Our high school chat group, founded in 2015, had been around for quite some time. Over the years, I developed a lot of nonsensical catchphrases. One that appeared quite often recently was, "if you are 40 and you still haven't been to Singapore, something must have gone wrong along the way."
While this might sound incredibly annoying to the uninitiated, my friends simply dismissed this as another bombastic remark from the official gas stove of the group. They didn't take it seriously, which was the beauty of knowing each other for so long, but at the same time, they probably had missed the point.
To be frank, I didn't just say it to irritate them. I actually tried to motivate them in a very subtle way. Throughout my three years of working in Jakarta in my early 20s, I learnt that holiday was the furthest thing I had in mind. I was happy with the way I lived my laid-back life, so ignorant that I didn't know what I had missed.
It was an honest mistake that might happen we were young and single. Now that we were in our 40s, if we had gone through so much hardship but yet it didn't bring us any further from where we started, then there was a danger that we started taking it as a norm. We might be subconsciously believing that, "well, this is my life. I just have to accept it."
Surianto taking pictures of the kids at the zoo.
While acceptance is good, perhaps a little motivation won't hurt as well. I believe that, as a husband and especially as a father, we owe it to our family to show them the world and expand their horizons. One might argue that seeing the world via the internet was fine, but if that was true, then why would people still travel? The hard truth is, nothing beats the real-life experience. The kids deserve that and it is our responsibility to give them the chance.
But why Singapore? Because it's the only first world country close enough to Indonesia, so different from what many of us had seen on daily basis. Singapore is a good exposure for the kids to know. Life here isn't perfect, but it is definitely a good option. What they saw couldn't be unseen. It'd be etched forever in their minds. An inspiration. If this was the one thing you could do to change their lives forever, you surely didn't want to miss that.
This is why I often encouraged friends to come and take a look. With so many budget airlines and a friend who was willing to let you stay few nights for free, Singapore wasn't that expensive. The question was whether you were willing to take the first step by applying for passport. My advice? Come here alone and see what first the world has to offer, then bring the experience back as a motivation that you'd work hard to bring your family to come here one day so they could see Singapore themselves.
If you ever wonder what's in it for me, the answer is nothing. I simply enjoy bringing people to see the city. Back in the days, friends like Jimmy and Endrico brought me around to see Kuching and Singapore. Let's just say because they gave me chance, they inspired me to extend the same chance to other friends, too...
With Jimmy as well as Gunawan and wife.
Motivasi
Grup SMA di WhatsApp yang pertama kali dibentuk di tahun 2015 kini sudah berjalan beberapa waktu lamanya. Dalam beberapa tahun ini, saya juga menciptakan berbagai celetukan yang secara selintas terdengar semena-mena. Satu yang sering muncul belakangan ini adalah, "sudah umur 40 tapi belum pernah ke Singapura, pasti ada yang salah."
Bagi yang tidak paham dinamika grup, komentar ini pasti terdengar menyebalkan. Sejauh ini teman-teman tidak terlalu ambil pusing, mungkin karena komentar ini datang dari seseorang yang mereka sebut sebagai kompor gas. Tak ada menanggapi secara serius (dan inilah indahnya persahabatan yang sudah berjalan sekian lama), tapi di satu sisi, mereka juga tidak menangkap maksud yang tersirat dalam kalimat ini.
Saya tidak mengucapkan hal ini untuk membuat mereka jengkel. Sesungguhnya saya justru menyentil mereka dengan halus. Di awal usia 20an, saya bekerja selama tiga tahun di Jakarta. Di kala saya melihat kembali, saya menyadari bahwa liburan nyaris tidak terpikirkan pada saat itu. Saya puas dengan pola hidup yang santai dan tidak pernah tahu bahwa saya melewatkan begitu banyak hal.
Kesalahan ini bisa dimaklumi dan tidak fatal ketika kita masih muda dan hidup sendiri. Sekarang, di usia 40an, jika kita telah melalui begitu banyak kesulitan hidup dan perjuangan kita tidak membuat banyak perbedaan, kita mungkin jadi merasa bahwa beginilah yang namanya hidup. Kita mungkin lambat-laun percaya, seperti inilah hidup kita dan kita harus menerimanya.
Surianto dan anak-anak.
Berserah diri itu bagus, tapi sedikit motivasi juga baik adanya. Saya percaya bahwa sebagai suami, terlebih lagi sebagai seorang ayah, membawa anak melihat dunia dan membuka wawasan mereka adalah tanggung jawab kita. Anda mungkin merasa bahwa lewat internet saja sudah cukup, tapi kalau sungguh itu benar, kenapa masih banyak orang yang pergi berlibur? Kenyataannya adalah, melihat dan mengalami secara langsung jelas berbeda rasanya. Anak-anak kita hendaknya memperoleh kesempatan ini dan adalah tanggung jawab kita untuk memberikan kesempatan tersebut pada mereka.
Tapi kenapa Singapura? Karena ini adalah negara dunia pertama yang dekat dengan Indonesia dan begitu berbeda dengan apa yang kita lihat sehari-hari di tempat kita berasal. Singapura adalah sebuah pengalaman yang luar biasa untuk dijajaki oleh anak-anak. Kehidupan di sini tidaklah sempurna, tapi jelas merupakan sebuah pilihan yang bagus. Apa yang mereka lihat dan alami takkan terlupakan. Siapa tahu akan menjadi sebuah inspirasi bagi mereka kelak. Nah, jika ini adalah satu hal yang bisa anda lakukan untuk mengubah hidup mereka, tentu anda tidak ingin melewatkannya.
Karena inilah saya sering mendorong teman-teman untuk datang, melihat dan mengalami sendiri, apa yang namanya Singapura ini. Dengan adanya penerbangan murah dan juga teman yang berkenan menyediakan tempat tinggal selama beberapa malam, Singapura pun tidak akan terlalu mahal di ongkos. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah anda mau mengambil langkah pertama dan membuat paspor dulu? Menurut saya, datanglah dulu ke sini seorang diri dan lihat sendiri apa yang ditawarkan Singapura. Setelah itu bawa pulang pengalaman anda dan jadikan motivasi bahwa anda akan bekerja keras dan membawa keluarga anda berlibur ke Singapura suatu hari nanti.
Jika anda membayangkan apa untungnya semua ini buat saya, jawabannya adalah tidak ada. Saya cuma senang bertemu dan membawa teman jalan-jalan. Bertahun-tahun silam, Jimmy dan Endrico juga membawa saya melihat-lihat kota Kuching dan Singapura. Apa yang mereka perbuat lantas menjadi inspirasi bagi saya untuk melakukan hal yang sama. Sesederhana itu...
Long ago, it must be, I have a photograph Preserve your memories; They're all that's left you...
~Old Friends/Bookends~
Simon & Garfunkel, 1968
There are two interesting things that I love most when I'm doing Roadblog101. The first one is when I got the inspiration. It's a wonderful but rather inexplicable experience. It just felt right when the inspiration came. Instinctively, I knew this was what I wanted to write and the words just came out. The feeling is so addictive and this is probably why I still carry on writing after I first discovered this ability in 1996.
