Total Pageviews

Translate

Friday, November 15, 2019

Pacific Rim

As mentioned before, I'm not a fan of beaches, but from time to time, I do read about the neighbouring countries on the Pacific Rim. There are some that you might have heard of before, such as Fiji, Guam (a territory of the US) or even Vanuatu. I found them fascinating, mainly because these tiny dots are quite far from the nearest continent. I imagined it'd be like stranded in the middle of the ocean, but yet the islanders seemed to be doing fine. 

Of all these sovereign states, I always thought that I would visit New Caledonia one day. The French territory is easily the most beautiful and advanced country in the Oceania region. But it comes with the price. The flights to New Caledonia aren't cheap!

Kiribati.
Image from worldnomads.com

Kiribati is also interesting, but it was due to the fact that the country used to be split into two by the International Date Line (IDL). Back then, if you travelled to the eastern side of the country, suddenly you were one day behind simply because you crossed the IDL. 

Another one that caught my attention was Palau. I never realized that the island country's location is not exactly far from the Philippines and Indonesia, but yet I never heard of it until recently. It's famous for Rock Islands and Jellyfish Lake.

Palau.
Image from kayak.com

Then there is Nauru, the third smallest country in the world, right after Vatican and Monaco. Nauru is heavily dependent on Australia as it has almost nothing, but when I checked out the videos on YouTube, the Nauruans seemed to live quite a happy life down there. 

Closer to home is East Timor. I had mixed feelings about this country, because it used to be part of Indonesia. When I realized that two of my friends, Mul and William, actually went there before, I was intrigued. Why would they go there and what was it like? Curious, I asked about their experiences.

The International Airport of East Timor.
Photo by Mul.

They took different routes to get there. Mul flew directly from Jakarta to Dili whereas William stopped in Bali before making his way to Dili. Another alternative according to Mul was to travel from Kupang, East Nusa Tenggara. It took approximately eight to nine hours to reach Dili (and Mul did the reversed route when he returned to Indonesia). At the immigration checkpoint, they applied for visa on arrival (it's USD 30 these days). While Bahasa Indonesia still can be used in East Timor, rupiah isn't a legal tender note. English isn't widely spoken as the national language is Portuguese. 

Both of them had a rather memorable first impression. Mul said it was like entering an African country that one would see on National Geographic. It was hot, dry and dusty. William saw the UN helicopter when he landed. There were military and civilians from various NGOs in East Timor.

The seaside of East Timor.
Photo by Mul.

The country was underdeveloped and the view from airport to city was not dissimilar to small towns in Indonesia. The city centre was basically a strech of buildings on the street next to the seashore. No shopping malls, at least during the time when they visited Dili. The tallest building was four stories. The food was quite on the high side, roughly around USD 5 per meal.

As he was on a rather short business trip (only two days and one night) William had no time for sightseeing. Still he had unforgettable moments there. When he checked in to his hotel, he bumped into a fellow Teochew from Pontianak. In Dili of all places! To make it more astounding, his hotel was actually a cruise ship that was docking at the port! It's not everyday one could wake up with a brilliant sea view! William reminisced about the time he was on the ship deck. He saw a lot of fishing boats dotting the sea under the bright blue sky.

Cristo Rei of Dili.
Photo by Mul.

Mul was in Dili for work purpose, too, but he had more time there. He managed to visit Cristo Rei of Dili, the statue of Jesus, a major tourist attraction in town. Not much can be said about night time because Mul was advised not to go out after dark. The safety concern was real and valid. William recalled seeing bullet holes on the wall. 

And there was only so much they could tell about East Timor. Quite an experience, but probably not one that I would want to experience myself. From what they described, it might take years for East Timor to become a tourist destination. In the meantime, probably I should stick with New Caledonia...

The East Timor passport stamps.
Photo by Mul.



Pacific Rim

Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, saya bukanlah anak pantai. Kendati begitu, terkadang saya suka membaca tentang negara-negara tetangga yang berada di sekeliling Samudera Pasifik. Mungkin anda mengenal beberapa di antaranya, misalnya Fiji, Guam (yang merupakan kawasan Amerika Serikat) atau bahkan Vanuatu. Saya senantiasa merasa bahwa negara-negara ini menakjubkan, terutama karena pulau-pulau kecil ini jauh dari benua terdekat. Kalau saya bayangkan, rasanya seperti terdampar di tengah lautan, tapi para penghuni pulau-pulau ini sepertinya menikmati kehidupan mereka.  

Dari berbagai negara di Pasifik, saya berangan-angan bahwa suatu hari nanti saya akan ke New Caledonia. Negara yang termasuk dalam wilayah Perancis ini boleh dikatakan negara yang paling indah dan maju di kawasan Oceania. Masalahnya adalah, tiket ke sana mahal harganya!

New Caledonia.
Image from Pinterest.com

Kiribati juga menarik, tapi lebih dikarenakan oleh Garis Batas Penanggalan Internasional (IDL) yang dulunya melintasi negeri ini. Sebelum koreksi dilakukan di pertengahan tahun 90an, kita akan kembali ke satu hari sebelumnya begitu kita berkelana ke sebelah timur Kiribati dan melewati IDL. 

Negara lain yang juga menarik perhatian saya adalah Palau. Tidak pernah saya sadari sebelumnya kalo negara pulau ini berada di antara Filipina dan Indonesia. Palau terkenal dengan gugusan Rock Islands dan Danau Ubur-ubur.

Nauru.
Foto dari bbc.com.

Kemudian ada lagi yang namanya Nauru, negara terkecil ketiga di dunia, setelah Vatikan dan Monaco. Nauru yang luasnya hanya 21 km2 (34,5 kali lebih kecil dari Singapura) ini hampir tidak memiliki apa-apa dan sangat tergantung pada Australia, namun saat saya lihat YouTube, para penduduk Nauru terlihat gembira dengan kehidupan mereka di pulau kecil di tengah samudera.

Yang paling dekat dengan Indonesia adalah Timor Timur. Ada perasaan yang susah dijelaskan kalau bicara tentang negara ini, sebab Timor Timur merupakan bagian dari Indonesia dulu. Ketika saya mengetahui bahwa dua teman saya, Mul dan William, pernah ke sana, saya jadi tertarik untuk mendengarkan cerita mereka. 

Dua teman ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanan ke Timor Timur. Mul terbang langsung dari Jakarta sementara William transit di Bali sebelum lanjut ke Dili. Alternatif lain yang ditempuh Mul sewaktu pulang adalah perjalanan darat. Menurut Mul, rute Dili-Kupang (Nusa Tenggara Timur) membutuhkan waktu delapan sampai sembilan jam. Di imigrasi, pengunjung dengan paspor Indonesia perlu mengajukan visa on arrival (harganya USD 30 sekarang). Meski Bahasa Indonesia masih bisa dipergunakan Timor Timur, rupiah tidak lagi berlaku. Bahasa Inggris tidak dipergunakan secara luas karena bahasa nasional di sana adalah Portugis. 

Mul dan William memiliki kesan pertama yang tidak terlupakan. Mul merasa seperti memasuki negara Afrika yang dilihatnya di dokumenter National Geographic. Negara ini panas, kering dan berdebu. William melihat helikopter PBB begitu mendarat. Banyak militer dan orang asing dari berbagai NGO di sana. 

