Total Pageviews

Translate

Thursday, November 30, 2023

Book Review: The Art Of War

I don't read much this year. Apart from my regular Time magazine, I only read one book so far: the Rape of Nanking. Now that I looked back, I was actually surprised that another book I picked up right after that also had its Chinese connection, haha.

It got to do with the chat I had recently. I mean, people used the phrase the art of war lightly, so often that it finally piqued my curiosity to find out what the book was all about. And no, I didn't go for the interpreted versions as I didn't wish to know about how people thought the book would be applicable in real life. I went for the second best instead: the book as it was written in Chinese by Sun Tzu, plus an English translation, as I can't read Chinese.

Upon reading it, the word prose came to mind. It was written eloquently, or at least that's what I gathered from the English translation. It explained actions and consequences, ie. B happened due to A, and left no room for arguments. 

The funny feeling I had was, what Sun Tzu wrote felt like something I already knew, but never thought of it that way before I read it. I'm not sure if I could convey it positively, but he was the master of stating the obvious! 

Sun Tzu's Art of War is a thin book, but not an easy reading. The book was as dry as a classic literature could be (my only other reference and comparison was the Travels by Marco Polo). And art of war was literally about war. But the way it was worded, it was so insightful that it could be about anything else in life. 

It's also a type of book that you should read again and again, because you'll get different inspirations under different circumstances. It's challenging to do so, though. I clearly can't do that. It's just not the type of book I'll revisit willingly. My key takeaways after the initial reading? It's okay to flee if it's a fight you can't win!





Ulasan Buku: Seni Perang Sun Tzu

Saya tidak membaca banyak buku tahun ini. Selain berlangganan dan membaca majalah Time, satu-satunya buku yang saya baca sejauh ini adalah the Rape of Nanking. Tak pernah saya sangka kalau buku berikutnya juga berkaitan dengan Cina, haha. 

Buku kali ini ada hubungannya dengan apa yang sering saya jumpai. Teman-teman begitu gampangnya mengutip nama Sun Tzu dan istilah art of war dalam percakapan di grup, sampai-sampai saya akhirnya tergerak untuk mencari tahu, apa sebenarnya isi buku ini. Dan saya tidak mencari versi tafsiran pengarang tentang buku ini. Saya tidak mau tahu tentang apa yang mereka pikirkan setelah membaca buku ini, jadi saya pun mencari pilihan terbaik yang kedua: buku yang isinya asli tulisan Sun Tzu dan dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris karena saya tidak bisa membaca tulisan Cina. 

Saat membaca, kata prosa pun muncul di benak saya. Tulisannya terasa cerdas dan penuh arti, atau setidaknya itu yang saya rasakan dari terjemahan bahasa Inggrisnya. Sun Tzu menjelaskan tentang aksi dan konsekuensi dari hukum sebab akibat. Penjelasannya tepat sasaran dan tidak memberikan ruang untuk bantahan. 

Ada satu perasaan lucu yang agak sukar untuk dijabarkan saat membaca buku ini. Entah kenapa rasanya apa yang disampaikan Sun Tzu bukanlah sesuatu yang tidak saya ketahui, namun terus-terang saya tidak berpikir sampai ke situ sebelum saya membacanya. Sun Tzu sungguh seorang pakar pernyataan yang tidak terbantahkan. 

Karangan Sun Tzu ini tipis bukunya, tapi tidak gampang untuk dibaca. Buku ini adalah sebuah literatur dan agak membosankan (mirip seperti the Travels yang ditulis oleh Marco Polo, satu-satunya referensi saya tentang buku yang ditulis ratusan tahun silam). Dan Seni Berperang ini memang tentang perang, tapi cara penulisannya membuat ide Sun Tzu bisa ditafsirkan ke dalam berbagai aspek kehidupan. 

Selain itu, buku ini juga merupakan tipe yang seharusnya dibaca berulang kali, sebab anda akan mendapatkan inspirasi yang berbeda ketika menghadapi masalah yang berbeda. Namun sulit untuk melakukan hal tersebut karena saya tidak berminat. Buku ini tidak termasuk kategori yang ingin saya baca ulang. Jadi apa yang saya petik dari buku ini? Kita harus kabur kalau ini bukanlah perang yang bisa kita menangkan! 


Wednesday, October 11, 2023

Japan In My Heart

Here's one thing that I like about the cloud: it follows you wherever you go. I always made time to jot down funny little things on Google Keep for future reference and mind you, there are a lot of intriguing things in our group chat

Today's story is about a little bit of this and that. You've heard about Robinson Travel that started in 2016, but my history of traveling with friends turned out to be much older than that. Quite some time ago, I thought of whom in our group chat that I had travel with and I listed them down on Google Keep. Much to my surprise, it went as far back as 1997 and the list was long:

A glimpse of those trips I had with my friends. 

