Total Pageviews

Translate

Saturday, April 20, 2024

When Worlds Collide

I used the term when worlds collide when I wrote about how the China Trip began. At that time, I was describing how my colleague Lawrence ended up joining the trip with my high school friends. Two different worlds, colleagues and friends, came together. Then the visit to Leshan Giant Buddha took place, causing the phrase to linger, begging to be told

As far as I'm concerned, events such as this only happened once before: when I crossed Abbey Road. For the untrained eyes, it was an action as simple as crossing the zebra-crossing. To me, a powerful emotion was unleashed the moment I stepped on it. The solidified past was smashed into smithereens by a dream came true. 

In order to understand what I meant with the last sentence above, let's go back to my humble beginning. I was a small town boy from Pontianak who went through a very traditional Chinese upbringing. Throughout my formative years, the advices given were typical, ie. study hard, save money, get married, etc. I don't recall hearing much encouragement that a dream could actually happen. 

That led me to believe that certain things I saw and read were meant to be where they were: unreachable. Oh yes, they were from a different world and I was just this boy from Pontianak, no matter where I was. And as time moved forward, such belief was engrained in my brain as the only truth that I had accepted and would have brought it to my grave obediently. It had become a solidified past. 

And it would have stayed that way until it suddenly dawned on me that I probably could watch Paul McCartney in Tokyo. Could I? Perhaps I could, right? Why not? One year later, I was in London, crossing Abbey Road. It was a revelation. To quote John Lennon, nobody told me there'd be days like these! 

That was back in 2016. I almost forgot how it felt. Until that day, when I stood in front of the Giant Buddha. Unlike Abbey Road, I didn't really look forward to it. I just went with the flow. I mean, since we were already in Chengdu, we might as well visit the Giant Buddha in Leshan. Little did I know that it'd still hit me hard.

I don't know what it meant to be there for others, but it was an emotional moment for me. As I stared at the Buddha, I remembered that boy who sat on the stairs while watching Wind and Cloud in the cramped living/dining room of the house rented by his parents in Pontianak. I remember him loving the series so much, but never in his life he ever thought that he'd be there one day. 

As I stood there 22 years later, the fighting scenes at the Giant Buddha of Leshan vaguely replayed in my head. What I saw long ago was now sitting right in front of my eyes. The worlds collided, bringing another chapter to a close with an end I never knew I needed. 

We weren't taught to dream. As a Chinese kid from the 80s, we were taught to be realistic. But it was a teaching I could never really conformed to. As I left the towering Buddha, I was reminded again that the past only solidified when you allowed it. But when you dreamt and pursued it, worlds might collide and there could be a little nice surprise waiting for you in the future...






Ketika Dua Dunia Bertemu

Saya pertama kali menggunakan istilah dua dunia bertemu ketika menulis tentang asal mula liburan ke Cina. Pada saat itu, saya menggambarkan tentang keikutsertaan kolega saya Lawrence dalam liburan bersama teman-teman SMA. Setelah itu kunjungan ke Leshan terjadi dan frase tersebut senantiasa terngiang-ngiang, meminta untuk diceritakan kembali. 

Bagi saya pribadi, pengalaman seperti ini hanya pernah terjadi sekali sebelum ini: saat saya menyeberangi Abbey Road. Bagi orang lain, apa yang saya lakukan ini hanya menyeberang jalan. Namun apa yang saya rasakan pada saat itu adalah gejolak emosi yang luar biasa begitu saya menjejakkan kaki di marka jalan bergaris-garis putih itu. Masa lalu yang seharusnya sudah terkubur dan tersimpan sebagai fosil itu bagaikan hancur dihempas oleh sebuah impian yang menjadi kenyataan. 

Untuk memahami apa yang saya maksudkan dengan kalimat terakhir di atas, mari kembali ke asal mula saya yang sederhana. Saya hanyalah seseorang yang berasal dari Pontianak dan tumbuh di tengah budaya Tionghoa yang kental. Dari kecil hingga remaja, nasehatnya selalu standar: sekolah yang baik, harus rajin menabung, menikah dan seterusnya. Rasanya hampir tidak ada wejangan yang memberitahukan saya bahwa impian itu penting dan bisa diwujudkan. 

Lambat-laun apa yang saya dengarkan itu membuat saya percaya bahwa apa yang saya lihat dan baca itu akan senantiasa berada di posisi tidak terjangkau. Oh ya, jadi semua itu ada di dunianya sendiri sementara saya hanyalah seorang bocah dari Pontianak, tidak peduli berapa umur saya ataupun di mana saya berada. Dan ketika waktu bergerak maju, kepercayaan itu tertanam di bawah sadar sebagai satu-satunya kebenaran yang hakiki dan akan saya bawa ke liang lahat. Saya percaya sepenuhnya tanpa bantahan. 

