Total Pageviews

Translate

Sunday, September 27, 2020

Seize The Moments

This topic felt somewhat familiar. Probably I had said something about this before, but what you are going to read here would surely sound different. It was new and inspired by different experiences. In fact, the two experiences I had were as new as yesterday and today. It was uncanny. They were one day apart, so intriguing that I felt like writing about them.

I was craving for mui fan yesterday, so my wife and I went to an eatery nearby our house. While waiting for our dinner to be served, we talked about how I missed traveling. The conversation led to one regret that I had in life: my parents and I never really had an overseas trip that included my brother. Now that Dad is no longer with us, that trip is not going to happen anymore.

When Mum and I finally had a trip with my brother earlier this year.

Then I recalled the trip I had with my in-laws. In a blink of an eye, it's been seven years since we went to Bangkok. We talked about having another trip because one of my wife's siblings didn't join us at that time, but nothing was ever materialised since then. Funny how almost all of them could make it last time, but life had changed so much after that one and only overseas trip we had together. Que sera sera, I guess.

This morning, I had a chat with Wawa, one of a handful friends that has time to entertain my nonsense. Then we talked about Endrico and I sent her the picture below. When I did that, I noticed the date. It'd been almost a year since Semarang. I remember us talking excitedly about the overseas trip with other high school friends in order to celebrate the big 40. Endrico proposed Kota Kinabalu, but based on our polling result, it was decided that Da Nang would be our destination instead. Corona happened right after that. Everything was eventually put on hold until further notice.

The last time we had a trip with high school friends.

These three events got me thinking and the first one hit me the hardest. I really couldn't remember the reason why we didn't go as the whole family. Probably I was just being optimistic that one day my parents, brother and I would travel together. Little did I know that our last chance turned out to be the day we found out Dad had cancer. Definitely not a joyous one. I learnt it the hard way that for all the things that we didn't do, thinking that we'd still have a chance next time, they'd become regrets once you lost the chance forever. 

The bottom line is, when we have a chance to do things that matter to us, we better act on it. If whatever that we plan still fails due to unforeseen circumstances, at least we've tried. It'll become a failure that we can live with. I could say this because not all my plans were successful, but I could certainly look back and laugh about them. The one thing that I wanted but didn't do, it was no laughing matter. Believe me when I said it hurt, so don't make the same mistake as mine...


Tentang Sebuah Kesempatan

Topik kali ini terasa tidak asing. Mungkin saya sudah pernah menulis blog bernada serupa, tapi apa yang akan anda baca ini tetap akan berbeda isinya, terutama karena tulisan ini terinspirasi dari pengalaman yang baru saja terjadi. Ya, ada dua peristiwa yang terjadi kemarin dan pagi tadi. Dua hal ini ternyata memiliki kaitan satu sama lain, sehingga saya jadi tertarik untuk menulisnya. 

Di Sabtu malam, saya ingin menyantap mui fan yang sudah lama tidak saya cicipi, jadi saya dan istri pun mengunjungi tempat makan di dekat rumah. Sambil menunggu makanan dihidangkan, kami berbincang tentang betapa saya ingin berlibur lagi. Saya lantas bercerita tentang satu penyesalan yang terkadang melintas di benak saya: adik saya tidak pernah ikut saat saya berlibur bersama Papa dan Mama. Sekarang Papa sudah tiada, jadi tidak mungkin lagi untuk mewujudkan liburan ini.

Ketika adik saya turut berlibur bersama di awal tahun ini, Papa sudah tiada.

Kemudian saya teringat dengan liburan bersama keluarga besar istri. Hanya dalam sekejap mata, tujuh tahun sudah berlalu sejak liburan kami ke Bangkok. Terkadang saya, istri dan adik-adiknya membahas tentang liburan berikutnya, sebab ada satu dari mereka yang tidak ikut saat kita mengunjungi Thailand di tahun 2013. Hingga hari ini belum terwujud juga. Kalau dipikir lagi, entah kenapa dulu kebetulan bisa berlibur bersama. 

Pagi tadi, saya bercakap-cakap dengan Wawa lewat WhatsApp. Wawa ini salah satu dari sedikit teman yang mau meladeni perbincangan yang konyol dengan saya. Ketika nama Endrico muncul di tengah percakapan, saya mengirim foto di bawah ini kepada Wawa. Tanpa sadar saya amati tanggalnya. Sudah hampir setahun berlalu semenjak kita jalan-jalan ke Semarang. Saya ingat bahwa saat itu kita berdiskusi dengan penuh semangat tentang liburan keluar negeri bersama teman-teman SMA dalam rangka merayakan usia 40. Awalnya Endrico mengusulkan Kota Kinabalu, tapi hasil jajak pendapat menentukan Da Nang sebagai tempat tujuan kita. Setelah itu tiba-tiba COVID-19 melanda. Semuanya pun tertunda sampai hari ini.

Terakhir kali kita berlibur bersama teman-teman SMA.

Tiga peristiwa di atas lantas membuat saya merenung. Saya tidak ingat lagi, apa alasannya kenapa orang tua, saya dan adik saya tidak pernah berlibur ke luar negeri bersama, tapi mungkin saat itu saya optimis bahwa masih ada lain waktu. Tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa sekali-kalinya kita bersama di luar negeri adalah saat kita menyadari bahwa Papa mengidap kanker. Ini jelas bukan liburan yang saya harapkan. Dari situ saya belajar bahwa apa yang kita tunda hanya semata-mata karena kita merasa masih ada hari esok, bisa menjadi penyesalan begitu kita kehilangan kesempatan itu untuk selamanya.

Inti yang ingin saya sampaikan adalah, jika kita memiliki kesempatan untuk melakukan apa yang terasa penting bagi kita, maka sebaiknya kita melaksanakannya. Seandainya sudah dicoba pun masih gagal juga, setidaknya kita sudah berusaha. Kegagalan seperti ini akan menjadi sebuah kenangan tersendiri. Saya bisa berkata seperti ini karena tidak semua yang saya rencanakan itu berhasil, tapi saya bisa melihat kembali dan tertawa. Beda halnya dengan liburan keluarga yang tidak terwujud di atas. Ada rasa pedih setiap kali saya teringat kembali akan hal ini, jadi jangan sampai anda juga melakukan kesalahan yang sama seperti saya... 

Sunday, September 20, 2020

That Half An Hour

We had a regional meeting recently and all of us were given a chance to respond to a set of questions provided by the moderators. To be frank, I couldn't remember what the particular question was, but I recalled writing something like this: "eight hours of BAU (Business As Usual) work keeps the light on, but it's the half an hour we invest on thinking that makes a difference."

In order to understand how the sentence came about, I'd have you know that in my line of work, we were always swarmed by IT issues. Our team existed mainly because we were required to troubleshoot issues. Some were straightforward, others could be larger than life. We spent crazy amount of time rectifying the incidents, so crazy that oftentimes, the working hours had long ended before we knew it. 

Now, the most fundamental problem with the situation above is the fact that we were so busy fighting fire and we barely had time to think, let alone execute the plan we had in mind. It was easy to lose our footing and be dragged into the vicious cycle. We could have been going through the motion of fight-solve-repeat on daily basis. 