Timor Timur masih terbelakang dalam hal pembangunan. Pemandangan dari bandara ke kota hampir sama dengan Indonesia. Pusat kotanya hanya sederet gedung di jalan raya yang terletak di tepi pantai. Tidak ada mal di Dili pada saat mereka berkunjung ke sana. Bangunan paling tinggi hanya empat lantai. Makanan pun agak mahal, kira-kira sekitar USD 5 sekali makan. 

Karena pergi dalam rangka bisnis selama dua hari satu malam, William tidak sempat berwisata. Walaupun demikian, dia masih memiliki kenangan tersendiri di sana. Ketika dia registrasi di meja resepsionis hotel, dia bertemu dengan sesama orang Tiociu yang berasal dari Pontianak. Bayangkan, di Dili, negeri antah-berantah! Yang lebih mengesankan lagi, hotel tempat William menginap adalah sebuah kapal pesiar yang berlabuh di sana. Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan untuk bangun pagi dengan pemandangan laut yang luar biasa. William ingat betul saat dia berada di dek kapal, memandang laut yang dipenuhi dengan kapal-kapal nelayan yang berlayar di bawah langit biru.

Cristo Rei of Dili.
Foto oleh Mul.

Mul berada di Dili dalam rangka kerja juga, tapi waktunya lebih panjang di sana. Dia sempat mampir dan melihat Cristo Rei of Dili, patung Yesus yang merupakan atraksi turis di Dili. Karena alasan keamanan, Mul disarankan untuk tidak keluar hotel setelah hari gelap. William juga mendapatkan saran yang sama. Ketika dia bepergian dengan mobil, William ingat betul dengan lubang-lubang peluru di dinding gedung yang dilewatinya.  

Dan hanya inilah yang bisa mereka ceritakan tentang Timor Timur. Unik pengalamannya, tapi mungkin bukan sesuatu yang ingin saya alami. Berdasarkan deskripsi mereka, sepertinya butuh waktu lama bagi Timor Timur untuk siap menjadi tujuan wisata. Untuk saat ini, saya rasa New Caledonia masih merupakan pilihan yang tepat...


Friday, November 8, 2019

Untuk Adik-Adik Di STMIK Pontianak

Tulisan berikut ini terinspirasi dari foto-foto kunjungan siswa-siswi yang baru-baru ini dipos oleh Pak Sandy. Para remaja ini terlihat masih begitu muda sehingga saya jadi ikut membayangkan masa depan seperti apa yang membentang di hadapan mereka. Saya teringat bahwa dua dekade yang lalu, saya juga pernah berada di posisi yang sama, duduk di bangku mendengarkan kuliah dari Pak Sandy di STMIK Pontianak, tapi di gedung lama di samping Harum Manis.

Oh ya, beberapa bulan silam, saya sempat mampir ke kampus. Ada rasa senang di hati saat bertamu dan melihat perkembangan tempat dimana saya kuliah dulu. Jauh lebih bagus gedung dan fasilitasnya sekarang. Kalau saya ingat kembali, 20 tahun yang lalu adalah zaman yang sungguh berbeda. Hmm, mungkin saya bisa bercerita sedikit, seperti apa perbedaannya. 

Saya memasuki jenjang kuliah di tahun 1998, tepat di saat internet baru bermula di Pontianak. Dulu internet hanya bisa dipakai di tempat yang namanya warung internet dan proses registrasi satu email address di Hotmail membutuhkan waktu satu jam lamanya karena lambatnya koneksi internet. Yang namanya telepon genggam pada saat itu merupakan barang mewah yang cuma bisa dipakai untuk menelepon dan mengirim SMS. Era internet di handphone baru mulai setelah iPhone diluncurkan pada tahun 2007, sembilan tahun setelah setelah saya mengenal internet. 

Tahun ajaran pertama, 1998-1999.

Sebagai contoh lainnya, jaringan komputer itu bagaikan sesuatu yang abstrak. Dipelajari di kampus, tapi tidak jelas seperti apa bentuknya. Semuanya baru menjadi jelas setelah saya mendapat kesempatan untuk berkecimpung dan melihat langsung. Saat itu laboratorium komputer masih menggunakan Novell dan Windows 3.1. Sewaktu dua mahasiswa tingkat akhir melakukan upgrade ke Windows 2000 dan Linux Red Hat sebagai bagian dari skripsi, saya dan Pak Gat yang pada saat itu bekerja sebagai asisten lab pun turut dilibatkan. Itulah pertama kalinya saya mengerti, seperti apa jaringan komputer itu.

Bayangkan kehidupan kalian sekarang yang baru lahir setelah internet ada. Tumbuh besar dan terbiasa pula dengan yang namanya teknologi dalam genggaman tangan (tapi kalian mungkin tidak tahu apa yang namanya disket, haha). Kalian bukan saja memiliki kesempatan, tapi juga jauh lebih siap karena sudah terbiasa dengan kehidupan berinternet. Bagi kalian, internet ini bukan lagi barang mewah, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari. 

Saya tidak tahu bagaimana pola pikir anak muda sekarang, namun sebagai seseorang yang berasal dari Pontianak, saya ingin berbagi sedikit pengalaman dengan harapan agar kalian menjadi lebih tahu dan tidak lagi membuat kekeliruan yang sama. Dulu saya tidak memiliki gambaran seperti apa masa depan saya nanti, terlebih lagi karena saya tidak punya uang. Adalah tante saya, yang saat itu bekerja di Taiwan, yang memberikan saya uang untuk mendaftarkan diri di perguruan tinggi. Saya memilih STMIK Pontianak semata-mata karena teman dekat saya, Hendri Muliadi, mengajak saya untuk registrasi di sana.

Saya sering bingung saat kuliah karena tidak mengerti apa sebenarnya yang dijelaskan oleh dosen. Mata kuliah seperti keamanan komputer, pengolahan data terdistribusi atau jaringan komputer yang disebutkan di atas, semuanya dijelaskan secara teori. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa penerapannya. Satu-satunya yang terlihat jelas adalah mata kuliah pemrograman, sehingga muncul pemikiran bahwa setelah lulus kuliah, saya nantinya akan menjadi programmer. Saya jadi agak cemas, sebetulnya, sebab saya tidak menguasai programming dengan baik. 

Bersama bos dan rekan-rekan tim network dan web di Kalbe Farma.

Akan tetapi IT bukanlah tentang programming saja. IT mencakup banyak hal, mulai dari helpdesk, application support, email administrator, IT security, server team, network team, project manager dan lain-lain. Saya baru mengetahui hal ini di tahun 2002, sewaktu saya melamar kerja di Kalbe Farma yang memiliki kantor di Jakarta dan Cikarang. Kalau anda belum tahu mau jadi apa dan tidak mahir di programming, semoga sekarang lebih terbuka wawasannya dan bisa mengambil ancang-ancang untuk menekuni salah satu profesi di atas.

Oh ya, 17 tahun yang lalu, sesudah wisuda, saya hanya bercita-cita untuk kerja di Jakarta. Saya tidak terlalu pintar, tidak pula paham apa yang ingin saya kerjakan di bidang IT, maka dari itu impian saya pun tidak terlalu muluk. Namun jalan hidup saya ternyata tidak berhenti di situ dan membawa saya ke Singapura. Saya mulai dari bawah, dari seorang helpdesk hingga menjadi salah satu pimpinan IT regional di sebuah perusahaan sekuritas (anda bisa lihat detilnya di profil LinkedIn saya). Saya mendapat kepercayaan untuk memimpin tim yang terdiri dari orang Singapura, Malaysia dan India.

