinasi, COVID-19 juga berubah menjadi lebih dahsyat lagi dari sebelumnya. Muncul yang namanya varian Delta dan lebih mematikan pula dampaknya. Angka kematian melambung tinggi dan COVID-19 seperti datang menghimpit, sebab setiap hari selalu terdengar kabar si ini terjangkit dan si itu meninggal. 

Makan siang di Potong Pasir.

Ada kala di mana saya merasa betapa menyedihkan hidup seperti ini. Tidak sepatutnya kita menjalani hidup yang dirundung ketakutan dan ketidakpastian. Pada tanggal 5 Oktober 2021 (saya tahu persis tanggalnya karena saat itu saya baru ganti ke Titan Pocket dan foto yang diambil ini pun tersimpan di cloud secara otomatis), ketika saya menikmati makanan ini, saya jadi kepikiran tentang bagaimana pandemi ini akan berakhir. COVID-19 tampaknya tidak akan hilang begitu saja dan saya pun jadi yakin bahwa satu-satunya kunci untuk selamat dari semua ini adalah imunitas. 

Apa yang tidak pernah saya duga adalah kemunculan Omicron di bulan berikutnya. Yang satu ini lebih gila lagi penyebarannya, tapi tidak sebengis Delta yang membunuh banyak orang. Meski kasus COVID-19 bertambah lebih cepat dari sebelumnya, tiba-tiba angka yang naik drastis itu tidak lagi terasa seperti masalah. Saya sempat heran, kenapa Delta sepertinya hilang dan tergantikan begitu saja oleh Omicron. Lalu saya temukan penjelasan berikut ini di majalah Time:

"Buku pelajaran mengajarkan bahwa sebagai sebuah entitas yang relatif sederhana, virus hanya memiliki sedikit sumber daya untuk mencapai satu tujuan mereka: bertahan hidup. Setiap kali menggandakan diri, virus juga bisa berubah menjadi lebih menular atau kurang menular dan juga menjadi lebih berbahaya atau kurang berbahaya bagi tuan rumah yang ditumpanginya. Karena virus tidak bisa bereproduksi sendiri dan butuh sel reproduktif dari tuan rumah yang dijangkiti olehnya, maka pada akhirnya yang penting adalah keseimbangan: bermutasi menjadi versi yang lebih efektif dalam penularan dan juga tidak membunuh orang yang tertular."

Menghitung hari...
 
Penjelasan ini masuk akal dan juga sejalan dengan apa yang saya pikirkan. Kita sudah melewati pandemi sampai sejauh ini, sebegitu jauhnya sampai-sampai pertanyaannya bukan lagi bagaimana cara mengelak dari COVID-19, tapi kapan kiranya saya kena. Dan ketika hasil tes saya positif, yang muncul justru perasaan lega. Rasanya seperti, "akhirnya giliran saya." Fakta bahwa ini terasa benar sesungguhnya sangat ironis. Namun seperti yang saya katakan sebelumnya, perjalanan melalui pandemi itu sungguh panjang, aneh dan melelahkan. Semoga saja berakhir sampai di sini. 

Nah, bagaimana rasanya terjangkit COVID-19 di masa sekarang? Ada sedikit rasa pegal-pegal di badan sehari sebelum hasil tes saya positif. Ada pula sedikit demam yang disertai rasa tidak nyaman di hidung dan tenggorokan, seolah-olah ada banyak lendir dan dahak. Selain dampak yang disebutkan barusan, saya masih memiliki konsentrasi cukup untuk bekerja sepanjang hari. Sisi yang agak menakutkan mungkin berasal dari faktor psikologis. Setelah mendengar begitu banyak korban dari cerita teman dan kerabat, terus-terang ada rasa was-was di benak bahwa sebaiknya ini tidak dianggap enteng...

