Total Pageviews

Translate

Tuesday, November 24, 2020

Book Review: The Travels Of Marco Polo

Marco Polo was, probably, the first travel blogger, except he didn't write it himself. Yes, I just knew it after I picked up the book. I thought it was like from one traveller to another, so I read his book. It turned out that the Travels was written by another guy named Rustichello da Pisa. Marco was jailed in Genoa when he shared his story with his fellow inmate. Their collaboration eventually became the book that shook the whole Europe.

In order to understand the significance, imagine the time before Google and AirAsia. The travels happened long ago in early 1270s. Not many were crazy enough to travel that far to the East, or to the West, if we were talking about the Asians. It took years and the journey was perilous. There were deserts and bandits, not to mention warring kingdoms. As a result, people from both sides of the planet vaguely knew there were other kingdoms on the opposite side, but due to lack of contacts, they barely knew what was going on there. 

Those that made it and returned home safely, they didn't tell their story or didn't do a good job in doing so. In fact, the first Polo to reach Cathay (North China) was Marco's father and uncle, Niccolò and Maffeo, but yet they didn't bother to write a book about it. What Marco did in jail to pass time was, perhaps, the most important coincidence that changed the world. It inspired Columbus and many more explorers after him.

Now, after hearing all the hype, how was the book like? I had to say it was pretty boring, haha. I struggled reading it and almost fell asleep pretty often. The writing style was descriptive and Marco Polo himself was mentioned only in passing. The focus was more on each city he visited, for example what the culture was like (some were nice, some allowed strangers to sleep with their wife and daughters, etc.) and whether they were idolaters, Christian or Mahometan (the latter meant Islam, but throughout the book, Marco called them Mahometan). After reading the same info over and over again, you'd roughly get the idea and tend to skip those pages with similar content. 

If I needed such info, I'd browse Wikipedia. But if I looked at it from the perspective of people from Medieval time, this book was beyond the wildest dream. Marco told a tale about cities that were unheard of by people at that time. Names as foreign as Khanbaliq and Shangdu (which would be known to the world as Xanadu) that filled up a book as thick as 300 pages, they couldn't be just some fantasy, could they? The mystery was probably what sold the book.

For modern day's readers such myself, first and foremost, it was the travels that were charming. Marco travelled from Europe to Israel, Armenia, Iran, Afghanistan, Uzbekistan, Tajikistan, from the driest land to the highest snowy mountains, before entering Cathay from Xinjiang. Then when he was in China, he travelled not only in Cathay, but also went to Manzi (Southern China). He even visited Tibet and Myanmar, where he heard of people from Bengal. But scholars couldn't help noticing that Marco actually failed to mention about the Great Wall. 

Anyway, whether he was really there or not, his story about the journey back to Venice was equally mind-blowing. He told about this island called Japan. He sailed from Cathay to Vietnam and then Sumatra (from the route, it was unlikely that he ever visited Java, but he probably heard of it and included Java in his story, too). After that, he continued to Sri Lanka, India and Iran. From there, he headed to Turkey and back to Europe.

Crazy, huh? What made the journey even crazier was, together with his father and uncle, he became the honorable guests of Kublai Khan, the greatest emperor of his time. If you'd like to know how great the emperor was, the Mongol Empire covered part of Europe (Russia included), Persia (that's Iran) and China (even kingdoms as far as Vietnam paid tribute to the Great Khan). So, yeah, Marco literally got a friend in a high place and he offered a glimpse of how history could have been different. 

As mentioned earlier, Nicollò and Maffeo Polo were the first Italians to reach Cathay. The reason why they left was partly because the Great Khan asked them to sent a letter to the Pope. Kublai Khan was curious about Christianity and he requested the Pope to send 100 missionaries, but the problem was, Pope Clement IV already died when the Polo brothers reached Europe. The new Pope was only elected when Nicollò and Maffeo began their journey with Marco, so in a rush, he only managed to secure two friars whom immediately ran for their life in the face of danger.

Years later, if Marco's account was to be trusted, the Great Khan did say that he couldn't be a Christian because unlike any idolaters from India, the Christian people didn't seem to be capable of doing magic. As the Great Khan, Kublai simply couldn't afford to be seen as endorsing the weakest religion. Too bad, eh? If only things went well, it'd be interesting to see how China looked like these days...

The story is ancient, the book is also old!




Ulasan Buku: Perjalanan Marco Polo

Marco Polo bisa dikatakan sebagai blogger pertama tentang kunjungan ke luar negeri, hanya saja dia ternyata tidak menulis sendiri ceritanya. Ya, saya baru tahu setelah saya baca bukunya. Sebagai sesama pelancong, suatu hari saya terpikir untuk membaca karyanya. Setelah saya simak, ternyata buku ini sebenarnya ditulis oleh pengarang yang bernama Rustichello da Pisa. Sewaktu Marco dipenjara di Genoa, Marco mengisahkan petualangannya kepada teman satu sel. Kolaborasi mereka inilah yang akhirnya menjadi buku yang mengguncang Eropa.