Then came the day I mentioned earlier. There was something about writing the sentence down, because it lingered in my mind long after the meeting was over. It was as if the truth was revealed and staring back at me. Funny how I never thought of it that way before! All this while, I had been subconsciously doing what I wrote. From time to time, I forced myself to spend time not only thinking, but also doing what I was thinking.

With such a little time that I had, I did things that nobody else cared about (you know how people tend to talk only). I replaced a decade-old SFTP with something new that could be used regionally, I decommissioned unused tables and so forth. I didn't do big things, but the sum of small things that turned out to be useful on our day-to-day activities. And I didn't look back until now.

The point I was trying to make is, I didn't set out to do great things. I just did them as pet projects, regardless how small, and not knowing that I was making changes. As I often said, I wasn't that smart, anyway. But I could do it because I made time and I did it because it was the right thing to do. Reading what I wrote myself made me realise that, apparently, I was making a difference. Good to know!

In a bigger picture, what I discovered is applicable in life, too. I mean, think about it. If you've been doing the same routine everyday and yet it seems like you're going nowhere, perhaps it's time to invest on that half an hour to think and do something different. It could be the life-changing thing you had been looking for...

That stressful corner of mine.
A candid photo by Sneaky Franky.



Setengah Jam Yang Berharga Itu

Baru-baru ini perusahaan mengadakan rapat regional dan setiap manajer diberi kesempatan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang telah disiapkan oleh moderator. Saya tidak seberapa ingat lagi tentang pertanyaannya, tapi saya ingat betul tentang satu jawaban yang saya tulis berikut ini: "delapan jam dari BAU (pekerjaan rutin di kantor) memang menjamin kelangsungan usaha, tapi perubahan hanya terjadi ketika kita meluangkan setengah jam untuk berpikir."

Supaya anda mengerti kenapa saya menulis seperti itu, perlu saya jelaskan bahwa di bidang yang saya tekuni, yang namanya masalah IT itu selalu datang bertubi-tubi. Ada saja masalahnya, kadang dari user, kadang dari sistem itu sendiri. Tim saya dibentuk untuk menangani semua ini. Kadang gampang masalahnya, tapi ada juga yang luar biasa rumit. Kita menghabiskan begitu banyak waktu, tidak jarang sampai larut malam ketika perkara besar terjadi.  

Nah, ada satu problem yang paling mendasar dari situasi di atas. Karena kesibukan kita dalam menyelesaikan masalah setiap hari, kita hampir tidak pernah memiliki waktu untuk berpikir panjang, apalagi waktu untuk mengeksekusi apa yang sempat direncanakan. Mudah bagi kita untuk kehilangan pegangan dan terjebak dalam siklus ini. Bisa-bisa kita hanya menghadapi masalah, menyelesaikan masalah dan mengulangi hal yang sama lagi pada keesokan harinya.

Kemudian tibalah hari yang saya sebutkan di atas. Sesuatu terjadi ketika saya menuliskan kalimat tersebut, sebab saya jadi selalu memikirkannya bahkan lama setelah rapat usai. Kalimat ini bagaikan sebuah kebenaran yang tersingkap. Lucu rasanya bahwa saya tidak pernah berpikir seperti ini sebelumnya. Selama ini, saya tanpa sadar mengerjakan apa yang saya tulis. Saya menyempatkan diri bukan hanya untuk berpikir, tetapi juga melaksanakan apa yang ada di benak saya. 

Dengan sedikit waktu yang saya miliki, saya mengerjakan hal-hal yang diabaikan orang lain (anda tahu bagaimana orang seringkali hanya cuap-cuap saja, tapi tidak ada aksi). Saya mengganti SFTP usang yang sudah berusia 10 lamanya sehingga kantor-kantor di negara lain pun bisa menggunakannya. Saya melihat kembali tabel-tabel data dan saya bersihkan apa yang tidak diperlukan lagi. Selain itu, masih banyak lagi hal-hal serupa yang telah saya kerjakan. Saya tidak mengerjakan hal-hal besar yang membuat orang terpana, melainkan hal-hal sederhana yang kemudian terbukti berguna untuk aktivitas sehari-hari. 

Apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah, saya tidak berpikir bahwa apa yang saya kerjakan akan mengubah IT secara drastis. Saya hanya mengerjakan apa yang saya bisa, tidak peduli seberapa kecil, dan saya tidak berpikir bahwa saya sedang membuat perubahan. Seperti yang sering saya katakan, saya tidak sepintar itu. Namun yang penting adalah saya bisa melakukan sesuatu karena saya meluangkan waktu dan saya mengerjakannya karena ini benar dan harus dikerjakan. Ketika saya membaca kembali apa yang saya tulis di saat rapat, saya jadi tertegun. Ternyata saya sedang membuat perubahan!

Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa konsep serupa juga bisa diterapkan bukan hanya di IT, tetapi juga di dalam hidup ini. Coba anda pikirkan. Jika anda sudah melakukan rutinitas yang sama setiap hari dan sepertinya anda tidak tambah maju, mungkin anda perlu menyisihkan setengah jam untuk berpikir kembali dan melakukan sesuatu yang berbeda. Bisa jadi inilah perubahan yang sudah anda nantikan tanpa sadar selama ini...

Sunday, September 13, 2020

Why People Are Different

I had a drink with Franky three weeks ago. Spontaneously. We both had a long day in office and needed to chill a bit. I don't think we ever hung out like this before, drinking just the two of us, but I had a good time. With a glass of cold beer in hand, we talked mainly about life. 

Our conversation only re-emphasized what I had already known for the past 13 years: Franky was not only blessed with the ability to crunch numbers, he was also a hard-working man that always tried to ensure everything was right and in order. I admired him for that, but it must be a really stressful thing to do. And that's when he mentioned that I was so fortunate for being happy-go-lucky.

A glass of Guinness with Franky.

The remark was spot on. It got me thinking of how different we were. What he said was true. I mentioned the Aesop's fables about the grasshopper and the ants, then I told him sometimes I felt as if I was the grasshopper that played music and never prepared for winter. Not the best thing ever and I knew that. But how did I become like this again? I looked back as far as I could these past few days. Here's the observation I had. 

First of all, this is how I was wired since birth. Then the upbringing shaped me accordingly. I had a happy childhood. My parents weren't exactly the richest in Pontianak, but I always had enough. I could eat whatever I wanted. I had all the comics I wanted read. I watched all the cartoons and Japanese tokusatsu series we could find in Pontianak. I had all the games I wanted to play. Most importantly, I was always surrounded by friends. That's when I first learnt to share what I had with others.

P3, the best time (academically) in primary school days! Can you spot me?

Then there were life lessons. Dad made sure I understood that responsibility came before anything else. Only when it was done that I could have some fun. When I neglected this, I was punished, but then he explained to me why he whacked me. From Mum, I learnt how to save money. In hindsight, I didn't think she purposely taught me that. She simply refused to buy me things I liked, so I saved and bought them myself, haha.

I also had a good dose of laughter. I grew up watching Stephen Chow and his nonsense. This, I believe, enhanced the playfulness in me. I also figured out from early age that I would never be a tough guy. I mean, I cried when I saw something touching. When I was young, I was embarrassed by this. But it turned out to be alright. Instead of bottling up my feelings, I was able to let go. It was a relief to be able to express oneself healthily.