Eday - Jakarta, Bekasi, Temajoh, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Susan - Bekasi, Karawang, Alam Sutra, Gading Serpong, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Alvin - Bekasi, Karawang, Semarang, Johor Bahru
Andiyanto - Batam, Pontianak
Ardian - Kuching, Batam, Singapore, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
BL - Semarang, Yogyakarta, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Cicilia - Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
CP - Kuala Lumpur
Dr. Hengky - Semarang, Yogyakarta, Solo
Eddy Susanto - Bekasi, Karawang
Endrico - Kuching, Jakarta, Batam, Bintan, Bekasi, Karawang, Bandung, Surabaya, Malang, Batu, Bali, Kuala Lumpur, Bangkok, Ho Chi Minh City, Phnom Penh, Siem Reap, Hong Kong
Gunawan - Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
HRR - Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Hartono - Jakarta 
Hendra - Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya
Jimmy - Temajoh, Madura, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Batu
Junaidi - Bandung
AW - Kuching
Mul The - Cibodas, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Susanti - Bekasi, Karawang
Parno - Jakarta, Bekasi, Kuching, Bandung, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Surianto - Batam, Jakarta, Johor Bahru, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Taty - Kuching, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Tedy - Batam, Singapore
Tuty - Bekasi, Karawang, Alam Sutra, Gading Serpong

You might wonder why Singapore appeared on the list, too. Let's just say that I don't always live there. Before I got my first job in mid 2006, Singapore was more of a destination I visited with my friends. And yes, I traveled with Endrico the most, though we haven't done it together for the past four years. But then there was Japan in my heart.

In Tokyo, 2015.
Photo by Dad.

I always love Japan. That's where I watched Paul. That aside, Japan is so charming that I promise myself I'll visit the five main islands one day. Had done two so far, Honshu and Kyushu. Left with Hokkaido, Shikoku and Okinawa.
 
And we were being nostalgic recently. I have this habit of pulling out photos from the cloud just for the fun of it when we talked about something thing in the group and for once, I was the victim of my own doing. Seeing those photos of us in Japan again, I couldn't help thinking how random the group could be. 

In Niigata.
Photo by Surianto.

You see, when people travel together, the group normally consists of close friends or family. But not those who joined this particular Japan trip. Back in our high school days, many of us didn't really mingle with each other. Some, like Taty and Gunawan, met for the first time during the trip. But yet we came together, mostly because of Parno. He was the selling point! Our Captain Japan!

And to have 13 people coming from different places and having a blast in a country as far as Japan, that made it even memorable. The way I looked at it, that Japan trip had the most random people, had the biggest group till date and was the farthest we had ever been so far. But then came the melancholy feeling: it seems unlikely to top this achievement. To put it dramatically, it took 43 years of our lifetime for this to happen, so this is probably it for us. There'll be no bigger, farther and more random trip than this.

Visiting Gala Yuzawa.
Photo by BL.

A friend commented that I shouldn't say this, but I guess I was being realistic. While I was never a fan of this phrase, the Japan trip happened because all the stars aligned. The enthusiasm we had, the planning we made, the challenges we overcame, and the natural selection that happened weren't something that could be repeated.

It was once in a lifetime kind of thing and I had accepted that. I'm glad it happened and I am happy I was there. Another friend said there is still another time, but I beg to differ. Yes, Japan will always be there, but there won't be another trip like this. This was a story of 13 random people coming together in the biggest group of high school friends ever! And we went to the farthest land from where we all came from. The trip left behind the fun and memorable experience that only 13 of us know and cherish for the rest of our life. If you ask me, this is certainly a deal I'd like to be part of...

Having a quick meal at Yoshinoya, Haneda.
Photo by Taty.



Jepang Di Hati Saya

Berikut ini adalah satu yang saya sukai dari teknologi cloud: data kita selalu terhubung dengan kita, di mana pun kita berada. Saya suka ini karena saya selalu menyempatkan diri untuk mencatat hal-hal lucu di Google Keep untuk referensi masa depan. Dan di grup SMA, saya senantiasa menemukan banyak hal yang menggelitik.

Hari ini saya ingin bercerita tentang beberapa hal yang saling berkaitan. Anda sudah pernah mendengar tentang Robinson Travel yang dimulai sejak tahun 2016, tapi siapa sangka saya sudah berlibur bersama teman-teman dari sejak dulu? Beberapa waktu silam, saya iseng membuat catatan di Google Keep tentang siapa saja di grup yang sudah pernah liburan bersama saya. Saya merasa tercengang sewaktu menyadari bahwa semua ini sudah dimulai sejak 1997 dan panjang daftarnya: 

Sekilas perjalanan bersama teman-teman. 

Eday - Jakarta, Bekasi, Temajoh, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Susan - Bekasi, Karawang, Alam Sutra, Gading Serpong, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Alvin - Bekasi, Karawang, Semarang, Johor Bahru
Andiyanto - Batam, Pontianak
Ardian - Kuching, Batam, Singapore, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
BL - Semarang, Yogyakarta, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Cicilia - Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
CP - Kuala Lumpur
Dr. Hengky - Semarang, Yogyakarta, Solo
Eddy Susanto - Bekasi, Karawang
Endrico - Kuching, Jakarta, Batam, Bintan, Bekasi, Karawang, Bandung, Surabaya, Malang, Batu, Bali, Kuala Lumpur, Bangkok, Ho Chi Minh City, Phnom Penh, Siem Reap, Hong Kong
Gunawan - Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
HRR - Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Hartono - Jakarta
Hendra - Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya
Jimmy - Temajoh, Madura, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Batu
Junaidi - Bandung
AW - Kuching
Mul The - Cibodas, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Susanti - Bekasi, Karawang
Parno - Jakarta, Bekasi, Kuching, Bandung, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Surianto - Batam, Jakarta, Johor Bahru, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Taty - Kuching, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Tedy - Batam, Singapore
Tuty - Bekasi, Karawang, Alam Sutra, Gading Serpong

Anda mungkin heran kenapa Singapura muncul di daftar juga. Ini karena saya tidak menetap di sini sepanjang hidup saya. Sebelum saya mendapatkan pekerjaan pertama di tahun 2006, Singapura lebih merupakan tempat tujuan wisata bagi saya. Dan ya, saya bertualang ke banyak tempat bersama Endrico, meski kita tak pernah lagi bepergian bersama dalam empat tahun terakhir ini. Dan kemudian ada Jepang di hati saya.  