Jadi apa makna dari cerita di atas? Saya hanya ingin memberitahukan bahwa seseorang dari kota kecil bernama Pontianak yang merupakan lulusan STMIK Pontianak pun bisa bersaing di negara maju. Jangan pernah berkecil hati, tapi tekunlah dalam berusaha. Jika saya bisa, saya percaya bahwa anda yang lebih muda pasti bisa melangkah lebih jauh dan berbuat lebih banyak lagi. Satu pesan saya, selain mendalami apa yang anda pelajari di kampus, biasakan juga berbahasa Inggris. Ini penting. Tanpa Bahasa Inggris, anda tidak akan bisa berkiprah di luar Indonesia. Selamat belajar dan semoga sukses! Buktikan pada dunia bahwa lulusan STMIK Pontianak tidak kalah unggulnya! 

Makan siang bersama staf di Singapura. 





Monday, November 4, 2019

CrackBerry

"CrackBerry is the nickname given to a BlackBerry device, a handheld smartphone to which users have a tendency to become addicted. The term is a combination of “crack” - or crack cocaine, which is a highly-addictive narcotic - and BlackBerry."
https://www.techopedia.com/definition/14902/crackberry

My friend Budiman, a fellow Roadblogger, once said that we came from the best generation ever. I concurred. We had a proper childhood that included outdoor and indoor playtime. We witnessed the rise of the Internet. We were definitely old enough to buy the smartphone we liked on a whim, but not too old to understand the latest piece of technology we were holding in our hands. We could really use it and unlike the generation before us, we were connected more than ever. 

We could make a call and do a lot more than twenty years ago, when handphone could only do calling, SMS sending and simple gaming. I'd read news on my favorite Facebook pages and Flipboard, write my blog, google stuff, read my emails, make video-calls, check-in using Swarm, call cabs, book my flights and hotel, check the currency rates, find my way using the map, note down the appointments on my calendar, translate other languages, scribble notes, take photos, watch movies, do online shopping and banking, listen to music, etc. The point is, in the history of mankind, the world is literally at our fingertips for the first time ever.

Then of course there was this chatting feature. I can't speak for others, but for me, long before everything else could be done on a smartphone, this neat little feature was what came handy and got me hooked. The BBM and its blinking red LED light started the craze. Note that chatting wasn't exactly new then, because we could already chat on a desktop computer, but the capability to do so on the go was certainly a game-changer. It was so addictive that I subconsciously felt the need to check the messages constantly.

The world, at my fingertips.
Photo by Evelyn Nuryani.

Many years had gone by since then. BBM was no more and WhatsApp had overtaken it, but the CrackBerry symptoms remained. I just couldn't help it. I remember the first day in Paris. It was one of the rare occasions that I had no connection in 4G era, simply because I hadn't bought the local SIM card yet. I was restless, feeling lost when we explored the city without Google Maps. The biggest gripe was, of course, the fact that I felt disconnected from my chat groups. It was like cold turkey! Much to my wife's chagrin, I couldn't really enjoy the sightseeing until we came out from the telco shop nearby Galleries Lafayette. 

That's not to say that I am glued to my phone all the time. During office hours, I rarely checked my phone because I was so busy (that's the beauty of working in Singapore. We are so busy that time flies so fast). Other than that, I didn't think I do a good job in kicking the habit. 

I'd been warned many times about this by my wife, but the wake up call only happened recently, when I had duck rice with my seniors from Futures industry. One of us was busy typing on the phone because his customer was asking something. DNO, the funny one, then jokingly said in Hokkien, "bo eng mai lai lah," which could be translated as, "if you're so busy, then it's better for you not to come."

It was hilarious and true at the same time. Right after that, throughout the lunch time, we ate and talked just like the good old days, not distracted by phone. For the first time ever in a long while, it felt right. Before we parted way, a phone was pulled out so that we could take a picture together. Now that was a proper use of technology! Instead of getting in the way, it was used at the right time. That, my friends, was probably the way to go! 

Lunch with DNO (the second one from the left) and friends.


CrackBerry

"CrackBerry adalah julukan yang diberikan pada BlackBerry, smartphone yang membuat penggunanya ketagihan. Istilah ini merupakan kombinasi dari “crack” - yang berarti kokain, narkotika yang sangat adiktif - dan BlackBerry."
https://www.techopedia.com/definition/14902/crackberry

Teman saya Budiman, sesama Roadblogger, pernah berkata bahwa kita berasal dari generasi terbaik. Saya cenderung setuju. Kita memiliki masa kecil dengan berbagai permainan di dalam dan di luar rumah. Kita menyaksikan asal mula internet. Di usia sekarang ini, kita bisa membeli smartphone apa saja yang kita sukai, tapi belum terlalu tua untuk memahami cara penggunaan teknologi paling canggih dalam genggaman kita. Berbeda dengan orang tua kita yang gagap teknologi, kita bisa dengan mudah menggunakannya.

Kita bisa menelepon dan melakukan begitu banyak hal lainnya. Sungguh berbeda dengan dua puluh tahun silam, ketika telepon genggam hanya bisa untuk menelepon, mengirim SMS dan bermain game sederhana. Saya membaca berita di laman Facebook favorit saya dan juga di Flipboard. Saya bisa menulis blog, mencari informasi apa saja di Google, membaca email, melakukan panggilan video, check-in tempat yang saya kunjungi dengan aplikasi Swarm, memanggil taksi, membeli tiket pesawat, memesan kamar hotel, melihat kurs mata uang, mencari jalan dengan Google Maps, membuat catatan dan janji, memotret, menonton, berbelanja dan melakukan transaksi perbankan secara online, mendengarkan musik dan mengerjakan apa saja. Intinya adalah, dalam sejarah manusia, untuk pertama kalinya dunia sungguh bagaikan berada dalam genggaman kita. 

Kemudian tentu saja ada yang namanya fitur chatting. Bagi saya pribadi, jauh sebelum hal-hal di atas bisa dilakukan, fitur inilah yang benar-benar menghubungkan saya dengan dunia dan membuat saya ketagihan. BBM dan kedipan lampu LED-nya yang berwarna merah memulai segalanya. Meski chatting bukanlah hal baru pada saat itu karena kita sudah bisa melakukannya di komputer, tapi BBM yang memungkinkan kita untuk chatting setiap saat sungguh mengubah kebiasaan kita. Sejak saat itu saya sering tanpa sadar mengeluarkan telepon dari saku untuk memeriksa pesan masuk. 

Tahun demi tahun pun berlalu. BBM telah menjadi bagian sejarah dan tergantikan oleh WhatsApp, tapi gejala CrackBerry masih tidak bisa dihilangkan. Saya ingat betul hari pertama saya di Paris. Sore itu adalah sesekalinya saya tidak memiliki koneksi di era 4G karena saya belum membeli kartu SIM lokal. Saya sungguh gelisah saat menyusuri Paris tanpa Google Maps, namun masalah terbesar yang saya rasakan adalah betapa terkucilnya saya karena terputus dari grup chat. Istri saya pun kesal karena saya tidak menikmati liburan. Keresahan saya baru berakhir ketika saya menemukan toko telkom di dekat Galleries Lafayette.