Saturday, March 12, 2022

Say Cheese

Pontianak in the 80s was a town where you probably knew quite a fair bit of fancy things that existed then, but you simply couldn't get them there. While I couldn't speak for others, this could be the reason why I appreciated many little things in life. One of them, believe it or not, was cheese.

When I was a kid, sliced breads were typically served with Blue Band (I actually didn't know it was called margarine) and white sugar. Cheese, on the other hand, was a luxury that only came into my life much later on. Oh yes, a luxury. It was a different time then. There was even a song called Singkong Dan Keju, which literally meant Cassava And Cheese. It was about how cheese was so foreign as the singer was only a cassava-eating man. 

I remember that the cheesy Pizza Hut was often a popular gift people brought from Jakarta back then. While my parents and older generation disliked cheese (and therefore pizza), I kind of liked it. I mean, if Ninja Turtles ate it, too, it must be cool and fancy. It just couldn't go wrong for kids my age.

For the longest time, I knew only Kraft Singles that fitted nicely in slice breads. I remember my friend Angelia talking about other types of cheese back in high school (she was the cultured one among us at that time, hence the knowledge), but the cheese she talked about was either unavailable in Pontianak or too expensive for me to buy. 

Gouda.

Fast forward to many years later, I watched Marshall from How I Met Your Mother offering gouda to every guest in his house. The funny sounding name stuck in my mind. Even more encouraging was this cheese section at the FairPrice Finest, the supermarket not very far from Endrico's house. The cheese section always attracted my attention. I often stopped there to browse when I visited the supermarket, but never quite knew what to choose. 

Then came a day when my friend STV brought us to enjoy dinner and wine. He surely knew the good stuff! For the first time ever, I tasted varieties of cheese accompanied with red wine. It was brilliant! All this while I only ate cheese as part of something else, let's say a burger ingredient. Trying cheese as something we ordered from the menu was a great experience!

Looking back, Angelia was right. I just didn't understand it then. Parmesan, mozzarella, cheddar, gouda, blue cheese... whatever the type of the cheese was, they were delicious. Some cheese had acquired taste or stinky smell, but once you went past that, it was actually a delight. It was not cheap, but definitely worth the money...

STV (left) and the night we had the wine pairing dinner.



Tentang Keju

Pontianak di tahun 80an adalah kota kecil di mana anda mungkin tahu beberapa hal asing yang menarik, tapi susah didapatkan di sana. Saya tidak bisa berbicara mewakili yang lain, tapi mungkin itu alasannya kenapa saya jadi menghargai hal-hal kecil dalam hidup. Salah satunya, percaya atau tidak, adalah kenangan tentang keju.

Ketika saya masih bocah, roti tawar biasanya disajikan dengan Blue Band (saya bahkan tidak sadar bahwa nama sebenarnya itu margarin) dan gula pasir. Saat itu keju merupakan sesuatu yang baru, mewah dan tidak begitu dikenal. Oh ya, mewah. Bahkan sampai ada lagunya yang berjudul Singkong Dan Keju, di mana penyanyinya bercerita tentang sang gadis yang menyukai keju sedangkan dirinya hanyalah anak singkong. 

Saya ingat bahwa Pizza Hut merupakan oleh-oleh yang populer dari Jakarta pada saat itu. Orang tua saya dan generasi yang lebih tua tidak menyukai keju (dan juga pizza), tapi saya cukup menyukainya. Kalau Kura-kura Ninja suka, maka rasanya sudah benar. Pasti cocok untuk mereka yang seusia dengan saya.

Dari kecil hingga dewasa, saya hanya tahu keju Kraft Singles yang pas ukurannya di roti tawar. Saya ingat bahwa di masa SMA, teman saya Angelia pernah bercerita tentang aneka keju (di antara teman-teman dekat, dia tergolong berbudaya sehingga mengerti tentang hal ini), tapi apa yang dia ceritakan tidak ada di Pontianak atau tidak terjangkau harganya oleh saya.

Gouda.