Dan demikianlah hidup saya, sampai suatu ketika saya melihat poster konser Paul di internet dan mulai membayangkan bahwa saya mungkin bisa menonton Paul McCartney di Tokyo. Bisakah saya? Sepertinya bisa, ya? Kenapa tidak? Dan setahun berikutnya, saya berada di London dan menyeberangi Abbey Road. Rasanya seperti menemukan sebuah kebenaran yang terungkap. Mengutip kata John Lennon, tidak ada yang pernah memberitahukan pada saya bahwa akan ada hari-hari seperti ini! 

Dan peristiwa itu terjadi di tahun 2016. Saya hampir lupa seperti apa rasanya, sampai hari itu, saat saya berdiri di depan patung Budha Raksasa. Berbeda halnya dengan Abbey Road, saya tidak memiliki perasaan menggebu-gebu untuk ke sana. Saya hanya mengikuti arus. Mumpung sudah di Chengdu, kita sekalian mengunjungi Budha Raksasa di Leshan. Jadi tidak pernah saya bayangkan bahwa dampaknya akan terasa dahsyat. 

Saya tidak tahu apa yang dirasakan teman-teman lain saat berada di sana, tapi ada nuansa emosional sewaktu saya berada di sana. Tatkala saya menatap Budha, saya teringat dengan remaja kurus yang duduk di tangga menonton serial Awan dan Angin di ruang keluarga/makan yang sempit di rumah yang disewa oleh orang tuanya. Saya ingat bahwa dia suka film seri itu, tapi tak pernah terbayangkan olehnya bahwa dia akan berada di depan Budha Raksasa suatu hari kelak. 

Dan 22 tahun kemudian, selagi saya berada di sana, adegan pertarungan di Budha Raksasa bagaikan terulang lagi di benak saya. Budha Raksasa di film seri yang saya tonton dua dekade silam kini duduk di depan saya. Dua dunia bertemu, menamatkan sebuah kisah dengan akhir yang saya butuhkan tanpa saya sadari. 

Saya tidak pernah diajari untuk bermimpi. Sebagai bocah Tionghoa di tahun 80an, saya diajari untuk bersikap realistis. Tapi itu adalah sebuah ajaran yang tidak pernah benar-benar saya pegang. Saat saya beranjak meninggalkan Budha, saya diingatkan kembali bahwa masa lalu hanya akan menjadi statis bilamana anda mengijinkannya. Begitu anda mulai bermimpi dan mengejar impian tersebut, dua dunia yang berbeda itu mungkin saja bertemu dan suatu kejutan yang menyenangkan mungkin menanti anda di masa depan... 

Thursday, April 18, 2024

The China Trip: Chongqing

Steep, steps and a giant ball of mess. That's how I would describe Chongqing. Lawrence said it looked like Hong Kong the moment we came up from Linjiangmen Metro Station. After checking in to the Milky Way Hotel, we had lunch nearby then made our journey to the Great Hall of the People around Zhengjiayan Station. 

The Great Hall and the people.
Photo by Ezra.

The overground metro, which is three stations away from where we were, is situated along the Yangtze riverbank. It allowed us to have our first glimpse of Chongqing as a metropolis. Divided by the river, it's connected by big and long bridges that say size does mean something. 

Exploring Chongqing: on the way to Linjiangmen.

The Great Hall of the People is within a walking distance from Zhengjiayan Station. It's a big hall, looked impressive for the first five seconds, but it's the walking back to Linjiangmen that was quite memorable. Chongqing is indeed an architectural marvel. The terrain is mountainous, no arguments here thanks to a lot of stairs we had to climb, but yet the city is lined up with high-rise buildings. 

The many stairs of Chongqing!
Photo by Angela.

After two hours of walking, we reached Jiefangbei Pedestrian Street. Now, a bit of a note here, the so-called pedestrian streets seem to be a pattern in China. Most cities, if not all, have the pedestrian streets, ancient streets and towns, then some historical sites. Jiefangbei is no different than the famous Nanjing Road in Shanghai

Gunawan in Jiefangbei.

We split up there to browse the shops separately, but still we always bumped into each other. Captain Gunawan and others were also at the post office having coffee when I sent the postcard. Eventually we gathered again and headed to the next destination, Hongyadong. 

Minutes before going to the pier.
Photo by Surianto.

Cicilia and Taty talked about Kuixing Building that is famous for bridging 1st floor on one side and 22nd floor on the other side. That night in Hongyadong, we roughly got the idea. We came from the road as high as 10th floor and the pier we were heading to is across the street on 1st floor. So we ran down, floor by floor, squeezed through the crowd and crossed the street before we finally boarded the river cruise.