With my auntie and her husband.

When Dad went bankrupt and my family moved to Bekasi in West Java, life could have been tough for me. I could have been an angry young man, but luckily I was loved. My auntie took me in and together with her husband, they taught me what it meant to live independently as an occupant that paid no rent while staying at other people's house. I was a spoiled brat and it was during my stay here that I helped out with house chores. From this experience, I learnt about humility. 

Around the same time, I saw the Beatles for the first time. Life was great with rock and roll. Not only their music got me dancing and cheered me up when I was down, they also inspired and motivated me to learn English. When the Beatles sang All You Need is Love confidently, their lyrics filled me up with optimism. When I found myself in times of trouble, they told me to let it be. Then, years later, I learnt from John that, "life is what happens to you while you're busy making other plans," and, "after all is said and done, you can't go pleasin' everyone, so screw it!"

With my friend and mentor Rusli.

By the time I was working, what I learnt earlier in life turned out to be useful. I was able to admit that I wasn't good albeit reluctantly, as I had a young man's ego, too (this got better as I aged. I realized I didn't have to pretend that I knew or understand something when I actually didn't). That's how I ended up with people that I admired in life. I didn't suck up to them. I sincerely thought they were geniuses. They mentored and gave me chances along the way, brought me to a level I never imagined before. 

Life as a young adult could have been the lowest point of my life. I was so poor, but I was neither sad nor lonely. I had good times and good friends, from those days in Jakarta till the past 14 years in Singapore. On top of that, I met a girl I loved and she brought the best out of me. That's why I'm here today, as cheerful as ever.

With the girl of my dream in Chinese Garden, year 2006 and 2018.

When I went to Japan with my Dad right before he was diagnosed with cancer, we talked about what happened in the past. I realized that I neither blamed him nor had any regrets that our lives changed so much after his bankruptcy. It was through this experience I learnt that things happened for a reason. 

Another thing was, since Dad helped many people when he was well-to-do, I also learnt that people might not return the favor. That's the reality. That's just how life works, I guess. But I was proud of my Dad. He had the courage to make a difference in other people's lives. The world was a better place to be for them because he showed kindness. That's why I did the same. Kindness was something worth sharing.

Celebrating birthday with my daughter Linda. 

After becoming a father, I also started asking myself, "to what extent will one be considered as successful? How rich is rich?" Suddenly all the hard work in climbing the corporate ladder became trivial, because there was no end to it. I loved the work I was doing all this while, but I wasn't exactly lacking in anything, so I'd be damned if I wasn't there for my kids as they grew up. Balance was the key, so there I was, juggling my work, family and me-time on daily basis. I couldn't claim that I was very good in doing so, but it'd been manageable so far. I hope my wife and kids agree with my opinion, too, haha.

But we're not quite there yet. There was one final thing that changed my mindset since few years ago: death. Yes, people my age, be it poor or rich, died. Some knew their days were numbered, some just dropped dead. So I ticked off the bucket list whenever I could. I also made peace that I had provided as much as I could for the family, because to what extent would it be deemed as enough? But if I learnt of a thing or two from my own experience, one should not underestimate how resilient human beings could be. They'd be doing fine.

Visiting Strawberry Field. A dream achieved!

So why are we different again? This self-assessment did explain to me why. It was basically about the set of characters we were born with, moulded by the long process we went through in life. It took me years to gradually become a happy-go-lucky person I am today. How about you? Have you ever traced back to understand why you are this person today?



Mengapa Setiap Orang Berbeda?

Saya minum bersama Franky tiga minggu yang lalu. Saat itu kita lelah setelah seharian di kantor dan ingin santai sejenak sebelum pulang ke rumah, jadi kita pun spontan berjalan ke ALT Café and Bar. Dengan segelas Guinness di tangan, kita pun berbincang tentang kehidupan. 

Percakapan kita ini mengingat saya kembali apa yang sudah saya ketahui tentang Franky selama 13 tahun terakhir ini: selain kepiawaiannya dalam kalkulasi dan perhitungan, dia juga seorang pekerja keras yang selalu ingin memastikan bahwa semuanya selalu berjalan sesuai rencana. Saya mengaguminya dalam hal ini, namun saya rasa sifatnya ini membuatnya sering terlihat stres. Di saat itu pula dia lantas berkata bahwa saya beruntung karena senantiasa terlihat ceria dan tanpa beban. 

Segelas bir bersama Franky di dekat kantor.

Perkataannya sungguh tepat sasaran. Saya jadi berpikir, kenapa kita sebagai teman bisa berbeda seperti ini kepribadiannya. Saya lantas bergumam tentang dongeng seekor belalang dan para semut. Saya katakan padanya bahwa ada kalanya saya merasa seperti belalang yang senantiasa bermain musik dan tidak mempersiapkan diri untuk musim dingin. Ini bukanlah hal yang baik dan saya sendiri tahu akan hal ini. Lantas bagaimana ceritanya sehingga saya jadi seperti ini? Karena penasaran, saya melihat kembali sejauh saya bisa. Berikut ini adalah hasil pengamatan saya. 

Yang paling pertama adalah karakter dari sejak lahir. Pembawaan ini sudah dari sananya, terus dibentuk lagi di masa pertumbuhan. Saya memiliki masa kecil yang bahagia. Orang tua saya bukan yang paling kaya di Pontianak, tapi saya senantiasa berkecukupan. Saya bisa menyantap makanan yang saya sukai. Saya bisa membaca segala komik yang ada pada saat itu. Saya bisa menonton aneka kartun dan serial tokusatsu Jepang yang bisa didapatkan di Pontianak. Saya memiliki aneka game, mulai dari Game & Watch, Atari, Nintendo sampai Sega. Yang paling penting lagi adalah saya selalu memiliki teman bermain. Dari sinilah saya belajar untuk berbagi apa yang saya miliki dengan orang lain. 

Kelas tiga, masa paling gemilang di SD! Bisa tebak yang mana saya?

Kemudian ada pula pelajaran hidup. Ayah saya memastikan bahwa saya mengerti kalau tanggung jawab harus didahulukan sebelum saya menuntut hak saya. Ketika saya mengabaikan hal ini, saya pun dihukum. Selanjutnya ia jelaskan pada saya, kenapa saya dihajar dengan rotan. Dari ibu saya, yang saya dapatkan adalah pentingnya menabung. Kalau saya pikirkan lagi, sepertinya dia tidak pernah dengan sengaja mengajarkan saya untuk menabung. Dia hanya menolak untuk membelikan apa yang saya mau, jadi saya tabung dan beli sendiri, haha.  

Saya juga banyak tertawa. Saya tumbuh dewasa sambil menyaksikan film-film Stephen Chow yang kocak dan konyol. Apa yang saya tonton ini mempengaruhi selera humor saya. Selain itu, saya juga sadar dari sejak dini bahwa saya bukanlah pribadi yang tangguh. Tidak jarang saya meneteskan air mata saat melihat sesuatu yang menyentuh perasaan saya. Dulu saya merasa malu dengan kelemahan saya ini. Setelah dewasa, saya menyadari bahwa menangis bukanlah perkara yang buruk. Kini saya tidak menyimpan perasaan sedih dan sakit hati karena saya bisa mengekspresikannya dengan baik. 

