Total Pageviews

Translate

Saturday, August 3, 2019

The Chronicler, The Impresario

This story began with a phrase, "who died and made you..." that lingered in my mind. While it was often used a sarcastic response, the phrase was somewhat relevant with what I went through since high school till now. You see, every generation had one chronicler that brought them together and for ours, that person seemed to be me. No, nobody died and made me take it up. I wasn't nominated and I didn't ask for it, too. I just happened to fit the profile, I subconsciously filled the gap and I grew into the role gradually.

In order to understand how this happened, let's look back at the seemingly random bits and pieces in my life. First of all, I had been blessed with a memory like an elephant that allowed me to remember past events in life clearly. Secondly, as a person who lived apart from my family since high school, I naturally established close relationship with friends who were there for me when I had no one else. They were like my family and I loved them all. Then, of all the prized items a poor young man could have in the 90s, I happened to have a camera to capture the moments! Lastly, I had to admit that I seldom wrote a good story from a scratch. What I did best was blending what I observed and I experienced into writing seamlessly. The result was not my story. Since the very beginning, it was always our story.

1998-2008, our first 10 years. 

To summarise, it was a case of right things fell into right places. I became the person that cared enough to keep in touch and I organized those friendly hangouts, especially after we left high school. As I had latest contacts and updates, I once maintained a website that shared news and photos. Oh yes, while I was never a keen photographer, it seemed like I always had a camera at any point of time. In early 21st century, I was a proud owner of Sony Cyber-shot 3.2 megapixels.

Back to our story, long before Friendster and Facebook existed, there was anthony-ventura.tripod.com, the trusted source for our high school community. It was fine and well-received for a while, but I eventually learnt that some people found it intrusive. I guess I must be too excited in connecting people that I had offended some unknowingly. It was unpleasant as I didn't mean to hurt anyone. That's partly the reason why I quit.

Singing session with Pheng iu, right after Wawa's wedding.
Photo owned by Ng Lina.

The other half of the reason is the fact that I was relocating from Indonesia to Singapore. Things went sour after the last episode and I thought it was an end of era, but at the same time, it was also the beginning of a new one. My relationship with high school friends went on hiatus, replaced by the good times I had with a bunch of housemates now formerly known as Pheng iu. I was far from home, trying to make a living in a foreign country, and Pheng iu was the closest thing to a family that I had. By the way, if the name Pheng iu sounded familiar, that's probably because you might have seen it from the movies or the stories.

The 19 of us didn't stay together for long, but yet we were never really apart. When we moved out from Kembangan, we split into smaller groups and we still made an effort to be together in many occasions, from simple dinner, birthday and even travelling. Oh yes, it was during this time that I caught the wanderlust bug. We travelled to Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia and, of course, Indonesia!

Markus, Darto, Endrico and I at the night market in Siem Reap, Cambodia.

But all good things must come to an end. In 2011, we either got married or went back to Indonesia. Around the same time, chat group started to become the in-thing. First BBM, then WhatsApp, and I reconnected with my high school friends again. When the old sentimental feeling was building up, I saw my acquaintance's reunion on Facebook. That's when I was inspired to do our own in 2014. Since then, I always organised activities with high school friends. We recorded We Are the World before Smule became popular. We had events such as Parno's SG Outing in 2015, the Karawang trip in 2016, Guns N Roses Concert in 2017 and many more. The last one, happened only few weeks ago, was when my friend and I watched Juventus vs. Tottenham Hotspur.

Were the events always successful? No, I had my fair share of failures, too, like the Sri Lanka trip that was supposed to happen this month or the event of attending Asian Games in Jakarta, back in 2018.

If that's the case, why bother trying? Well, I simply had the passion, I reckon. A friend once told me in 2016, "only you can make I happen. You have what it takes." The sincere remark was made out of the blue. When I heard it, I was stunned. Funny that I never realised it before.

Was it worth it? What's in it for me? As we approached the age of 40, I saw death started happening around us. Yes, be it rich or poor, people our age died. Last June, when I let go of my Dad's ashes into the sea, it dawned on me that only memories remain. When we were around, we touched people's lives. For every moment we spent together in happiness, we were one good memory richer than before. So, yeah, it's definitely worth it...

Lunch at Nasi Campur Alu with Eday.
Photo owned by Angelina. 


Yang Mencatat Dan Membuat Acara

Cerita berikut ini dimulai dengan sebuah frase bahasa Inggris yang terngiang-ngiang di benak saya: "who died and made you..." Walau frase ini sebenarnya adalah respon sarkasme, namun ada relevansinya dengan yang senantiasa saya kerjakan dari sejak SMU sampai sekarang. Setiap generasi memiliki seseorang yang mencatat berbagai kisah para teman dan untuk angkatan saya, sepertinya penulis itu adalah saya. Tidak, saya tidak dinomasikan ataupun mencalonkan diri. Saya hanya kebetulan memiliki kepribadian yang cocok, kemudian mengerjakan apa yang saya kerjakan dan akhirnya menikmati peran tersebut. 

Untuk memahami bagaimana ini bisa terjadi, mari kita lihat berbagai penggalan kisah hidup saya. Pertama-tama, saya diberkati dengan ingatan yang luar biasa kuat sehingga bisa mengingat berbagai kejadian di masa lampau. Kedua, sebagai seorang yang hidup terpisah dari keluarga sejak SMU, saya menjadi dekat dengan teman-teman yang berada di sekeliling saya di saat saya membutuhkan kehadiran mereka. Teman-teman ini tak ubahnya seperti saudara dan saya menyayangi mereka. Kemudian, dari semua harta berharga yang mungkin dimiliki oleh seorang pria muda miskin di akhir tahun 90an, saya memiliki sebuah kamera yang bisa dipakai untuk mengabadikan berbagai peristiwa. Terakhir, saya harus mengakui bahwa saya jarang menulis cerita bagus yang orisinil. Apa yang bisa dan sering saya lakukan dengan baik dan benar adalah menggabungkan beraneka kisah yang saya amati dan alami. Hasilnya bukanlah cerita saya. Dari sejak awal, apa yang saya tulis adalah sebuah kisah bersama.

Makan malam di Dangau, Pontianak. Foto kamera Ricoh, sebelum era digital. 

Dari paragraf di atas bisa disimpulkan bahwa apa yang terjadi adalah beragam faktor yang akhirnya membuat saya memainkan peran ini. Saya menjadi orang yang peduli untuk tetap menjalin hubungan dan menghubungi teman-teman untuk berkumpul, terutama setelah kita lulus SMU. Karena saya senantiasa memiliki informasi terbaru, saya pun berbagi cerita dan foto lewat situs internet. Bicara soal foto, meskipun saya tidak pernah benar-benar tertarik dengan bidang fotografi, saya sepertinya selalu memiliki kamera di setiap waktu. Di awal tahun 2000an, saya memiliki kamera digital Sony Cyber-shot 3.2 megapixels, sebuah piranti keras yang terbukti berguna pada saat itu!