Bingung dan tak tentu arah di Galleries Lafayette karena tidak ada sinyal.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Kendati begitu, ini tidak berarti saya senantiasa terpaku dengan smartphone saya. Pada saat jam kerja, saya jarang melihat telepon karena kesibukan di kantor (ini satu hal yang saya sukai di Singapura. Begitu sibuknya kita sehingga waktu pun berlalu dengan cepat). Selain itu, saya tergolong parah dalam hal ketergantungan pada smartphone

Istri saya sudah memperingatkan saya beberapa kali akan kebiasaan buruk ini, tapi saya baru tersadar beberapa hari yang lalu, ketika saya menikmati nasi bebek bersama para senior saya di dunia trading. Saat itu salah satu dari kita sibuk mengetik di telepon genggamnya karena menjawab pertanyaan dari nasabahnya. DNO, teman kita yang lucu, lantas menyeletuk dalam bahasa Hokkien, "bo eng mai lai lah." Kalau diterjemahkan, artinya kira-kira, "jangan datang kalau sibuk."

Komentarnya kocak tapi mengena. Segera setelah itu, sepanjang makan siang, kita bersantap dan berbincang seperti dulu kala, dimana kita tidak sibuk sendiri dengan smartphone. Senang juga rasanya. Kemudian, sebelum kita berpisah, kita pun berfoto bersama. Ini baru yang namanya penggunaan teknologi yang tepat pada waktunya! Setelah dipikir lagi, mungkin seharusnya beginilah yang terjadi saat kita kumpul bersama, ya?

Monday, October 28, 2019

The Domestic Flights

I was reading about Papua and Raja Ampat the other day. They were pristine, underdeveloped, far and expensive destinations. In short, they were exactly what I wasn't looking for, haha. I was simply reading about these places just to remind myself, what a vast country Indonesia is. 

As my life revolved mainly in Borneo and Java, it was easy to forget that Indonesia is such a big nation, so big that it has three time zones. Apart from Bali, all other regions within Central (GMT+8) and Eastern Standard Time (GMT+9) were uncharted territories to me! Yes, my travel buddies and I had been talking about the Makassar trip for years. My wife also mentioned about Sumba and Labuan Bajo from time to time. Then, there was this up and coming Raja Ampat, but no, not a single visit was ever materialised.

From Jakarta to Batam. At Batam Airport, 2005. 

In order to understand why it didn't happen, let's go back to the fact that Indonesia is an archipelago. This means the only fastest and logical choice to travel around is by airplane. The thought of taking domestic flights is, unfortunately, an uneasy one. More often than not, it was anything but pleasant. 

My first domestic flight was from Pontianak to Jakarta, when I was four. Since then, I had my fair share of bad experiences. Once was self-inflicted (I went to eat Indomie and missed my flight), the others were just my luck (or lack of it). I'd been delayed for more than six hours before I finally boarded my flight from Jakarta to Batam. Talk about Batam, my flight to Pontianak was cancelled, only for me to find out at the check-in counter (it was so unbelievable that I actually found it hilarious and laughed about it). I eventually paid a sky-high price for the last minute ticket.

At Batam Airport, 2018. The long wait for last minute tickets, after our flight to Pontianak was cancelled. 

Then of course we had to talk about the safety records. It was so patchy that many years ago, when the plane I took rocked violently during turbulence, I remember staring at the ceiling, pretty convinced that it would split open. Around me, people were praying according their own beliefs. I found myself doing the same thing, too, with both hands grabbing the seat tightly. It's funny how people suddenly became religious when the plane got extremely bumpy.

What's worse these days is the price one has to pay for such a harrowing experience. I couldn't remember when it started, but the ticket price for domestic flights had been ridiculously high for quite a long while. The most obvious example was the round-trip airfare for the Pontianak-Jakarta route. When compared with the return tickets from Singapore to Jakarta, oftentimes they were much more expensive! From what I observed, the farther the destination was, the higher the price would be. 

Round-trip fare to Hong Kong.

Back to Raja Ampat, one alternative was to fly from Jakarta to Sorong, then we could take the two-hour ferry to Waisai. The return fare of direct flight (4 hours 5 minutes) offered by AirAsia was, on average, around SGD 420. For a similar flight duration, I could have flown from Singapore to Hong Kong by paying only half the price. 

That was the very reason why I couldn't bring myself to go to East Indonesia. It just didn't make sense for me to pay so much and travel so far to go to an underdeveloped region that probably just felt like any other places in Indonesia (only Bali is distinctly different so far, thanks to its Hindu culture). That, coupled with the worst case scenarios that I would have to endure for taking domestic flights, were a buzzkill. I just couldn't shake it off.

Having said that, the local airlines and tourism board got a lot of homework to do. The airfare must be reasonably priced. The safety records and the customer experience had to be improved so that the passengers didn't feel as if they were wasting their time or risking their lives when they boarded the plane. If these prerequisites could be achieved, I'd say may be it's time for journey to the East!

The Singaporean friends at Jakarta airport, after the flight from Pontianak.


Penerbangan Domestik

Saya membaca tentang Papua dan Raja Ampat baru-baru ini. Tempat-tempat ini masih alami, belum begitu terjangkau oleh pembangunan, jauh dari Jakarta dan mahal pula biaya untuk ke sana. Secara singkat, boleh dikatakan sebagai tempat yang tidak termasuk tujuan wisata saya, haha. Saya hanya sekedar membaca untuk mengingat kembali, betapa luasnya Indonesia. 

Karena hidup saya yang berkutat di Kalimantan dan Jawa, mudah untuk lupa bahwa Indonesia itu sedemikian besarnya sehingga mencakup tiga kawasan waktu. Selain Bali, daerah lain yang termasuk WITA (GMT+8) dan WIT (GMT+9) adalah daerah-daerah yang belum pernah saya jelajahi. Ya, saya dan teman-teman seperjalanan sudah berbicara tentang kunjungan ke Makassar selama bertahun-tahun lamanya. Istri saya pun terkadang berbicara tentang Sumba dan Labuan Bajo. Kemudian ada Raja Ampat yang baru-baru ini mulai populer. Kendati begitu, tak satu pun kunjungan di atas yang terwujud hingga hari ini.

Endrico, Jimmy dan Ardian, dalam perjalanan dari Bali ke Jakarta.

Untuk mengerti kenapa demikian, perlu diingat kembali bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Ini artinya cara yang tercepat dan masuk akal untuk bepergian adalah dengan menaiki pesawat. Sayang sekali, yang namanya menumpang penerbangan domestik itu rasanya berat di hati. Yang sering terjadi adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. 

Penerbangan domestik saya yang pertama adalah Pontianak ke Jakarta, sewaktu saya berumur empat tahun. Sejak saat itu, saya sudah melewati berbagai pengalaman buruk. Sekali karena salah sendiri (saya pergi makan Indomie dan ketinggalan pesawat), yang lainnya karena saya memang tidak beruntung. Penerbangan saya dari Jakarta ke Batam pernah ditunda enam jam lamanya. Bicara soal Batam, penerbangan saya dibatalkan dan baru saya ketahui ketika saya berada di depan loket untuk check-in (rasanya sulit dipercaya sehingga saya jadi geli sendiri dan tertawa). Akhirnya saya harus membayar tiket yang luar biasa mahal untuk pulang.

Ardian berjalan di landasan pacu bandara Bali.

Selanjutnya tentu saja kita harus berbicara tentang rekam jejak keamanan penerbangan domestik. Dari segi keamanan, penerbangan domestik Indonesia memiliki masalah dari waktu ke waktu. Tatkala pesawat yang saya tumpangi bergetar hebat melewati cuaca buruk, saya ingat betul bahwa saya tertegun menatap langit-langit pesawat, sebab saya merasa langit-langit tersebut akan terbelah dua. Para penumpang lain di sebelah saya sudah berdoa menurut ajaran masin-masing. Saya sendiri juga melakukan tindakan serupa sambil menggenggam sandaran tangan di kursi erat-erat. Hanya penerbangan udara yang seringkali mengingatkan manusia untuk mencari dan meminta perlindungan Tuhan.