Untuk memahami betapa berpengaruhnya buku ini, anda harus bayangkan zaman sebelum Google dan AirAsia. Perjalanan ini terjadi berabad-abad silam di awal tahun 1270an. Saat itu tidak banyak yang nekad untuk pergi sejauh itu ke arah Timur bumi ini, atau Barat, kalau kita lihat Eropa dari sudut pandang orang Asia. Butuh waktu bertahun-tahun lamanya dan bahaya pula perjalanannya. Para pedagang yang berangkat harus melewati banyak padang pasir dan senantiasa dihadang para bandit. Belum lagi kalau mereka terjebak di tengah dua kerajaan yang sedang berperang. Karena sulitnya perjalanan, orang-orang dari dua sisi bumi ini tahu bahwa ada kerajaan lain nun jauh di sana, tapi terselubung oleh misteri karena minimnya kontak. Bagi orang Eropa, bangsa Mongol ini disebut Tartar karena mereka terkenal kejam bagaikan penghuni Tartarus yang berarti neraka dalam mitologi Yunani.

Jika ada beberapa gelintir pengelana yang berhasil mencapai Timur Jauh dan kembali dengan selamat, mereka tidak bercerita atau mengisahkan perjalanan mereka dengan baik. Bahkan Niccolò dan Maffeo Polo, ayah dan paman Marco yang lebih dulu mencapai Cathay (Cina Utara) tidak pernah berpikir untuk menulis buku. Apa yang Marco ceritakan saat berada di penjara menjadi suatu kebetulan yang luar biasa penting dalam mengubah sejarah peradaban manusia. Kisahnya menjadi inspirasi bagi Columbus dan penjelajah yang bermunculan setelahnya.

Nah, setelah mendengarkan ulasan betapa berpengaruhnya buku ini, sebenarnya seperti apa isinya? Jujur saya katakan bahwa buku ini sangat membosankan, haha. Saya berjuang menahan kantuk saat membaca. Penulisannya bersifat deskriptif dan Marco Polo sendiri hanya disinggung secara selintas di beberapa bagian buku. Jadi fokus buku ini lebih kepada kota yang ia kunjungi, misalnya seperti apa budaya kota tersebut (ada yang sopan, ada yang barbar, ada pula yang memiliki tradisi mempersilahkan orang asing untuk berhubungan intim dengan istri dan putrinya) dan juga agama yang dianut penduduk setiap kota (apakah mereka penyembah berhala, Nasrani atau Mahometan alias Islam). Setelah membaca informasi yang sama berulang-ulang, saya jadi cenderung melewati halaman yang kurang lebih sama isinya. 

Terus-terang saja, kalau saya butuh info seperti itu, saya akan cari di Wikipedia. Namun orang Abad Pertengahan tidak memiliki internet dan bagi mereka, buku ini sungguh mencengangkan. Marco bercerita tentang negeri asing di ujung dunia dengan kota-kota yang aneh namanya, seperti Khanbaliq dan Shangdu (yang kemudian lebih dikenal sebagai Xanadu). Kisah setebal 300 halaman ini tidak mungkin hanya sekedar dongeng belaka, bukan? Misteri inilah yang mungkin membuat pembaca terinspirasi. 

Bagi pembaca zaman sekarang seperti saya, yang paling mengesankan adalah petualangan Marco Polo. Dia datang dari Eropa ke Israel, lalu melintasi Armenia, Iran, Afghanistan, Uzbekistan, Tajikistan. Dia berkelana melewati gurun yang paling kering serta gunung yang tinggi dan bersalju sebelum memasuki Cathay dari Xinjiang. Tatkala berada di Cina, dia tak hanya mengunjungi kota-kota di Cathay, tapi juga pergi ke Manzi (Cina Selatan), Tibet dan Myanmar.  

Meskipun mereka yang terpelajar meragukan Marco karena dia tidak pernah berkomentar tentang Tembok Raksasa Cina, apa yang dia kisahkan cukup akurat. Perjalanan pulangnya pun tidak kalah serunya. Dia bercerita tentang negeri di seberang lautan yang bernama Jepang. Dia berlayar dari Cathay ke Vietnam dan Sumatera (dari rutenya, sepertinya Marco tidak singgah ke Jawa, tapi mungkin dia mendengar tentang pulau ini, lalu dimasukkan pula ke dalam ceritanya). Selanjutnya dia meneruskan perjalanan laut ke Sri Lanka, India dan Iran. Dari sini, dia kembali ke Eropa lewat Turki.  

Luar biasa, bukan? Tapi yang lebih dashyat lagi adalah posisinya sebagai tamu kehormatan Kublai Khan yang tersohor. Kalau anda ingin tahu sehebat apa kekuasaan Kublai Khan pada saat itu, Kekaisaran Mongolia mencakup sebagian Rusia dan Eropa, Persia dan seluruh Cina. Bahkan kerajaan sejauh Vietnam pun mengirimkan upeti kepada Kublai Khan. Jadi teman Marco ini bukan teman sembarang teman. 