Kembali ke cerita kita, jauh sebelum Friendster dan Facebook muncul, anthony-ventura.tripod.com adalah situs terpercaya bagi komunitas teman-teman SMU. Pada awalnya situs ini mendapat tanggapan positif, namun kemudian saya mendapat kabar bahwa ada yang merasa kalau keberadaan situs ini sangatlah intrusif. Saya mungkin terlalu bersemangat dalam mengumpulkan berita sehingga tanpa sadar telah menyinggung beberapa orang. Ini adalah pengalaman yang tidak menyenangkan karena saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Pada akhirnya saya pun berhenti.

Suhendi di Carrefour Cempaka Mas. Buku di tangannya adalah panduan Sony Cyber-shot yang baru saja saya beli. 

Alasan lain yang juga membuat saya memutuskan untuk berhenti adalah kepindahan saya dari Indonesia ke Singapura. Rasanya seperti akhir dari sebuah era, namun zaman yang baru pun bermula pada saat yang bersamaan. Hubungan saya dengan teman-teman SMU digantikan oleh saat-saat seru bersama teman-teman serumah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pheng iu. Saat itu saya berada jauh dari rumah, mengadu nasib dan mengais rejeki di negeri asing. Pheng iu boleh dikatakan sebagai kerabat terdekat saya pada waktu itu. Oh ya, kalau nama Pheng iu terdengar akrab, itu mungkin karena anda pernah melihat film atau membaca ceritanya

Ada 19 orang termasuk saya pada saat itu. Kita sebenarnya hanya tinggal serumah dalam waktu yang singkat, tapi kita pun tidak pernah benar-benar berpisah. Ketika kita pindah dari Kembangan, kita berpencar menjadi kelompok yang lebih kecil dan kita masih menyempatkan diri untuk berkumpul dalam berbagai acara, mulai dari makan malam, ulang tahun, Natal dan bahkan berlibur. Di saat bersama Pheng iu inilah saya mulai senang jalan-jalan. Bersama-sama kita berkelana ke Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia dan tentu saja Indonesia!

Makan malam perpisahan dengan Tommy di 2010.
Foto oleh Endrico.

Namun semua hal yang baik harus berakhir. Di tahun 2011, banyak di antara kita yang menikah atau kembali ke Indonesia. Di saat bersamaan, chat group mulai populer dan mengubah cara berinteraksi. Dari BBM dan kemudian WhatsApp, saya kemudian terhubung lagi dengan teman-teman SMU. Ketika persahabatan kembali terjalin, seorang kenalan yang hadir di reuni mengunggah fotonya di Facebook. Saya jadi terinspirasi untuk mengadakan reuni juga dan akhirnya terwujud di tahun 2014. Sejak saat itu, saya selalu mengadakan berbagai aktivitas bersama teman-teman SMU. Kita merekam lagu We Are the World sebelum Smule populer. Kita memiliki acara seperti Parno's SG Outing di tahun 2015, liburan ke Karawang di tahun 2016, menghadiri konser Guns N Roses di tahun 2017 dan masih banyak lagi. Yang terkini, yang baru saja berlalu beberapa minggu lalu, adalah ketika saya dan Muliady menonton Juventus vs. Tottenham Hotspur.

Apakah acara yang saya organisir selalu sukses? Tidak juga. Beberapa di antaranya gagal, misalnya liburan ke Sri Lanka yang dijadwalkan pada bulan ini. Contoh lainnya adalah acara menyaksikan pertandingan bulutangkis di Asian Games Jakarta di tahun lalu.

Jika terkadang gagal, lantas buat apa mencoba? Hmm, singkat cerita, karena saya senang melakukannya. Di tahun 2016, seorang teman berkata pada saya, "hanya kamu yang bisa melakukan hal seperti ini. Dari segi karakter, kamu memiliki apa yang diperlukan untuk mewujudkan kegiatan seperti ini." Ungkapan yang tulus dan tiba-tiba itu membuat saya tertegun. Lucu rasanya karena saya tidak pernah menyadari hal ini sebelumnya. 

Kalau begitu, apakah hasilnya sepadan dengan jerih payahnya? Apa untungnya bagi saya? Jujur saya katakan, di usia kita yang hampir mendekati umur 40, saya melihat banyak yang telah meninggal. Ya, kaya atau miskin, teman seusia saya meninggal. Juni lalu, ketika saya melepaskan kantung abu ayah saya ke dalam laut, saya jadi sadar bahwa yang tersisa dari manusia hanyalah kenangan. Selagi kita masih hidup, kita menyentuh kehidupan orang di sekitar kita. Untuk setiap kesempatan yang kita lewatkan bersama dalam kegembiraan, kita menjadi satu kenangan lebih kaya dari sebelumnya. Dengan demikian, bisa dengan mantap saya katakan, "ya, hasilnya sungguh sepadan." Sebisa mungkin jangan pernah berpikir lain kali saja baru ikut, karena kita tidak tahu kapan waktu kita akan berlalu. Ciptakanlah kenangan selagi bisa.

Menjadi teknisi di acara saat reuni 2014 berlangsung.

Saturday, July 27, 2019

The Sports, Featuring Juventus Vs. Tottenham

If you've been following Roadblog101 for a while, you'll notice that I never talked about sports before. However, that doesn't mean I don't enjoy sport at all. Admittedly, I'm not a sporty type, but I used to play volley ball in high school. Looking back, I wouldn't see a better example of Darwin's theory of natural selection in a modern society than my inclusion in the team: they'd choose me only if they didn't have enough players, haha. I was an awful player that was barely able to serve the ball, so my friends were actually happier to have me outside the court, keeping scores for them.

While my participation was minimum or next to nothing, I don't mind watching sports from time to time. In fact, I loved watching Mike Tyson before he started biting ears. I also followed tennis when Steffi Graf ruled the game. I remember those unforgettable matches between Chicago Bulls and Utah Jazz in 1998. Then of course there was World Cup. I probably had started watching it since 1994, when Romário and Bebeto were playing, but the memories were rather conflicting because my earliest recollection of football was van Basten and Gullit from the late 80s.

Heading to the National Stadium with Muliady The. 

I happened to have some experiences with live games, too, since early age. While this might not be known by many, my hometown Pontianak actually hosted Indonesia Open 1989 and I got the chances to see the likes of Huang Hua and Xiong Guobao live in action. Prior to that, the Chinese badminton players had an up, close and personal session at Kartika Hotel and I seem to recall the legendary Yang Yang was there, too.