Bersama tante saya dan suaminya.

Tatkala ayah saya bangkrut dan keluarga saya pindah ke Bekasi, hidup seharusnya terasa susah. Kalau nasib berkata lain, saya bisa saja menjadi pemarah yang merasa hidup ini tidak adil, tapi saya beruntung karena tidak pernah kekurangan kasih sayang. Saya diperkenankan untuk tinggal di rumah tante saya dan diperlakukan dengan baik. Bersama suaminya, dia mengajarkan saya seperti apa yang namanya hidup mandiri saat tinggal dengan gratis di rumah orang lain. Sebelum ini, saya adalah anak manja yang senantiasa dilayani pembantu. Dari sini saya belajar untuk bertanggung jawab dalam tugas-tugas rumah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman ini mengajarkan saya, apa yang dimaksudkan dengan tahu diri.

Pada saat yang sama, saya juga melihat dan mendengarkan the Beatles untuk pertama kalinya. Hidup yang diiringi dengan rock and roll memang nikmat. Musik mereka tidak hanya membuat saya berjingkrak dengan hati senang, tapi juga memotivasi saya untuk belajar Bahasa Inggris. Ketika the Beatles menyanyikan All You Need is Love dengan penuh percaya diri, lirik mereka membuat saya merasa optimis dengan hidup ini. Sewaktu saya gundah-gulana, mereka meyakinkan saya untuk let it be. Lantas, bertahun-tahun kemudian, saya belajar dari John bahwa, "life is what happens to you while you're busy making other plans (hidup adalah apa yang terjadi ketika kita sibuk membuat rencana)," dan, "after all is said and done, you can't go pleasin' everyone, so screw it (meski pun kita berusaha semaksimal mungkin, tetap saja ada yang tidak senang dengan kita, jadi peduli setan)." 

Bersama Rusli, seorang teman dan mentor bagi saya.

Sewaktu saya memasuki dunia kerja, apa yang saya pelajari tentang kehidupan ini terbukti berguna. Saya bisa menerima kenyataan bahwa saya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan yang lain. Awalnya ini tidak gampang, sebab bagaimanapun juga saya seorang anak muda yang memiliki ego. Namun seiring dengan bertambahnya usia, saya sadar bahwa saya tidak perlu berlagak tahu kalau saya memang tidak tahu. Berbekal sifat inilah saya bertemu dengan orang-orang yang saya kagumi. Mereka lantas mengajari saya tentang banyak hal dan memberikan saya kesempatan sehingga saya bisa menjadi lebih baik lagi di dalam hidup ini. 

Hidup di usia 20an boleh dikatakan sebagai titik terendah dalam hidup saya. Saya miskin secara finansial, tapi tidaklah sedih atau merasa sendirian. Justru sebaliknya, hidup saya diisi dengan kegembiraan dan teman-teman baik, mulai dari Jakarta sampai 14 tahun terakhir di Singapura. Selain itu, saya juga bertemu dengan wanita yang saya sukai, yang akhirnya membuat saya bertekad untuk memberikan yang terbaik dari kamampuan saya. Perjalanan hidup ini lantas membawa saya pada hari ini, lebih baik, tapi tetap riang seperti dulu. 

Bersama si dia di Chinese Garden, tahun 2006 dan 2018.

Tatkala saya pergi ke Jepang bersama ayah saya sebelum dia terdiagnosis mengidap kanker, kita bercerita tentang masa lalu. Saya menyadari bahwa saya tidak menyalahkan dia atas apa yang terjadi. Saya juga tidak menyesal bahwa hidup saya berubah total setelah dia bangkrut. Saya menjadi tahu bahwa di dalam hidup ini, sesuatu terjadi karena ada hikmahnya. Ya, mungkin pahit rasanya sewaktu mengalami, tapi suatu hari nanti kita mungkin mengerti saat kita melihat kembali. 

Satu hal lainnya adalah, karena ayah saya membantu banyak orang saat dia berjaya, saya juga belajar bahwa tidak semua orang membalas budi baiknya ketika dia mengalami kesusahan. Ini adalah kenyataan hidup. Akan tetapi saya bangga pada ayah saya. Dia memiliki ketulusan untuk membantu orang lain dan hidup mereka berubah menjadi lebih baik karena dia memberikan kebaikan kepada sesama. Karena inilah saya juga melakukan hal yang sama. Kebaikan adalah sesuatu yang layak dibagi, tapi tidak untuk digembar-gemborkan. 

Merayakan ulang tahun bersama Linda, putri saya. 

Sekarang, setelah saya menjadi seorang ayah, saya jadi bertanya, "seperti apa yang namanya sukses? Seberapa banyak pula kekayaan seseorang sehingga baru dianggap cukup?" Tiba-tiba saja kerja keras siang-malam untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi terasa tidak masuk akal, sebab semua ini tidak ada habisnya. Saya suka pekerjaan saya, tapi terus-terang saya tidak kekurangan, jadi betapa konyolnya saya jika saya sampai melewatkan masa pertumbuhan anak-anak. Keseimbangan adalah kuncinya, jadi saya berbagi waktu untuk pekerjaan, keluarga dan diri saya setiap hari. Saya tidak berani berkata dengan lantang bahwa saya sudah berhasil menjalankan ini dengan baik, tapi sampai sejauh ini tampaknya lumayan. Saya harap istri dan anak saya sepakat dengan pendapat saya ini, haha. 

Kita hampir sampai di penghujung cerita. Satu hal terakhir yang mengubah pemikiran saya hingga seperti sekarang ini adalah kematian. Ya, beberapa kenalan yang seusia dengan saya, miskin atau kaya, telah meninggal dunia. Ada yang tahu bahwa mereka mendekati ajal, ada pula yang mendadak wafat. Saya menyikapi kenyataan ini dengan mengejar impian-impian hidup saya sebisa mungkin. Saya juga meyakinkan diri saya bahwa saya sudah memberikan yang terbaik untuk keluarga saya, meski saya tidak tahu seperti apa baru dianggap cukup. Bilamana ada satu hal yang saya pelajari dari pengalaman hidup saya sendiri, kemampuan seseorang dalam beradaptasi itu biasanya melebihi perkiraan. Saya percaya bahwa istri dan anak-anak akan baik-baik saja jika sampai kesulitan melanda. 

Di Strawberry Field, Liverpool, tak jauh dari rumah John Lennon. Cita-cita tercapai.

Jadi kenapa setiap orang berbeda? Observasi terhadap diri sendiri di atas menjelaskan kepada saya kenapa. Pada dasarnya semua ini tergantung pada karakter kita dari sejak lahir, yang kemudian diasah dengan pengalaman hidup yang kita alami. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menjadi seorang yang riang dan tanpa beban. Bagaimana dengan anda? Pernahkah anda melihat kembali, kenapa hari ini anda menjadi seperti sekarang ini? 