The second thing got to do with the lyrics above (I heard the song some time back and it inspired me to write this). Doing Roadblog101 made me realize that I had photos for almost every story I wrote. Told my wife recently I was actually amazed to discover that I had a rather extensive collection of photos from the time I was a baby to date. I didn't set out to do this, but things came together coincidentally.
From toddler to four days ago!
The first part of my life were pretty well documented by my parents. We moved houses a lot since I was seven and I must have lost many of old photos a long the way, but lucky for me, a good chunk of them survived this period. Dad kept the remaining photo albums safely and eventually passed them to me when he visited Singapore.
When I was a teenager, I inherited a Ricoh camera from Dad. Not many people had a camera then and it was not cheap to own one. I mean, a roll of film costed a fortune and you still had to pay more to have it developed! God knows how I scrimped and saved, but I'm glad I managed to snap that time of my life, from high school till college days.
During my stay in Jakarta, I decided to get myself a digital camera. It was a Sony Cyber-shot 3.2 megapixel, the coolest entry level camera I could afford in 2004. Most of the time, I was the man behind the lens, a position I was more comfortable with. I was so skinny and riddled with pimples that I had no confidence to be photographed, haha. As a result, I had a lot of pictures of my colleagues and friends.
Parno in the past twenty years.
Then photography got much cheaper after the dawn of digital cameras. The issue now was the storage. Burning data to CD was the cheapest option then, but it wasn't the best option in a long run. That's how I lost 700MB worth of photos from the Jakarta days, including the photo of my favourite fried rice guy. Oh yes, I had this regular fried rice vendor named Roni. Too bad that I lost the picture of him in action.
By the time BlackBerry appeared, taking pictures had become a norm (though the quality was still awful). Things got better since then and preserving memories was as simple as touching the screen on your phone these days. The existence of cloud made it even more seamless and storage was no longer an issue one needed to worry about.
As a comparison, my daughter had her pictures taken using a digital camera since the day she was born. Mine, as you could tell from the story above, had gone through changes from analog to digital and things got lost during the transition. The fact that most of them remained intact was a miracle. Sometimes I do wish I had pictures of us in the haunted island or the time we had the voyage from Pontianak to Jakarta, but I guess I couldn't be greedy. If anything, I should be thankful. Not many from my generation had the photos like what I had...
"Sometimes I wish that I could freeze the picture. And save it from the funny tricks of time..."
Slipping Through My Fingers
ABBA, 1981
Koleksi Foto
Long ago, it must be, I have a photograph Preserve your memories; They're all that's left you...
~Old Friends/Bookends~
Simon & Garfunkel, 1968
Ada dua hal yang senantiasa terasa menarik saat saya menulis di Roadblog101. Yang pertama adalah saat mendapatkan inspirasi untuk menulis. Rasanya luar biasa, tapi tidak gampang untuk dijelaskan. Pokoknya apa yang dipikirkan dan dirasakan itu terasa pas. Secara insting, saya tahu bahwa topik inilah yang ingin saya tulis dan kata-kata pun mengalir secara alami. Perasaan ini sangat adiktif. Mungkin inilah alasannya kenapa saya masih tetap menulis dari sejak tahun 1996, saat pertama kalinya saya menyadari bahwa saya bisa menulis.
Hal kedua berkaitan dengan lirik di atas (saya mendengar lagu tersebut beberapa waktu lalu sehingga tergugah untuk menulis kisah ini). Roadblog101 membuat saya menyadari bahwa saya memiliki foto untuk hampir semua cerita yang saya tulis. Baru-baru ini saya ungkapkan pada istri saya bahwa saya sendiri terpana dengan koleksi foto saya, mulai dari foto saat bayi sampai hari ini. Sejujurnya saya tidak pernah berpikir untuk sungguh-sungguh mengumpulkan foto, tapi semuanya terjadi begitu saja.
Foto dari masa balita sampai empat hari yang lalu.
Bagian awal hidup saya didokumentasikan dengan baik oleh orang tua saya. Kami pindah rumah berulang kali dan pastilah tidak sedikit foto lama yang hilang, tapi saya beruntung karena foto-foto dari berbagai masa hidup saya tidak lenyap begitu saja. Ayah saya menyimpan album foto yang tersisa dengan baik dan memberikannya pada saya sewaktu dia mampir ke Singapura.
Ketika saya remaja, ayah saya mewariskan kamera Ricoh. Tidak banyak yang memiliki kamera pada saat itu dan mahal pula ongkosnya untuk mempunyai kamera. Maksud saya, satu gulung film tidaklah murah harganya dan selain itu, hasilnya masih perlu dicuci cetak. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana saya berhasil menabung pada saat itu, yang jelas saya bersyukur bahwa saya bisa memotret di saat SMA dan kuliah.
Sewaktu tinggal di Jakarta, saya memutuskan untuk membeli kamera digital Sony Cyber-shot 3.2 megapixel. Ini kamera level pemula bagi yang pas-pasan duitnya, hehe. Seringkali saya menjadi orang di belakang kamera karena saya merasa lebih nyaman sebagai orang yang memotret. Di kala itu saya sangat kurus dan juga berjerawat sehingga tidak percaya diri untuk difoto. Alhasil, saya memiliki banyak foto kolega dan teman-teman.
Foto Parno dari masa ke masa selama 20 tahun terakhir.
Fotografi menjadi hobi yang jauh lebih murah setelah kita memasuki era kamera digital. Yang jadi masalah sekarang adalah tempat penyimpanannya. Menyimpan data di CD adalah pilihan paling murah pada saat itu, tapi tidak berarti merupakan opsi yang bagus untuk jangka panjang. Saya kehilangan data foto sebesar 700MB karena satu CD yang saya miliki tidak bisa dibaca lagi. Setengah dari foto di masa Jakarta pun sirna, termasuk foto Kang Roni, penjaja nasi goreng langganan saya, yang tengah menggoreng nasi pesanan saya saat difoto.
Setelah kemunculan BlackBerry, foto digital mulai menjadi sesuatu yang lumrah (meskipun masih buruk kualitasnya). Semenjak itu, teknologi pun kian maju dan mengabadikan kenangan menjadi semudah menyentuh layar telepon anda. Keberadaan cloud membuat semuanya semakin praktis dan tempat penyimpanan data tidak lagi menjadi masalah.
Sebagai perbandingan, foto-foto putri saya diambil dengan telepon genggam dari sejak dia lahir. Saya lahir di zaman yang berbeda dan foto-foto saya melewati transisi dari analog ke digital. Fakta bahwa foto dari berbagai masa hidup saya masih ada adalah suatu keajaiban tersendiri. Ada kalanya saya berharap bahwa seandainya saja saya sempat berfoto saat mengunjungi Pulau Temajo yang berhantu atau saat saya, Eday, Parno dan kawan menaiki kapal bersama ke Jakarta. Kendati begitu, saya masih berterima kasih dengan apa yang saya miliki. Tidak semua orang dari generasi saya memiliki koleksi foto seperti saya...