Yang lebih buruk lagi belakangan ini adalah harga yang musti dibayar untuk penerbangan yang mungkin membuat anda mengalami pengalaman yang dijabarkan di atas. Saya tidak ingat kapan ini bermula, tapi tiket pesawat domestik sudah gila-gilaan harganya untuk jangka waktu yang lama. Yang paling jelas contohnya adalah rute Pontianak-Jakarta. Bila dibandingkan dengan tiket pulang-pergi Singapura-Jakarta, seringkali yang jurusan Pontianak itu lebih mahal! Dari apa yang saya amati, semakin jauh jarak tujuannya, semakin mahal pula harganya.

Harga pulang-pergi dari Singapura ke Hong Kong.

Kembali ke Raja Ampat, salah satu alternatif ke sana adalah dengan penerbangan dari Jakarta ke Sorong, kemudian dilanjutkan dengan feri berdurasi dua jam ke Waisai. Total harga tiket penerbangan langsung AirAsia (4 jam 5 menit) kira-kira sekitar IDR 4,2 juta. Untuk penerbangan dengan jangka waktu yang tidak jauh beda, saya bisa terbang dari Singapura ke Hong Kong hanya dengan membayar separuh harga. 

Alasan-alasan di atas menjelaskan kenapa saya tidak mau ke Indonesia Timur. Rasanya tidak masuk akal untuk membayar semahal itu dan bepergian sejauh itu hanya untuk mengunjungi tempat yang masih terbelakang dan mungkin saja bernuansa seperti daerah lain di Indonesia (hanya Bali yang terasa berbeda sejauh ini karena budaya Hindunya yang kental). Pemikiran tersebut, ditambah lagi pengalaman tidak sedap yang mungkin bisa terjadi bila menaiki penerbangan domestik, senantiasa membuat saya mengurungkan niat saya untuk menjelajah.

Endrico menaiki pesawat menuju Jakarta. 

Oleh karena alasan-alasan di atas, maskapai lokal dan badan pariwisata hendaknya berbenah. Harga tiket harus bersaing. Rekam jejak dan pengalaman penumpang sepatutnya dibina dan ditingkatkan mutunya sehingga penumpang tidak merasa membuang waktu atau mengambil resiko karena memilih penerbangan domestik. Jika hal-hal mendasar ini bisa diperbaiki, niscaya perjalanan ke Timur bisa saya lakukan. Dari situ saya mau ke Papua Nugini, haha...

Monday, October 21, 2019

Japanese Food

It might be hard to imagine now, but Japanese food was once a rarity and luxury in Pontianak. When I was in high school, my friend Eday introduced me to shabu-shabu (Japanese hotpot) and we had it at, of all places, the Italian restaurant. If I remember correctly, it was less than IDR 50K in 1997. Probably it was around 30K which, if we calculated the inflation, was equal to IDR 214K in 2019. That was a lot of money then!

Thanks to the initial experience I had, I always thought Japanese food was so expensive that I was barely able to afford it. When I was working in Jakarta, I remember that one of the happiest moments was when we had Hoka-Hoka Bento for lunch during company events (note: bento is basically a lunchbox). Also known as HokBen as Indonesians like to shorten anything into acronyms, it was easily the most popular Japanese food in early 2000s, best eaten when it was free, haha. Then, when I had extra money, I'd go to Hanamasa with my colleagues Rusli and Indra for yakiniku (grilled meat) and shabu-shabu. Hanamasa was a restaurant with all-you-can-eat concept and it offered appetizers, main course, side dish and dessert for a fixed price per person.

Linda and her plates of sushi.

My first plate of sushi (vinegared rice topped with other ingredients) came much later on, probably some time in 2006. I just came to Singapore and was living on a tight budget. For a reason that I can't remember now, my friend Jimmy and I were at Changi Airport. That's when he brought me to Sakae Sushi. Just like a child, I was impressed by the conveyor belt. I mean, it kept moving, bringing food to people sitting next to it! How amazing! 

Back to the sushi itself, yes, I liked it immediately, but I had only three plates (and not even the red plate because that would be more expensive). I remember ordering makimono (rolled sushi wrapped in nori, thin sheets of seaweed) simply because there were six pieces in one plate, haha. Personally, I like inari sushi the most. Love the taste of its seasoned deep-fried tofu pocket! 

Now, some of people I know were hesitant to eat sushi because of its raw fish. The idea of swallowing raw seafood nauseated them. In all fairness, sushi is alright. I assume what they had in mind was actually sashimi, the fresh raw fish sliced into thin pieces and eaten with soy sauce. It tasted really good, but the thought of eating something raw might have deterred many from trying.

Sashimi at Sushi Tei.

I remember ordering sashimi for my sister-in-law as she never tried it before. After her college days in Nanning, she'd been quite adventurous and keen to try something new, so there we were, all looked at her as she took a slice of salmon with her chopsticks. I could tell from her expression that she was struggling to eat something that was subconsciously rejected by her brain. She smiled when she was done eating and she politely declined when I offered her to have some more. 

Ramen was a Japanese cuisine that I used to like back then, before 2014. From time to time, my friend Bernard and I would go to Ajisen Ramen. The turning point was when I visited Tokyo with family. Throughout the visit, my daughter who was a picky eater would eat only ramen. As she was not yet two years old, she wasn't able to finish the whole bowl. I ended up eating ramen all the time until I became very sick of it! That's not to say that I wouldn't eat it at all, because ramen actually had a rich taste. In Fukuoka, my wife and I tried the famous Ichiran Ramen. The portion was just nice, not too much, and as Ichiran was specialised in serving tonkotsu (broth made from pork marrow) ramen, it tasted really delicious!

Tonkotsu ramen at Ichiran.

Talk about noodles, ramen was actually based on Chinese wheat noodles (this is probably the reason why ramen stalls also offer gyoza, the Japanese equivalent of the Chinese jiaozi). The real Japanese noodles were called soba (thin noodles) and udon (thick noodles). Both can be served in cold or hot dishes. Udon was rather chewy thanks to its texture, the odd feeling that I didn't really like. What's unique and worth trying is the cold dishes. It was only right for tourist to try out a bowl of chilled noodles in Japan! Both the dried and soup versions were quite enjoyable. My personal favorite? Omusoba, the stir-fried soba (or yakisoba) wrapped in omelette! Like the sweet taste of it. One last thing, when I was in Tokyo, I noticed that ramen stalls didn't sell soba and udon. It was the same for soba and udon stalls. They also didn't sell ramen. Coincidence?

If you preferred rice, donburi (a bowl of rice and meat) would be a good choice. When Dad and I visited Japan, we'd go to Yoshinoya for a quick and cheap breakfast or lunch. Their gyūdon, literally translated as beef bowl, was suitable for our taste. Another variety that I also liked was tendon. It was a bowl of rice served with tempura, the battered and deep-fried vegetables and seafood. Another alternative that we'd go for was the Japanese curry rice. Dad and I used to frequent this restaurant called CoCo Ichibanya in every city we visited. 