Di Tokyo, 2015.
Foto oleh Papa.

Saya selalu menyukai Jepang. Di negara inilah saya menonton konser Paul. Di samping itu, Jepang memang sangat mengesankan, sampai-sampai saya berikrar untuk mengunjungi lima pulau utama di Jepang. Sejauh ini saya sudah ke Honshu dan Kyushu. Masih ada tiga lagi, Hokkaido, Shikoku dan Okinawa.
 
Baru-baru ini kita sempat bernostalgia dan saya memiliki kebiasaan iseng untuk mengeluarkan foto tentang apa yang sedang kita bahas. Foto-foto ini lantas mengingatkan saya kembali, betapa acaknya anggota-anggota liburan ke Jepang. 

Di Niigata.
Foto oleh Surianto.

Bila sekelompok orang berlibur bersama, biasanya orang-orang ini memiliki hubungan yang akrab. Tapi tidak demikian halnya dengan liburan ke Jepang kali ini. Sewaktu SMA, banyak dari kita yang beda lingkup pergaulannya. Beberapa teman seperti Taty dan Gunawan bahkan baru bertemu untuk pertama kalinya. Namun semua turut serta terutama karena kehadiran Parno. Dia adalah nilai jualnya. Kapten Jepang! 

Dan fakta bahwa 13 orang ini datang dari tempat yang berbeda untuk berlibur ke negara sejauh Jepang membuat liburan kali ini semakin mengesankan. Liburan ini memiliki peserta paling acak, paling banyak anggotanya dan paling jauh pula tujuannya. Akan tetapi pencapaian tersebut juga menimbulkan perasaan melankolis: rasanya susah untuk melampaui liburan ke Jepang ini. Secara dramatis bisa dideskripsikan sebagai berikut: butuh 43 tahun dalam hidup kita untuk mewujudkan semua ini, jadi mungkin ini adalah yang pertama dan satu-satunya bagi kita semua. Tidak akan ada lagi liburan yang lebih banyak jumlah anggotanya, lebih jauh lagi destinasinya dan lebih acak lagi pesertanya. 

Mengunjungi Gala Yuzawa.
Foto oleh BL.

Seorang teman mengingatkan, seharusnya saya tidak berkata seperti ini. Namun saya rasa apa yang saya ungkapkan ini tidaklah pesimis, tapi realistis. Saya bukan penggemar frase berikut ini, namun saya cenderung setuju bahwa liburan ke Jepang ini terjadi karena semua bintang sejajar posisinya. Antusiasme kita, rencana yang kita buat, tantangan yang kita lewati dan seleksi alam yang terjadi, semua ini bukanlah formula yang bisa diulang. 

Liburan ini adalah sesuatu yang terjadi dalam seumur hidup dan saya sudah menerima kenyataan ini. Saya senang liburan ini terwujud dan saya bersyukur menjadi bagian dari liburan tersebut. Seorang teman lain berkata, masih ada lain kali, tapi saya rasa tidak begitu. Ya, Jepang akan selalu bisa dikunjungi, tapi tidak akan ada lagi liburan seperti ini. Ini adalah cerita tentang 13 orang yang meluangkan waktu untuk berkumpul dan akhirnya menjadi grup teman-teman SMA terbesar yang pernah bersama-sama mengunjungi tempat paling jauh dari kampung halaman. Hanya 13 orang ini yang memiliki semua pengalaman lucu dan mengesankan selama di Jepang dan akan mengingatnya selalu sampai akhir hayat kita. Jika anda tanya saya, tentu saja saya selalu ingin menjadi bagian dari acara seperti ini...

Makan di Yoshinoya, Haneda, sebelum terbang ke Manila.
Foto oleh Taty.

Friday, September 29, 2023

Magical History Tour: Part II

My daughter Linda sometimes asked me, "why are you so glued to Petrus 98?" To me, it's like a sanctuary where I'm allowed to be myself. I always like the feeling that I'm just one of the guys, not more or less important. And that afternoon in Pontianak, Linda was about to see some of the faces behind Petrus 98.

We went to Aming Coffee at Gaia Mall. For a last minute arrangement, we still had a lot of friends joining. This could only happen in Pontianak, a town small enough for the people to travel from one point to another at short notice! It was good to hang out with high school friends again. Time flew as if I was there just for a while, but Linda convinced me that we had been there for hours!

At Aming Coffee with Petrus 98.

Just like the day before, we eventually went back to the hotel again. Linda likes the idea of lazing around in her bed. Not necessary a bad idea for a holiday in a town with not much to see. While she was doing that, I took a nap, too. After that, I ordered yam mie and nasi uduk Borobudur for her to try out. She liked yam mie, but disliked the meat that came with the noodles, so she swapped it with fried chicken from nasi uduk.