"Sometimes I wish that I could freeze the picture. And save it from the funny tricks of time..."
Today's story began with a friend posting a picture of his kids having sushi. I commented that I first had sushi when I was 26. Jimmy and I were at Sakae Sushi Changi Airport then and I could only afford three plates. Sushi was expensive for one who came looking for the job!
At that time, I just landed in Singapore with only USD 1,400 in my pocket, my entire savings after working three years in Jakarta. As a matter of fact, the money was actually my book royalties as a published writer of two novels, not my salary as the IT guy at Kalbe.
As part of Kalbe's IT team.
Another friend in the chat group then asked me, how I survived with only USD 1,400 in Singapore. Much to my surprise, I found out that there was no story telling this exact episode of my life on Roadblog101. It was only mentioned in a couple of stories and the details were vague.
Confused? It's okay, because I'm about to start from the top. You see, a long time ago, I fell in love with this girl named Yani, but it was a relationship full of challenges. One of them was the fact that she was a manager while I was only a lowly staff. If I intended to overcome this gap by leaps and bounds, I certainly needed to do something drastic.
Jimmy and Soedjoko at Suntec, during my visit in 2005.
Believe it or not, that something drastic I had in mind was not finding a job in Singapore. I did come here with Soedjoko in 2005, but that's because I'd like to meet Taty's boss. The man helped people who wanted to work at a apple farm in New Zealand. I met him somewhere nearby Kembangan MRT, not very far from where Endrico and Jimmy were staying.
So there you have it. My grand plan, the best I could think of, was earning dollars by doing menial jobs in a foreign country for few years, haha. But I was always a dreamer. It might seem like an awful plan now, but inside the head of a 25-year old, it was quite bohemian. Imagine a lifestyle where one was picking apples by day and writing by night. Cool, eh?
From left: Hartono, Endrico, me, Suhendi, Parno and Soedjoko during CNY 2006 in Pontianak.
But back to reality, the asking price was USD 2,000. As you could see from the amount I mentioned above, I didn't have enough. I was disappointed, so heartbroken that I saw no point to carry on working at Kalbe. In January 2006, I quit my job in Jakarta and went home jobless. Chinese New Year was coming anyway, so I took a break and decided to worry about my life later.
I couldn't recall what triggered my interest to give a try in Singapore. Perhaps I simply had nothing to lose. Perhaps I was inspired by the freedom I saw when I visited Endrico and Jimmy. One thing for sure, it was made possible by their invitation to come and stay with them if I felt like taking the chances. So off I went with Ardian and Tedy. The two of them came for holiday, I came to start anew.
A parody of our lives in Kembangan. I really slept on that bed!
What happened next was five months of struggle. I shared the bedroom with six other guys and I slept directly beneath the aircon. It was bloody freezing! Then, when all went to work, I'd either be at the library or alone at home, using Tommy's laptop to send resumes to almost any vacancies available, including Hang Ten and Eng Wah Cinema. In the evening, we'd go to the coffee shop in Block 110 Lengkong Tiga, where I'd normally have mui fan. At SGD 3, it was cheap and the portion was generous!
Cheap was good for me, because money was depleting. I remember changing USD at the money changer in Bugis Junction. I also remember being worried and puzzled as I walked away after converting USD 100 to SGD. It was not much. Somehow, someway, it seemed to me that USD was worth more when converted to IDR, but I couldn't really figure out why it looked that way.
Lucky for me, sometimes Jimmy would bring me along when there were data entry jobs that paid hourly. The money was good. For work less than a month, it actually paid two times better than my last drawn salary at Kalbe (it was about IDR 2,8 million). For a short period of time, we even owned a company together. It was called Oceanative Technology Pte Ltd. Though it might sound like a seafood company, we were doing IT. With help of Soedjoko and Robin, the husband of Ice, we completed our one and only project in Ayer Rajah. It was a SGD 10K project, back when SGD 1 was about IDR 5K.
21/02/06, the day I started my life in Singapore.
Then, throughout all this uncertainty, there were visa runs. I was only given two weeks of social visit pass since I first entered Singapore in February 2006. Kind of strange, because social visit pass was normally granted for one month. Anyway, visa runs meant extension of another two weeks. Sometimes I went to Batam. I'd also fly to Jakarta and I remember attending Soedjoko's wedding during this period. The cheapest alternative was, of course, a day trip to Johor Bahru.
But visa runs also came with a risk. The last time I did that, even tough I stayed one night in Johor Bahru, my track records clearly indicated that I had done several attempts of visa runs continuously. As a result, I was brought into immigration office and given a stern warning. The next time this happened, the immigration officer told me that I'd pack and go in no time.
It was a downer, really. The latest addition to my strings of misfortune. I had been applying for so many jobs but heard no good news thus far. Things did look bleak that when I thought of the girl I liked, I had doubts that I could see her again. I mean, how could I? I had nothing. No money, no job, no future. I couldn't help wondering if all this got to do with my computer science degree from Pontianak, a small town. What if it didn't mean a thing? Did I have to kiss my dreams goodbye? Where would I go from here?
When all hope seemed lost, that unfortunate visa run turned out to be the last time I needed to do so. The next thing I knew, I got a call from a job agency. Fujitsu provided IT services to Citibank and I was hired to do end-user computing. In case you didn't know what it meant, my job was mainly preparing laptops for users. To certain extent, I did troubleshooting as well.
I remember being interviewed by Shamrie, the Fujitsu IT team lead, in front of Old Chang Kee in Tampines. Much to my surprise, it actually went well. Only God knows what Shamrie saw in me that he eventually decided to hire me. But whatever his reason was, Shamrie unknowingly gave me the start I desperately needed in Singapore.
Celebrating Yani's birthday.
In the past five months, as I was running out of money, I was scared that I wouldn't make it. There were times when I questioned myself, wondering if I was just a loser. Then finally this happened. Not only I managed to get a job, I also got it just in time before Yani's birthday. I invited her to come here and celebrate. By the time we met again, it felt right.
And the rest is history, perhaps a story for another time. Looking back at the transition period, I wish I could tell you that I was so impressive, but no, I wasn't. I didn't have brilliant plans and I didn't know if I would make it. I'm afraid there was no success formula that I could share with you here. But if there's one thing I learnt from my experience, it must be this: I did what what I could, I got by with a lot of help from my friends and I had been blessed by the One above. When these three aligned, miracle happened.
By the way, back to the three plates of sushi, it felt expensive, alright, but I'd be making a mountain out of a molehill if I said it was a great reminder of how my life had changed. The truth wasn't as dramatic as Hollywood movies. We were simply at Changi Airport, feeling hungry and then we decided to eat Sakae Sushi. It just happened to be something that I hadn't eaten before, so nothing symbolic about it, haha.
Masa Transisi: Dari Jakarta Ke Singapura
Cerita kali ini dimulai dari foto dua anak teman yang hendak makan sushi. Saya lantas berkomentar bahwa saya pertama kali menyantap sushi di usia 26. Saat itu Jimmy dan saya makan di Sakae Sushi Changi Airport dan saya cuma berani mengambil tiga piring kecil. Sushi tidaklah murah bagi seorang pengangguran yang sedang mencari kerja!