Bertahun-tahun kemudian, saya menonton Marshall menawarkan gouda ke tamu-tamu dalam salah satu episode How I Met Your Mother. Nama yang unik ini membekas di ingatan saya. Yang lebih menggoda lagi sekarang adalah satu etalase khusus keju di FairPrice Finest, supermarket di dekat rumah Endrico.  Saya seringkali berhenti sejenak untuk melihat berbagai jenis keju, namun tidak pernah tahu pasti yang mana yang harus saya beli. 

Kemudian tiba hari di mana teman saya STV mengajak makan malam dan minum wine. Dia paham makanan barat yang enak! Untuk pertama kalinya, saya mencicipi tiga macam keju yang dinikmati bersama minuman anggur merah. Lezat rasanya! Selama ini saya hanya menyantap keju sebagai bagian dari makanan lain, misalnya burger. Mencoba keju sebagai makanan tersendiri dari bagian santap malam adalah pengalaman yang sedap dan berkesan. 

Kalau saya lihat kembali, cerita Angelia benar adanya. Hanya saja waktu itu saya tidak mengerti. Parmesan, mozzarella, cheddar, gouda, blue cheese... apa pun tipe kejunya, memiliki kenikmatan tersendiri. Ada keju yang agak aneh rasanya atau bau aromanya, tapi sebenarnya enak kalau sudah terbiasa. Keju tidak murah, tapi kelezatannya sebanding dengan harga yang dibayar. Mari dicoba!

STV (left) and the night we had the wine pairing dinner.

Sunday, February 20, 2022

The Check-Up

Today's story had a prelude that happened back in 2008. We attended our ex-housemate's wedding in Jakarta and, as luck would have it, our flight back to Singapore was canceled. As we took the shuttle bus to Hotel Mulia, I happened to sit next to a doctor and we talked. That's when I heard the casual remark that I'd remember for life: "people are strange. They check their cars regularly, but they don't do the same for their own body."

The wedding we attended in 2008.

I heeded the advice, probably after I had kids, and I had been doing annual check-up since then. The result had been good until last October, when something called ALT was off the chart. I partly suspected it was due to vitamin C and fish oil that I consumed on daily basis. For the fact that I never fell sick in the past two years, something gotta give.

Thus began the other side of check-up that I never experienced before. Prior to this, things were fine and that was it. But now, there were actions to be done. Doctor advised me to stop taking fish oil and to start exercise regularly. Since I just finished the sessions with my personal trainer and continued with Strava time, this was covered. The doctor also wrote a referral letter for me to undergo ultrasound, to be done one month later.

I never did any medical procedure before, so I was feeling both curious and nervous at the same time. Apparently ultrasound was similar to what my wife went through when she was pregnant. The nurse applied some gels before she started scanning the tummy area. God knows what she was searching for, because the screen looked like a black-and-white TV with a very bad reception.

Few days after this was done, I went back to see the doctor. He said it was all right, but the ultrasound discovered some dodgy white nodes, so it was better to confirm if they were malicious. Again he wrote a referral letter, this time for CT scan. It took two visits to do this. First was for blood test, the second time was for the CT scan itself.

The catheter. Scary stuff!

Unlike ultrasound, CT scan looked more serious. For the first time ever in my life, I actually had a catheter inserted under my skin and into my vein. I wasn't quite sure how to react with that, so I tried not to move my arm as much as I could, haha. Then I entered a room with a donut-shaped machine made by Siemens. I lay down on a mechanical bed that moved back and forth into the donut hole. When the nurse injected something called contrast, there was this warm feeling flowing through the body. Creepy!

I heard about contrast a few years ago, when my Dad went for PET scan. It was something that would light up and was used as a marker for cancerous cells. With that in mind, I couldn't help thinking, what if the nodes were cancer? I told my wife that after four decades of eating and drinking as I wished, there were of course chances we'd find something that wasn't to our liking.

Never wore a gown before. Just had to immortalize this moment.