At night, I brought her to meet her youngest grand-aunt. Much to my surprise, Parno appeared as well with nice grade A mooncake in hand. Parno is no stranger to my family as he is a friend from so long ago. So there we were, chatting while drinking tea before calling a night. 

Parno is here!

The next morning, we visited my paternal uncle and aunt. Let's just say some topics will never change in the Lee family. Money was mentioned time and again. Not exactly the thing I love to talk about. But when we were saying goodbye, my auntie said something intriguing. She asked, "why are you always smiley? What's the secret?" I said I had no idea, too, though I am pretty sure it's because I don't think of money all the time.

My friend Hendry picked us up and I specifically requested him to drop us right in front of Gang Tiga on Jalan Ketapang. We walked into this small alley. Now covered with asphalt, I told Linda that the road used to be a long wooden bridge when I was a kid. We stopped at Jimmy's house, formerly known as Arena English Course, and I explained to her that this was where I went for English tuition. 

In front of Jimmy's house.

From there, we passed by Jalan Haji Abas II and turned left to Jalan dr. Setiabudi. I pointed to her where I stayed when her grandfather was riding high. We eventually resumed our journey in Hendry's car. He parked on Jalan Diponegoro, right next to the smelly ditch. Upon seeing that, my daughter frowned and said, "no fence? What if people fell into the gutter?"

I smiled. Born in a country where she had been safe and sheltered for the past 11 years, Linda simply couldn't comprehend the way of living we had back in Pontianak. It was beyond her understanding, but good for her to have the exposure to a different kind of standard in life. 

We met Harry and Novi at the eatery that sells kwe kia theng (it's quite similar to kway chap in Singapore). Linda tried the soup a bit and immediately decided that it wasn't something she'd like to eat. While we were there, she was puzzled to see all sorts of vendors coming in and trying to sell us banana and stuff. We playfully told her that it could be worse. Sometimes there'd be street musicians forcefully asking for money while playing a tune or two. 

At post office.

Once we finished eating, we continued our journey. We headed to post office because of course I must send a postcard while on holiday. Then Hendry made a turn to Kapuas Indah, probably the first plaza in Pontianak that has long passed its prime now. Then, before we knew it, we were back to my primary school again. We explored a bit more, then Hendry managed to gain the access to the church. I don't think Linda ever entered a Catholic church before that day.

For lunch, we went to Mega D'kitchen. I wanted her to try American Fried Chicken, but she ended up ordering spaghetti instead. While we were there, a bunch of friends came and joined us as well. It was a good thing, because Hendry was busy afterwards and we hitched a ride on Joni's car after lunch. He sent us to my auntie's house.

At Mega D'kitchen.

It was another family visit. My cousin Andrew then asked if we'd like to go somewhere, so we went to Tanjung Mulia and ordered Shanghai Ice there. And the story continued. I told Linda that I used to come here after playing Final Fight at the arcade across the street. 

Just like the day before, it was now time to return to our hotel to relax again. Linda had been craving for A&W, so I got it delivered using Grab. While Linda enjoyed her dinner, my cousins and I went for ours, too. We had Siomay Acin, a localized version of siu mai. It still tasted good, just like how I remembered it. 

Last night in Pontianak. 

That night, after my cousins left, a group of friends came to visit. It was the last night in Pontianak, but it wasn't the last visit from my friends. The next day, while I was visiting my mother, a friend named Andry came as well. He rode a motorbike, so I asked Linda to hop on and we went back to the hotel. It was her first ride, I reckon, and she didn't enjoy it, haha.

Then the remaining day in Pontianak was spent with Gunawan. We had lunch at Bakso PSP. Limin, the owner of Aming Coffee, came to join us. Shared with him the upcoming plan of Robinson Travel and extended the basketball match of Petrus v. Paulus to him, too. Oh yes, we'll beat them this time and close this chapter once and for all on a high note.

At Bakso PSP with Limin and Gunawan.

As Linda didn't feel well, we dropped her at my mum's house so she could rest for a bit. Then Gunawan and I went for a cup of coffee at Aming Coffee. It's a must do, since I was wearing the t-shirt! We chatted until the time came for us to pick up Linda and made our way back to Singapore. First stop: Supadio Airport for our flight to Batam!

Looking back, the Magical History Tour went well. I enjoyed the quality time I spent with my daughter. She is 11 now, old enough to understand the origin of her father. She is familiar with her mum's side due to the frequent visits and now she has the memories of her dad's humble beginning, tooFor all I know, it could be the one and only time we did this together, so I'm really glad we made it...

Waiting for our flight to Batam.



Tur Pontianak Untuk Anak: Bagian II

Putri saya Linda kadang bertanya, "kenapa Papa selalu terlihat chatting dengan grup Petrus 98?" Bagi saya pribadi, grup ini bagaikan tempat di mana saya bisa menjadi diri sendiri. Saya suka dengan perasaan bahwa saya hanyalah bagian dari generasi saya. Dan siang itu di Pontianak, Linda akan bertemu dengan wajah-wajah di balik  Petrus 98. 

Bersama Gunawan, kita menuju ke Aming Coffee di Gaia Mall. Untuk acara yang diorganisir secara dadakan, masih tergolong cukup banyak teman yang hadir. Inilah uniknya Pontianak, kota yang kecil dan memungkinkan orang untuk bepergian dari satu titik ke titik lain dalam waktu singkat. Saya senang bisa berkumpul dengan teman-teman SMA lagi. Pertemuan kita terasa singkat, tapi Linda mengingatkan saya bahwa kita sudah berada di sana beberapa jam lamanya! 