Kala itu saya baru mendarat di Singapura. Saya hanya mengantongi USD 1.400 yang merupakan total tabungan saya selama bekerja tiga tahun di Jakarta. Uang ini bukan berasal dari gaji saya sebagai karyawan IT di Kalbe, melainkan royalti yang saya peroleh dari hasil menjual dua buku novel.
Sebagai bagian dari tim IT di Kalbe.
Seorang teman di grup WhatsApp lantas bertanya, bagaimana saya bisa bertahan hanya dengan USD 1.400 di Singapura. Setelah saya telusuri kembali, ternyata tidak ada cerita khusus tentang masa transisi ini di Roadblog101. Kisah ini hanya disinggung secara sepintas di beberapa cerita yang sudah ada.
Bingung? Tidak apa-apa, akan saya ceritakan kembali dari awal. Semua ini dimulai bertahun-tahun silam, ketika saya jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Yani. Akan tetapi hubungan ini penuh tantangan. Salah satunya adalah fakta bahwa dia adalah seorang manajer dan saya hanyalah seorang karyawan biasa. Saya lantas berniat mengatasi kesenjangan ini secara cepat dengan melakukan sesuatu yang drastis.
Jimmy dan Soedjoko di Suntec saat kunjungan saya ke Singapura di tahun 2005.
Percaya atau tidak, sesuatu yang drastis di benak saya bukanlah mencari kerja di Singapura. Saya memang datang ke sini bersama Soedjoko di tahun 2005, namun itu karena saya ingin bertemu dengan bos Taty. Konon orang India ini bisa memberangkatkan tenaga kerja yang ingin memetik apel di Selandia Baru. Saya bertemu dengannya di stasiun Kembangan, tak jauh dari tempat tinggal Endrico dan Jimmy.
Jadi inilah rencana saya. Meraup dolar dengan profesi pekerjaan kasar di negara asing selama beberapa tahun, haha. Walau sekarang konyol kedengarannya, tapi impian tersebut terasa penuh kebebasan dan cukup menghasilkan bagi pemuda berumur 25 tahun. Pada dasarnya saya adalah pemimpi, jadi bayangkan gaya hidup dimana saya memetik apel dari pagi sampai sore, lalu menjalani kehidupan sebagai penulis di malam hari. Menarik, bukan?
Dari kiri: Hartono, Endrico, saya, Suhendi, Parno dan Soedjoko saat Tahun Baru Cina di Pontianak.
Kembali pada kenyataan, harga yang diminta adalah USD 2.000. Seperti yang telah saya sebutkan di atas, uang saya tidak cukup. Saya kecewa dan putus asa, sampai-sampai saya merasa tidak ada gunanya bagi saya untuk tetap bekerja di Kalbe. Oleh karena itu saya berhenti dan pulang ke Pontianak sebagai pengangguran di bulan Januari 2006. Saya putuskan untuk beristirahat dulu sambil merayakan Tahun Baru Cina, setelah itu baru saya pikirkan apa langkah selanjutnya.
Saya tidak ingat lagi apa sebenarnya yang mendorong saya untuk mencoba mencari kerja di Singapura. Mungkin saya terinspirasi oleh kebebasan yang saya lihat saat saya dan Soedjoko mengunjungi Endrico dan Jimmy. Satu hal yang pasti, dua teman ini mengundang saya untuk tinggal di tempat mereka bilamana saya hendak mengadu nasib. Akhirnya saya ke sana bersama Ardian dan Tedy. Mereka berdua datang dengan tujuan wisata, saya tiba untuk memulai babak baru dalam hidup saya.
Parodi kehidupan para penghuni rumah di Kembangan. Saya tidur di kasur yang pas di bawah AC ini.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah perjuangan selama lima bulan. Saya tinggal di kamar utama bersama enam orang lainnya dan saya tidur tepat di bawah AC. Dinginnya luar biasa. Kemudian, di kala yang lain pergi bekerja, terkadang saya mengunjungi perpustakaan, namun tak jarang pula berdiam diri di rumah dan menggunakan komputer Tommy untuk mengirim lamaran kerja apa saja, bahkan ke toko baju Hang Ten dan bioskop Eng Wah. Di malam hari, biasanya kita makan di Blok 110 Lengkong Tiga dan saya sering kali memesan mui fan. Saat itu harganya cuma SGD 3, murah dan banyak pula porsinya!
Harga makanan yang murah itu sangat membantu saya dalam berhemat, sebab tabungan saya kian hari kian menipis. Saya ingat saat saya menukar USD di valuta asing di Bugis Junction. Saya merasa khawatir dan bingung sewaktu saya selesai bertransaksi. Entah kenapa USD 100 tidak terlihat banyak setelah ditukarkan ke SGD, padahal kalau dirupiahkan, rasanya seperti berlimpah.
Beruntung bagi saya, terkadang Jimmy membawa saya untuk turut serta bila ada pekerjaan sampingan input data yang dibayar per jam. Uangnya lumayan. Untuk pekerjaan kurang dari sebulan, bayarannya dua kali lipat dari gaji terakhir yang saya terima di Kalbe (sekitar IDR 2,8 juta). Kita juga sempat membuat perusahaan bersama. Namanya Oceanative Technology Pte Ltd. Meski terdengar seperti toko seafood, kita bergerak di bidang IT. Dengan bantuan Soedjoko dan juga Robin yang merupakan suami Ice, kita menyelesaikan satu-satunya proyek kita di kawasan Ayer Rajah. Proyek ini bernilai SGD 10 ribu dan SGD 1 pada waktu itu berada di kisaran IDR 5 ribu.
21 Februari 2006, hari pertama saya di Singapura.
Kemudian, di masa yang penuh ketidakpastian ini, saya harus keluar-masuk Singapura untuk memperpanjang visa. Saya hanya diberikan social visit pass selama dua minggu sejak saya pertama kali menjejakkan kaki di Singapura pada bulan Februari 2006. Aneh juga, sebab social visit pass biasanya itu sebulan. Setiap kali saya keluar-masuk, saya kembali mendapatkan dua minggu. Kadang saya ke Batam. Ada kalanya saya ke Jakarta dan saya bahkan menghadiri pernikahan Soedjoko pada masa ini. Alternatif paling murah pada saat itu tentunya adalah perjalanan bolak-balik di hari yang sama ke Johor Bahru.
Akan tetapi apa yang disebut sebagai visa runs ini juga beresiko. Terakhir kali saya melakukan hal ini, saya digiring ke kantor imigrasi Woodlands dan diberikan peringatan keras. Meski saya sempat bermalam di Johor Bahru, rekam jejak saya menunjukkan bahwa saya sudah melakukan visa runs berulangkali. Petugas imigrasi memberikan ultimatum: sekali lagi saya tertangkap, saya akan segera dikirim pulang ke Indonesia.