During the last year of high school, we had a soccer tournament. My classmates fashioned themselves after Juventus and named the team Lickersfull, haha. The amateur matches were held at Sepakat, an uneven football field that was full of potholes. From time to time, you'd see players disappear while running as they tripped and fell down. I was watching from the courtside when Mul AW scored the one and only goal that made us the champion of the league!

That low resolution picture from 21 years ago. Muliady The was the second from the right, next to the girl. 

The opportunity to watch a professional soccer game came 10 years later in 2008, when Singapore played against Brazil. This is one the matches that you'd know how it'd end. The part we didn't know is how bad it was going to end for Singapore and we were there to witness it, haha. It turned out to be 3-0. Not bad, actually. One of the goals was contributed by Ronaldinho. It was so phenomenal as he didn't even kick the ball to score. He moved past few players and the goalkeeper, then literally dribbled the ball right into the goal!

Fast forward to 2019, 21 years after my classmates posed as pseudo-Juventus, there was a news that the real deal was coming to Singapore. This was a group that meant something to us back in the days, so I asked around to see if anybody was keen to watch. Muliady The, one of Lickersfull members, said yes and I immediately booked the tickets. So there we were, few months later, at the National Stadium.

Bumped into my colleague, Ariff.
(Photo owned by Ariff)

The atmosphere was brilliant! It was the main reason why I loved to be in the crowd and watched it live. You could feel the excitement. It was electrifying! At the same time, the thought of other friends watching the same game from TV while the two of us were there was somewhat strange, haha. Thanks to WhatsApp chat group, we could talk about it even though we were far away from each other. 

And what a good game it was. To be frank, since I don't really follow soccer and both teams had players with jersey number seven, I actually couldn't tell which one was Juventus, haha. It took me a while to figure out that Tottenham was wearing dark blue. I was surprised by how good they were and it was only fitting that they scored the first goal. The second half was when it got really exciting. Juventus struck back and scored two goals. Tottenham made it even afterwards. Up to minute 90, it was a tie. Then Harry Kane took a shot from the middle of the field during injury time. Not only it was spectacular, it was also a game changer. I came to watch simply because of Juventus and I left the stadium with a newfound respect for Tottenham...

Muliady, looking happy before the game started. 


Olahraga, Juventus Dan Tottenham

Jika anda sudah cukup lama mengikuti Roadblog101, mungkin pernah terpikirkan oleh anda kenapa saya tidak pernah berbicara tentang olahraga. Ini tidak lantas berarti saya tidak menyukai olahraga. Saya akui bahwa saya bukanlah orang yang berbakat dalam aktivitas ini, tapi dulu saya senang bermain voli di sekolah. Kalau saya lihat kembali, apa yang terjadi saat itu adalah penerapan dari teori Darwin tentang seleksi alami: teman-teman hanya akan memanggil saya kalau mereka kekurangan pemain. Ini dikarenakan oleh ketidakbecusan saya dalam bermain, haha. Saya bahkan sering kali gagal dalam servis sehingga membuat mereka tegang pada saat penentuan, jadi teman-teman sebenarnya lebih senang kalau saya berada di luar lapangan dan membantu mereka menghitung hasil pertandingan yang sedang berlangsung.

Walau partisipasi saya dalam bidang olahraga boleh dikatakan minimum atau hampir tidak ada, saya tidak keberatan untuk menyaksikan pertandingan dari waktu ke waktu. Saya selalu mengikut pertarungan Mike Tyson, jauh sebelum dia mulai menggigit telinga. Saya juga mengikuti tenis ketika Steffi Graf mendominasi permainan cabang olahraga ini. Saya juga ingat masa-masa tidak terlupakan ketika Chicago Bulls melawan Utah Jazz di tahun 1998. Dan Piala Dunia sudah mulai saya tonton sejak tahun 1994, saat Romário and Bebeto merajai lapangan rumput, namun sepertinya saya berkenalan dengan sepak bola sejak van Basten dan Gullit menjadi idola di akhir tahun 80an.

Kebetulan saya juga mendapat kesempatan untuk menyaksikan pertandingan langsung dari sejak kecil. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Pontianak pernah menjadi tuan rumah Indonesia Open di tahun 1989. Saat saya menyaksikan para pemain seperti Huang Hua dan Xiong Guobao berlaga di lapangan bulutangkis. Sebelum itu, delegasi dari Cina ini sempat dijamu di restoran Hotel Kartika. Seingat saya, pemain legendaris Yang Yang juga hadir.

Bersama Cicilia (tengah) dan Ardian (paling kanan) serta dua teman sekampus. Ardian cemberut, mungkin karena kalah bertanding, haha. 

Di tahun terakhir masa SMU, para murid menggelar liga pelajar. Teman-teman sekelas saya mengenakan kostum Juventus dan tim mereka bernama Lickersfull, haha. Pertandingan amatir ini diadakan di Sepakat, sebuah lapangan bola yang bergelombang dan banyak lubangnya. Dari waktu ke waktu, pemain yang sedang berlari bisa tiba-tiba lenyap dari pandangan karena jatuh tersungkur. Saya menonton dari samping lapangan ketika Mul AW mencetak satu-satunya gol di babak final dan mengantarkan kelas kita menjadi juara liga.

Peluang untuk menonton pemain bola profesional muncul 10 tahun kemudian. Singapura bertanding melawan Brazil di tahun 2008. Ini adalah pertandingan yang kira-kira sudah terbayang hasilnya. Yang ingin saya saksikan adalah seberapa parah hasilnya bagi Singapura dan saya ingin berada di sana untuk menyaksikannya secara langsung. Singapura dicukur 3-0 oleh Brazil. Tidak terlalu buruk sebenarnya. Yang mengesankan adalah gol yang dicetak oleh Ronaldinho. Dia melewati banyak pemain dan mengecoh kiper, lalu menggiring bolanya ke gawang! Memang dashyat!

Di tahun 2019, 21 tahun setelah teman-teman sekelas saya berpose sebagai tim Juventus gadungan, beredar berita bahwa tim tersebut akan datang ke Singapura. Ini adalah tim besar yang menjadi inspirasi kita pada masa remaja, jadi saya pun bertanya kepada teman-teman, apa ada yang berminat untuk menonton. Muliady The, mantan anggota Lickersfull, menyambut tawaran ini dengan antusias, jadi saya langsung membeli tiket sebelum kehabisan. Beberapa bulan kemudian, kita pun berada di National Stadium dan hadir sebagai penonton.

Tiket pertandingan. 