Sunday, August 30, 2020

The Library

When I looked at my daughter Linda, sometimes I couldn't help thinking that she might have taken things for granted. It wasn't her fault, though. She was born in Singapore and had a privilege to grow up here. Apart from a few short visits to Indonesia, she'd been practically living her entire life in a country that is so modern and advanced. It was only natural that she perceived everything she saw everyday as normal. 

Libraries were a good example. It was very common for everyone in Singapore to visit the libraries. It was a nice place to be, so clean and comfortable for reading. Linda wouldn't have any idea that it wasn't the case for his Dad. Pontianak had one public library. I only went to there once and it wasn't exactly a pleasant memory. There was this distinct smell of old books and it was so eerily quiet that it didn't feel right to stay very long in the library. Believe it or not, it was actually quite a relief to be out of it!

After such a harrowing experience, imagine my surprise when my friend Jimmy brought me to the National Library in Bugis for the first time ever. It was year 2006. I was still looking for a job and I had a lot of spare time to kill. When I stepped in to the library, I was amazed by the sight of it. So grand! Not only it was like sea of books, but it actually had various comics, too, from manga to DC and Marvel. I could relax on the couches. If I was thirsty, the water tap was just around the corner. Very convenient. When I wanted to borrow books, I just had to stack them, then the machine would scanned them at one ago and it was done! Returning books were as easy as dropping them at the bookdrop! How modern! 

Because I had seen worse, I appreciated a better experience in Singapore. My daughter had nothing to compare with, because she began her life with a much higher standard. Not that it was bad. On the contrary, it was a good thing and I hoped she'd go even further in life than me. It's just, it wouldn't hurt for her to learn how fortunate she already was, that what she had now was an opportunity many didn't have. I guess it's up to me as her Dad to educate her about this life lesson...

Epilogue:
I went to the National Library a few days ago. It's been a while since I went there, so I recalled the good times I had as I walked from Bugis Station. I thought I'd be there for a while, just to relax and read a bit about DC and Marvel superheroes. 

Much to my surprise, it wasn't anything remotely like what I used to know. It just felt so unwelcoming and sad. Seats were taped as it was forbidden for visitors to sit. The water tap was closed for safety reason. With only a handful visitors other than myself, the library felt abandoned. 

The time of corona changed the way we lived, but I'm quite certain I don't need a new normal in visiting library. As I stepped out, I wished the good old days in spending our time at the library would return...

At Sengkang library with the kids during a happier time.
Photo by Yani Evelyn Robinson.


Perpustakaan

Terkadang saya berpikir bahwa putri saya Linda mungkin tidak pernah menyadari betapa beruntung dirinya karena lahir dan tumbuh besar di Singapura. Setiap tahun istri saya membawanya berlibur ke Indonesia, tapi sepanjang hidupnya dia tinggal di negara yang maju dan modern. Wajar bagi Linda untuk berpikir bahwa apa yang dilihatnya sehari-hari itu adalah hal yang biasa dan lumrah. 

Perpustakaan adalah contoh yang bagus. Mengunjungi perpustakaan adalah kebiasaan orang-orang di Singapura. Tempatnya bersih dan nyaman untuk membaca. Saya dan istri suka membawanya menghabiskan waktu di sana. Begitu seringnya Linda ke sana sehingga tidak pernah ia sadari bahwa ayahnya tidak pernah memiliki kesempatan serupa. 

Setahu saya, Pontianak hanya memiliki satu perpustakaan umum di Jalan Letjen Sutoyo. Saya hanya pernah berkunjung sekali ke sana. Seingat saya, ini bukanlah pengalaman yang paling berkesan. Ada aroma buku-buku tua yang apek dan entah kenapa kesunyian di perpustakaan terasa mencekam sehingga rasanya tidak tenang untuk berlama-lama di sana. Percaya atau tidak, ada rasa lega setelah saya keluar meninggalkan perpustakaan. 

Berbekal pengalaman di atas, bayangkan betapa kagetnya saya ketika teman saya Jimmy membawa saya ke National Library di Bugis untuk pertama kalinya. Saat itu tahun 2006. Saya baru datang mencari kerja di Singapura dan saya memiliki banyak waktu luang. Ketika saya menginjakkan kaki di perpustakaan, saya terpana dengan apa yang saya lihat. Megah sekali! Koleksi bukunya bukan saja berlimpah, tapi juga ada bagian komik, mulai dari manga sampai DC dan Marvel. Saya bisa bersantai di kursi sofa. Kalau haus, saya bisa minum gratis di pojokan yang mengarah ke kamar kecil. Bila saya ingin meminjam buku untuk dibawa pulang, saya cukup menumpuk beberapa buku dan mesin registrasi akan memindainya sekaligus sehingga semua langsung terdata sebagai buku pinjaman. Kalau saya ingin mengembalikan buku, saya cukup memasukkan semuanya ke lubang kecil di dinding yang berlabel bookdrop. Betapa canggih dan praktis! 

Karena saya sudah melihat yang lebih kuno dan tidak nyaman, saya jadi menghargai apa yang bagus di Singapura. Putri saya tidak memiliki perbandingan seperti ini karena dia memulai hidupnya dengan standar yang lebih tinggi. Ini bukan hal yang buruk. Justru sebaliknya, ini adalah permulaan yang baik dan saya berharap dia bisa mencapai lebih jauh lagi dalam hidup ini dan melampaui saya. Hanya saja tentunya akan bagus pula baginya untuk menyadari bahwa dia sudah jauh lebih beruntung karena masih begitu banyak yang tidak memiliki kesempatan seperti dia. Saya kira ini adalah salah tugas saya sebagai ayahnya untuk mengajarkan pelajaran hidup ini...

Epilog:
Saya mampir ke National Library beberapa hari lalu. Sudah cukup lama saya tidak ke sana, jadi saya pun melangkah dari Stasiun Bugis dengan harapan tinggi. Saya ingin bersantai sejenak di sana sambil membaca tentang para pahlawan super dari DC dan Marvel. 

Di luar dugaan saya, apa yang saya lihat berbeda dengan apa yang ada di benak saya. Perpustakaan kini terasa tidak nyaman dan terlihat menyedihkan. Sofa dan kursi diblokir dengan lakban karena pengunjung tidak diperbolehkan duduk. Tempat minumnya dimatikan demi alasan kesehatan. Pengunjungnya pun hanya segelintir sehingga perpustakaan terasa seperti diabaikan. 

Musim korona sungguh mengubah cara hidup kita, namun saya yakin bahwa saya tidak butuh new normal untuk perihal mengunjungi perpustakaan. Saat saya melangkah keluar, saya hanya berharap bahwa pengalaman di perpustakaan seperti dulu kala akan kembali setelah korona usai... 

Wednesday, August 19, 2020

Online Business

The time of corona changed the business landscape and some friends in our little chat group were badly affected, too. It was tough enough to do what they did prior to this, but now some businesses weren't doable at all. This led to a conversation of doing online business, namely Shopee. We talked about exploring it.

I was intrigued by it. At that time, I'd been trying out Carousell, but I approached it like doing a garage sale, haha. The interface was rather straightforward, so I thought Shopee should be more or less the same, too. Then I set up an account and tried it out with Parno and Susan. This is the story of the experience we went through.