Kejadian ini membuat saya terpukul dan semakin cemas. Saya sudah melamar banyak pekerjaan, tapi belum ada yang berhasil. Semua terlihat suram dan ketika saya memikirkan gadis yang saya sukai, saya jadi ragu kalau saya bisa bertemu dengannya lagi. Bagaimana bisa? Saya tidak punya apa-apa. Uang, pekerjaan, masa depan, semuanya tak ada. Saya bahkan jadi kepikiran, apa ini karena gelar sarjana yang saya peroleh dari Pontianak, yang hanya merupakan kota kecil dan tidak banyak diketahui orang? Bagaimana kalau gelar sarjana ini sama sekali tidak berarti? Apa saya lantas harus mengakhiri impian saya di Singapura? Apa lagi yang bisa saya kerjakan setelah ini?
Ketika harapan bagaikan pupus, tak disangka visa run yang naas itu menjadi kali terakhirnya bagi saya. Mendadak saya mendapat panggilan dari biro pekerjaan. Fujitsu menyediakan jasa IT ke Citibank dan saya dipekerjakan untuk perihal end-user computing. Secara awam ini bisa dijelaskan sebagai bagian yang mengurus kebutuhan komputer karyawan. Tugas saya adalah menyiapkan laptop dan terkadang juga memecahkan masalah komputer yang sedang dihadapi oleh pengguna.
Saya ingat saat diwawancarai oleh Shamrie, pimpinan tim IT Fujitsu, di depan Old Chang Kee di Tampines. Di luar dugaan, ternyata semua berjalan lancar. Hanya Tuhan yang tahu apa yang dilihat Shamrie dari diri saya sehingga dia mau mempekerjakan saya. Terlepas dari apa alasannya, Shamrie mungkin tidak pernah tahu bahwa dia telah memberikan kesempatan yang sangat saya butuhkan semenjak saya tiba di Singapura.
Merayakan ultah Yani di tahun 2006.
Selama lima bulan terakhir, saya nyaris kehabisan uang dan saya takut bahwa saya tidak akan berhasil. Terkadang saya bahkan berpikir, jangan-jangan saya hanyalah seorang pecundang. Lalu tiba-tiba hal baik ini terjadi. Bukan saja saya dapat kerja, tapi saya juga mendapatkannya sebelum hari ulang tahun Yani. Saya undang dia ke sini untuk merayakannya. Ketika kita bertemu lagi, rasanya seperti sebuah impian yang tercapai.
Dan apa yang terjadi selanjutnya adalah cerita untuk lain waktu. Ketika saya melihat kembali masa transisi ini, tidak saya pungkiri bahwa saya ingin menceritakan sebuah kisah yang fantastis, tapi beginilah sebenarnya yang terjadi. Saya tidak memiliki rencana yang jenius dan ada pula saat-saat saya merasa gagal. Saya tidak memiliki formula sukses yang bisa saya bagikan, tapi jikalau ada satu hal yang saya pelajari dari pengalaman saya ini, maka inilah yang bisa saya simpulkan: saya hanya menjalani hidup dan berupaya sebisa saya. Selain itu, saya juga dibantu oleh teman-teman. Pada akhirnya jerih-payah saya diberkati oleh-Nya. Jika tiga hal ini berpadu, mukjizat pun terjadi.
Oh ya, kembali lagi ke tiga piring sushi, rasanya memang mahal pada saat itu. Akan tetapi terlalu berlebihan rasanya bila saya mengatakan bahwa tiga piring sushi itu mengingatkan kembali bahwa hidup saya sudah jauh berubah. Kenyataannya tidaklah sedramatis itu. Apa yang terjadi adalah, saat itu kita berada di Changi Airport dan merasa lapar, jadi kita putuskan untuk makan di Sakae Sushi. Kebetulan sushi ini sesuatu yang belum pernah saya coba, jadi tidak ada yang simbolik dari semua ini, hehe.
You might have noticed that we had book reviews on Roadblog101. This is because I love reading books and comics. Reading was the oldest hobby of mine in the past 40 years. Long before I started watching movies and playing games, I read. But today, in the fast-paced world dominated by online streaming and social media, why do I still read?
I never really thought of it until I had this bowl of KFC porridge. True story, haha. My friend Wawa noticed the book in the picture and asked innocently, "why Obama?" Then, as I explained the reason why, it dawned on me that reading was actually some form of listening and the readers listened willingly.
The porridge and the book.
In order to understand the definition, first you had to know the type of books that I read. I like history and good stories, but I like biography the most. It didn't have to be Obama's. It could be about anybody else, like the Indian guy who rode a bike to Europe for love. It could even be the fictitious ones such as the life and times of Scrooge McDuck. As long as I found it intriguing, I'd read it. And if it was fascinating, I'd finish it.
When I read, I immersed myself in the world of the storytellers. The hardship they went through. The mistakes they made. The success they had. Everything. True that reading did open one's horizon, but by the time the book was finished, it reminded me again that miracle existed, hard work was rewarding and stayed true to what we believed was worth it.
That's just what I needed. In real life where the routines took place, things were mundane and kind words were hard to come by, it was only human to feel tired and lose hope. What I read was often an encouragement and it restored my faith that life was good indeed. This is why I love reading. If you never liked reading before, perhaps now is the time to try it out...
Membaca: Bukan Sekedar Hobi
Anda mungkin memperhatikan bahwa Roadblog101 seringkali menampilkan ulasan buku. Saya bisa menulis ulasan karena saya banyak membaca buku dan komik. Membaca adalah hobi saya yang pertama dan terlama dalam 40 tahun hidup saya. Jauh sebelum saya mulai nonton dan main game, saya sudah membaca. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, di masa kini yang berjalan cepat dan didominasi oleh film online dan media sosial, mengapa saya masih membaca buku?
Saya tidak pernah memikirkan jawabannya sampai saya menyantap bubur KFC ini. Ya, ini adalah kisah nyata, haha. Teman saya Wawa melihat buku di foto ini dan bertanya, kenapa saya membaca tentang Obama. Kemudian, di saat saya menjabarkan alasan saya, mendadak saya sadari bahwa membaca itu tak ubahnya seperti mendengarkan dengan seksama.
Bubur dan buku.
Untuk memahami pengertian di atas, anda harus tahu dulu, buku seperti apa yang saya baca. Saya menyukai sejarah dan cerita, tapi saya paling suka biografi. Saya tidak hanya membaca biografi orang tenar seperti Obama, tapi juga tentang orang biasa seperti pria Indian yang naik sepeda ke Eropa karena cinta. Bahkan kisah fiksi tentang Paman Gober pun saya jajal. Asalkan menarik, saya akan coba. Kalau bagus, akan saya baca habis.
Sewaktu saya membaca, saya terbuai dan terbawa ke dunia yang diceritakan oleh sang penulis. Saya membayangkan tentang kesulitan yang mereka lewati. Saya belajar dari kesalahan yang mereka perbuat. Saya tergugah dengan sukses yang mereka raih. Benar bahwa buku itu membuka wawasan kita, namun di kala buku itu selesai dibaca, saya kembali diingatkan bahwa keajaiban itu ada, kerja keras itu membuahkan hasil dan berpegang teguh pada apa yang kita percaya itu perlu dan sepadan hasilnya.