Capturing Hongyadong. 
Photo by Gunawan.

Then the city lighted up. Hongyadong now shone brightly. As the ferry moved slowly, I sat there and absorbed the illuminated night. Unlike Xi'An and Chengdu, I always felt that Chongqing didn't have any unique characteristics that defined it. Since I arrived, I harboured the thoughts that Chongqing was a city growing too fast, hence the giant ball of mess I mentioned earlier. I disliked the dirty and rundown buildings I saw. And I smirked as I stared at the festival of lights. What an illusion. 

The mala hotpot dinner.
Photo by Angela.

When the ferry docked, we passed through the sea of people to take a closer picture at Hongyadong. But the thought of going 10 floors up to go back to hotel was so daunting that I'd rather walk a bit further. After our mala hotpot dinner, we went to Huanghuayuan Metro Station. 

Searching for Huanghuayuan Metro Station.
Photo by Cicilia.

There was a problem when we reached the station. How to go up? There was no staircase. When we followed a signage on the roadside, it only led us to what seemed like a dimly lit and deserted backyard. We were quite anxious until Ezra and Andiyanto went in further and climbed up the staircase on the far end of the backyard. It was indeed a correct way to the station! Then Gunawan jokingly said that we'd be scared to death if the old lady that swept the floor suddenly came out of the dark, haha. 

The artist in Ciqikou and her creation.

We went to Ciqikou on the second day. We didn't follow the original itinerary as I somehow had doubts when in Chongqing. Ciqikou is a commercialized ancient town filled with shops that sell stuff. After we had our fair share of shopping and lunch, we crossed the river for the first time ever and visited a shopping mall called the Ring. Clean and modern, it has the vibe of Jewel minus the waterfall.

Andiyanto and Lawrence at the Ring.

The night before, we saw Raffles City, buildings with the design similar to MBS. After the Ring, we decided that we should visit the MBS wannabe. Half way there, we alighted at Liziba to see train that went viral because it passes through a 19-story residential building. Andiyanto preferred to stay at the station, citing the reason that Junction 10 in Singapore also has a similar stuff, haha. 

Cicilia and Taty with the train that went viral.

We eventually made it to Xiaoshizi which turned out to be the penultimate stop. Chaotianmen should have been the correct one as it is directly linked to Raffles City. We walked a bit and, unlike the ones in Singapore, the distance between one metro station to another is quite far. But it was worth the effort. The mall is really grand and the skybridge is quite an experience: the last bit of the floor is made of glass panels. 

At Raffles City. 

Say all you like about bravery, but you only know it better after you looked down through the glass panel and noticed the small cars passing by on the road. Your mind would play tricks on you and your knees would tremble involuntarily. I couldn't help noticing that Gunawan subconsciously walked on the side of the glass panels supported by the beams as if it would be safer, haha. 

Taking the public bus!

We were supposed to go to Liangjiang Movie City on the third day, but Lawrence said we should go to Northern Hot Springs Park instead. So off we went to the farthest destination during our stay in Chongqing. We headed to the last metro station called Beibei and continued with the bus to reach Bolian Spa. Surianto skipped and preferred to walk around the mountain while the rest of us busy trying out the hot water pools. It was so relaxing that we eventually took a nap. 

Before napping.
Photo by Cicilia.

The last few hours were then spent in Guanyinqiao, a pedestrian street similar to Jiefangbei. We ate our lunch/dinner, shopped and, believe it or not, Gunawan and I actually lost our way back. We had to rely on Amap to find our way and to this day, we still can't figure out why we needed to cross the bridge to return when we didn't do that in the first place. 

In Guanyinqiao with Gunawan.

That night at the hotel, we talked. Just the three of us. Gunawan, Surianto and I. Old friends. We talked about anything that came to mind. About how poor we were. About the unrequited love we had. About the crazy times and laughter we had. About the holiday that was going to end soon. About what the future would bring. It was easily one of the highlights of the trip. 

At Jiangbei Airport with Andiyanto.

Then three hours laters, we were already on our way to the airport, but who knows there would still be some dramas? There was a tiny red stamp on Gunawan's boarding pass that eventually sent us running back to the check-in counter. To think that we already stamped our passports! Due to this, we had to surrender them and it was as good as entering China without any valid travel documents! 

Surianto, moments after his power bank was confiscated.