Di sini Marco mengisahkan sepenggal cerita yang nyaris mengubah Asia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Nicollò and Maffeo Polo adalah orang-orang Italia pertama yang mencapai Cathay. Mereka kembali ke Eropa karena diminta Kublai Khan untuk mengantarkan surat ke Paus di Roma. Khan Agung ini tertarik dengan ajaran Yesus dan di dalam suratnya, ia meminta agar Paus mengirimkan 100 orang misionaris. Masalahnya adalah, sewaktu kakak beradik Polo tiba di Eropa, Paus Clement IV sudah wafat. Penggantinya baru terpilih setelah Nicollò dan Maffeo memulai perjalanan kembali ke Cathay bersama Marco. Karena tergesa-gesa, Paus yang baru ini hanya sempat memanggil dua orang biarawan. Di kala keluarga Polo dihadang bahaya di awal perjalanan, dua biarawan ini lari terbirit-birit meninggalkan mereka.

Beberapa tahun kemudian, berdasarkan cerita Marco, Kublai Khan berkata padanya bahwa dia tidak bisa memeluk agama Nasrani karena penganutnya biasa-biasa saja, tidak seperti pemuja berhala dari India yang bisa sihir. Apa kata dunia kalau seorang Khan memilih agama yang tidak kelihatan sakti? Jika saja sejarah berkata lain, hari ini Cina mungkin menjadi negara Katolik terbesar di dunia... 

Saturday, November 14, 2020

City Vs. Nature

I woke up with this thought in mind: city or nature? Gosh, I must have missed traveling so much! I just had to get this out of my system, didn't I? So what will be the answer? To me, it's obvious. I love cities, but that's not to say I simply dislike nature. It's more complicated than that. 

Between the two options, I didn't really have good experiences with nature. The few trips I had, including Temajo and Boracay, were not exactly enjoyable. Perhaps I didn't really know how to appreciate the beauty of nature. To me, it was like, "okay, it's nice, but what should we do next?" 

Island hopping in Boracay. I don't think I enjoyed this, haha.
Photo by Yani Evelyn Robinson. 


I remember that as a kid, I had a three-hour car ride from Pontianak to Pasir Panjang. Once we reached there, all that I saw was a long stretch of sandy beach with endless waves came into shore. We were under the sun, playing with the waves, but it was only a matter of time before it started to get boring. It was the same with Temajo. Time passed really slow when we were supposed to relax and I felt inept when we started exploring the island. Being adventurous in the wilderness just wasn't for me. I was very much a city boy that my fondest memories in Boracay were sisig, the band that sang November Rain and the Da Vinci Code that was showing on TV.

I found it not sustainable to only go for nature. The story would be different if the sightseeing was part of the itinerary. For example, I cherished the visit to Chocolate Hills in Bohol and the time in Xihu, Hangzhou. The former was unique and the latter was majestic, but most importantly, I spent just the right amount of time to admire their beauty and by the end of the day, I got to go back to the city I originally visited to do another things.

In Chocolate Hills. Don't mind the expression. It was the sun!
Photo by Yani Evelyn Robinson.

So, yeah, pure nature just didn't work for me. Cities were better, but to be more precise, what I meant here were modern cities that are big and safe. Tokyo and Osaka were excellent examples. Not only it was easy to get around thanks to the extensive metro system, it also felt safe even at night (I somehow remember Dōtonbori). Choices of food were abundant. Attractions were aplenty and easily reachable. The good coverage of Google Maps was definitely a great help for me to explore the city.

Less advanced cities such as Yangon or Surabaya were notably harder to navigate around as they lacked of metro systems. Luckily, this problem was more or less resolved by Uber and Grab. But still these cities weren't pedestrian-friendly, which was too bad. As of why this mattered, that's because I loved walking since a long time ago. Back when I was living in Pontianak, I used to walk around with my friend Parno. Then, in Singapore, walking had become part of life. 

Exploring Singapore on foot with Endrico and Parno.

Up until here, you might have noticed that I mentioned metro twice. I just loved this transportation! It was practical and you wouldn't go wrong with it. Language barrier wouldn't be an issue here, because you just had to look at the map. The same reference was also useful in planning the route we would be taking. 

To summarize the answer of city vs. nature, I'd say this: always planned for cities with a slight detour to nature! I remember Hiroshima and the visit to Miyajima. I remember Guilin and the visit to Yangshuo. They were cool and memorable.

Cruising on the Li River, Yangshuo.
Photo by Yani Evelyn Robinson.



Wisata Kota Atau Alam?

Seminggu lalu saya terbangun dengan pertanyaan ini di benak saya: wisata kota atau alam? Sepertinya saya memang sudah butuh jalan-jalan sehingga sampai terbawa mimpi, haha. Kalau sudah seperti ini, saya perlu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Jadi apa jawabannya? Bagi saya pribadi, saya lebih suka kota, tapi tidak lantas berarti saya tidak suka alam sama sekali. 

Di antara dua pilihan ini, saya tidak memiliki pengalaman yang menyenangkan tentang wisata alam. Beberapa liburan yang saya lalui, termasuk masa-masa di Temajo and Boracay, tidak begitu saya nikmati. Ini mungkin karena saya tidak begitu mengerti cara menikmati keindahan alam. Rasanya seperti, "oh ya, bagus sekali, tapi apa acara berikutnya?" 

Berlayar dari pulau ke pulau di Boracay. Saya tidak begitu menikmati ini, haha. 
Foto oleh Yani Evelyn Robinson. 