From left: the seller, the buyer, the coordinator.

First of all, you got quite a fair bit of things to fill up. Home address, shop address and even bank account were required. Shop address was critical because it would determine from where the shipping would be delivered. You could enter many addresses, but only one can be used at one time for all products. When you changed the address, it'd affect the location of all products.

This turned out to be a problem for us. I had this idea in mind when I tested this out: what if all friends from other cities joined in to offer their products? If we did this, we'd have a massive collection of products to sell. We'd have our online supermarket. Everyone would have access to the same login so that each of us could respond to the queries and take care of the orders. But due to the shipping address issue that was mentioned earlier, this was not possible. Those who were from the same city still could do this, but that was pretty much it.

Problems with brand (Merek) and Shipping Address (Dikirim Dari).

Anyway, we only found out about this much later on, right after we simulated the transaction. For us to begin, I uploaded few products. Each had a lengthy form to be filled up, from the brand, the weight, the quantity and so forth. Noticed that I always ran into errors for products with brands not listed on Shopee, for example Aming Coffee, so I eventually removed the brand.

The enquiry from a difficult customer.

Once the products were ready, we did a test together, from enquiry to transaction. Enquiry was originally neat, but it soon became cluttered with unwanted messages. I had no idea how I ended up with a lot of messages telling me that other people had showered my plants. To think that I didn't even play any games on Shopee! The app should have not spammed me like this! This made it difficult for me to notice the genuine enquiries and as a user, I could have missed out the business opportunities! Yes, there were notification settings, but it wasn't exactly clear what needed to be set to turn this gaming messages off.

Unwanted notifications.

Anyway, through this messaging service, Susan did the enquiry and the purchase. As Parno didn't download the app, I contacted him to do the shipping via J&T Express. I didn't know that the app actually provided a specific shipping code and the shipping cost was covered by Shopee. I discovered this only after Parno mailed the order, so he went back to J&T Express to correct my mistake. Once this is done, I could see the status updated on the app.

The shipping code provided by Shopee.

Susan purchased using ShopeePay, which meant the money would only be released to the seller once the goods were received and confirmed by the buyer (note that buyers had an option to return the orders to sender). Having said that, the seller needed to contact the buyers if they never confirmed even though the delivery tracking showed that the order had been delivered. Once confirmed, the payment would be credited to the seller's account and the money could then be transferred into the seller's bank account.

The money transfer.

Our little experiment ended when the money was received. It didn't exactly work out as I first envisioned it, but it was still a working system that wasn't so difficult to use. If you ever thought of starting this but not sure how to begin, I hope the story above would give you the clues. One could start this as side income. Definitely worth trying, especially in the time of corona!


Bisnis Online

Musim COVID-19 berdampak buruk pada dunia usaha dan beberapa teman SMA di grup WhatsApp juga terganggu bisnisnya. Sebelumnya pun sudah terdengar tantangan dalam berbinis, tapi korona yang melanda dunia lebih dashyat lagi dampaknya sehingga beberapa bidang usaha sama sekali lumpuh dan tidak bisa ditekuni lagi. Hal ini lantas membuat kita berdiskusi tentang bisnis online lewat Shopee. 

Saya sendiri jadi tergerak untuk mencobanya supaya tahu seperti apa prosesnya. Baru-baru ini saya juga iseng mencoba Carousell, walau saya lebih cenderung menggunakannya sebagai sarana cuci gudang, haha. Langkah-langkah untuk berjualan di Carousell tergolong praktis, jadi saya mengira bahwa Shopee juga seharusnya kurang-lebih sama. Saya lantas membuat akun dan melakukan uji coba bersama Parno dan Susan. Berikut ini adalah pengalaman kita.

Dari kiri: penjual, pembeli dan koordinator.

Pertama-tama, ada banyak formulir online yang perlu diisi. Alamat rumah, alamat toko dan bahkan rekening bank dibutuhkan untuk membuka toko. Alamat toko sangat penting karena menentukan dari mana produk akan dikirim. Pengguna bisa memasukkan beberapa alamat, namun hanya satu yang bisa dipakai sebagai alamat pengirim. Ketika kita mengganti alamat toko, semua produk akan berubah pula alamatnya.

Hal ini menjadi masalah buat saya. Tadinya saya berpikir bahwa seandainya teman-teman dari berbagai kota ikut menjual produk mereka, maka kita bisa membangun semacam supermarket online. Di benak saya, setiap orang memiliki akses ke aplikasi sehingga bisa menanggapi pertanyaan pelanggan dan menerima pesanan. Akan tetapi karena kendala yang disebutkan di atas, ide ini jadi tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna. Hanya teman-teman dari satu kota yang masih bisa bekerja sama.

Masalah dengan Merek dan alamat pengirim (Dikirim Dari).

Masalah ini baru kita sadari setelah kita menyelesaikan simulasi transaksi. Dalam rangka uji coba, saya mengunggah beberapa produk. Setiap produk disertai formulir panjang yang perlu diisi, mulai dari merek, berat, kuantitas dan lain-lain. Saya perhatikan kalau mereknya tidak tertera di sistem, misalnya Aming Coffee, nanti akan muncul tampilan bahwa telah terjadi kesalahan pendataan. Akhirnya saya kosongkan merek produknya.

Pelanggan sulit.

Setelah beberapa produk diunggah, kita pun mulai mencoba prosesnya, mulai dari pertanyaan pembeli sampai pemesanan produk. Notifikasi untuk komunikasi antara penjual dan pembeli ini awalnya bagus, tapi entah kenapa lantas bermunculan pesan-pesan yang tidak penting. Saya tidak mengerti kenapa banyak orang yang mengabarkan bahwa mereka sudah menyirami tanaman saya, padahal saya sama sekali tidak main game di Shopee. Aplikasi ini seharusnya tidak membanjiri saya dengan notifikasi seperti ini karena pertanyaan dari penjual bisa terlewatkan oleh saya. Ya, saya lihat ada pengaturan notifikasi, tapi tidak jelas apa yang harus diatur untuk menghilangkan notifikasi tentang game.

Notifikasi tidak penting.

Melalui fitur percakapan ini, Susan mencoba berkomunikasi dan akhirnya melakukan transaksi. Karena Parno tidak mengunduh aplikasi Shopee, saya pun menghubungi Parno supaya dia melakukan pengiriman lewat J&T Express. Saya tidak tahu bahwa Shopee menyediakan kode pengiriman dan juga menanggung biaya pengiriman. Hal ini baru saya sadari setelah Parno mengirimkan produk, jadi dia kembali ke J&T Express untuk membereskan masalah ini. Setelah selesai, saya bisa melihat status pengiriman di aplikasi.

Kode pengiriman otomatis dari Shopee.

Susan melakukan pembelian dengan metode ShopeePay. Ini berarti uangnya baru akan ditransfer oleh Shopee ke saya setelah konfirmasi pelanggan (dan sebagai pelanggan, Susan memiliki pilihan untuk pengembalian produk bila tidak sesuai dengan pesanan). Karena mekanisme ini, penjual harus menghubungi pembeli jika tidak menerima konfirmasi setelah status order sudah terkirim. Setelah konfirmasi, barulah uang diterima di akun penjual dan bisa ditransfer ke rekening bank.