It turned out that the problem was the power bank in Gunawan's luggage. Gunawan took and kept it in his bag and we were good to go immediately. But as we walked towards the boarding gate, we saw Surianto at the security counter. Apparently he, too, had a problem with his power bank. As he couldn't show the capacity, it got confiscated. But things ended well. The security officer managed to find the info on the power bank and returned it to him. We eventually left China with good memories intact...

Back to Changi again!



Liburan ke Cina: Chongqing 

Jalan menanjak, banyak tangga dan kota raksasa yang kumuh. Ini kesan saya tentang Chongqing. Lawrence berkomentar bahwa kota ini mirip Hong Kong begitu kita keluar dari Stasiun Metro Linjiangmen. Setelah kita menaruh barang di Milky Way Hotel, kita makan di dekat hotel dan lanjut ke Great Hall of the People di Stasiun Zhengjiayan. 

The Great Hall dan para pengunjungnya.
Foto oleh Ezra.

Metro di atas permukaan tanah yang hendak kita tuju ini berjarak tiga stasiun jauhnya dari tempat kita berada. Relnya menjulang tinggi di tepi sungai Yangtze. Di dalam kereta, kita melihat Chongqing sebagai kota besar untuk pertama kalinya. Terlihat banyak jembatan besar dan panjang yang menghubungkan bagian kota yang terpisahkan oleh aliran sungai. 

Menjelajahi Chongqing: menuju ke Linjiangmen.

Great Hall of the People tidak jauh jaraknya dari Stasiun Zhengjiayan. Gedung ini terlihat megah dari kejauhan, tapi kita tidak lama di sana. Justru perjalanan pulang ke Linjiangmen yang lebih berkesan. Pembangunan di Chongqing memang dahsyat. Meski kotanya terletak di kawasan pegunungan yang naik-turun jalannya, Chongqing dipadati dengan gedung-gedung tinggi. 

Banyaknya tangga Chongqing!
Foto oleh Angela.

Setelah berjalan dua jam lamanya, kita tiba di Jiefangbei. Menarik untuk dicatat, setelah kita amati, yang namanya kawasan pejalan kaki ini memang termasuk pola pembangunan di Cina. Hampir setiap kota memiliki kawasan pejalan kaki, kota kuno dan situs bersejarah. Jiefangbei ini mirip dengan Jalan Nanjing di Shanghai

Gunawan di Jiefangbei.

Kita berpisah di sini untuk menjelajahi Jiefangbei sesuka hati, tapi selalu bertemu satu sama lain. Kapten Gunawan dan teman-teman juga minum kopi di kantor pos ketika saya mengirim kartu pos. Akhirnya kita berkumpul lagi dan menuju destinasi berikutnya, Hongyadong. 

Beberapa saat sebelum ke dermaga.
Foto oleh Surianto.

Cicilia dan Taty sempat berbicara tentang Gedung Kuixing yang terkenalkan karena menghubungkan lantai 1 dan lantai 22 di dua sisinya. Malam itu di Hongyadong, kita berkesempatan untuk mengalami langsung. Titik awal kita ternyata jalan di ketinggian setara dengan lantai 10 dan dermaga yang hendak kita tuju berada nun jauh di sana, di seberang jalan di lantai 1. Jadi kita pun berlari ke bawah, lantai demi lantai, berdesakan di tengah keramaian, menyeberang jalan dan akhirnya masuk ke kapal. 

Berfoto dengan latar belakang Hongyadong. 
Foto oleh Gunawan.

Dan kemudian kota Chongqing menyala. Kini Hongyadong bersinar terang. Feri bergerak pelan dan saya pun duduk menikmati malam yang bermandikan cahaya. Berbeda dengan Xi'An dan Chengdu, saya selalu merasa bahwa Chongqing tidak memiliki karakter membuatnya unik. Ada pemikiran bahwa Chongqing ini kota yang berkembang terlalu cepat sehingga terlihat maju tapi kumuh. Saya jadi tersenyum saat menatap atraksi lampu-lampu terang di gedung. Memang pakar ilusi. 

Makan malam mala.
Foto oleh Angela.

Sewaktu feri berlabuh, kita melewati lautan manusia untuk berfoto di dekat Hongyadong. Namun upaya menaiki 10 lantai terngiang-ngiang di benak saya. Rasanya lebih baik kalau berjalan sedikit lebih jauh daripada naik ke atas lagi. Kita menemukan tempat sup mala dan bersantap di sana, lantas lanjut ke Stasiun Huanghuayuan. 

Mencari Stasiun Huanghuayuan.
Foto oleh Cicilia.