That's all for Japanese cuisines at a glance. If you explored further, you'd found a lot of goodness in chicken katsu, chicken teriyaki, okonomiyaki, chawanmushi and many more! One interesting fact that I observed was the excellent quality of Japanese food, regardless how obscure the eatery was. Even the neighbourhood ramen stall next to Mitsui Garden Hotel in Tokyo served a very good ramen. I came to a conclusion that the Japanese must be very proud and meticulous when it comes to their cuisines. But by the end of a long holiday in Japan, there was only so much Japanese food that we could eat. When Dad and I visited the Chinatown in Yokohama, we immediately stepped into the chicken rice restaurant. The food was terrible, alright, but it was still a relief! Finally we could eat something that our stomach had been longing for!

Japanese curry rice.



Masakan Jepang

Walau mungkin terdengar janggal sekarang, pernah ada suatu masa di mana makanan Jepang itu langka dan mahal di Pontianak. Saya mengenal masakan Jepang dari teman saya Eday. Di kala SMU, saya diajak makan shabu-shabu (daging dan sayur yang dimasak sendiri di dalam kuah kaldu yang mendidih) untuk pertama kalinya, tapi bukan di restoran Jepang, melainkan di restoran yang bernama Italian di Jalan Nusa Indah. Harga per orang pada tahun 1997 itu di bawah 50 ribu rupiah, mungkin sekitar 30 ribu, yang bila dihitung kembali berdasarkan inflasi, berarti seharga 214 ribu rupiah di tahun 2019. Jadi shabu-shabu ini jelas tergolong mahal untuk disantap oleh anak SMU! 

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya selalu merasa bahwa masakan Jepang itu terlalu mahal untuk saya nikmati. Ketika saya bekerja di Jakarta, adalah suatu kegembiraan tersendiri bilamana perusahaan mengadakan rapat dan menyajikan Hoka-Hoka Bento sebagai makan siang (bento itu bisa diartikan sebagai bekal makan siang dalam wadah kotak). HokBen, nama singkatan yang sering dipakai orang Jakarta, adalah makanan Jepang yang populer di awal tahun 2000an, paling enak dimakan saat gratis, haha. Kemudian, bilamana saya memiliki uang lebih, saya akan ke Hanamasa bersama kolega saya Rusli dan Indra untuk bersantai sambil menyantap yakiniku (daging panggang) dan shabu-shabu. Restoran ini memiliki konsep all-you-can-eat. Setelah membayar harga pas per orang, kita bisa mencicipi hidangan pembuka, hidangan utama, hidangan sampingan dan pencuci mulut.

Rusli dan Indra di Hanamasa Gajah Mada Plaza. 

Sushi, gumpalan nasi yang dibasuh cuka dan disajikan bersama seiris bahan makanan lain, pertama kali saya santap di tahun 2006. Saat itu saya baru saja pindah ke Singapura untuk mencari kerja dan tabungan saya sangat terbatas. Suatu ketika di Bandara Changi, teman saya Jimmy mengajak saya makan di Sakae Sushi. Saya ingat betul bahwa saya terpana melihat ban berjalan yang membawa piring demi piring sushi ke pengunjung yang duduk di sampingnya. Canggih betul! Menakjubkan! Saya tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya! Saya sendiri hanya berani mengambil tiga piring (dan saya hindari piring berwarna merah karena lebih mahal harganya). Saya ingat bahwa salah satu sushi yang saya ambil adalah makimono (sushi gulung berisi telur) karena ada enam biji sushi per piring, haha. Secara pribadi, saya paling suka makan inari sushi. Kulit tahunya yang manis sangat sedap!  

Beberapa orang yang saya kenal pernah bercerita bahwa mereka tidak menyukai sushi karena kandungan ikan mentah membuat mereka merasa mual. Sebetulnya aroma ikan mentah tidaklah terasa saat kita menyantap sushi. Saya rasa yang mereka maksudkan adalah sashimi, irisan daging ikan yang disajikan secara mentah, segar dan dingin, yang biasanya dimakan dengan kecap. Rasanya enak, tapi kesan geli untuk menyantap daging mentah membuat orang enggan untuk mencoba.

Sashimi di Shiro, Hong Kong.

Saya ingat ketika saya memesan sashimi untuk adik ipar saya. Setelah melewati masa kuliah di Nanning, dia tergolong berani untuk mencoba makanan baru, jadi saya pun mengamati reaksinya saat ia menjepit seiris daging salmon dengan sumpitnya. Saya bisa melihat bahwa dia berusaha untuk menelan sesuatu yang ditolak oleh alam bawah sadarnya. Dia tersenyum setelah usai mencicipi sashimi dan dengan sopan mempersilahkan saya untuk menghabiskan sashimi yang tersisa.  

Ramen cukup saya sukai dulu, sebelum tahun 2014. Dari waktu ke waktu, teman saya Bernard dan saya akan singgah dan makan di Ajisen Ramen. Titik baliknya adalah ketika saya mengunjungi Tokyo bersama keluarga. Sepanjang liburan, anak saya yang pemilih dalam soal makanan hanya mau menyantap ramen. Saat itu dia belum genap berusia dua tahun, jadi porsi makannya pun terbatas dan saya senantiasa menghabiskan ramen yang tersisa sampai saya merasa ampun dan jera! Meskipun demikian, ramen itu sebetulnya enak. Sewaktu berada di Fukuoka, saya dan istri mencoba Ichiran Ramen yang terkenal. Porsinya pas dan Ichiran terkenal dengan tonkotsu (kuah kaldu dari sumsum babi) ramennya, rasanya benar-benar lezat.

Omusoba di Don Don Donki.

Bicara soal mie, ramen sebenarnya berbahan dasar mie Cina (mungkin karena alasan yang sama pula restoran ramen biasanya juga menjual gyoza yang merupakan adaptasi dari pangsit Cina). Mie Jepang  yang sesungguhnya disebut soba (mie tipis) dan udon (mie tebal). Dua-duanya bisa disajikan dalam bentuk dingin dan panas. Udon agak kenyal dan tidak begitu saya sukai, namun unik dan layak dicoba saat disajikan sebagai mie dingin, baik yang kering maupun yang sup. Kalau soba, yang saya sukai adalah omusoba, soba goreng (alias yakisoba) yang dibungkus dengan telur goreng. Saya senang rasanya yang manis. Oh ya, sewaktu di Tokyo, saya perhatikan bahwa kedai ramen tidak menjual soba dan udon. Begitu juga sebaliknya. Toko udon dan soba tidak menjual ramen. Kebetulan? 

Jika anda tipe yang menyukai nasi, donburi (semangkok nasi dan daging) akan merupakan pilihan yang tepat untuk anda. Ketika Papa dan saya mengunjungi Jepang, kita sering mampir ke Yoshinoya untuk makan pagi dan siang yang murah dan cepat saji. Gyūdon yang artinya mangkok daging nasi dan daging sapi, cocok dengan selera. Variasi lain yang juga saya sukai adalah tendon, semangkok nasi yang disertai tempura, gorengan udang dan sayur. Alternatif lain yang kita sukai adalah nasi kari Jepang. Saya ingat bahwa kita selalu makan di CoCo Ichibanya di setiap kota yang kita kunjungi.

Tempura di Tendon Kohaku, Singapura.