Since the worst case scenario was cancer, I did some soul-searching. I looked back only to realize again that I had tried my best and lived to the fullest. I definitely wouldn't like it at all if the result was bad. I might even struggle to accept it. But I wasn't that scared and I didn't have much regrets. In short, I had no problems sleeping. 

Then came the day I reviewed the result with the doctor. The mysterious white nodes were fat. Nothing was alarmingly bad, but it certainly could be better. There was no medicine for fatty liver, except a healthier diet and exercise. I told him I could live with that, thanked him and walked out from his room. 

Now that I think of it, annual check-up was a strange thing indeed. Sometimes it felt like we paid the price just to hear the doctor saying that everything was good for you to continue living happily until the next check-up. You got worried when that wasn't the case and the next thing you knew, you went through one medical procedure after another to figure out what wasn't right.

I discussed this with my friends whom were roughly the same age as me. Some said they were scared of the result and it was better not to know. Some said no point finding out if there wasn't any extra budget for the follow-up. Each opinion, I believe, was valid and as realistic as it got. My personal take, however, was to do check-up and find out the hard truth. If it turned out to be unpleasant, at least you could prepare for the next steps...


Check-Up

Cerita kali ini memiliki permulaan yang terjadi di tahun 2008. Saat itu saya menghadiri pesta pernikahan mantan teman serumah yang dilangsungkan di Jakarta. Pas pulang, ternyata penerbangan kembali ke Singapura dibatalkan. Saat berada di bis menuju Hotel Mulia yang disediakan maskapai Lufthansa, kebetulan saya duduk di sebelah dokter dan kita pun berbincang. Di kala itulah saya mendengar celetukan sang dokter yang saya ingat selalu: "manusia itu aneh. Mereka selalu rutin mengecek mobil mereka, tapi badan sendiri tidak pernah diperiksa." 

Pernikahan yang saya hadiri di tahun 2008.

Saya mematuhi nasehat itu, kalau tidak salah sejak saya memiliki anak, dan secara berkala melakukan check-up. Hasilnya selalu bagus, namun sesuatu yang disebut ALT melonjak angkanya tahun lalu. Saya curiga ini dikarenakan oleh vitamin C dan minyak ikan yang saya konsumsi setiap hari. Fakta bahwa saya tidak pernah sakit lagi sejak dua tahun lalu memang sulit dipercaya, jadi pasti ada harga yang harus saya bayar. 

Lantas mulailah sisi lain dari check-up yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Dulu semuanya baik-baik saja, namun kali ini diperlukan tindak lanjut. Dokter menganjurkan saya untuk menghentikan konsumsi minyak ikan dan mulai berolahraga secara rutin. Saya sendiri baru saja menyelesaikan sesi olahraga bersama pelatih pribadi dan kini meluangkan waktu untuk Strava, jadi setidaknya sudah ada gerak badan. Selain itu, dokter juga menuliskan surat referensi untuk ultrasound yang harus saya lakukan sebulan kemudian. 

Saya tidak pernah menjalani prosedur medis apa pun sebelum ini, jadi saya merasa ingin tahu dan juga gugup dalam waktu yang sama. Ternyata ultrasound itu mirip dengan apa yang istri saya jalani sewaktu kita mengunjungi dokter kandungan dulu. Perawat mengoleskan semacam cairan lalu mulai menggerakkan alat scan ke sana kemari. Entah apa yang dia cari, sebab yang terlihat oleh saya hanyalah layar hitam-putih dengan tampilan seperti TV yang parah sinyalnya.  

Beberapa hari kemudian, saya kembali menemui dokter. Berdasarkan tinjauan dokter, hasilnya baik, tapi juga ditemukan bintik-bintik putih yang sebaiknya diperiksa lebih lanjut. Sekali lagi dokter menulis surat referensi, kali ini untuk CT scan. Butuh dua kunjungan untuk prosedur ini. Yang pertama adalah konsultasi dokter dan periksa darah. Kali kedua barulah prosedur CT scan.