Ada satu masalah ketika kita tiba di stasiun. Bagaimana cara naik ke atas? Tak ada tangga sejauh mata memandang. Kita ikuti tanda di dinding, tapi sepertinya nyasar ke halaman belakang yang gelap dan tak terurus. Kita jadi ragu, namun untunglah Ezra dan Andiyanto menjajaki lebih lanjut dan menaiki tangga di kejauhan. Ternyata benar ini jalan ke stasiun! Gunawan lalu bergurau, jikalau nenek yang menyapu jalan ini tiba-tiba muncul dari kegelapan, pasti semua lari terbirit-birit, haha. 

Pelukis di Ciqikou dan hasil kreasinya.

Keesokan harinya, kita pergi ke Ciqikou. Kita tidak mengikuti rute yang telah saya bikin karena saya jadi merasa tidak pasti dengan rekomendasi atraksi kota Chongqing. Saat tiba di sana, Ciqikou ternyata sebuah kota kuno bernuansa komersil dan dipenuhi banyak toko yang menjual aneka macam barang dan makanan. Setelah berbelanja dan makan, kira menyeberangi sungai untuk pertama kalinya dan mengunjungi mal bernama Ring. Bersih dan modern, dekorasinya mengingatkan saya pada Jewel tanpa air terjun ikoniknya. 

Andiyanto dan Lawrence di Ring.

Di malam sebelumnya, kita melihat Raffles City dari kapal feri. Gedung ini sama disainnya dengan MBS. Dari Ring, kita pun bertolak ke MBS jadi-jadian. Di tengah jalan, kita turun sebentar di Liziba untuk melihat kereta yang viral karena menembus gedung. Andiyanto memilih untuk menunggu di stasiun. Kalau cuma kereta menembus gedung, dia sudah sering lihat di Junction 10 Singapura, haha. 

Cicilia dan Taty di Liziba.

Kita akhirnya tiba di Xiaoshizi yang ternyata merupakan stasiun kedua terakhir. Pemberhentian berikutnya adalah Chaotianmen yang terhubung langsung ke Raffles City. Berbeda dengan di Singapura, perlu diketahui bahwa jarak dari satu stasiun ke stasiun metro berikutnya cukup jauh di Cina. Akan tetapi jerih-payah kita tidak sia-sia. Mal ini memang bagus dan jembatan langitnya sungguh sebuah pengalaman yang menarik: lantai di ujung jembatan terbuat dari kaca yang tembus pandang ke bawah.  

Di Raffles City. 

Bicara tentang keberanian, nyali baru teruji setelah kita menatap mobil-mobil mungil yang berlalu-lalang di jalan di bawah sana. Pikiran anda langsung mengirimkan sinyal bahaya dan lutut pun mendadak lemas. Saya perhatikan bahwa Gunawan selalu berjalan menapak di sisi lantai yang ditopang oleh rusuk-rusuk baja. Pasti sugesti bawah sadar yang membuatnya merasa bahwa caranya ini lebih menjamin keselamatan, haha. 

Naik bis umum di Beibei!

Di hari ketiga, kita seharusnya mengunjungi Kota Film Liangjiang, namun Lawrence ingin ke pemandian air panas Northern Hot Springs Park. Oleh karena itu, kita mengunjungi tempat terjauh selama berada di Chongqing. Dari hotel, kita ganti kereta hingga tiba di stasiun terakhir yang bernama Beibei, kemudian lanjut lagi dengan bis hingga tiba di Bolian Spa. Surianto menolak untuk masuk dan memilih untuk berjalan di sekitar gunung sementara kita berendam di berbagai macam kolam air panas. Suasananya santai, sampai-sampai kita ketiduran. 

Sebelum ketiduran.
Foto oleh Cicilia.

Beberapa jam terakhir pun dihabiskan di Guanyinqiao, kawasan pejalan kaki yang mirip dengan Jiefangbei. Kita makan siang/malam, berbelanja dan, percaya atau tidak, Gunawan dan saya tersesat! Akhirnya saya gunakan Amap untuk menemukan jalan kembali ke stasiun. Sampai hari ini, kita masih tidak mengerti kenapa perlu menyeberang jembatan untuk pulang,  padahal awalnya sama sekali tidak lewat jembatan. 

Di Guanyinqiao bersama Gunawan.

Di malam itu kita berbincang di kamar hotel. Hanya kita bertiga. Gunawan, Surianto dan saya. Teman lama. Kita berbicara tentang betapa miskinnya kita dulu. Tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tentang masa lalu yang membuat kita terpingkal. Tentang liburan yang akan segera berakhir. Tentang apa yang kelak akan terjadi di masa depan. Ini adalah satu pengalaman yang paling mengesankan selama liburan. 

Di Bandara Jiangbei bersama Andiyanto.