Kadang inilah yang saya perlukan. Di kehidupan nyata dimana rutinitas yang monoton terjadi setiap hari dan kata-kata positif jarang diucapkan orang lain kepada kita, sungguh manusiawi bila kita merasa lelah dan bertanya, apakah gunanya jerih-payah kita. Apa yang saya baca di buku seringkali membuat saya kembali bersemangat dan percaya bahwa hidup ini pada dasarnya indah. Karena inilah saya suka membaca. Oleh karena itu, jikalau anda belum pernah membaca buku sampai tuntas, mungkin sudah saatnya anda mencoba...
When I wrote about the colleagues, I was reminded again about how friendship was made. I even came up with a paragraph about it, but I eventually edited it out from the story as it didn't really fit in. But the idea lingered and waited to be told, therefore we had this one.
The previous article made me realize that there was a certain pattern or criteria for me to befriend someone. While this might sound odd to you, I had this peculiar understanding that days of making friends were over the moment I graduated from high school (back in school, other students were called school friends, not school colleagues). I had no close friends in college, except HM and Ardian, but even they were technically high school friends.
With Sudarto (second row, first one from the left) and Sugi (the one in shirt, next to birthday girl).
When I was in Jakarta, I inadvertently learnt that a new friendship could be forged. There was this guy called Sugi and he was actually my vendor. He was a nice fellow, quite funny and also seemed genuine. The fact that he was also skillful in what he did was definitely a plus, haha. After those burnt weekends and long hours we went through in solving network issues, I knew him well enough to call him a friend. By the time he needed help when he first moved to Singapore, I welcomed him into our midst.
Then there was Soedjoko, also a vendor of mine in Jakarta then. In my term of hierarchy, vendor was the third tier and they came after colleagues, so they were even more unlikely to be friends. But yet after almost 20 years later, we still kept in touch and visited each other. Just like Sugi, he was also funny and sincere. He knew his stuff well, too. That's how we became lifelong friends.
With Soedjoko (center) in Bangkok.
Third one, should we need more examples, was Sudarto. Unlike the first two, I never worked with him before. He was my housemate in Kembangan when I first came to Singapore. He was hilarious, a great friend with a keen sense of humor. We had great times during his stay in Singapore and I cherished the moments when we traveled to Vietnam and Cambodia.
Based on these three, it's safe to say that I had a tendency to befriend people who were funny and decent. It wasn't difficult to recognize someone funny, but how to measure decency? I guess one could just sense it. I mean, you could tell if people were being too friendly, eager to please or they were simply comfortable to be who they were. You'd just feel it when they were on the same frequency.
With HM in Pontianak, two years ago.
And that explained why my close friends were generally funny people. However, it turned out that exception did happen from time to time. HM, a friend I mentioned earlier, was not someone you'd call funny. He was a man of few words, but we were very close in last year of high school and throughout college days. Between the two of us, he was the smarter and wiser one. I always looked up to him, but it's still a mystery to me how two characters so different could be best of friends.
Then of course another exception would be my wife. She got a loud infectious laughter when she laughed uncontrollably, but she was not funny by nature. I'd say she was the exact opposite of me in this aspect, but that's probably what I needed. She brought the severely lacking balance into the equation of our lives. I was the lucky one here and, truthfully speaking, only God knows what she saw in me, haha. Hmm, may be I should ask her one of these days...
Yani and I at VivoCity.
Orang-Orang Lucu
Ketika saya menulis tentang para kolega, saya jadi teringat tentang bagaimana persahabatan itu bermula. Saya bahkan sempat menulis satu paragraf, tapi akhirnya saya edit karena tidak sesuai dengan tema. Sebulan kemudian, ide ini masih menanti untuk dituangkan, jadi akhirnya saya pun menulis tentang hal ini.
Tulisan tentang rekan kerja membuat saya menyadari bahwa ada semacam pola atau kriteria bagi saya untuk berteman dekat dengan orang lain. Walau ini mungkin terdengar aneh bagi anda, saya memiliki pemikiran bahwa hari-hari dimana kita berkenalan dan berteman itu usai setelah tamat SMA (hanya di masa sekolah kita menggunakan istilah teman sekelas. Kalau di dunia kerja, sebutan yang dipakai adalah rekan kerja atau kolega). Saya sendiri tidak memiliki teman dekat di saat kuliah. Yang akrab pada saat itu cuma Ardian dan HM, yang sebenarnya merupakan teman dari sejak SMA.
Bersama Sudarto (baris kedua, yang pertama dari kiri) dan Sugi (yang mengenakan kemeja di samping gadis kecil).
Ketika saya pindah dan bekerja di Jakarta, saya lantas menyadari bahwa persahabatan baru bisa dibina. Ada seorang kenalan bernama Sugi dan dia adalah mitra kerja saya yang berasal dari perusahaan lain. Dia baik dan sopan orangnya, lucu dan tulus pula. Fakta bahwa dia pakar di bidangnya adalah nilai tambah, haha. Setelah melalui akhir pekan dan malam-malam yang panjang dalam menyelesaikan masalah network, saya jadi kenal baik dan bersahabat dengannya. Tatkala dia butuh bantuan sewaktu pindah ke Singapura, saya pun membawanya masuk dan tinggal di rumah yang dihuni oleh saya dan para perantau lainnya.
Selain itu ada pula Soedjoko. Dia juga merupakan mitra kerja saya di bidang ruang server dan perkabelan. Di dalam hirarki keakraban saya, yang namanya mitra itu ada di peringkat tiga, sesudah teman dekat dan rekan kerja. Akan tetapi setelah hampir 20 tahun berlalu, kita masih tetap bertegur sapa dan saling mengunjungi bilamana kita sempat. Sama halnya seperti Sugi, dia lucu dan apa adanya. Dia juga hebat di bidangnya.
Bersama Soedjoko (tengah) di Bangkok.
Contoh ketiga adalah Sudarto. Berbeda dengan dua teman sebelumnya, dia tidak pernah menjadi mitra atau rekan kerja saya. Dia adalah teman serumah di Kembangan sewaktu saya datang mencari kerja di Singapura. Sudarto ini lucu orangnya, teman yang baik dan berselera humor. Sewaktu dia berada di Singapura, kita sering menghabiskan waktu bersama dan bahkan bertualang sampai ke Vietnam dan Kamboja.
Dari tiga contoh ini, bisa disimpulkan bahwa saya cenderung berteman dengan orang yang lucu dan tulus ikhlas. Tidak sulit untuk mengenali orang lucu, tapi bagaimana caranya mengukur ketulusan seseorang? Saya rasa anda bisa merasakannya. Maksud saya, tentunya ada rasa risih bilamana seseorang itu terlalu bersahabat atau berusaha sedaya-upaya untuk membuat anda senang. Beda halnya kalau dia nyaman menjadi dirinya. Anda pun akan merasa cocok dan satu frekuensi dengan orang ini.
Bersama HM di Pontianak, dua tahun silam.