Transfer uang dari akun Shopee ke bank.

Eksperimen kita ini pun berakhir sesudah uang diterima. Shopee tidak berfungsi seperti apa yang saya bayangkan, tapi sistem jual-belinya tidaklah terlalu sulit untuk dipelajari. Jika anda ingin mencoba tapi tidak ada gambaran seperti apa caranya, semoga pengalaman kita ini bisa menjadi acuan. Bagi yang berminat, ini jelas bisa menjadi usaha sampingan. Layak dicoba, apalagi di musim korona! 


Monday, August 10, 2020

Life Begins At 40

When I thought about turning 40, funny that the first thing that came to mind was my hero, John Lennon. He wrote the song called Life Begins at 40, which was quite an irony, because he died less than two months after his 40th birthday. On that fateful night, he was supposed to have a dinner somewhere, but he wanted to go home and wish his son goodnight. He never made it. 

No, I'm not saying that I had some premonition or something. I just couldn't help thinking about how the perspective had changed. When I was 10, I thought I was a big boy. When I had my 20th birthday, I was excited about the future. When I turned 30, I enjoyed the freedom I had as a man. But being 40 was like things drawing to a close. If life is a journey, then I am half way there. Or may be 3/4. I don't know. But I was neither pessimistic or sad. Knowing that some of my friends never made it this far, I treasured the blessings.

But the truth is I was a little bit scared. No, not for myself, but more for my family. When I saw how soundly my daughters slept, I felt relieved that I had done a decent job in providing them home. The question now is, what if I let them down? Being a sole breadwinner could be scary that way. However, I guess a man could only do and worry so much.The Lord giveth and the Lord taketh away. I just had to have faith that it'd be alright.

Other than that, it's good to be older. If I had to count my blessings, I had achieved quite a lot in the past 40 years. You might have heard some of those and I didn't wish to reminisce about them this round, but I'd like to mention a single greatest thing that ever happened to me: my wife. She is my inspiration and the reason why I am a better man than before. While I never said this before, I'm actually amazed that she could tolerate all my nonsense. Perhaps she saw something in me that I myself never realized. I tell you what, I'll write the story about her so that you know how great a woman she is.

So there you go, my greatest fear and blessing. Now that I had these two written down and really looked at them, I felt so much better knowing that the good outweighed the bad. What would my 40s bring? My wish today? There are two. Looking back, I felt like I was an immature selfish bastard in my 30s. I want to spend more quality time with my family. Secondly, on a more personal level, I want to travel again!

First photo at the age of 40.


Hidup Bermula Di Usia Ke-40

Ketika saya menjelang umur 40, sosok yang pertama muncul di benak saya adalah pahlawan saya John Lennon. Dia menulis lagu berjudul Life Begins at 40 yang artinya hidup bermula di usia ke-40, suatu hal yang ironis mengingat dia meninggal kurang dari dua bulan setelah ulang tahunnya yang ke-40. Di malam itu, dia seharusnya makan malam di tempat lain, tapi dia ingin pulang dan mengucapkan selamat malam kepada anaknya sebelum sang anak tidur. Keinginan John tidak pernah tercapai karena dia ditembak di depan gerbang rumahnya.

Tidak, saya tidak berkata bahwa saya memiliki firasat buruk atau apa. Saya hanya merasa bahwa pandangan hidup itu berubah. Ketika saya berumur 10 tahun, saya merasa seolah-olah sudah bagaikan orang dewasa. Di usia 20, saya sangat bersemangat menyongsong masa depan. Ketika saya mencapai umur 30, saya menikmati kebebasan hidup sebagai bujangan yang tidak kekurangan apa pun. Akan tetapi umur 40 itu seperti awal dari akhir. Jika hidup adalah petualangan, maka saya sudah setengah jalan. Atau mungkin 3/4. Saya tidak tahu pasti. Namun saya tidak pesimis atau sedih. Saya sadar bahwa beberapa teman saya sudah berpulang dan tidak pernah sampai sejauh ini, jadi saya teramat sangat menghargai berkah hidup ini. 

Tapi saya tidak menyangkal kalau saya merasa takut. Ketakutan ini lebih cenderung ke nasib keluarga. Ketika saya melihat betapa lelapnya dua putri saya dalam tidur, saya merasa lega bahwa saya sudah cukup berhasil dalam menyediakan mereka rumah dan kehidupan yang layak. Pertanyaannya adalah, bagaimana jika saya mengecewakan mereka? Menjadi satu-satunya orang yang menafkahi keluarga adalah suatu hal yang cukup menggetarkan nyali. Kendati begitu, seorang pria hanya bisa berusaha dan merasa khawatir sampai batas tertentu. Apa yang diberikan oleh Tuhan mungkin akan diambil juga oleh-Nya. Pada akhirnya saya hanya bisa beriman dan berserah bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

Selain satu hal yang saya cemaskan di atas, bertambahnya usia adalah perkara yang bagus. Jika saya melihat kembali berkat yang saya terima, saya sudah mencapai banyak hal dalam 40 tahun terakhir ini. Anda mungkin sudah pernah membaca beberapa cerita saya tentang hal ini dan saya tidak ingin mengulangnya. Di kesempatan ini, saya hanya ingin menyebutkan satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam diri saya: istri saya. Dia adalah inspirasi dan alasan kenapa saya menjadi pria yang lebih baik. Saya mungkin tidak pernah mengatakan hal ini sebelumnya, tapi terkadang saya kagum dengan toleransinya terhadap kekonyolan saya. Mungkin dia melihat sesuatu dalam diri saya yang saya sendiri tidak pernah sadari. Ya, dia wanita yang luar biasa. Mungkin saya harus menulis tentang dirinya supaya anda tahu. 

Dua hal ini adalah ketakutan dan berkat terbesar saya. Sekarang, setelah ditulis dan ditelaah, saya merasa lebih tenang karena hal yang baik lebih dominan daripada yang buruk. Apa yang akan terjadi di usia 40an? Harapan saya di hari ulang tahun ini ada dua. Kalau saya lihat kembali, saya mungkin lebih sibuk sendiri di usia 30an. Saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga sekarang. Kedua, dan yang ini lebih bersifat pribadi, saya ingin segera bisa berlibur lagi! 

Saturday, August 8, 2020

Book Review: Rogue Trader

I joined the world of Futures and Options in February 2007. By then, the age of open outcry was basically over. I never went to the trading floor at SGX. It was a different time and traders started using GL Trade. But I often heard about the romance of bygone era and I got fascinated by the crazy time when people made tons of money by busy shouting and frantically doing hand signals. 

With all sorts of characters moving the market up and down, legends were born. One of them was Nick Leeson and the story of a rogue trader. You know the saying, bring down the house? He literally did that by bringing down the house of Barings. That's how big a deal Nick was. 

What's more interesting was the fact that it happened in Singapore. The rules and regulations are so tight now it's hard to believe that such an incident could happen here. I've been reading regularly again since the time of Corona, devouring random books such as the story about an Indian who cycled to Europe and the Harry Potter series, so I eventually picked up this one, too. 