Di Aming Coffee bersama Petrus 98.

Seperti sehari sebelumnya, kita kembali ke hotel di sore hari. Linda senang bersantai di kamar hotel dan idenya masuk akal di Pontianak, kota yang tidak memiliki banyak tempat wisata. Selagi dia rileks, saya pun tidur sejenak. Setelah itu, saya memesan yam mie dan nasi uduk Borobudur untuk ia coba. Linda suka yam mie, tapi tidak suka daging-dagingnya, jadi ia tukar dengan ayam goreng dari nasi uduk. 

Di malam hari, saya bawa dia ke rumah adik mama yang bungsu. Ternyata Parno pun muncul di sana sambil membawakan saya kue bulan kelas A. Parno adalah teman dari sejak lama yang memang tidak asing dengan keluarga saya di Pontianak, jadi kita pun berbincang-bincang sambil menikmati sepoci teh bersama. 

Kemunculan Parno!

Keesokan paginya, saya membawa Linda mengunjungi paman dan tante dari pihak ayah saya. Di dalam keluarga Lie, sepertinya ada kecenderungan untuk berbicara tentang uang yang sebenarnya bukan topik favorit saya. Saat kita berpamitan, tante bertanya, "kenapa kamu selalu tersenyum? Apa rahasianya?" Saya jawab tidak tahu, tapi di dalam hati saya merasa bahwa mungkin karena saya tidak berpikir tentang uang setiap waktu. 

Teman saya Hendry datang menjemput dan saya secara spesifik memintanya untuk menurunkan kita di depan Gang Tiga di Jalan Ketapang. Kita pun berjalan masuk dan saya bercerita pada Linda bahwa jalan beraspal ini dulunya adalah jembatan kayu. Kita berhenti sejenak di depan rumah Jimmy yang dulunya dikenal sebagai Arena English Course, tempat saya belajar bahasa Inggris

Di depan rumah Jimmy.

Dari situ, kita bertolak ke Jalan Haji Abas II, lalu belok kiri ke Jalan dr. Setiabudi. Saya tunjukkan pada Linda rumah di mana saya tinggal ketika kakeknya sedang berjaya. Setelah itu, perjalanan pun berlanjut dengan menumpangi mobil Hendry lagi. Dia parkir di Jalan Diponegoro, tepat di samping parit. Apa yang dilihatnya membuat Linda bertanya, "kenapa tidak ada pagar? Bagaimana kalau ada yang jatuh ke parit?" 

Saya tersenyum. Anak yang lahir di negara yang aman dan tumbuh berkembang selama 11 tahun di situ memang beda. Linda heran dengan fasilitas kota dan gaya hidup kita di Pontianak. Sulit baginya untuk memahami, tapi bagusnya baginya untuk melihat kehidupan dari standar yang berbeda.

Kita bertemu dengan Harry dan Novi di tempat makan yang menjual kwe kia theng (kalau di Singapura, ini namanya kway chap). Linda mencoba supnya sedikit dan langsung memutuskan bahwa ini bukanlah sesuatu yang nikmat baginya. Selama kita berada di sana, dia juga mengamati beberapa penjaja barang yang masuk ke tempat makan untuk menawarkan pisang dan lainnya. Kita lantas menggodanya dan mengatakan bahwa ini belum apa-apa. Terkadang ada juga pengamen yang datang dan meminta uang secara paksa. 

Di kantor pos.

Perjalanan kembali berlanjut seusai sarapan pagi. Kita menuju kantor pos karena tentu saja saya harus menunaikan tradisi mengirimkan kartu pos. Dari situ Hendry berbelok ke Kapuas Indah yang konon merupakan pusat perbelanjaan pertama yang memiliki eskalator, namun sudah kumuh kondisinya sekarang. Setelah itu kita kembali ke SD Gembala Baik lagi. Kali ini kita masuk ke dalam dan Hendry juga mendapatkan akses ke gereja yang kosong di hari Senin. Ini mungkin pertama kalinya Linda memasuki gereja Katolik. 

Untuk makan siang, kita mampir ke Mega D'kitchen. Saya ingin memperkenalkan pada Linda apa yang namanya American Fried Chicken, tapi dia malah memesan  spaghetti. Selagi kita di sana, beberapa teman datang bergabung untuk makan siang juga. Dan untung saja mereka datang. Hendry mendadak ada kesibukan dan musti pulang dulu sehingga kita pun menumpang mobil Joni. Dia mengantarkan saya ke rumah tante. 

Di Mega D'kitchen.

Saya dan Linda kembali menyambangi keluarga. Setelah bertamu, sepupu saya Andrew pun bertanya hendak ke mana kita sekarang, jadi perjalanan pun diteruskan ke Tanjung Mulia. Kita memesan Es Shanghai di sana. Saya lantas bercerita pula bahwa dulu saya sering bermain Final Fight di Orbit Wonderland yang terletak di seberang jalan dan kini telah berubah menjadi supermarket.

Sama seperti sebelumnya, di sore hari kita kembali ke hotel. Linda ingin makan A&W, jadi saya pun memesan makan malamnya lewat Grab. Selagi dia bersantap, saya dan sepupu pergi ke Siomay Acin yang berada tak jauh dari hotel. Masih enak seperti dulu rasanya.