Ini yang namanya kateter.

Berbeda dengan ultrasound, CT scan terlihat lebih serius. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, sebuah kateter dipasang menembus kulit hingga ke pembuluh darah. Saya tidak tahu harus bagaimana, jadi sedapat mungkin saya tidak menggerakkan sebelah tangan saya, haha. Saya lantas memasuki sebuah ruangan dengan mesin Siemens berbentuk lingkaran donat. Saya berbaring di atas tempat tidur mekanik yang bisa masuk dan maju-mundur di lubang donat. Ketika perawat melakukan injeksi cairan yang disebut contrast, ada rasa hangat yang mengalir di tubuh. Seram! 

Saya sempat mendengar tentang contrast beberapa tahun silam, sewaktu ayah saya melakukan PET scan. Cairan ini akan menyala dan digunakan sebagai penanda sel kanker. Saya lantas jadi kepikiran, bagaimana kalau bintik di dalam tubuh adalah kanker? Saya katakan pada istri saya bahwa setelah makan dan minum selama empat dekade, bukannya tidak mungkin kalau saya akan menemukan sesuatu yang tidak saya harapkan. 

Saya tidak pernah memakai gaun, jadi perlu saya abadikan momen ini. 

Karena skenario terburuk adalah kanker, saya jadi melihat kembali hidup saya. Sekali lagi saya menyadari bahwa saya sudah mencoba sebisa saya untuk hidup sepenuh hati. Ya, tentu saja saya tidak akan suka kalau hasil CT scan ini buruk. Saya bahkan mungkin butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Namun saya tidak terlalu takut dan tidak pula memiliki banyak penyesalan hidup. Secara singkat bisa saya jabarkan bahwa saya tetap bisa tidur dengan tenang. 

Lalu tibalah hari di mana dokter akan menjelaskan hasilnya pada saya. Bintik putih misterius itu adalah lemak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, namun tentu saja hasilnya bisa lebih baik lagi. Tidak ada obat untuk yang namanya fatty liver ini, kecuali pola makan yang lebih baik dan olahraga. Saya setuju dengan pendapatnya. 

Kalau saya pikirkan lagi sekarang, check-up tahunan memang agak aneh konsepnya. Terkadang rasanya seperti membayar dokter hanya untuk mendengarkan opininya bahwa kita sehat-sehat saja sampai check-up berikutnya. Kita justru panik sendiri kalo hasilnya bukanlah yang kita harapkan dan kita pun menjalani prosedur medis satu per satu untuk menemukan apa yang salah. 

Saya berdiskusi tentang hal ini dengan teman-teman SMA yang seusia dengan saya. Ada yang berkata bahwa hasil check-up itu menakutkan dan lebih tidak tahu. Ada yang berkata bahwa percuma cari tahu kalau tidak ada uang untuk penanganan lebih lanjut. Saya rasa setiap pendapat itu sah dan realistis. Bagi saya pribadi, lebih baik check-up dan cari tahu. Kalau sampai hasil check-up itu tidak seperti yang diharapkan, minimal kita bisa mempersiapkan diri untuk langkah selanjutnya... 

Wednesday, February 16, 2022

That Feeling Of Being Left Behind

15 years are long enough to be deemed as an era. In my case, it actually covered my late twenties, my thirties and my early forties. The man, a colleague and a friend, was there like a permanent fixture in three decades of my life. Then came a day he decided to move on.

The usual drinking buddies.
Photo by Isaac.

I can't say if I was shocked, but upon hearing that, I experienced this awfully familiar feeling. The mixed feeling of being left behind, one that left you questioning a lot of things, such as why did he leave? Did I make a right decision by staying for this long? How's life going to be when he's no longer with us?