Demikianlah cerita singkat tentang makanan Jepang. Bila anda gemar icip-icip, masih banyak lagi kelezatan makanan Jepang yang bisa anda jumpai lewat ayam katsu, okonomiyaki, chawanmushi dan lain-lain. Satu hal yang saya amati adalah kualitas cemerlang dari makanan Jepang, tidak peduli seberapa terpencil tempat makannya. Bahkan kedai ramen yang berada di jalan kecil di samping Mitsui Garden Hotel Tokyo juga menyediakan ramen yang sedap. Kendati begitu, setelah menjelajahi Jepang dari kota ke kota, rindu juga rasanya dengan makanan Cina. Tatkala Papa dan saya berjalan menyusuri Pecinan di Yokohama, kita langsung memasuki restoran yang menjual nasi ayam. Makanannya tidak enak, tapi lega rasanya bisa menikmati makanan Cina lagi! 

Monday, October 14, 2019

Abbey Road

50 years after it was first released in 1969, Abbey Road topped the chart once again. To quote Paul McCartney, "It’s hard to believe that #AbbeyRoad still holds up after all these years. But then again it’s a bloody cool album..." I totally agreed with it. There was so much one could talk about this album. I had my story, too.

I remember one afternoon at my friend's house in the mid 90s. Leo was playing Come Together from Michael Jackson's HIStory album. I just got to know the Beatles then and somehow I learnt that Michael was covering the Beatles' song. That prompted me to check out the original version, so I rode my bike to the music store. I remember feeling a bit embarrassed by my enquiry on such an old group from my father's generation when I should have been asking about Take That or Backstreet Boys, but I shouldered on. I bought the Abbey Road cassette that day, my first Beatles album.

Abbey Road.

When I reached home and played it for the first time, I couldn't help smiling when I heard Come Together. The intro felt... archaic. The drums pattern was, to put it mildly, unusual. Michael's version was more straightforward and rocking. As Michael was one hell of a singer, his voice made John's sound subdued. But still, there was this lingering feeling that this was how it meant to be listened to. Slowly but sure, it became the definitive version. Years later, I heard Dave Grohl saying that if one could do the groovy drumming on Come Together and had people dancing, then the drummer must be a badass. He was right!

Right after that, came Something. I had to say that apart from Come Together and Oh! Darling (more on this later), I had never heard of other songs from Abbey Road. However, as one of the greatest love songs ever written, Something felt right since the very first time I ever listened to it. There was a certain sadness that came with it and the guitar solo amplified the feeling right into the listener's heart.

Maxwell's Silver Hammer was one I'd refer to as easy listening. It had a playful melody disguising the rather dark lyrics about a medical student who went around and killed people with his silver hammer. It was arguably the most catchy tune in the album, one with unmistakable pop song quality. I thought it was alright, but apparently the other three Beatles hated it, haha.

Oh! Darling was the fourth track on the album. It sounded familiar, as if I had heard of it before in the past. The song had the 50s feeling and it relied heavily on the vocals as if the singer was screaming his heart out. Much later on, I learnt that it sounded more like John's way singing than Paul's. But Paul wrote it, so he sang it.

Oh! Darling

The next track was Octopus's Garden. It was a lovable song that sounded rich, thanks to the drums and electric guitars. It also came with under water sound effect. Kind of cool, almost childlike! The voice was notably different and I eventually learnt it was Ringo who sang it.

Closing side one was I Want You (She's So Heavy), the only Abbey Road song that I disliked. The music and lyrics were so repetitive. In hindsight, it sounded like a precursor to some songs that Lennon would write after the Beatles broke up. It was not easy on ears and to make it more puzzling, the song ended abruptly. At first, I thought it was a defect and the cassette was running out of tape!

Here Comes the Sun opened the side two. When it began, I could immediately sense the optimism in the air! It cheered me up simply because it was so beautiful. The acoustic guitars were so gorgeous and the drums flowed seamlessly. Easily the best song from the album! Loving it then, still loving it now!

Then there was Because, featuring the three-part vocal harmony. I never heard such a song before. It's kind of odd, like a thick wall of vocals. I'd say that I'd listen to it only to appreciate the Beatles' mastery in term of recording. I didn't find the song enjoyable, though.

The medley came in afterwards. I was a greenhorn then and I didn't know what a medley meant. I saw a list of song titles, but I seemed to be listening to a never-ending song that kept changing all the time!  In all fairness, You Never Give Me Your Money (I remember being amused by the lyrics out of college, money spent. See no future, pay not rent. All the money's gone, nowhere to go) did end with fade away. It was not immediately obvious that the cricket sound was the catalyst for the previous song to segue into Sun King. If not for the gibberish they sung (I couldn't figure out what the language was then, but I was pretty sure it wasn't English), Sun King was rather forgettable.

The other side of Abbey Road.
Photo by Evelyn Nuryani.

A drum fill by Ringo led into the next track, Mean Mr. Mustard. To me, it served as the first part of the real medley. I liked what I heard when the second part, Polythene Pam, began. It was exciting and fast-paced with a strange English accent (apparently it was Lennon singing in Liverpool accent). Then, as if, the Beatles were waiting for that one particular moment, John shouted, "look out!" and they jumped into another song called She Came In Through the Bathroom Window. The song, unfortunately, was not as interesting as its title.

What I'd always believed as another medley came right after that. The piano-based Golden Slumbers was a strong opening. I liked the tinge of melancholy feeling that was followed by the heartfelt screaming. The sing-along Carry That Weight fitted in nicely right after that, before the tune brilliantly changed back and forth into the reprise of You Never Give Me Your Money. Then came The End, which was mainly an instrumental piece showing each Beatle doing solo, including Ringo on drums solo! The song ended which the short but cosmical lyrics, "and in the end, the love you take is equal to the love you make."

It went silent after that, giving me time to digest how mind-blowing the album was, but just when I thought that was it, Her Majesty came crashing in and went away instantly. I was like, "what was that?" Then it was really over.  

I remember staring at the album cover. I could only figure out John was the first one on the right thanks to the glasses he was wearing. I couldn't tell who the other three were, haha. I only realised it years later that when the LP was released, neither the band nor the album name appeared on the cover! But it become iconic and it continued to inspire me for the next two decades. In 2016, I finally crossed the zebra-crossing myself! Oh no, it was no ordinary album. Like what Paul said, it was a bloody cool album!


Here Comes the Sun.


Abbey Road

50 tahun sejak album ini pertama kali dirilis di tahun 1969, Abbey Road kembali menjadi nomor satu. Mengutip apa yang dikatakan Paul McCartney, "sulit untuk percaya bahwa #AbbeyRoad masih bertahan meski tahun demi tahun berlalu, tapi album ini memang mengagumkan." Saya setuju dengan pendapatnya. Banyak yang bisa dibahas tentang album ini. Saya juga punya cerita. 

Saya ingat suatu sore di pertengahan dekade 90an. Teman saya Leo memutar lagu Come Together dari album Michael Jackson yang berjudul HIStory. Saat itu saya baru mengenal the Beatles dan dari nama penulis lagunya, saya tahu bahwa lagu yang dinyanyikan MichaeI itu adalah karya John dan Paul. Tergelitik untuk mencari tahu tentang versi the Beatles, saya lantas mengayuh sepeda saya ke toko musik di Jalan Nusa Indah. Saya ingat bahwa saya merasa agak malu untuk bertanya tentang grup musik yang berasal dari generasi ayah saya. Seharusnya yang saya cari itu grup musik seperti Take That atau Backstreet Boys. Akan tetapi saya meneguhkan hati dan bertanya. Saya akhirnya pulang dengan Abbey Road, album the Beatles saya yang pertama. 