Malam terakhir di Ponti.

Di malam itu, setelah sepupu saya pulang, serombongan teman datang ke hotel. Ini adalah malam terakhir di Pontianak, tapi bukan terakhir kalinya saya berjumpa dengan teman. Keesokan harinya, sewaktu mengunjungi ibu saya, Andry datang ke rumah. Dia mengendarai motor, jadi saya pun meminta Linda untuk mencobanya. Andry pun membonceng kita kembali ke hotel. Saat saya tanya pendapat Linda tentang naik motor, dia ternyata tidak menikmatinya, haha. 

Sisa waktu kita di Pontianak ditemani oleh Gunawan. Saat kita makan di Bakso PSP, Limin, pemilik Aming Coffee, datang bergabung. Saya sampaikan acara Robinson Travel yang berikutnya dan juga pertandingan basket Petrus v. Paulus yang akan datang. Oh ya, kita akan bermain untuk satu kali terakhir dan pensiun setelah mengalahkan mereka, wahaha. 

Di Bakso PSP bersama Limin dan Gunawan.

Di siang itu Linda merasa agak pusing, jadi kita pun membawanya ke rumah ibu saya supaya dia bisa beristirahat sejenak. Sesudah itu kita mampir ke Aming Coffee untuk secangkir kopi. Ini wajib, mumpung saya sudah mengenakan kaos Aming Coffee! Kita pun berbincang-bincang sampai tiba saatnya bagi saya untuk pulang ke Singapura. Pemberhentian pertama: Bandara Supadio untuk penerbangan kembali ke Batam

Bila saya lihat kembali, perjalanan pulang kali ini berjalan lancar dan sesuai rute. Saya menikmati waktu bersama putri saya. Dia sekarang berusia 11 tahun, sudah bisa mengerti tentang asal-usul ayahnya. Dia kenal baik dengan pihak ibunya karena sering ke Bandung dan Tasikmalaya. Kini dia pun memiliki kenangan tentang cerita ayahnya selama di Pontianak. Ini mungkin pertama dan sekali-kalinya kita berlibur berdua ke Pontianak, jadi saya bersyukur bahwa liburan ini terwujud... 

Menunggu pesawat ke Batam.

Monday, September 11, 2023

Magical History Tour: Part I

I differentiate the travel buddies when I travel. As much as possible, I avoid mixing those that aren't on the same frequency so that it won't be awkward. It's important to have the right chemistry when you travel! This is why I always had separate trips, be it solo or with family and friends

When it comes to family, I had my first father-and-daughter trip to Hong Kong back in 2018. It had been five years now. After toying with the ideas of bringing her to third-world countries such as Cambodia, it dawned on me that I could bring my daughter back to my hometown instead. I hadn't seen my mum since COVID-19. Furthermore, my daughter only visited Pontianak once as a toddler. She wouldn't remember anything from her first visit, so if there was ever a right time to get her reconnected to her fraternal roots, this was it!

Return to Pontianak!

I planned for the trip to happen in March 2023, but it had to be postponed as she got a school camp. Things turned out to be better in September, though. We got an extra public holiday due to presidential election, so after the voting, we made our way to Batam and relax there for a day. The holiday in Pontianak began the following day, after we caught the early flight and landed in Pontianak before lunch. 

Harry and Novi picked us up and we had a quick bite at RM Cen Cen. It was a humble, self-service eatery where you gotta scoop the rice and dishes yourself. While she couldn't bring herself to enjoy the pig blood that I offered, she liked the shrimps, at least until he saw the eyes staring back at her. She lost her appetite right after that, haha.

The shrimps!

We went to Harris Hotel to drop our luggage and then visited my mum. A mother in her was happy to see me again in person after three years, but a grandmother in her lighted up when she saw her teenage granddaughter. And Mum would fight back her tears four days later, when Linda said her goodbye. 

But the day we arrived was a happy occasion. Mum came with us to Es Krim Angi, the ice cream stall in front of my high school. Linda loved the three-flavored ice cream in the coconut, though soon she got creative and mixed it with serabi pancake as if it was a waffle. While it looked unusual, to paraphrase her words, she didn't see why it didn't worked since it tasted perfectly fine. 

Eating ice cream. 

From Es Krim Angi, we crossed the street and entered St. Peter, my secondary and high school. I pointed to places and explained to her where my classes were and what the spots were used to be before the new buildings took over. We wandered around, even went into an empty classroom as I reminisced and told her my story. As we walked out, she blurted out an innocent question, "how can anybody just walk into your school?"

I could only grin when I heard that. As we continued our journey, we walked towards my auntie's place behind the school. I used to stay there and it used to be one big house before it was split into four houses. We met my auntie and uncle as well as their son and their grandkids. There were photos on the wall and I showed to her who's who.

Linda in one of the classes at my high school.

Linda wished to go back to hotel afterwards and it would be the precedence that started the pattern throughout the trip: she'd always go back to hotel and relax before resuming the magical history tour at night. For that particular evening, we went to Aneka Rasa, a restaurant owned by another uncle and his wife.