Sewaktu kecil, saya pernah menempuh jalan darat selama tiga jam dari Pontianak ke Pasir Panjang. Tatkala sampai di sana, sepanjang mata memandang, yang terlihat adalah pantai pasir dan ombak yang menggulung tiada henti ke arah saya. Di bawah terik matahari, saya diajak menikmati terjangan ombak, tapi lama-kelamaan bosan juga. Sama halnya ketika di Temajo. Waktu berjalan pelan saat kita bersantai di pantai. Saat kita menjelajahi pulau, saya justru merasa tidak bisa berbuat banyak di lingkungan yang begitu asing bagi saya. Bertualang di alam benar-benar tidak cocok bagi saya karena saya cenderung memiliki karakter anak kota, sehingga kalau bicara tentang Boracay, yang terkenang oleh saya adalah sisig, grup musik yang membawakan lagu November Rain dan film Da Vinci Code yang kebetulan ditayangkan di TV.

Pokoknya liburan yang hanya berkunjung ke alam terasa tidak memiliki pesona yang tahan lama dan saya pun akan merasa bosan karena tak lagi tertarik. Akan berbeda halnya jikalau menikmati pemandangan alam adalah bagian dari rute perjalanan. Sebagai contoh, saya senang dengan kunjungan singkat ke Chocolate Hills di Bohol dan juga waktu yang saya habiskan di Xihu, Hangzhou. Yang pertama terlihat unik dan yang satunya lagi benar-benar bagus dan damai. Namun yang lebih penting lagi adalah, setelah puas menikmati keindahan alam, saya bisa kembali ke kota dan mengerjakan hal lainnya. 

Di Chocolate Hills. Abaikan ekspresi saya. Ini karena sinar matahari!
Photo by Yani Evelyn Robinson.

Jadi saya lebih menyukai kota. Lebih tepatnya lagi, saya suka kota-kota modern yang besar dan aman, misalnya Tokyo dan Osaka. Di kota seperti ini, mudah bagi kita untuk pergi ke mana-mana karena sistem kereta yang ekstensif. Selain itu juga tidak terasa was-was di malam hari (saat menulis ini, saya teringat dengan Dōtonbori). Pilihan makanan pun berlimpah. Atraksi ada di berbagai sudut kota dan mudah dijangkau. Di kota maju, Google Maps juga akurat sehingga nyaman bagi saya untuk menjelajah. 

Kota yang masih agak terbelakang seperti Yangon atau Surabaya tidaklah begitu praktis untuk jalan-jalan karena tidak memilik sistem kereta bawah tanah. Untung saja sekarang ada yang namanya Uber atau Grab. Kendati begitu, kota-kota ini tidak ramah pejalan kaki. Ini menjadi masalah karena saya senang berjalan kaki. Dari sejak di Pontianak, saya biasa berjalan kaki bersama teman saya Parno. Kemudian, di Singapura, kebiasaan ini menjadi bagian hidup sehari-hari. 

Berjalan kaki menjelajahi Singapore bersama Endrico dan Parno.

Sampai di sini, anda mungkin memperhatikan bahwa saya menyebut sistem kereta dua kali. Saya suka metode transportasi ini! Begitu gampang untuk digunakan dan bahasa pun tidak menjadi kendala, karena anda hanya perlu melihat peta. Jalur-jalur kereta ini juga sangat berguna untuk merencanakan rute keliling kota. 

Akhir kata, jawaban dari pertanyaan wisata kota atau kota bisa disimpulkan seperti ini: yang paling seru adalah liburan ke kota yang juga diselingi kunjungan ke alam. Saya ingat dengan Hiroshima dan persinggahan di Miyajima. Saya juga ingat dengan Guilin dan saat saya mampir ke Yangshuo. Benar-benar mengesankan. 

Berlayar di Li River, Yangshuo.
Foto oleh Yani Evelyn Robinson.

Thursday, November 12, 2020

Muscles Don't Lie

I'm 40 something, half way to 50 years old, hahaha. Due to this awesome age, I have to be cautious with what I consume everyday. I need to put on more effort to shape up. Hi, it's me, Parno. It's been a while since I wrote a story of my life. 

In 2019, our high school friend successfully transformed his body to a six-pack dude 😁 and this became a topic in high school chat group. We wanted to shape up and live a happy life, therefore we challenged ourselves. The reward was Bruce Lee's iconic yellow costume. I was encouraged and inspired by the role model Eday Ng. 

After that, I joined the WhatsApp group for bodybuilding where all the members were determined to shape up with cardio exercise, jogging, anything! Every week I had to take the picture of my tummy as a proof of our daily exercise. I got so tired but I knew muscles didn't lie, so I focused again. But a week later, there was still no result while my body was feeling like being torn apart. I started to get used to this habit, though. I felt that my body was getting lighter, but the tummy remained the same and it looked just like this, haha.

Sexy body.


My activities went on for the next three months and the result was facinating. I managed to reduce my weight from 68kg to 65kg. I felt reliable. I seldom fell sick, that's the most important one. But about your tummy, get real, haha. Face it. Muscle don't lie. 