Suasananya sungguh luar biasa dan mengingatkan saya kembali, kenapa saya suka berada di tengah keramaian untuk menyaksikan pertandingan secara langsung. Anda bisa merasakan energi dan semangat yang meluap dari penonton. Begitu gegap gempita! Pada saat bersamaan, sempat terpikir oleh saya bahwa teman-teman juga menonton pertandingan yang sama dari layar TV. Berkat WhatsApp, kita pun bisa berdiskusi sepanjang pertandingan. 

Dan Juventus vs. Tottenham adalah sebuah pertandingan yang layak untuk disaksikan. Secara jujur saya akui bahwa saya tidak selalu mengikuti perkembangan sepakbola dan karena dua tim ini memiliki pemain bernomor punggung tujuh, awalnya saya tidak tahu yang mana sebenarnya Juventus, haha. Setelah beberapa saat kemudian, baru saya sadari bahwa pemain Tottenham mengenakan kaos biru tua. Saya jadi terpukau oleh penampilan timnya yang prima. Tidak mengherankan kalau mereka bisa mencetak gol pertama. Namun Juventus mulai memberikan perlawanan di babak kedua dan mengoyak kandang lawan dengan dua gol dalam kurun waktu kurang dari lima menit. Tottenham lantas membalas dan menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Sampai menit ke-90, permainan tetap berimbang. Sesuatu yang gemilang akhirnya terjadi pada saat waktu tambahan di penghujung babak kedua. Harry Kane menembak dari tengah lapangan dan masuk! Golnya bukan saja spektakuler, tapi juga memenangkan timnya. Saya datang untuk menyaksikan Juventus dan saya pulang dengan kekaguman terhadap Tottenham...

Muliady menantikan pertandingan dimulai. 

Tuesday, July 23, 2019

Moral Orang Indonesia Yang Meresahkan

Tulisan ini berawal dari keresahan saya terhadap moral sebagian orang Indonesia. Saya melihat medsos Indonesia yang berkelakuan seenaknya dan mulanya saya berpikir mungkin di medsos aja, tetapi setelah saya perhatikan, di dunia nyata pun kurang lebih sama. Lalu saya teringat dan mengenang rekan-rekan kerja yang bersikap dan berprilaku serupa. 

Contoh:
1. Tuhan sudah sangat baik merancang manusia untuk hamil selama sembilan bulan sebelum melahirkan, artinya sebagai calon ayah kita diberi kempatan selama itu untuk menabung biaya persalinan. Namun fakta yang saya temukan sangat mengejutkan. Ada yang istrinya akan melahirkan tetapi sang ayah cuman punya Rp. 20.000 untuk naik taksi saja. Di mana tanggung jawab sang ayah? 

2. Ada juga yang sudah berjanji untuk melaksanakan kerjaan sesuai bayaran dan telah menerima uangnya pula, tetapi pas di hari-H malah tidak masuk dan tidak mendelegasikan kerjaan kepada penggantinya. Lebih parah lagi lagi, bahkan tidak dapat dihubungi. Ini aneh bagi saya.

Setelah contoh pengalaman di atas, saya lantas coba teliti lebih jauh. Pada suatu sore, saya melihat anak SD buang sampah seenaknya di jalan dan perbuatan itu disaksikan namun diabaikan oleh orang tuanya. Ketika saya tegur malah saya yang dipelototin oleh orang tuanya. Berbagai pikiran pun muncul di benak saya. Apakah sekolah sudah berhenti mengajarkan moral tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik? Apakah orang tuanya juga mengajarkan? Bagaimana pula dengan lingkungannya? Padahal naik mobil SUV yang mahal. Di sini saya merasa bersyukur telah sekolah di lingkungan yang penuh disiplin.

Kembali ke bangku sekolah.

Contoh berikutnya, suatu malam saya ajak anak saya makan di tempat yang banyak permainan anak. Di situ ada peraturan yang mewajibkan anak-anak untuk membereskan mainan masing-masing setelah selesai bermain. Saya perhatikan di sebelah saya ada anak kecil dengan banyak mainan tumpah-ruah di lantai, tetapi orang tuanya malah mengajak anaknya pergi dan membiarkan mainan itu berserakan di lantai.

Dari situ saya sadar bahwa bobroknya mental/moral orang Indonesia itu berasal dari orang tua yang malas mengajarkan kepada anaknya, apa yang baik dan apa yang buruk. Menurut saya, orang tua kaya atau miskin tetap bisa mewariskan harta paling berharga kepada anak, yaitu moral, budi pekerti, tanggung jawab dan mental yang baik. Semua itu gratis, tapi sepertinya lupa diajarkan oleh sebagian orang tua di Indonesia. Mungkin mereka berpikir bahwa menyekolahkan anak sudah cukup. 

Hai, orang tua. Anak hanya berada di sekolah selama lima jam dan guru mengajar setidaknya 20 murid. Mana cukup untuk mengajarkan ilmu di luar kurikulum? Hal-hal yang sederhana bisa kita contohkan sebagai orang tua, misalnya jangan buang sampah sembarang atau menghormati orang yang lebih tua. Ajarkan tanggung jawab, ilmu tata kelola keuangan dan lain-lain yang tidak diajarkan di sekolah...


Sunday, July 21, 2019

The Fast Food

This story began perhaps as early as mid 80s. I must be around four years old when Mum brought me to this restaurant not very far from Dipo, a supermarket situated exactly at where Harum Manis is now. There we had the fried chicken, the fries, the soup and the bread. It turned out to be the most delicious meal ever for a kid in Pontianak to experience! For the first time ever, a picky eater like me understood the earthly joy of eating. Yes, before KFC, McDonald's and anything else, it was American Fried Chicken that first introduced us to the heavenly sinful taste of fast food! There was no turning back since then!

Despite the name, American Fried Chicken is actually a local brand. It's even more localised than California Fried Chicken (CFC), its only competitor at that time. The former is found only in Pontianak while the latter also has outlets outside my hometown, albeit in unexpected and godforsaken spots. Now, if the second half of the previous sentence sounded unfavourable, that's because CFC's quality was, to put it mildly, not that good. The last time I ever bought the CFC meal was in June 2018, at Paskal Food Market, Bandung. My main course was actually tongseng kambing, an authentic Indonesian food, while CFC was meant for my daughter, as she's another picky eater who loves fast food, haha.

A plate of American Fried Chicken.
Photo by Harry. 

For the longest time, American Fried Chicken reigned supreme. Its biggest challenge appeared much later on, when KFC opened a branch in Pontianak. KFC is, to quote its slogan, finger lickin' good! In Indonesia, it was aptly promoted as jagonya ayam. It could be roughly translated as chicken expert, but when it was phrased in Bahasa Indonesia, you got the ultimate feeling that KFC is second to none. I first had it in Jakarta and it was an enlightenment! It was like, whatever I had previously suddenly didn't matter anymore. KFC became the golden standard of fried chicken!