While the main purpose was getting her to know her relatives, she didn't speak the language and the local adults couldn't converse in English, so it was me who did the talking. When we bade our farewell, I bumped into my dad's ex-chauffeur who's now working as a parking guy. Easily 30 years had passed and he was a much older person now. I was so overwhelmed by the encounter that I just had to hug him for old times' sake. 

At Kartika Hotel.

And the nostalgia continued. I asked my cousin and his wife if they could drive to Kartika Hotel, the place where I used to work. Apparently the hotel was just reopened. It was quite in the state of disrepair, though. But it was good to meet Satim, an old colleague of mine who's still working there. It was like meeting a link to the past, one that corroborated the story that I was once there. 

The next morning, we went to Gembala Baik, my primary school. It was Sunday, so the schoolyard was filled with the cars of the churchgoers. After a quick glance, we headed to Parno's salted fish shop. I joked with my friends that Parno would be a good example of what is going to happen if my daughter Linda didn't study hard, haha. 

Visiting Parno's shop.

Gunawan met and picked us up while we were there. We went to HM's house and Gunawan couldn't help smiling when I was offered chai kue by the host. I disliked certain Pontianak cuisines, but out of courtesy, I could still eat them. Most importantly, it was great to meet HM and his parents again. Back when I was in high school and college, they had been very kind to me. 

Next destination was my uncle's house. This fellow is my dad's younger brother and the house where he stayed still pretty much in the same condition as the time when I lived there. When we were in the living room, I showed my daughter the picture of me standing there during my birthday. Then she said why didn't we take her picture on the same spot? Quite a brilliant idea, I'd say. 

Same spot, years apart.

For lunch, we had Nasi Ayam Asan 333 that is located within a walking distance from my uncle's house. Good stuff, but what's good for us who were born there isn't necessarily translated as good for others. My daughter's review was, "I don't really like it, but it's okay." And she also questioned why it was called chicken rice when most of the meat was pork. 

We went to Gunawan's house and Linda played her first firecracker while we were there. From there, we would go to Aming Coffee. Now, I planned my trip and things had happened according to the plan so far. What would happen next was not part of my plan, but Pontianak was so small that anything impromptu could be made possible. And my daughter was about to meet the faces behind Petrus 98...

Trying out firecrackers.



Tur Pontianak Untuk Anak: Bagian 1

Saya selalu memilah teman seperjalanan saat berlibur. Sebisa mungkin saya pisahkan mereka yang tidak satu frekuensi supaya tidak terasa janggal. Sebagai contoh, saya jarang menyatukan rekan kerja dan teman-teman SMA. Adalah penting untuk memiliki nuansa kebersamaan yang tepat saat bertualang bersama! Karena inilah saya memisahkan liburan bersama keluarga dan teman. Bahkan bila perlu, bepergian sendiri pun kini bisa menjadi pilihan.

Berbicara tentang liburan bersama keluarga, saya pertama kali mengorganisir liburan ayah dan anak di tahun 2018. Waktu itu rutenya ke Hong Kong. Lima tahun telah berlalu semenjak itu. Sempat terpikir oleh saya untuk mengajak putri saya ke negara dunia ketiga seperti Kamboja, namun lantas terbersit di benak saya, kenapa tidak Pontianak saja? Saya belum pernah berjumpa dengan bunda lagi sejak COVID-19. Selain itu, sekali-kalinya putri saya ke Pontianak itu adalah saat dia masih balita. Dia tidak akan ingat apa pun dari kunjungannya yang pertama, jadi ini adalah waktu yang paling tepat untuk menunjukkan padanya asal-usul dan keluarga ayahnya. 

Kembali ke Pontianak!

Awalnya liburan ini dicanangkan di bulan Maret 2023, tapi akhirnya ditunda karena sekolah Linda mengadakan acara kemping. Kemungkinan berikutnya adalah liburan sekolah di bulan September dan ternyata ada hari libur dadakan pula. Setelah mengikuti pemilihan umum presiden, saya dan keluarga pergi ke Batam dan bersantai sehari di sana. Liburan ke Pontianak dimulai keesokan harinya, ketika kita menaiki pesawat pagi dan mendarat di Pontianak sebelum jam makan siang. 

Harry dan Novi datang menjemput di bandara dan kita pun diboyong untuk makan siang di RM Cen Cen. Ini adalah rumah makan sederhana dan swalayan di mana tamu-tamunya harus menyendok nasi dan sayur sendiri. Meski Linda menolak untuk mencicipi darah babi yang saya rekomendasikan, dia menikmati udang-udang kecil yang asin. Setidaknya sampai dia menyadari bahwa mata-mata udang yang telah menjadi lauk itu seperti sedang menatapnya. Linda langsung kehilangan selera makan, haha. 

Udang-udang kecil itu!

Kita lantas ke Hotel Harris untuk menaruh koper dan lanjut ke rumah bunda. Jiwa keibuannya membuat ia gembira saat bertemu dengan saya lagi setelah tiga tahun. Sebagai seorang nenek, ia juga sangat senang bisa melihat cucunya yang kini telah beranjak remaja. Dan Mama menahan tetesan air matanya empat hari kemudian, ketika Linda memeluknya dan berpamitan.

Namun tibanya kita di Pontianak adalah hari yang gembira. Mama ikut serta ke Es Krim Angi yang terletak di seberang SMA saya. Linda suka es krim tiga rasa yang disajikan di dalam buah kelapa, namun ia lekas melakukan sesuatu yang kreatif dan mencampurkan es krim dengan serabi, seakan-akan sedang menyantap waffle. Jadi aneh kelihatannya, namun Linda berkomentar bahwa tidak ada yang salah dengan caranya, sebab rasanya tetap enak.