Dari sini bisa dijelaskan kenapa teman-teman dekat saya biasanya lucu. Ya, karena saya sendiri pun gemar melucu. Namun ternyata ada pengecualian dari waktu ke waktu. HM yang sempat saya sebutkan di atas ini bukanlah kategori orang lucu. Dia pendiam dan tidak banyak berbicara, tapi kita berteman akrab di kelas tiga SMA dan sepanjang masa kuliah. Di antara kita berdua, dia lebih pintar dan bijak. Saya selalu mengaguminya dalam dua hal ini, tapi saya sendiri tidak pernah mengerti, kenapa dua karakter yang begitu berbeda ini bisa jadi teman baik, haha.
Pengecualian yang satunya lagi adalah istri saya. Kalau dia sedang tergelak-gelak oleh sesuatu lelucon, suara tawanya bisa membuat saya ikut tertawa, namun dia bukanlah sosok yang lucu. Boleh dikatakan dia sungguh bertolak-belakang dengan saya dalam hal ini, tapi mungkin ini yang saya butuhkan. Keberadaannya membawa stabilitas dan rasionalitas dalam hidup saya. Jujur saya katakan bahwa saya sungguh beruntung. Terkadang saya jadi berpikir lagi, apa sebenarnya hal menarik yang dia lihat dari diri saya. Hmm, mungkin saya akan bertanya padanya suatu hari nanti...
I wrote about my high school chat group last year. The WhatsApp group was fun, but admittedly quite tense in its early years. You got people saying the wrong things, temper would flare and before you knew it, someone had already left the group. With all kinds of characters grouped into one and the egos unchecked, that was bound to happen.
But it'd been almost six year since the group's troubled infancy and by now, the group had been matured and so were the dynamics. By natural selection, the members filled in roles such as a fake CEO, a morning newscaster nobody really cared about, a tiny bully, a factual uncle-man or a good doctor. If this was not unique enough, we even got a controversial man who always abused the 😂 emoji! Then there was me, the one they nicknamed the gas stove.
The gas stove.
So what did the gas stove do? In short, I heated things up and burnt them down real quick, haha. It was neither a friendly nor a noble role, but hey, somebody gotta be the antagonist. Otherwise, it'd be a boring group. The whole idea of it was to make the group more lively. While I might appear as a nuisance, what I did helped bringing random topics that involved many people. Due to this, they ended up participating in the conversation, too.
As a big fan of Stephen Chow and comedy in general, I was naturally cheeky. It wasn't difficult for me to pick up any lines and turn them upside down. My trademark would be, "nobody/everybody always blablabla these days," where blablabla was a placeholder for something nonsensical. Alternatively, it'd be, "want to know something blablabla?" The blablabla was normally something over the top. The basic guideline was to oppose anything in any way. If you felt confused, this favorite sketch of mine might be able to paint the picture:
Why did I do all this? What was in it for me, actually? Well, life could be stressful. I'd been serious when I was working the whole day. Being a parent required attention and energy, too. All this was tiring. Hence whenever I could, I'd just blow off steam by doing something I loved. And I had always loved nonsense. It cheered me up. The group was my outlet that allowed me to simply be myself.
The question now was, was my role as pseudo-antagonist well-received? I couldn't say that I never offended some throughout my long, illustrious career. But there was a time when I was missing in action for few days last year due to one big IT issue and they actually missed me. Some friends even pinged me personally to find out what happened. It was heartwarming to learn that the chat group could use a little bit of nuisance they knew and loved...
Kompor Gas
Tahun lalu, saya menulis tentang grup WhatsApp yang beranggotakan teman-teman SMA. Grup ini menyenangkan, tapi tak luput dari ketegangan, terutama di tahun-tahun pertama. Begitu ada yang salah bicara, yang lain lantas tersinggung, lalu cekcok dan meninggalkan grup. Ini sulit terelakkan mengingat begitu banyak karakter berbeda yang terhimpun dalam satu grup.
Akan tetapi grup ini sudah berjalan hampir enam tahun lamanya dan sekarang menjadi lebih matang serta mengerti satu sama lain. Masing-masing anggota memiliki peran tersendiri. Ada yang menjadi CEO palsu, ada pembaca berita tidak penting di pagi hari, ada tukang buli yang mungil, ada encek yang bijak, ada pula dokter yang baik dan masih banyak lagi. Kalau semua ini masih belum cukup unik, kita bahkan memiliki pria kontroversial yang sering memaksakan penggunaan emoji yang satu ini: 😂! Kemudian ada saya yang dijuluki kompor gas.
Kompor gas.
Jadi apa yang dilakukan oleh kompor gas? Secara singkat, saya menggoreng isu dan mengadu-domba secara jenaka, haha. Ini bukan peran yang baik, tapi setiap grup perlu pemeran antagonis. Kalau tidak, pasti membosankan grupnya. Apa yang saya kerjakan membuat grup menjadi lebih hidup. Secara sepintas, saya sering terlihat menyebalkan, tapi saya membawa beraneka topik yang mengikutsertakan banyak orang sehingga mereka pun bisa berpartisipasi dalam percakapan.
Sebagai penggemar berat Stephen Chow dan komedi, pada dasarnya saya memang iseng. Tidak sulit bagi saya untuk berkomentar apa saja yang bertolak belakang dengan apa yang disampaikan. Gaya khas saya yang berlogat Jakarta/Melayu biasanya seperti ini: "hari gini dak ada yang/semua orangblablabla," dimana blablabla adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Selain itu saya juga sering menggunakan kalimat, "mau tau yang lebih blablabla?" dan blablabla biasanya sesuatu yang hiperbola. Prinsipnya adalah menyampaikan sesuatu yang kontradiktif. Jika anda masih bingung, gambar berikut ini mungkin bisa memberikan penjelasan:
Kenapa saya melakukan semua ini? Apa untungnya buat saya? Hidup ini penuh dengan hal yang bikin stres. Saya sudah serius sepanjang hari selama bekerja. Sebagai seorang ayah di rumah, saya juga perlu memusatkan perhatian untuk anak. Semua ini melelahkan. Oleh karena inilah saya melepaskan kepenatan ini dengan melakukan sesuatu yang saya sukai. Dan saya suka segala sesuatu yang konyol dan menggelitik karena hal-hal ini membuat saya gembira. Keberadaan grup ini menjadi sarana bagi saya untuk menjadi diri saya sendiri.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah peran saya sebagai antagonis jadi-jadian diterima dengan baik oleh teman-teman? Saya tidak bisa menyangkal bahwa ada beberapa yang tersinggung oleh saya, haha. Kendati begitu, di tahun lalu, ketika saya menghilang beberapa hari karena masalah besar di kantor, ternyata grup merasa kehilangan. Beberapa teman bahkan menghubungi saya secara pribadi untuk mencari tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi. Kesimpulannya, saya merasa tersentuh karena grup teman-teman SMA ini ternyata membutuhkan seorang yang menjengkelkan di tengah-tengah mereka...