My wife likes the original recipe while I prefer the crispy ones, but KFC offers not only these two. From time to time, it would experiment with something else. Some were surprisingly good, others not so. Grilled chicken, for example, didn't have the KFC feel as it looked like something that we could have ordered elsewhere. Parmesan chicken, on the other hand, was beyond expectation. It's also worth noting that, depends on where you are, the signature meal may have a slightly different look. In Indonesia, it comes with rice, but that's not the case in Singapore. The most memorable one thus far was the meal I had in the Philippines. It had gravy!

KFC's parmesan chicken. 

Then of course there are KFC lookalikes. I am not a fan of A&W, but I'll go for its root beer floats, especially when I visit Batam. Texas Chicken had been around for quite some time, too. It's not exactly a favourite, but my friend Bernard and I frequented the one at Star Vista when we had lunch there. Popeyes, another household name that I knew only after I moved to Singapore, serves biscuits that I like. I was craving for it recently (I always thought the last time I had it was after watching Tom Cruise's Edge of Tomorrow in 2014, but Swarm app showed that I still went there in 2016), so I went there with my daughter after church. It was her first time and though she resisted the idea, she ended up liking it after trying.

Apart from those mentioned above, there are others that are not from the US. 4FINGERS is, much to my surprise, from Singapore. I always thought it was a Korean fast food chain. The fried chicken is so tasty, but the problem is once you get past the skin, the meat feels almost tasteless. The tofu rice box might be less known, but it actually tasted really good. Then there's Marybrown from Malaysia that apparently exists in Singapore, too. I think the last time I had it was at Senai Airport, when I travelled with Swee Hin from Johor Bahru to Kota Kinabalu. Another one worth mentioning is Jollibee, the pride of the Philippines! I had it when I visited Manila and Cebu. I remember reading the review saying that Jollibee's fried chicken was better than KFC and when I tried it again at Lucky Plaza, it seemed to be true. The chicken meat was tastier than KFC's!

McGriddles! I'm lovin' it!

KFC also has a signature burger called Zinger, but I'd go to McDonald's for burgers. Yes, McD. Not Burger King and it's Whopper, a favourite of my friend Nicholas. My choice is McDonald's and here's the reason why: McDonald's was not available in Pontianak and throughout my formative years, I always saw the advertisement on Malaysia's TV3! How I wished I could try and the dream came true when I first visited Singapore. I was expecting Big Mac, but I had to make do with a regular beef burger. But sad though it might sound, it was one hell of a beef burger. I loved it then, I love it still. To this day, I still order it. Just the beef burger with a layer of cheese and egg, not the meal set. On top of that, McDonald's Indonesia actually serves Paket Panas that I enjoy eating: rice, fried chicken, fried egg and drink. Good stuff! McDonald's rules!

Now, if KFC is jagonya ayam and McDonald's is the real burger king (love McGriddles so much!), then there are some that are neither nor here nor there. The first one that falls into this category is Long John Silver's. It's supposed to be famous for its fried fish, but yet what I like is the SGD 5 rice set. The other one is MOS Burger. I just went there last week and I wasn't quite sure what to order because the burgers didn't seem to be tempting. Same goes with Wendy's. Only God knows what it is really good at, but I happened to love its chili (the beef stew, not the sauce). It was nice! Too bad Wendy's is already out of business for quite some time in Singapore.

Long John Silver's rice with chilli crab sauce. 

Unlike the three names above, Subway is pretty specialised in selling mainly submarine sandwiches. Coming from a society that needs a plate of rice for every meal, I didn't like Subway at first. Not only it was kind of tough to substitute rice with bread, it also tasted really dry. I tried again in 2016, this time with the combination of sweet onion and BBQ sauce. It was good and I grew to like it since then. That was my proper introduction to a rather healthy fast food. It also prompted me to try Pret a Manger, a popular sandwich shop chain in UK that I first saw on a picture posted by my ex-colleague Vany Hartono. Throughout my visit to London and Paris, I often ate there. The crayfish salad and soup were very good, but I partly love Pret because of the name: it sounds like kampret, which means bat in bahasa Indonesia, haha.

Up until here, you'll notice that fast food restaurants above are selling either fried chicken, burgers, salads or sandwiches. Kungfu, the China based fast food chain, is unique because it sells steamed and soupy Chinese cuisines instead. When we were visiting China, especially during the time in Guangzhou, we went to Kungfu frequently. The food was satisfying. Mum loved especially the warm, white coloured drink with goji berries that tasted a bit like soymilk. When I went to Shanghai last year, I just had to go there again. With the image of Bruce Lee as their logo (but they'd argue that the guy in yellow jumpsuit wasn't him), they surely couldn't go wrong!

Kungfu's breakfast at Shanghai Pudong Airport. 


Makanan Cepat Saji

Cerita ini bermula kira-kira dari sejak pertengahan tahun 80an. Saya mungkin berumur sekitar empat atau lima tahun ketika Mama membawa saya ke sebuah restoran yang tidak jauh dari Dipo, supermarket yang berada persis di posisi Harum Manis sekarang. Di restoran itu kita mencicipi ayam goreng, kentang goreng, sup dan roti. Apa yang disantap itu ternyata menjadi makanan paling sedap bagi seorang bocah kecil di Pontianak di zaman itu! Untuk pertama kalinya saya yang rewel dalam soal makanan ini mengerti nikmatnya makan enak. Ya, sebelum KFC, McDonald's dan lain-lain, American Fried Chicken (yang sering disingkat sebagai AmChick oleh penduduk setempat) adalah restoran pertama yang memperkenalkan makanan cepat saji yang lezat tapi tidak sehat kepada saya dan banyak anak-anak lainnya. Sejak saat itu, saya pun terjerumus!

Meski namanya berbau asing, AmChick sebenarnya adalah merek domestik, bahkan lebih lokal daripada California Fried Chicken (CFC), kompetitor satu-satunya pada saat itu. AmChick hanya ada di Pontianak, sedangkan CFC masih ditemukan di luar Pontianak, meskipun lokasinya mungkin tidak strategis dan terpencil. Oh ya, kalau anda merasa kenapa deskripsi tentang CFC di kalimat sebelumnya terasa negatif, ini karena kualitas makanannya yang tidak begitu mantap. Terakhir kalinya saya membeli CFC adalah Juni 2018, ketika saya berada di Paskal Food Market di Bandung. Saat itu sebenarnya saya menyantap tongseng kambing dan saya hanya mencomot sedikit kentang goreng CFC yang saya belikan untuk anak saya, hehe.

KFC di kota Bath, Inggris. 