Tiga jam kemudian, kita sudah meluncur ke bandara. Tapi siapa sangka masih saja akan terjadi drama? Ada cap merah di boarding pass Gunawan yang ternyata berarti kita harus memeriksa bagasinya. Akhirnya kita berlari kembali ke loket check-in, padahal kita sudah cap paspor! Petugas mengambil paspor kita dan ini sama saja dengan masuk lagi ke Cina tanpa dokumen perjalanan yang sah! 

Surianto, beberapa saat setelah power bank disita.

Ternyata ada power bank di koper Gunawan. Setelah diambil, kita pun diperbolehkan pergi dan kopernya dimasukkan ke bagasi lagi. Namun perkara power bank tidak berhenti sampai di situ. Saat kita berjalan ke ruang tunggu, ternyata Surianto juga ditahan oleh petugas keamanan. Dia tidak tahu kapasitas power bank-nya dan akhirnya kena sita. Namun semuanya berakhir dengan baik. Petugas keamanan berhasil menemukan info kapasitas yang tertera di perangkat dan akhirnya mengembalikan hak milik Surianto. Pesawat pun terbang dan kita meninggalkan Cina dengan kenangan yang baik... 

Kembali ke Changi lagi!

Saturday, April 13, 2024

The China Trip: Chengdu

We arrived in Chengdu after a bullet train ride for almost four hours from Xi'An. We went from East Railway Station to Wenshu Monastery and walked to Buddhazen Hotel. Just like Liverpool that is so proud of the Beatles, Chengdu also has the same vibe: the city is teeming with pandas everywhere you look! 

Captain China at the hotel he wanted. 

Buddhazen Hotel is a classic building lifted out from the front page of ancient Chinese history. It has no lift and escalator, so we had to carry the luggages up to third floor. The surrounding area is brimming with shops and eateries. We had our late lunch nearby.

Heading to the tomb of Liu Bei.
Photo by Andiyanto.

The first destination was supposed to be Jinli Street, but I mistook Wuhou Shrine for it. As a result, we accidentally stumbled upon the important site of Three Kingdoms that I never planned for. Surianto, who knew the history best, was loving it. I was a tad disappointed to see Liu Bei's tomb was more of a mound than anything majestic. 

Posing on Jinli Street.
Photo by Surianto. 

We eventually made it to Jinli Street, which happens to be next to Wuhou Shrine. It is what you would call a typical tourist trap. We spent our time exploring the street with the traditional Chinese look and feel. We could have been there longer if not for the drizzle that killed the mood. 

Beer time! 
Photo by Gunawan.

We exited Jinli Street and had the cheapest but delicious dinner throughout the entire trip. Only RMB 262 for nine people! I like the fried water spinach with the wok hei flavor! That night ended with us having one round of beers nearby our hotel. Haven't eaten sunflower seeds in a long while!

Visiting pandas!
Photo by Angela.

When in Chengdu, check out the pandas! Chengdu Research Base for Giant Panda Breeding was the destination of our second day. After our visit, I tend to think that it's slightly overrated, though. I'm dissatisfied with the fact that it is so spacious but has only so little pandas. If not for the four playful juvenile pandas kept in Enclosure 2, the visit would have been a total waste of time. 

Lawrence and Gunawan on Chunxi Road.

We spent about half a day there, then we headed to Chunxi Road. It's Chengdu's answer to Orchard Road and it's huge! As this is Chengdu, of course you got a panda climbing a building and the spot is called Under the Panda's Butt on Swarm, haha.

Coffee break.

But instead of checking out a multitude of shops, we simply passed through them and before long, we found ourselves at Starbucks for a coffee break as we made our way towards Tianfu Square. When we were on the bridge, we could see a statue from afar. Lawrence said it was Chairman Mao while his son Ezra said it was Andy Lau.

Gunawan and Chairman Mao.
Photo by Surianto. 

It turned out that Lawrence's answer was correct one. The statue of Chairman Mao stands tall and his hand gesture presents us the magnificent Tianfu Square that was built based on the yinyang circle. We had a quick glance before heading down to basement for dinner. I was craving for dumpling soup, so the boys and I shared a couple of bowls. 

And there goes the tour leader!
Photo by Gunawan. 

The following day started with me hopping into the metro that closed its doors and took off immediately. The rest were left behind! But that was all right, as we met again at East Railway Station. Booked our bullet train tickets, quicker this time as the station already has our passport data from the previous purchase we made in Xi'An, and off we went to Leshan.

The first half of Leshan Giant Buddha.

The duration was about 46 minutes. Once we arrived at Leshan Station, there was a bus counter that sold bus and admission tickets. 40 minutes later, we arrived at our destination: the Giant Buddha of Leshan!