I once said that India is probably the most fascinating country that I never visited thus far. The movies I saw and the books I read told me about the exotic cultures and great food that are equalled only by the harsh living conditions and poverty. They just don't add up and I can't help feeling that India is a place where one will need to be there in order to experience it properly. This is why I want to visit the country one day.
But despite the hardship, the story of India is also often a story of hope. A year ago, I read about a man who cycled from to Europe for love. This year, I had a chance to read this one. It started with a friend of mine telling me about a movie called Lion starring Dev Patel. The story was somewhat familiar, I think it was on the news years ago. I gave it a try and was blown away by it. The film was beautiful and it left me wanting more. That's when I browsed the library collection and found the book.
In essence, the book was divided into three parts. The first section was about Saroo's childhood in India. He was a poor boy from Ganesh Talai, an impoverished village in Madhya Pradesh. When he was five, he went to Burhanpur with his brother Guddu and he accidentally boarded a train that traveled to Kolkata.
That was like more than one thousand kilometers away from his house and in India, it meant he ended up in a foreign land where people spoke a different language and nobody there had heard of Ginestlay. Needless to say, he became a homeless kid roaming the streets, eating whatever he could find and encountering near-death experiences. Lucky for him, he was eventually picked up by an adoption agency.
Thus began the second chapter of his life. Saroo was adopted by the Brierleys and he moved to Hobart, Tasmania. His adoptive mother, played by Nicole Kidman in the movie, was an amazing person who chose to adopt less fortunate children when she could actually have her own kids. This selfless act saved his life. Saroo then grew up as an Australian, but at the back of his head, he never really forgot his family back in India.
With the help of Google Earth, he started searching for his village. It was a gargantuan task. His vague childhood memories clearly didn't help as it never occurred to him that his hometown was very far from Kolkata. In fact, because he was illiterate, he got many names wrong, including his own. What he pronounced as Ginestlay and Berampur, were actually Ganesh Talai and Burhanpur. No wonder he never found them!
It took him three years and close to 10,000 hours to be on the right track. And even when he finally made it, 25 years had passed and he couldn't be sure that his mother was still there. But that's the thing with India. When all hope seemed lost, miracle happened and story ended with the closure Saroo was looking for. It was as happy as it could be, but not without a tragedy.
The movie was good and it showed you a glimpse of India, but certain parts of the story were changed and/or omitted. If you'd like to hear from the man himself, pick up this book and read. It is an easy reading and most importantly, it will remind you that kindness and miracle still exist regardless how hard the life is...
The book and the film on Netflix.
Ulasan Buku: Perjalanan Panjang Ke Rumah
Dua tahun lalu saya pernah menulis bahwa India adalah negara paling menarik yang belum pernah saya kunjungi. Film-film yang saya tonton dan buku-buku yang saya baca mengisahkan tentang negeri dengan budaya yang eksotis dan makanan lezat. Negeri yang sama juga terkenal dengan kehidupannya yang keras dan kemiskinannya yang sulit dipercaya. Sungguh fakta yang bertolak belakang! Karena inilah India perlu dikunjungi. Negara ini perlu dialami sendiri dan tidak bisa sekedar diketahui dari film dan buku.
Meskipun parah kesejahteraannya, India juga merupakan sebuah cerita tentang harapan. Setahun yang lalu, saya membaca tentang kisah seorang pria Indian yang bersepeda ke Eropa demi cinta. Tahun ini saya berkesempatan membaca buku ini. Awalnya ada teman yang bercerita tentang film Lion yang dibintangi oleh Dev Patel. Sepertinya saya pernah baca kisah ini di berita beberapa tahun silam. Saya lantas mencoba filmnya dan saya sungguh terkesan, sehingga saya pun mencari tahu lebih lanjut. Akhirnya saya temukan bukunya di perpustakaan.
Secara singkat, buku ini bisa dikatakan terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah tentang masa kecil Saroo di India. Dia adalah bocah miskin di Ganesh Talai, sebuah perkampungan kumuh di negara bagian Madhya Pradesh. Sewaktu berumur lima tahun, dia pergi ke Burhanpur bersama abangnya Guddu. Di sana ia secara tidak sengaja menaiki kereta ke Kolkata.
Kolkata itu kira-kira 1.500 kilometer jauhnya dari Ganesh Talai. Ketika ia turun dari kereta, dia tiba di negeri asing dimana orang-orangnya tidak lagi berbahasa Hindi. Tidak seorang pun yang tahu di mana sebenarnya Ginestlay. Alhasil, bocah miskin ini pun menjadi anak jalanan yang mengorek sampah untuk makan dan berkali-kali hampir mati karena berbagai kemalangan yang menimpanya. Nasib baik akhirnya membawa Saroo ke panti anak-anak yatim piatu.
Dari sinilah babak kedua hidupnya bermula. Dia diadopsi oleh keluarga Brierley dan pindah ke Hobart, Tasmania. Ibu angkatnya yang diperankan oleh Nicole Kidman di film adalah seorang wanita luar biasa yang memilih untuk mengadopsi anak-anak yang malang nasibnya, padahal dia sebenarnya bisa saja melahirkan anak sendiri. Perbuatan baik ini akhirnya mengubah nasib sang bocah. Saroo tumbuh dewasa menjadi warga Australia, tapi di benaknya senantiasa terlintas kenangan tentang keluarganya di India.
Dengan menggunakan Google Earth, Saroo mulai mencari kampungnya. Ini adalah sebuah misi yang boleh dikatakan mustahil, sebab India memiliki banyak kota yang hampir sama namanya. Ingatan masa kecilnya tidak banyak membantu dan malah menyesatkan, sebab tidak terpikir olehnya bahwa rumahnya sangat jauh dari Kolkata. Karena dia tidak sekolah di masa kanak-kanaknya di India, banyak nama yang dia salah sebut. Bahkan namanya sendiri pun keliru. Apa yang dia ucapkan sebagai Ginestlay dan Berampur sebenarnya Ganesh Talai dan Burhanpur. Pantas saja dia tidak pernah menemukan tempat asalnya.
Butuh tiga tahun dan hampir 10.000 jam lamanya bagi Saroo untuk menemukan jalan pulang. Ketika dia akhirnya berhasil, 25 tahun sudah berlalu dan dia tidak tahu pasti apakah ibunya masih tinggal di kampung yang sama. Tapi inilah uniknya India. Ketika harapan hampir pupus, keajaiban terjadi dan cerita ini berakhir nyaris seperti apa yang Saroo dambakan. Ada kegembiraan yang luar biasa, tapi tak luput pula dari tragedi yang tidak terduga.
Filmnya bagus dan memberikan gambaran seperti apa kehidupan miskin di India, tapi ada pula bagian cerita yang diubah dan juga dihilangkan. Jika anda ingin mendengar cerita seutuhnya dari Saroo, maka buku ini adalah pilihan yang lebih tepat. Gampang dibaca ceritanya, tapi yang lebih penting lagi adalah hikmahnya. Buku ini akan mengingatkan anda kembali bahwa sesulit apa pun hidup ini, masih ada kebaikan dan keajaiban bagi mereka yang membutuhkannya...