Kembali ke AmChick, restoran ini berjaya di Pontianak untuk jangka waktu yang lama. Tantangan sebenarnya baru muncul ketika KFC membuka cabang di Pontianak. KFC memiliki slogan finger lickin' good yang memberikan kesan bahwa ayam gorengnya begitu nikmat sampai kita menjilat jari. Kendati begitu, KFC di senantiasa dipromosikan sebagai jagonya ayam di Indonesia, sebuah julukan yang lebih pantas dan terasa cocok. Saya pertama kali mencoba KFC di Jakarta dan rasanya memang dashyat! Saya jadi lupa seperti apa kenikmatan AmChick yang saya agungkan sebelumnya. Pokoknya ini baru ayam goreng! Semenjak itu KFC menjadi tolok ukur di dunia ayam goreng. 

Istri saya menyukai resep asli Kolonel Sanders, sedangkan saya lebih suka ayam yang garing kulitnya. Akan tetapi KFC tidak hanya menawarkan dua pilihan ini. Dari ke waktu waktu, KFC akan melakukan eksperimen ke publik. Ada yang enak, ada pula yang gagal. Ayam panggang KFC, misalnya. Ada kesan aneh ketika saya mencoba ayam panggang di KFC, sebab terasa tidak seperti sesuatu yang unik dari KFC dan bisa dibeli di tempat lain, misalnya di kedai ayam penyet. Beda halnya dengan ayam goreng parmesan. Kelezatannya sungguh tidak terduga! Menarik untuk dicatat pula bahwa menu khas KFC memiliki sedikit perbedaan dalam penyajiannya, tergantung di mana anda berada. Di Indonesia, KFC menyertakan nasi, tapi tidak demikian halnya di Singapura. Yang paling mengesankan sampai sejauh ini adalah KFC di Filipina. Ada saus kaldu kental yang berwarna coklat!

Menu nasi dan ayam di Popeyes.

Ada banyak lagi restoran cepat saji yang mirip-mirip KFC. Saya bukanlah penggemar A&W, namun bilamana saya ke Batam, terkadang saya menyempatkan diri ke sana untuk menikmati segelas sarsi yang disajikan dengan es krim mengapung di atasnya. Restoran lainnya, Texas Chicken, juga telah lama beredar. Ini juga bukan favorit saya, tapi saya terkadang makan siang bersama teman saya Bernard di cabang Star Vista. Popeyes, nama yang baru saya kenal setelah pindah ke Singapura, menyajikan biskuit yang cukup saya sukai. Baru-baru ini saya ingin mencicipinya lagi (saya selalu mengira bahwa terakhir kali saya makan di Popeyes adalah setelah saya menonton Edge of Tomorrow yang dibintangi Tom Cruise dan dirilis di tahun 2014, tapi aplikasi Swarm menunjukkan bahwa saya masih ke sana di tahun 2016). Lantas saya pun mampir setelah gereja bersama putri sulung saya. Awalnya dia protes karena tidak pernah mendengar tentang Popeyes, tapi setelah dicoba, ternyata dia pun menyukainya.  

Selain nama-nama yang telah disebutkan di atas, masih ada lagi yang lain, yang tidak berasal dari Amerika. Saya baru mengetahui bahwa 4FINGERS ternyata berasal dari Singapura. Awalnya saya kira dari Korea Selatan. Bumbu dan kecap sangat terasa di kulit ayam gorengnya, tapi dagingnya terasa agak hambar. Pilihan lain yang lebih enak namun mungkin tidak begitu terkenal adalah menu nasi tahu. Kemudian ada lagi yang namanya Marybrown dari Malaysia, yang ternyata juga memiliki cabang di Singapura. Seingat saya, terakhir kali saya menjajal Marybrown adalah di Bandara Senai, ketika saya dan Swee Hin bertualang dari Johor Bahru ke Kota Kinabalu. Satu lagi yang sangat layak untuk disebutkan adalah Jollibee, kebanggaan Filipina. Saya mampir di sana saat berada di Manila dan Cebu. Suatu ketika, saya membaca artikel yang mengatakan bahwa ayam goreng Jollibee lebih mantap dari KFC. Ketika saya makan di Lucky Plaza, saya harus mengakui kebenaran berita tersebut. Daging ayamnya lebih menyerap bumbu sehingga lebih kelezatannya lebih terasa.

Ayam goreng dan spaghetti di Jollibee Lucky Plaza. 

KFC juga menjual burger yang bernama Zinger, tapi saya memilih McDonald's kalau urusan burger. Ya, McDonald's, bukan Burger King yang terkenal dengan Whopper, favorit teman saya Nicholas. Kecintaan pada McDonald's ini bermula dari seringnya saya melihat iklan McD di TV3 Malaysia, tapi tidak pernah berkesempatan untuk mencobanya karena McD tidak pernah hadir di Pontianak. Mimpi ini akhirnya menjadi kenyataan ketika saya pergi ke Singapura untuk pertama kalinya bersama orang tua. Saya mengharapkan Big Mac, tapi cuma mendapat burger sapi biasa. Walau kesannya seperti tidak kesampaian, burger sapi itu sangat saya nikmati. Sampai sekarang saya masih memesan burger sapi berlapis keju dan telur. Selain itu, McDonald's Indonesia juga memiliki menu Paket Panas berisi yang saya gemari. Isi paketnya adalah nasi, ayam dan telur goreng serta minuman. Pokoknya ramah terhadap uang di saku dan nikmat pula untuk disantap! 

Nah, kalau KFC itu jagonya ayam dan McDonald's adalah raja burger yang sebenarnya, ada pula kedai makanan cepat saji yang tidak jelas menu andalannya. Yang pertama adalah Long John Silver's. Tempat makan ini harusnya terkenal dengan daging ikan gorengnya, tapi yang lebih saya sukai justru menu nasi seharga SGD 5. MOS Burger juga sama. Saya baru saja ke sana minggu lalu dan saya sempat bingung dengan apa yang harus saya pesan karena burger di menunya tidak terlihat menggiurkan. Demikian juga halnya dengan Wendy's. Saya tidak pernah tahu apa menu utamanya, tapi saya ingat kalau chili (sapi rebus, bukan saus cabe) di sana cukup enak. Sayang sekali Wendy's sudah gulung tikar di Singapura.

Roti lapis isi kalkun dari kedai Subway. 