I'm still the same old Parno 😁 and in this 2020, the year of pandemic, I still maintain my body. My daily exercise is from Monday to Friday, one hour of work out per day. I do jumping jack, running on the same spot, sit up and push up, then close it with plank. Try it at home, I guarantee it's working.  

PS: in the end, I still got kicked out from the group by the role model 😂

Thursday, November 5, 2020

Night Safari

Since traveling was strictly not allowed, life in the time of corona meant you gotta make do with what Singapore had to offer. Shortly after Phase Two began, we explored the country and visited the places I never thought I'd go before, from Jurong Lakeside Gardens, the Animal Resort to Admiralty Park. 

In the midst of all these visits, I suddenly thought of bringing my daughter to Night Safari. She had never been there before and it'd been a while since the two of us travelled together. Oh yes, the last time we did that, she was still chubby and short-haired. She was a lovely 5-year-old girl when we went to Hong Kong in early 2018. 

To the Night Safari!

Three birthdays had passed since then and my daughter was now eight years old. She was very much aware of this world than before, but yet more interested in YouTube and all sorts of things that one could find on a mobile phone. In a short period of time, she had changed a lot, so it'd be good for me to spend time with my little girl again. 

So off we went to Night Safari. Apparently there was a bus to Khatib MRT station that went via highway and we could also continued with a shuttle bus from there, hence the journey was rather smooth. We reached there right on time for dinner, therefore we went to KFC as planned.

The tram ride. 
 
Our zoo time began with a tram ride. I remember when I first had a ride in 2006. The thing with Night Safari for the first timer is, you won't know what to expect. The darkness will make you wonder, will the animals roam freely and suddenly appear next to you? I stared at my daughter as she observed her surroundings curiously. 

By the way, to answer the question above, the tapir did appear out of nowhere. It was both a nice surprise and a humbling experience. There was this feeling that we were really out of our depth when we passed by the woodland at night. The animals were in their element while we had to look high and low to find them. 

Exploring the Wallaby Trail. 

The second leg of the Night Safari was exploring the trails on foot. We started with Wallaby Trail and then East Lodge Trail, where we took a break for a while. My daughter was excited as we talked about nocturnal animals. Oh yes, she knows the term nocturnal, something that she learnt after she kept hamsters as pets.

For those of you who didn't get it, nortunal means active at night. If you ever thought of why the lions were just lying on the ground when you saw them at the zoo, that's because they are nocturnal. We saw both Asiatic and African lions while we were there, but her favorite animal was the sugar gliders, haha.

Ice cream time!

While we were at East Lodge, we had ice creams. I guess, in a way, a father's role is to spoil his daughter like the princess she is. Yes, a father is to instill manners and bring the best behavior out of her, but in a good day, it's anything she wants. Can't help it, really. How to say no? So, yeah, no mother would buy her daughter an ice cream at 8pm, but a Dad surely would!

And the journey continued from East Lodge to Leopard Trail and Fishing Cat Trail. There was still some energy left in her when we stepped into Mangrove Walk enclosure as she'd like to see the bats, the animal known to her as the carrier of coronavirus. But the bats flew past us swiftly. In the dark of the night, we could have a glimpse of something flying from one end to another, but we never had a clear look of the creatures.

Sharing a cup of slushy at Ulu Ulu Restaurant. 

My daughter lost her interest after that. It had been quite a long walk for her, so she felt tired and wanted to go home instead. Not even a pangolin or a gharial could save the night, so we headed to the exit.

Before going home, we had a cup of slushy, the flavored ice that causes brain freeze if you drink it too fast, haha. It was around 9pm at night. What was forbidden by Mum, was overruled by Dad for this occasion, haha. It was good to hang out with my little girl again. She grows up so fast that I may not have many chances left!

The map of Night Safari.


Night Safari

Karena liburan ke luar negeri tidak diijinkan pada saat ini, hidup di masa korona berarti beradaptasi dengan wahana yang ada di Singapura. Tak lama setelah Fase Dua dimulai, saya dan keluarga berkunjung ke tempat-tempat yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya, seperti Jurong Lakeside Gardens, Animal Resort dan Admiralty Park. 

Dari berbagai pilihan yang ada, lantas terpikir oleh saya untuk membawa putri saya ke Night Safari. Dia belum pernah ke sini dan dua tahun sudah berlalu terhitung sejak kita terakhir kali berlibur berdua. Linda berumur lima tahun,  masih tembem pipinya dan pendek rambutnya ketika kita berlibur ke Hong Kong di tahun 2018. 

Di bis dari Khatib menuju ke Night Safari. 

Tiga ulang tahun sudah berlalu semenjak itu dan kini dia berusia delapan tahun. Wawasannya tentang dunia kian luas, tapi ketertarikannya pada YouTube dan hal-hal yang berkaitan dengan handphone semakin menjadi-jadi pula. Dalam waktu singkat, dia sudah berubah banyak, jadi saya ingin menghabiskan waktu berdua bersamanya lagi sebagai seorang ayah dan putrinya. 

Jadi kita pun berangkat ke Night Safari. Dari belakang rumah, ada bis yang langsung menuju stasiun MRT Khatib melalui jalan tol. Dari Khatib, ada bis jurusan kebun binatang sehingga perjalanan ke sana pun menjadi praktis dan tepat waktu. Kita tiba di sana tepat pada jam makan dan kita pun bersantap malam di KFC seperti yang telah direncanakan.  