Mencicipi es krim.

Dari Es Krim Angi, kita menyeberang dan masuk ke Santu Petrus, SMP dan SMA saya dulu. Saya tunjukkan dan jelaskan tempat-tempat di sekolah dan apa yang saya dan teman-teman lakukan sewaktu bersekolah di sini. Sambil berjalan dan melihat-lihat, saya mengenang masa lalu dan bercerita. Ketika kita meninggalkan sekolah, Linda bertanya dengan polos, "kenapa orang asing seperti kita bisa masuk begitu saja ke sekolah?" 

Saya hanya tersenyum saat mendengar pertanyaannya. Kita lalu berjalan ke rumah tante saya di belakang sekolah. Saya tinggal di sini dulu dan suatu ketika, kawasan yang kini terbagi menjadi empat rumah ini dulunya adalah satu rumah besar. Saat bertamu di rumah tante, saya jelaskan pula siapa saja mereka yang fotonya terpajang di dinding. 

Linda di salah satu kelas di SMU Santu Petrus. 

Linda ingin pulang ke hotel untuk beristirahat dan apa yang dia lakukan ini akhirnya menjadi pola selama liburan. Setiap sore, kita pun kembali ke hotel untuk bersantai dan baru melanjutkan tur Pontianak lagi sewaktu hari menjelang senja. Di malam itu, kita mampir ke Aneka Rasa, restoran yang dimiliki oleh paman saya dan istrinya. 

Walaupun tujuan utama dari kepulangan kali ini adalah mengenalkan Linda dengan keluarga saya di Pontianak, dia tidak bisa berbahasa Indonesia dan kerabat-kerabat saya pun tidak lancar berbahasa Inggris, jadinya saya yang sering mengobrol. Di kala saya pamit, saya bertemu dengan mantan sopir ayah saya yang kini menjadi tukang parkir. 30 tahun telah berlalu dan dia terlihat tua sekarang. Saya jadi emosional dengan pertemuan tersebut dan secara spontan merangkulnya. 

At Kartika Hotel.

Dan nostalgia pun berlanjut. Saya meminta sepupu saya dan istrinya untuk berbelok ke arah Kartika Hotel tempat saya bekerja sewaktu kuliah. Hotel tersebut baru dibuka kembali, tapi kondisinya tidaklah semegah dulu. Kendati begitu, senang rasanya bisa bertemu dengan Satim, rekan kerja dari sejak dulu. Rasanya seperti terhubung kembali dengan masa lalu dan saya pun bercerita lebih lanjut kepada putri saya tentang masa-masa di Kartika Hotel dulu. 

Keesokan paginya, kita ke Gembala Baik, SD saya dulu. Di hari Minggu, halaman sekolah dipenuhi oleh mobil-mobil pengunjung gereja. Setelah berjalan-jalan sejenak, kita lanjut ke toko ikan asin Parno. Saya bercanda bahwa Parno adalah contoh apa yang akan terjadi kelak bila Linda tidak belajar dengan baik selagi bisa, haha. 

Mengunjungi toko Parno.

Gunawan datang menjemput sewaktu kita berada di toko Parno. Kita pun meneruskan tur, kali ini ke rumah HM. Gunawan tersenyum geli saat saya ditawari chai kue oleh tuan rumah. Ini adalah salah satu dari makanan Ponti yang tidak saya sukai, tapi saya masih bisa menyantapnya untuk menghormati tuan rumah. Yang lebih penting lagi adalah perjumpaan dengan HM dan orang tuanya lagi. Di kala SMA dan kuliah, mereka sangat baik pada saya. 

Rute selanjutnya adalah rumah paman saya. Paman yang satu ini adalah adik ayah saya. Rumah yang ditempatinya sekarang masih mirip tata ruangnya dengan saat saya masih tinggal di sana. Ketika kita berada di ruang tamu, saya tunjukkan foto saya berdiri di sana saat merayakan ulang tahun saya. Dia kemudian bergumam, bagaimana kalau kita mengambil fotonya di tempat yang sama? Idenya bagus dan segera saya wujudkan. 

Bapak dan anak, berfoto di tempat yang sama.

Untuk makan siang, kita singgah ke Nasi Ayam Asan 333 yang lokasinya tidak jauh dari rumah paman saya. Lezat nian, tapi yang enak bagi kita yang lahir di Pontianak belum tentu sedap buat orang lain. Ulasan singkat putri saya adalah, "saya tidak terlalu suka, tapi lumayan rasanya." Dan dia juga mempertanyakan, kenapa menu ini disebut nasi ayam padahal lebih banyak daging babinya. 

Kita ke rumah Gunawan sesudah makan siang dan Linda memainkan kembang api pertamanya di sana. Setelah itu kita pergi ke Aming Coffee. Sampai sejauh ini, semua sudah berjalan sesuai dengan rute perjalanan yang telah saya susun. Namun Pontianak begitu kecil kotanya sehingga acara yang dadakan pun tidaklah mustahil untuk diadakan. Dan putri saya pun akan segera berjumpa dengan wajah-wajah di balik grup Petrus 98... 

Mencoba kembang api.