Berbeda dengan tiga nama di atas, Subway terkenal dengan roti lapis sayur dan daging. Sebagai orang Indonesia yang terbiasa dengan nasi, awalnya saya sama sekali tidak menyukai Subway. Anehnya rasanya makan roti sebagai pengganti nasi, apalagi rotinya terasa kering. Akan tetapi saya coba lagi di tahun 2016, kali ini dengan kombinasi saus bawang manis dan BBQ. Perpaduan ini cocok untuk saya dan sejak saat itu saya sering membeli makanan cepat saji yang konon tergolong lebih sehat ini. Saya juga akhirnya tergerak untuk mencoba Pret a Manger, toko sandwich ternama di Inggris yang pertama kali saya lihat di foto yang diunggah oleh mantan kolega saya. Selama kunjungan saya di London dan Paris, saya sering mampir ke Pret. Salad udang karang dan juga supnya merupakan favorit saya, tapi sejujurnya saya juga menyukai Pret karena namanya yang mirip kampret. Lucu kedengarannya, haha. 

Sampai di sini, anda pasti sudah mengamati kalau yang namanya restoran cepat saji itu rata-rata menjual ayam goreng, burger, salad atau roti lapis. Kungfu, restoran serupa yang berasal dari Cina, menjadi unik karena menunya berbeda. Walau konsepnya tetap cepat saji, yang dijualnya justru makanan Cina yang direbus dan berbasis sup. Sewaktu saya dan orang tua saya berkunjung ke Cina, terutama saat kita berada di Guangzhou, kita sering sekali makan di Kungfu. Enak nian. Mama menyukai minuman berwarna putih yang ditaburi goji beri dan agak mirip rasanya dengan susu kacang kedelai. Ketika saya berkunjung ke Shanghai tahun lalu, saya pun makan lagi di sana. Dengan gambar Bruce Lee sebagai logonya (mereka akan menyangkal bahwa gambar pria berjaket kuning itu bukanlah Bruce Lee, haha), Kungfu sungguh saya rekomendasikan untuk dicoba!

Sarapan bubur Pret di Liverpool.

Thursday, July 11, 2019

The Eleventh Hour

It was almost midnight when the medicine inside the injection tube ran out, causing the machine to beep. I called the nurse for help and, as he replenished the medicine, I suddenly saw Dad lifting up his clenching fists. When both hands fell down on the bed, he seemed to be breathing no more. Because I never saw something like that so up, close and personal, let alone someone with a relationship as close as a father, I stared in disbelief for a while to observe what happened next. But nothing happened, so I nudged the nurse to tell him that from the look of it, Dad had stopped breathing. He did the preliminary checks and then called the doctor for further examination. At 11.20pm, Dad was pronounced dead.

I was stunned by how fragile life was. Dad was still breathing a while ago and a second later, he was gone before my very eyes. Just like that, life was snuffed out of him. There wasn't even a word of goodbye. As I was trying to process the harsh reality, I recalled the moral support from friends earlier that day. Many were ready to help should I need any assistance. Eday, on the other hand, personally encouraged me to be strong for the sake of my Mum because he knew the responsibilities would fall on my shoulder. He told me that I could always grieve later, but for now, I had to put on my brave face.

Hadi and Alvin, few hours earlier at the hospital. 

I pulled myself together and started informing family and friends. Much to my surprise and relief, Endrico phoned me, saying he was heading to the hospital with Alvin. To think that both of them were just with me few hours earlier. I was so thankful when they arrived. They made it possible for me to split the tasks and take care of things. Alvin and I went down to purchase a set of new clothes and a pair of shoes for Dad to wear, then we sorted out the paperwork. Endrico accompanied my mother and brother before sending them back to the hotel. Once we selected the funeral home, we sat outside the morgue, waiting for Dad's body to be injected with formalin, cleansed and dressed up.

It was a really strange affair for me to go through. Everything was so sudden and new. I had mixed feelings. Sad though I was because Dad had died, I was partly relieved that he was no longer suffering. I wasn't even sure if I had to cry. As humor was my way to deal with sadness, I cracked jokes instead with my two friends. Wawa was surprisingly still around on WhatsApp messenger at that ungodly hour, so we chatted and talked nonsense for a while, too. Once the body was out from the morgue, we made our way to the funeral home. After some paperwork and a small request to trim Dad's hair, I headed to Endrico's apartment. It was almost 3am. As we sat down and talked in his living room, the reality sank in. I remember saying this to Endrico, "now I'm a man with no father. I'm a paternal orphan."

The first batch of friends visiting. 

And as the eldest son, this orphan had to do what he had to do for his Dad. Heaven above surely had mercy on me that I didn't have to do it alone. Early in the morning, Mul AW already came to pay respect, then he stayed the whole day, just in case he could be useful. He was a wonderful pair of helping hands indeed. We ran errands together and personally, I was glad to have close friends like him around. Alvin came later on and throughout the entire saga, he was my go-to person. He took care of the arrangements with the preachers and fulfilled all my requests sincerely. May God bless his kindness for it was noble and touching.

The wake was held for the next three days and it was an emotional rollercoaster. I was fine for most of the time, but meeting those familiar faces who knew Dad from long ago could be overwhelming. The sadness would just burst out uncontrollably. Other than that, it was good to meet friends again and a big group of them did come, from Budiman Liwoto who came on the first day morning to Tuty who came last on the second night. It was very nice of them to make time, but I did tell my friends that there were better occasions for us to meet, such as dinner or reunion, therefore funerals shouldn't be the only time we ever hung out together. Last but not least, it was also great to have my wife and kids around at that time. Linda might be too young to understand what had happened, but she surely was the sunshine during this tough time.

My brother and I, heading for burial-at-sea.
Photo by Mul AW.

Then came Sunday, Dad's last day on earth. There was this awful feeling as I watched his coffin being pushed into the furnace. I couldn't help thinking that for all the good Dad did for me, I was very guilty for being the son who got him incinerated. It was also my duty to let go the bag of ashes into the sea, reducing the last bit of his earthly presence into nothingness. It was one unpleasant memory, really.

That's how Dad's story ended in this mortal world and, on the flip side, this is how I coped with the loss. I didn't keep things inside. I wrote stories about them instead as part of the healing process. At the same time, I'd also like to humbly say thanks to family and friends who had helped in any way they could. You guys were brilliant and what you had done was greatly appreciated. I'd like to express my deep gratitude to Endrico as well. Not only he offered me a place to stay when I clearly needed one, he was also my dinner and breakfast buddy. Most importantly, he was there as a friend in need (though he often jokingly said that I'd receive the bill in USD) and I'm very thankful for that...

The last breakfast together before I headed back to Pontianak.