Naik trem keliling kebun binatang.

Petualangan di Night Safari dimulai dengan keliling naik kereta. Sambil menatap putri saya mengamati sekelilingnya dengan penuh rasa ingin tahu, saya jadi teringat dengan pengalaman pertama saya di tahun 2006. Dalam kegelapan malam, saya jadi menduga-duga, apakah binatang-binatang itu dibiarkan berkeliaran dan bisa tiba-tiba muncul di samping kita? 

Bila anda ingin tahu jawabannya, di malam itu ada tapir yang mendadak terlihat di samping kiri kereta. Suatu kejutan dan juga pengalaman yang bersahaja. Terasa bahwa manusia itu tidak berdaya di tengah gelapnya malam dan lebatnya pepohonan. Hewan-hewan ini berada di elemen mereka sementara kita harus celingukan dan mencari di mana sebenarnya mereka berada. 

Menjelajahi Wallaby Trail.

Bagian kedua dari Night Safari adalah menjelajahi kebun binatang dengan berjalan kaki. Setelah kereta berhenti di tempat semula, kita mulai menyusuri Wallaby Trail dan East Lodge Trail. Putri saya bercakap-cakap dengan riang tentang hewan nokturnal. Oh ya, dia tahu arti nokturnal. Ini adalah kata yang baru dia pelajari setelah memelihara hamster.

Bagi anda yang tidak tahu, nokturnal artinya aktif di malam hari. Jadi kalau anda pernah merasa heran kenapa singa biasanya hanya berbaring saja saat anda lihat di kebun binatang, itu karena singa adalah hewan nokturnal. Di Night Safari, kita melihat singa Asia dan Afrika, tapi coba tebak apa binatang favorit Linda? Wupih sirsik alias sugar glider, haha.

Menikmati es krim di East Lodge.

Sewaktu kita tiba di East Lodge, Kita menikmati es krim sejenak. Saya jadi berpikir bahwa peran seorang ayah itu adalah memanjakan putrinya seperti seorang putri raja. Ya, seorang ayah berkewajiban untuk memastikan putrinya memiliki perilaku yang baik dan sopan, tapi di saat santai, sang ayah akan memberikan apa saja yang putrinya mau. Susah untuk menolak, haha. Sepertinya tidak ada ibu yang akan membelikan putrinya es krim jam delapan malam, tapi ayah akan mengabulkannya!

Dari East Lodge, Kita lanjut ke Leopard Trail dan Fishing Cat Trail. Linda masih terlihat cukup antusias saat kita melangkah masuk ke Mangrove Walk. Dia ingin melihat kelelawar, hewan yang diyakininya sebagai penyebar korona. Akan tetapi kelelawar melintas dengan cepat di kiri-kanan kita. Di bawah cahaya lampu di malam hari, kita hanya bisa melihat sesuatu yang melayang melewati kita, tapi tidak terlihat jelas bentuknya. 

Berbagi slushy di Ulu Ulu Restaurant. 

Putri saya pun lelah setelah lama berjalan. Rute yang kita tempuh tergolong cukup panjang dan dia merasa cape. Bahkan trenggiling dan buaya gharial tidak lagi menarik perhatiannya, jadi kita pun berjalan ke arah pinti keluar. 

Sebelum pulang, kita sempat beristirahat sejenak sambil menikmati segelas slushy, es parut rasa anggur yang dinginnya akan terasa sampai di otak bila kita minum terlalu cepat, haha. Saat itu jam sudah menunjukkan lebih dari pukul sembilan malam. Apa yang biasanya dilarang Mama, diijinkan oleh Papa di malam ini. Senang rasanya bisa bertualang berdua bersama putri saya lagi. Dia tumbuh begitu cepat sehingga mungkin tidak banyak lagi kesempatan yang tersisa buat saya! 

Monday, October 26, 2020

The Curious Skill Of Walking Away

I think it's safe to say that I'd been doing IT troubleshooting for the past two decades. From college, Kalbe days, till now. I could tell you that there was an inexplicable fun in solving problems. Of course some days could be so miserable that I had to questioned myself, how on earth did I end up with this job again? Life as an IT man was pretty unpredictable that there was never a boring moment. That's what kept me going, I reckon.

Along the way, I learnt many things. Some weren't technical at all, including the one that I'd like to share with you today. This particular skill was rather unique and I couldn't say if I had mastered it properly, because it was a rather contradicting one. In order to understand why I said so, allow me to take one big round to explain.

You see, oftentimes, when I was so engrossed in troubleshooting, there was this lingering feeling that I was so close to solving it. Perhaps it got to do with my ego and, unfortunately, ego was a double-edged sword. As I pushed myself to carry on trying, I either made it or was misled even further from the truth.

This is where the skill of walking away became useful. I first stumbled upon this in college, when I got a problem with the html coding. I didn't really recall how or why I decided to walk away, especially from something as important as a dissertation for college degree, but it must be really bad that I really couldn't go any further. 