Ketika saya tiba di rumah dan memutar kasetnya, saya tersenyum saat mendengar lagu Come Together. Pola drum yang membuka lagu tersebut terdengar tidak lazim. Versi Michael lebih terkesan modern dan berirama musik rock. Michael sendiri sangat berbakat dan caranya bernyanyi membuat versi John terasa... jinak. Meskipun demikian, lagu pertama di Abbey Road ini memiliki kesan bahwa seperti inilah lagu ini dikehendaki oleh penulisnya. Perlahan-lahan, versi ini menjadi versi yang saya kenal baik dan sukai. Di tahun 2015, saya mendengar perkataan  Dave Grohl bahwa jika ada yang bisa bermain drum seperti di lagu Come Together dan membuat orang menari, maka pemain drum ini pastilah hebat. Betapa benar perkataannya!


Versi gagalnya pun menarik untuk didengar!

Yang berikutnya adalah lagu Something. Selain Come Together dan OhDarling (kita akan bahas ini nanti), saya tidak pernah mendengar lagu lain di album Abbey Road. Walaupun begitu, sebagai salah satu lagu romantis yang pernah ditulis, Something memiliki pesona yang menarik perhatian mereka yang mendengarkan lagu ini untuk pertama kalinya. Ada suatu luapan perasaan yang mendayu bersama lagu, yang kemudian melantun menggetarkan kalbu lewat petikan gitar di tengah lagu.

Maxwell's Silver Hammer terasa ringan di telinga. Musiknya riang dan mengecoh mereka yang tidak memperhatikan kelamnya lirik yang bercerita tentang pelajar di bidang medis yang membunuh orang dengan palu perak. Lagu yang ditulis Paul ini bernuansa pop dan gampang dinikmati, tapi ternyata tiga anggota Beatles lainnya membenci lagu ini, haha. 

OhDarling adalah lagu keempat di album Abbey Road. Entah kenapa lagu ini terasa tidak asing, seperti pernah saya dengar di masa lalu. Lagu ini bagaikan lagu tahun 50an dan bergantung pada suara penyanyinya yang menjerit. Ketika saya telah lebih mengenal the Beatles, saya menyadari bahwa gaya bernyanyi seperti ini lebih merupakan ciri khas John daripada Paul. Akan tetapi karena Paul yang menulis lagunya, maka dia pula yang menyanyikannya.

Lagu selanjutnya adalah Octopus's Garden. Lagu ini kaya dengan suara drums dan gitar, lengkap pula dengan efek suara laut dan gelembung air, sesuai dengan liriknya yang bercerita tentang taman gurita. Oh ya, suara penyanyinya terasa sangat berbeda dengan lagu-lagu lainnya. Setelah saya baca, ternyata lagu ini dinyanyikan oleh Ringo

I Want You (She's So Heavy) menjadi lagu penutup sisi pertama di album Abbey Road. Lagu ini juga merupakan satu-satunya lagu Abbey Road yang tidak saya sukai. Musik dan liriknya terasa diulang-ulang. Kalau saya lihat kembali sekarang, lagu ini terdengar seperti basis dari beberapa lagu serupa yang Lennon tulis setelah the Beatles bubar. Yang lebih membingungkan lagi, lagu ini tiba-tiba berhenti begitu saja sehingga saya sempat mengira apakah kaset ini rusak atau kehabisan pita. Ternyata efek ini memang disengaja!

Sisi kedua dibuka dengan Here Comes the Sun. Lagu ini adalah tipe lagu yang langsung terdengar mantap begitu mulai melantun. Saya langsung bisa merasakan nuansa optimis dari musiknya. Gitar akustik dan drum berpadu, mengalir dengan demikian indahnya. Boleh dikatakan bahwa ini adalah lagu terbaik di Abbey Road. Saya menyukainya dulu dan lebih dari dua puluh tahun kemudian, saya masih menyukainya. 

Kemudian ada lagu yang berjudul Because dan menampilkan paduan suara John, Paul dan George. Saya tidak pernah mendengar lagu seperti ini sebelumnya. Lagu ini tidak ubahnya seperti tembok suara. Saya mendengarkan lagu ini semata-mata karena saya menikmati keahlian the Beatles dalam rekaman, tapi lagunya sendiri tidak terlalu istimewa. 

Rangkaian lagu-lagu pendek yang disebut medley mengisi sebagian besar sisi kedua album. Saat itu saya tidak paham dengan yang namanya medley. Saya lihat ada banyak judul lagu, tapi apa yang saya dengar mirip seperti sebuah lagu panjang yang berubah-ubah nadanya. Lagu pertama, You Never Give Me Your Money (saya ingat betul liriknya yang menarik perhatian: out of college, money spent. See no future, pay not rent. All the money's gone, nowhere to go) boleh dikatakan masih memiliki akhir yang cukup jelas. Suara jangkrik yang kian nyaring akhirnya menghubungkan lagu tersebut dengan Sun King. Jika bukan karena bahasa aneh yang mereka nyanyikan (saat itu saya tidak bahwa itu adalah bahasa Spanyol), Sun King boleh dikatakan biasa saja.

Tabuhan drum Ringo menjadi pembuka lagu Mean Mr. Mustard. Bagi telinga seorang awam dan pemula seperti saya, lagu ini terdengar seperti bagian pertama dari medley. Yang menarik adalah bagian kedua yang berjudul Polythene Pam. Lagunya berirama cepat dan dinyanyikan dengan aksen Inggris yang asing di telinga (beberapa tahun kemudian baru saya ketahui bahwa ini yang namanya aksen Liverpool). Kemudian, ketika saat-saat yang dinantikan tiba, the Beatles pun berpindah lagi ke lagu lain yang berjudul She Came In Through the Bathroom Window. Kendati begitu, lagunya tidaklah seseru judulnya. 

Golden Slumbers yang berbasis piano mengawali apa yang terdengar seperti medley berikutnya. Saya suka kesan melankolis yang dilanjutkan dengan teriakan yang menjiwai lagu tersebut. Carry That Weight yang dinyanyikan bersama kemudian melanjutkan lagu Golden Slumbers sebelum berganti ke penggalan lagu You Never Give Me Your Money. Lagu The End yang hampir merupakan lagu instrumental menjadi penutup medley tersebut. Semua Beatles bermain solo. John, Paul dan George bermain gitar, Ringo bermain drum! Lirik pendek pun mengakhiri lagu tersebut: "and in the end, the love you take is equal to the love you make."

Ruangan terasa sunyi saat lagu berakhir, memberikan saya waktu untuk mencerna apa yang baru saja saya dengar. Namun mendadak lagu pendek Her Majesty terdengar dan hilang begitu saja. Saya sempat terkejut, lalu menyadari bahwa album ini sudah benar-benar berakhir.

Di dekat studio Abbey Road.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Saya ingat bahwa saya memandang album yang baru saya dengar itu. Saya hanya bisa mengenali John karena kacamata yang dipakainya, haha. Lewat artikel di internet yang saya baca bertahun-tahun kemudian, saya baru menyadari bahwa saat piringan hitamnya dirilis, hanya foto mereka yang sedang menyeberang jalan itulah yang terlihat. Tak ada nama grup dan judul album di sampul depannya, tapi foto itu kelak menjadi sedemikian populernya sehingga album ini begitu gampang dikenali dan menjadi sumber inspirasi bagi saya. Akhirnya, di tahun 2016, saya pun menyeberangi zebra cross di album ini. Oh, saya setuju bahwa ini bukanlah album biasa. Seperti kata Paul, ini album yang teramat sangat mengagumkan!