Saat-Saat Terakhir

Tengah malam hampir tiba ketika obat di tabung injeksi habis dan membuat mesinnya berbunyi. Saya memanggil perawat dan selagi dia mengisi kembali obatnya, tiba-tiba saya melihat Papa mengangkat kedua tangannya yang terkepal. Ketika dua tangan itu rebah tanpa daya ke ranjang, Papa terlihat berhenti bernapas. Saya tidak pernah melihat peristiwa kematian sedekat ini, terlebih lagi peristiwa meninggalnya seorang kerabat keluarga yang dekat hubungannya, jadi untuk beberapa saat saya terpana, mengamati dan menanti apa yang terjadi selanjutnya. Namun tidak ada yang terjadi pada Papa sehingga saya pun bergumam pada perawat di sebelah saya bahwa Papa sepertinya tidak bernapas lagi. Dia lantas memeriksa Papa dan memanggil dokter jaga untuk memastikan apa yang telah terjadi. Pada pukul 11.20 malam, Papa dinyatakan meninggal. 

Saya tertegun melihat betapa rapuhnya kehidupan ini. Sesaat lalu Papa masih bernapas dan kemudian dia meninggal di depan mata saya. Kehidupan sirna dari tubuhnya begitu saja. Tidak ada ucapan perpisahan atau apa pun. Sewaktu otak saya berusaha mencerna realita ini, saya teringat lagi dengan dukungan moral yang saya terima dari teman-teman. Banyak yang siap membantu jika saya membutuhkan sesuatu, namun masukan dari Eday sedikit berbeda. Dia justru mengingatkan saya apabila yang terburuk terjadi, saya harus tetap tegar karena tanggung jawab untuk mengurus semua ini akan jatuh di pundak saya. Dia berkata bahwa saya selalu bisa berduka nanti, tapi untuk saat ini, saya harus teguh dalam menjalaninya.

Endrico di Dharmais. 

Inilah saat-saat yang ia maksudkan. Papa telah meninggal. Saya pun mulai mengabarkan berita ini pada keluarga dan teman-teman. Di luar dugaan, Endrico menelepon dan memberitahukan pada saya bahwa dia dan Alvin segera menuju ke rumah sakit. Saya terkejut, sebab mereka baru saja datang menjenguk beberapa jam yang lalu. Kendati begitu, saya juga bersyukur karena keberadaan mereka membuat saya bisa berbagi tugas. Alvin dan saya turun ke bawah untuk membeli pakaian yang akan dikenakan oleh jasad Papa, kemudian kita berdua mengurus surat administrasi di rumah sakit. Endrico menemani ibu dan adik saya, lalu mengantarkan mereka kembali ke hotel. Setelah saya memilih rumah duka, kita duduk di depan ruang jenazah sementara jenazah Papa dimandikan dan disuntik formalin. 

Ini adalah pengalaman yang aneh bagi saya. Semuanya terasa baru dan mendadak. Perasaan saya terasa bercampur-aduk dan saya bahkan tidak yakin bahwa saya ingin menangis. Ya, saya sedih Papa telah tiada, namun juga lega karena dia kini terbebas dari sakit yang dideritanya. Karena humor adalah cara saya untuk menghadapi banyak hal dalam hidup ini, saya bercanda sebisanya bersama teman-teman. Wawa juga masih beredar di WhatsApp saat itu, jadi saya pun turut bergurau dengannya. Ketika jasad Papa akhirnya keluar dari ruang jenazah, kita pun berangkat ke rumah duka. Setelah registrasi dan mengajukan permintaan kepada pengurus supaya perias jenazah merapikan rambut Papa, saya pulang bersama Endrico ke apartemennya. Jam menunjukkan waktu hampir pukul tiga pagi saat kita duduk dan berbincang di ruang tamu. Setelah memiliki waktu untuk menerima apa yang sebenarnya terjadi dalam beberapa jam terakhir ini, saya pun berkata kepada Endrico, "saya adalah seorang pria yang tidak memiliki ayah. Sekarang saya adalah anak yatim."

Bersama teman-teman di pagi hari kedua.

Dan sebagai putra sulung, anak yatim ini harus mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk ayahnya. Yang di atas bermurah hati pada saya karena saya tidak harus menghadapi semuanya seorang diri. Di pagi hari, Mul AW sudah datang untuk memberikan penghormatan terakhir, lalu ia memutuskan untuk membantu ini-itu sepanjang hari. Kehadirannya sungguh meringankan beban saya. Alvin juga datang tidak lama setelah Mul dan dia menjadi koordinator dalam banyak hal. Semua itu mereka lakukan dengan ikhlas. Saya hanya bisa berharap bahwa Tuhan melihat dan berkenan dengan kebaikan mereka sehingga terberkatilah mereka. 

Masa berkabung berlangsung selama tiga hari dan ini adalah masa-masa yang sangat emosional. Saya cenderung baik-baik saja sepanjang waktu, tapi harus saya akui bahwa saat bertemu dengan mereka yang mengenal Papa dari sejak dulu bisa terasa sulit. Kesedihan di dalam hati bisa tiba-tiba muncul mengguncang tubuh. Di luar itu, saya senang bisa bertemu dengan teman-teman lagi. Banyak dari mereka yang datang, mulai dari Budiman Liwoto yang datang pada pagi hari pertama sampai Tuty yang terakhir datang di malam kedua. Kepada mereka saya sempat berpesan bahwa masih banyak kesempatan yang lebih menyenangkan bagi kita untuk berkumpul, misalnya saat makan malam atau reuni, jadi hendaknya jangan sampai kita hanya berkumpul kalau ada yang meninggal. Saya juga senang karena istri dan anak-anak bisa datang pada hari kedua. Linda mungkin terlalu muda untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi sedikit banyak dia mengurangi rasa duka di hati saya karena keceriaannya.

Rombongan teman di malam terakhir. 

Kemudian tibalah Minggu, hari Papa dikremasi. Ada perasaan begitu berduka saat saya melihat peti matinya didorong ke dalam tungku pembakaran. Saya jadi berpikir bahwa untuk semua kebaikan yang pernah Papa berikan, saya malah menjadi anak yang membakar tubuhnya hingga menjadi abu. Saya bahkan melarutkan tumpukan abu itu ke dalam lautan sehingga apa yang tersisa darinya pun lenyap begitu saja. Ini bukanlah suatu kenangan yang menyenangkan. 

Demikianlah kisah Papa di dunia fana ini berakhir. Di satu sisi, demikianlah pula saya menyesuaikan diri dengan rasa kehilangan. Saya tidak menyimpannya di hati, melainkan mencurahkannya dalam bentuk tulisan karena bercerita membuat saya lega. Pada kesempatan ini, saya juga ingin berterima kasih kepada pihak keluarga dan teman-teman yang telah membantu dengan segala cara dan upaya. Bantuan anda semua sangat saya hargai. Juga kepada Endrico, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk budi baiknya, mulai dari tempat tinggal serta waktu dan juga persahabatannya (walau dia sering berujar kalau saya akan segera menerima tagihan darinya dalam mata uang USD)...

Santap malam mie bakso rusuk.