Much to my surprise, new ideas came rushing in not long after I stopped trying. I then realized that I had taken a wrong turn that the harder I tried, the worse it got. By walking away and letting go, albeit reluctantly, I accidentally gave myself a chance to look at things from a different angle.

I couldn't speak for others, but prior to this event, I often heard that giving up was so shameful that it was not even an option. Nobody told me that I could walk away for a while. Furthermore, this act of walking away was not the same as giving up. It was more like losing a battle, but you'd eventually return and win the war. 

Later on in life, I also learnt that the same skill was also useful in responding to others. To be specific, some emails could be downright rude and they pissed you off. Replying them immediately while you were angry might have a disastrous impact. You were not in the right mind and your judgement was clouded, therefore it was wiser for you to walk away. Just go and take a leak or something. You'd be surprised how this actually gave you time to process the unpleasant information and react to it in a better way. 

By now, hopefully you got the idea that walking away was not necessarily a negative or wrong thing to do. Doing so might actually provide you the solution you had been looking for. But like I said earlier, it wasn't a skill that came naturally, at least not for me. My biggest challenge was, sometimes I didn't always know when to stop. That, perhaps, is another skill that I've yet to learn, haha.

Do I stop or carry on?
Photo by Nicholas Tham.




Keahlian Dalam Berhenti Sejenak Dari Masalah

Kalau saya lihat kembali, rasanya tidak salah untuk berkata bahwa saya sudah bergelut di bidang IT troubleshooting selama dua dekade. Ya, mulai dari kuliah, waktu di Kalbe, sampai hari ini. Apa yang saya kerjakan ini memberikan kesenangan tersendiri. Tentu saja ada juga hari-hari yang begitu buruknya sehingga saya jadi bertanya sendiri, kenapa saya memilih profesi ini. Akan tetapi hidup seorang IT tidak pernah membosankan, terutama karena ada saja aneka masalah yang bermunculan setiap hari. Saya kira tantangan inilah yang membuat saya suka dengan pekerjaan saya. 

Selama 20 tahun ini, saya belajar banyak hal. Tidak semua bersifat teknis, termasuk juga apa yang hendak saya bagikan ini. Keahlian ini agak unik dan saya sendiri tidak begitu menguasainya. Untuk memahami kenapa saya berkata demikian, mari simak penjelasan berikut ini.

Yang namanya troubleshooting itu sangat menyita perhatian dan senantiasa ada kesan kalau masalah yang dihadapi sepertinya akan segera teratasi. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan ego yang tak ubahnya seperti pedang yang tajam di dua belah sisinya. Semakin saya memaksakan diri untuk tetap mencoba, bisa jadi peluang saya untuk berhasil menjadi semakin besar. Di satu sisi, kalau saya salah langkah dari sejak awal, yang terjadi justru saya kian terjerumus lebih dalam lagi.  

Di situasi seperti inilah keahlian untuk berhenti sejenak dari masalah itu berguna. Saya pertama kali menyadari hal ini ketika saya menghadapi masalah dalam pemrograman html di semester terakhir kuliah. Saya tidak ingat lagi kenapa saya memutuskan untuk berhenti, terutama saat mengerjakan hal sepenting skripsi. Mungkin saja saat itu saya sudah benar-benar merasa buntu.  

Ketika saya melangkah pergi dari komputer, mendadak ide-ide baru bermunculan. Saya tertegun, lalu menyadari bahwa saya sudah keliru dari sejak awal, sehingga semakin dikerjakan, semakin salah pula jadinya. Ketika saya berhenti sejenak, secara tidak sengaja saya memberikan kesempatan bagi saya sendiri untuk melihat kembali apa yang saya kerjakan dari sudut pandang yang berbeda. 

Saya tidak tahu apakah anda sering mendengar tentang hal ini, tapi sedari kecil, saya sering mendengar bahwa menyerah itu adalah perbuatan yang memalukan. Menyerah itu bukan pilihan. Akan tetapi tidak pernah ada yang memberitahukan kepada saya bahwa sebenarnya saya bisa berhenti sejenak. Lebih penting lagi, berhenti sejenak itu tidak sama dengan menyerah. Mungkin lebih cenderung menyerupai kekalahan dari suatu pertarungan, tapi akhirnya kita akan kembali dan memenangkan pertempuran. 

Ketika usia saya kian bertambah, saya mengamati bahwa keahlian yang sama juga bisa dipergunakan saat kita hendak merespon pendapat orang lain. Lebih spesifik lagi, yang namanya email kantor itu kadang ada yang kasar isinya dan mengesalkan pula. kalau kita jawab langsung saat emosi kita terpicu, bisa saja timbul kesalahpahaman yang sebenarnya bisa dielakkan. Di saat seperti ini, lebih baik kita menjauh sebentar. Mungkin ke toilet dan kencing saja dulu, haha. Dalam waktu singkat, anda akan merasa lebih tenang dan bisa mencerna informasi dengan lebih rasional. Alhasil, anda pun bisa menyikapinya dengan lebih baik. 