Guanyin and the admirers.
Photo by Surianto. 

Or so we thought, because it was still quite a long way to go and a lot of staircases to climb before we got there. We passed by the arhats, bodhisattvas and Buddha's statues of many sizes. We saw temptations carved on the wall, reminding us about the path of enlightenment. We were queuing in two rows to "receive" and pay for the blessing in the temple. 

Listening attentively? Not our Captain, I guess. 

And then finally there it was: the Giant Buddha. As we stood on the left of his face, I recalled the scenes from Wind and Cloud manhua. Then I remembered sitting on the staircase, watching the TV series in Pontianak, when my parents and I stayed at a rented house on Gang Kamboja back in Pontianak. The fighting in front of Leshan Giant Buddha, the theme song Yong Yuan Yong Yuan (永远永远), all those memories came rushing back. 

And we made our way down to see Buddha!
Photo by Andiyanto. 

Suddenly there was this urge that I just had to see the Giant Buddha statue in its glorious entirety. We went down the stairs, steep though they were at times, until we came into its mighty presence. The statue I only saw in comics and TV series was right there, towering us. 

The high school friends and the Buddha. 

We took pictures as six high school friends that made it to the Giant Buddha of Leshan. Before we left, I stood there for a while to admire the Buddha as the images from the past were playing in my mind. It's crazy how the real one was now sitting in front of me. My younger self would never have the idea that I'd be here one day. Life has been good indeed.

Cicilia, Captain China and I at the cafe. 

Epilogue: we returned to the train station, passing by the city of Leshan. The locals would refer to it as a small town, but it's still much bigger and more modern than any cities in Indonesia. The night ended with a dinner at Kuanzhaixiangzi Alleys and a walk back to hotel. There was a cafe nearby Buddhazen Hotel and there we were, talking until it was closed...

Once upon a time in front of Buddhazen Hotel. 




Liburan Ke Cina: Chengdu 

Kita tiba di Chengdu setelah menaiki kereta cepat hampir selama empat jam dari Xi'An. Dari East Railway Station, kita menuju ke Wenshu Monastery dan berjalan kaki ke Buddhazen Hotel. Seperti halnya Liverpool yang bangga dengan the Beatles, Chengdu juga memiliki aura yang sama: kota ini penuh dengan panda sejauh mata memandang! 

Kapten Cina di hotel yang diinginkannya.

Buddhazen Hotel memiliki disain bangunan klasik Cina kuno. Hotel ini tidak memiliki lift dan eskalator, jadi koper harus dijinjing naik sendiri. Sekeliling hotel penuh dengan toko dan tempat makan. Kita pun makan siang di sekitar situ.

Menuju makam Liu Bei.
Foto oleh Andiyanto.

Tempat tujuan pertama harusnya Jalan Jinli, tapi saya salah kaprah dan mengira bahwa Kuil Wuhou adalah Jalan Jinli. Kita akhirnya tanpa sengaja masuk ke situs penting Sam Kok. Surianto yang paling paham tentang sejarahnya menyukai kunjungan ini. Saya sendiri agak kecewa karena makam Liu Bei lebih mirip seperti gundukan raksasa daripada kuburan yang megah. 

Berpose di Jalan Jinli.
Foto oleh Surianto. 

Dari Kuil Wuhou, kita akhirnya sampai di Jalan Jinli yang terletak di sebelahnya. Tempat dengan nuansa Tiongkok tradisional ini memang khusus untuk turis yang ingin berbelanja. Kita mengitari tempat ini sampai malam tiba dan bisa saja lebih lama lagi jikalau bukan karena gerimis yang membuat kita berteduh dan beranjak pulang. 

Waktunya bir!
Foto oleh Gunawan.

Keluar dari Jalan Jinli, kita menikmati makan malam yang lezat dan paling murah sepanjang liburan kali ini. Hanya RMB 262 untuk sembilan orang! Saya suka cah kangkung dengan aroma yang menyerupai kangkung asap di Pontianak. Malam pertama di Chengdu pun ditutup dengan satu ronde bir bersama di dekat hotel. Sudah lama rasanya tidak mengunyah kwaci biji bunga matahari!

Mengunjungi panda!
Photo by Angela.

Dan ketika berada di Chengdu, lihatlah panda! Basis Penelitian Chengdu Untuk Pengembangbiakan Panda menjadi tujuan di hari kedua. Setelah kunjungan kita, saya rasa tempatnya agak terlalu komersil tapi tidak sesuai harapan. Luas penangkarannya, namun sedikit pandanya. Bila bukan karena empat ekor panda usia remaja yang lucu, kunjungan kita boleh dikatakan buang waktu. 