The book wasted no time and jumped right into Nick's last day at SIMEX (this was where Futures were traded back then). From there, the story went back to his early days in UK and told us about how he got into Futures and Options (the word LIFFE did bring back memory, haha). Nick was smart and he immediately learnt that money was made in Far East, so we followed him to Jakarta. His success in Indonesia eventually got him the dream job in Singapore. He was originally a back office guy, but he always wanted to be on the trading floor where the actions happened.

As soon as his career began, the infamous 88888 error account was created. Its origin was explained here. In fact, the book did a good job in explaining many Futures related things in layman's terms. But it'd become too complicated for me, especially when Options were involved, haha. Then we'd see how Nick made profit but lost even more due to a series of errors and bad decisions. His solution? Account 88888.

Nick's story was rather unusual in the sense that main character actually went downhill, from hero to zero. He had his chances to stop what he did, but he chose to go on. The world soon lauded him as a successful trader, but yet he couldn't sleep at night. He had lived a life full of greed, lies and deceits and there was no turning back. By the time it ended, he was convicted of fraud and forgery. His losses of £830 million brought down Barings, the second oldest bank in the world. 

All in all, it was quite an exciting and yet torturing book to read. It was unpleasant to see how he lived in constant fear of knowing that he would get caught one day. It's actually quite spectacular that he managed to keep this secret for easily more than two years! The fact that his London office was willing to send millions of pounds on daily basis to fund his trading is also equally stunning. He insisted that it was only possible because the management was stupid, haha.

PS: I couldn't help thinking that Nick was probably the reason why front and back office were segregated. He was the head of both front and back office, a unique managerial position that allowed him to do as he wished.

PPS: I watched both the movie (Rogue Trader, starring Ewan McGregor) and the documentary (Inside Story Special: £830,000,000 and the Fall of the House of Barings) right after I read the book. I was just too excited! The movie was quite faithful to the book and the documentary was pretty funny and insightful.

Rogue trading!
Trading floor photo by EDD.


Ulasan Buku: Rogue Trader

Saya mulai bekerja di dunia Futures and Options pada bulan Februari 2007. Saat itu masa open outcry sudah berakhir. Alhasil saya tidak pernah menyaksikan langsung zaman yang gegap-gempita ini. Kendati begitu, saya sering mendengar cerita-cerita masa lalu dari para pelaku pasar dan saya sungguh terpukau. Ini adalah era yang heboh dimana orang berjual-beli dan menghasilkan banyak uang dengan cara berteriak dan mengirim sinyal tangan di bursa.

Dengan begitu banyak karakter yang menggerakkan pasar naik-turun, berbagai legenda pun bermunculan. Salah satu dari mereka adalah Nick Leeson dan ceritanya sebagai seorang pelaku pasar yang spekulatif dan secara diam-diam melakukan penipuan selama di Singapura. Dalam bahasa Inggris, ada frase bring down the house. Nah, itu yang benar-benar dia lakukan. Ketika dia kabur dari bursa, bank tempat dia bekerja pun bangkrut karena besarnya kerugian yang ditimbulkannya. Inilah alasannya kenapa Nick Leeson menjadi legenda. 

Yang juga tak kalah menarik adalah fakta bahwa semua ini terjadi di Singapura. Peraturan dan regulasi di Singapura itu luar biasa ketat sekarang, jadi sulit dipercaya bahwa peristiwa ini bisa terjadi di sini dulu. Saya mulai rutin membaca lagi sejak COVID-19 dan menjajal aneka topik seperti orang India yang naik sepeda ke Eropa dan juga serial Harry Potter, jadi saya pun membeli yang satu ini. 

Buku ini tidak membuang waktu dan langsung membahas tentang hari terakhir Nick di SIMEX (ini adalah tempat transaksi Futures pada saat itu). Setelah itu adalah kilas balik tentang Nick di Inggris dan bagaimana dia berkecimpung di bidang Futures dan Options (Bursa LIFFE mengingatkan saya pada masa silam, hehe). Nick pada dasarnya memang pintar dan dia segera menyadari bahwa uang itu berlimpah di Asia, jadi dia pun meminta pindah ke Jakarta. Sukses di Indonesia lantas menjadi batu loncatan dalam meraih pekerjaan impian di Singapura. Nick awalnya adalah karyawan bagian back office, tapi dia selalu ingin berada di bursa dimana transaksi terjadi. 

Begitu karirnya dimulai, akun 88888 yang tersohor pun diciptakan. Asal mulanya diceritakan di sini. Buku ini juga menjelaskan berbagai istilah Futures kepada khalayak awam dengan baik. Akan tetapi seiring dengan berjalannya cerita, transaksi yang dia lakukan menjadi sulit dipahami, apalagi saat dia mulai menjual Options, hehe. Kita lantas melihat bagaimana Nick untung banyak namun rugi lebih besar lagi karena kesalahan transaksi dan keputusan yang keliru. Solusinya? Akun 88888.

Cerita Nick agak berbeda dengan buku yang biasa saya baca karena karakter utamanya jatuh terpuruk, dari pahlawan menjadi kriminal. Dia sebenarnya memiliki kesempatan untuk berhenti menggunakan akun 88888 untuk memalsukan pembukuannya, tapi dia memutuskan untuk tetap lanjut. Dunia segera mengakui Nick sebagai sosok yang sukses di bursa, tapi dia tidak bisa tidur nyenyak setiap malam. Hidupnya penuh dengan masalah integritas, keserakahan dan kebohongan, sampai akhirnya tidak ada jalan kembali lagi. Ketika semuanya terbongkar, dia ditangkap karena penipuan dan pemalsuan tanda tangan yang dilakukannya. Kerugiannya mencapai £830 juta (sekitar 15,9 triliun rupiah dengan kurs sekarang) dan membuat Barings, bank kedua tertua di dunia, bangkrut.  

Secara keseluruhan, buku ini sangat menarik, tapi juga agak menyiksa untuk dibaca. Saya pribadi tidak menikmati bagian dimana Nick selalu dirundung ketakutan karena dia tahu bahwa suatu hari nanti dia akan ditangkap. Di satu sisi, harus diakui bahwa kemampuannya dalam menyembunyikan kerugian yang dia timbulkan selama lebih dari dua tahun itu cukup spektakuler. Fakta bahwa kantornya di Inggris bersedia mengirimkan jutaan demi jutaan pound juga sulit dipercaya. Nick bersikukuh bahwa semua ini bisa terjadi karena manajemennya bodoh, haha! 

Catatan kaki #1: saya jadi terpikir bahwa pemisahan tanggung jawab antara bagian trading dan back office ini gara-gara Nick. Saat itu dia merangkap sebagai manajer dari dua departemen ini sehingga leluasa baginya untuk bertindak sesuka hati.

Catatan kaki #2: saya menonton filmnya yang berjudul Rogue Trader dan juga dokumenternya yang berjudul Inside Story Special: £830,000,000 and the Fall of the House of Barings (dua-duanya ada di YouTube) setelah saya membaca bukunya. Filmnya cukup setia mengikuti isi buku dan dokumenternya menjelaskan apa yang terjadi dari sudut pandang Nick dan pimpinannya.