I felt this every time someone close to me was leaving the company. My mentors, a close colleague and drinking buddy, and now this fellow. But this time was so special because of what we went through together for the past 15 years, both work life and life outside work. Those days at Ong and the current work place, the food and the drink we had, those trips to Batam, Jakarta, Jogja, Kuala Lumpur and those that we planned but failed to materialize, and then the Bon Jovi concert. Those were fun, they were rock and roll.

When we were at Ong.

You'd notice that I mentioned Ong just now. The fact that we worked together in the same company before made it even more unique. I knew him when he was wearing glasses and he knew me when I was skinny. We were so young then and when I left, it felt like, "see you on the other side," because I knew we'd work together again in the next company.

Not this time, though. But we had great times and all good things must come to an end. So this one's for you, my man. To an end of an era and a beginning of your new chapter. As for that feeling of being left behind, I know I'll be fine. How can I confirm that? Well, I woke up this morning, thinking it was a new day and I got things to do. As long as I love what I'm doing, I'll be fine, regardless where I am...

When we visited Merapi.



Saat Serasa Ditinggal

15 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk dianggap sebagai suatu era. Dalam konteks saya ini, era ini mencakup saya di penghujung umur 20an, sepanjang usia 30an dan juga awal 40an. Orang ini, baik sebagai kolega maupun teman, sudah bagaikan seseorang yang permanen di tiga dekade berbeda dalam hidup saya. Namun kemudian tiba waktunya bagi dia untuk pindah kerja.

Teman-teman minum.
Foto oleh Isaac.

Saya rasa saya tidak terlampau kaget, tapi terus-terang saya merasakan sesuatu yang sepertinya tidak asing lagi. Perasaan seseorang yang ditinggal, yang pada akhirnya membuat saya bertanya-tanya tentang banyak hal seperti kenapa dia pergi? Apakah saya membuat keputusan yang tepat untuk tetap di tempat? Seperti apa hidup saya nanti tanpa kehadirannya?

Hal ini saya alami setiap kali seseorang yang dekat dengan saya pindah kantor. Para mentor saya, seorang kolega dekat yang juga teman minum, dan sekarang orang yang satu ini. Yang membuat kejadian kali ini terasa lebih istimewa adalah apa yang sudah kami lalui bersama selama 15 tahun terakhir, baik dalam hal kerja maupun di luar pekerjaan. Hari-hari di Ong dan tempat kerja sekarang, saat kita makan dan minum, liburan ke Batam, Jakarta, Jogja, Kuala Lumpur dan juga berbagai rencana yang gagal terwujud, serta konser Bon Jovi. Semua itu berkesan, semua itu rock and roll.

Saat di Ong.

Anda lihat saya menyinggung tentang Ong di paragraf seblumnya. Fakta bahwa kami juga bekerja di perusahaan yang sama sebelumnya membuat perpisahan ini menjadi sangat unik. Saya mengenalnya ketika dia masih memakai kacamata dan dia mengenal saya ketika saya masih sangat kurus. Saat itu kita masih sangat muda sekali dan ketika saya berhenti dan pindah kerja, rasanya seperti, "sampai ketemu lagi di perusahaan berikutnya," karena kita sama-sama tahu itu akan terjadi. 

Tapi tidak demikian ceritanya kali ini. Kendati begitu, kita sudah menjalani begitu banyak hal bersama dan segala sesuatu yang baik tentu ada akhirnya. Jadi tulisan kali ini adalah untukmu, Teman. Untuk akhir dari sebuah era dan awal dari perjalananmu yang berikutnya. Meski ada rasa seperti ditinggal, saya akan baik-baik saja. Bagaimana saya bisa yakin? Hmm, tadi pagi saya bangun dan berpikir bahwa ini adalah hari yang baru dan masih ada banyak hal yang bisa saya kerjakan. Selama saya masih menyukai apa yang saya kerjakan, saya akan baik-baik saja, di mana pun saya berada... 

Saat mengunjungi Merapi.