Lawrence dan Gunawan di Chunxi Road.

Setelah setengah hari di penangkaran panda, kita menuju ke Chunxi Road yang merupakan tandingan Orchard Road di Singapura! Luasnya memang dahsyat! Dan karena ini adalah Chengdu, ada panda yang memanjat gedung dan di aplikasi Swarm, titik ini namanya Di Bawah Pantat Panda, haha. 

Waktunya ngopi.

Namun kita tidak mengunjungi toko-toko, melainkan melewati semuanya begitu saja. Ada pemberhentian sejenak untuk minum kopi di Starbucks saat kita berjalan menuju Lapangan Tianfu. Dari arah jembatan, terlihat patung dari kejauhan. Lawrence menerka bahwa itu adalah patung Mao sedangkan anaknya asal menjawab Andy Lau. 

Gunawan dan Mao.
Foto oleh Surianto. 

Tentu saja Mao adalah jawaban yang tepat. Patung orang kuat Cina ini berdiri tegak dan gerakan tangannya seperti mempersembahkan Lapangan Tianfu yang dibangun sesuai dengan lingkaran yinyang. Kita berkeliling sejenak, lalu turun ke bawah untuk makan malam. Saya ingin makan sup pangsit, jadi kita pesan beberapa mangkuk dan berbagi. 

Dan pemandu wisatanya kabur duluan!
Foto oleh Gunawan. 

Keesokan harinya dimulai dengan peristiwa masuknya saya ke metro yang langsung menutup pintu dan berjalan. Yang lain pun tertinggal! Tapi tidak ada masalah karena kita tinggal saling mengabarkan untuk bertemu lagi di East Railway Station. Kita pun memesan tiket kereta cepat. Prosesnya lebih cepat sekarang karena data paspor kita sudah tersimpan sejak pembelian tiket di Xi'An. 

Setengah jalan di Budha Raksasa Leshan.

Durasi perjalanan adalah 46 menit. Begitu kita tiba di Stasiun Leshan, ada loket penjualan tiket bis dan tiket masuk wahana. 40 menit kemudian kita pun tiba di tempat tujuan: Budha Raksasa Leshan! 

Kwan Im dan pengunjung yang mengaguminya.
Foto oleh Surianto. 

Akan tetapi perjalanan ternyata masih panjang dan banyak tangga yang masih harus didaki. Kita melewati ukiran arahat, bodisatwa dan patung Budha beraneka ukuran. Ada berbagai pahatan godaan duniawi di tembok yang mengingatkan kita tentang pencerahan sang Budha. Kita bahkan antri untuk "menerima" dan membayar berkat di kuil. 

Mendengarkan dengan seksama? Kapten kelihatan ngantuk. 

Sampai akhirnya terlihatlah Budha Raksasa. Saat berdiri di sisi kiri wajah sang Budha, saya terkenang dengan komik Awan dan Angin. Kemudian saya teringat saat saya duduk di anak tangga rumah sewaan di Pontianak untuk menyaksikan serial TV Awan dan Angin. Adegan pertarungan dan lagu Yong Yuan Yong Yuan (永远永远) dari 20an tahun silam itu bagaikan hadir kembali. 

Turun melihat Budha!
Foto oleh Andiyanto. 

Tiba-tiba ada niat di hati untuk melihat patung Budha secara keseluruhan. Kita turun ke bawah, menapaki ratusan anak tangga, termasuk beberapa yang terkesan curam, sampai akhirnya kita tiba di hadapan Budha. Patung raksasa yang selama ini hanya saya lihat dari komik dan TV kini duduk di depan menaungi saya. 

Teman SMA dan Budha. 

Kita berfoto sebagai enam teman SMA yang berhasil mencapai Budha Raksasa Leshan. Sebelum kita pergi, saya menatap Budha untuk kali terakhir. Berbagai gambaran Budha bermunculan di benak saya. Sungguh sulit untuk dipercaya bahwa akhirnya saya melihat Budha Raksasa Leshan yang asli. Dua dekade silam, sewaktu saya di Pontianak, mana pernah terpikir akan ke sini suatu hari nanti. Hidup ini memang baik. Sangat baik. 

Cicilia, Kapten Cina dan saya.

Epilog: kita kembali ke stasiun kereta, melewati kota Leshan. Warga setempat berkata bahwa Leshan hanyalah kota kecil, tapi terlihat jauh lebih besar dan modern dari berbagai kota di Indonesia. Malam pun berakhir dengan santap malam di Lorong Kuanzhaixiangzi Alleys dan perjalanan pulang ke hotel. Ada kafe di dekat Buddhazen Hotel dan di sanalah kita berada sampai kafe itu tutup...