Sampai sejauh ini, saya harap anda mengerti bahwa berhenti sejenak dari masalah yang sedang anda hadapi bukanlah sesuatu yang negatif. Justru sebaliknya, mungkin saja anda menemukan solusi yang tadinya anda cari-cari. Namun seperti yang saya jelaskan sebelumnya, keahlian ini bukanlah sesuatu yang terasa alami bagi saya. Tantangan terbesar saya adalah, terkadang saya tidak tahu kapan saya harus berhenti. Mungkin saja ini adalah sesuatu yang masih harus saya telaah dan pelajari, haha. 

Sunday, October 18, 2020

Book Review: Tintin

I told you before that comics were quite a permanent fixture in my childhood. In hindsight, the fact that I love reading might be started by this hobby of comics reading. I was lucky that a small town such as Pontianak had so much for kids to read. Back in the 80s and 90s, I read American comics featuring both DC and Marvel superheroes as well as Disney characters like Scrooge McDuck, European comics such as Smurf, Hong Kong manhua that was started by Tiger Wong and a lot of Japanese manga, for example One Piece.
 
During that period, I noticed Tintin, too. I remember browsing through Destination Moon at my cousin's house. However, I wasn't a fan back then. Tintin had too much words to read, haha. Furthermore, it wasn't as funny as Asterix. It was only much later in life that I started to appreciate Tintin. The girl I liked, who turned out to be my wife now, was an avid fan. That's when I began reading Tintin again.

The framed covers Yani bought in Vietnam.

Now, the girlfriend effect aside, Tintin was actually cool. Of course Tintin wasn't as crazy as Asterix (anyway, one was Belgian, the other was French, haha), but he was just as adventurous. When I bought Yani the Adventures of Tintin that collected three stories in one book, I read it, too. I was impressed by the Broken Ear. Even the title sounded mysterious! That's when I found out that Tintin was fascinating, too.

Fast forward to year 2020, I suddenly saw an ad on Facebook that a Tintin box set, collecting stories from Tintin in America to Tintin and the Picaros, was offered at only SGD 55. To think that the usual price is about SGD 210 on bookdepository.com or USD 108 on Amazon.com! Yes, it wasn't a complete box set and I had no idea why Tintin in the Land of the Soviets, Tintin in Congo and Tintin and Alph-Art were excluded. But still it was a good deal, so I grabbed the box set immediately. 

The book I bought for her. It was through this book that I read the Broken Ear for the first time.  

That's how my adventure with Tintin resumed. The first book, Tintin in America, felt very odd and disjointed, but then it got better. The Blue Lotus was an early masterpiece. Chang, the Chinese character in the story, was actually based on Hergé's lifelong friend. He would reappear again 25 years later, this time in a story called Tintin in Tibet. This was also another good entry.

Now, how did I know this background story? Well, every time I finished an episode, I checked it out on Wikipedia. Some of Tintin's adventures, including the Blue Lotus, were very old that they were actually written before World War II. It portrayed events that happened during that period. Early stories felt stereotyping at times, but Hergé did his homework and his writing from the Blue Lotus onwards outgrew this kind of storytelling. 

Our latest Tintin box set and its content!

Apart from this, Hergé's effort in making his story as realistic as possible in the era before internet is also worth noting. Case in point, 15 years before Neil Armstrong became man on the moon, Tintin and friends set foot there and had a mind-blowing adventure. For a comic book, the details and accuracy were quite impressive.

Talk about Tintin's friends, one simply couldn't ignore the fun of having Captain Haddock around. He and his penchant for cursing made the story alive. My favourite is bashi-bazouk! I mean, how's an Ottoman soldier a curse word? Haha. Then there were Thomson and Thompson that provided, to be precise, a hilarious one liner.

Tintin did have a lot of recurring characters, be it bad guys or good guys. This, coupled with adventures such Prisoners of the Sun (another grand title that I like), the Castafiore Emerald (an unusual adventure at home) and Flight 714 to Sydney (Tintin's visit to Jakarta), is what made Tintin great. For a series that is almost 100 years old, it's amazing how Tintin stays readable and relevant. 

When the books are lined up, they spell Tintin!



Ulasan Buku: Tintin

Saya pernah bercerita sebelumnya bahwa komik senantiasa mengisi masa kecil saya. Kalau saya lihat kembali, hobi saya dalam hal membaca mungkin dimulai dengan komik. Saya beruntung karena meski kecil kotanya, Pontianak memiliki aneka komik bagi anak-anak tahun 80an. Saya membaca komik Amerika yang menampilkan para pahlawan super DC dan Marvel. Selain itu ada juga komik Disney seperti Donal Bebek dan Paman Gober. Lalu ada lagi komik Eropa seperti Smurf, komik Hong Kong seperti Tiger Wong dan komik Jepang seperti One Piece
 
Di masa ini saya juga sempat membaca sekilas tentang Tintin. Saya ingat bahwa saudara saya memiliki buku yang berjudul Ekspedisi ke Bulan. Akan tetapi Tintin panjang dialognya sehingga banyak yang harus dibaca, haha. Lagipula Tintin tidak selucu Asterix yang saya gemari pada saat itu. Setelah beranjak dewasa, saya baru kembali menyimak Tintin. Gadis yang saya sukai, yang kemudian menjadi istri saya, adalah penggemar Tintin. Dari sinilah saya mulai membaca Tintin lagi. 

The framed covers Yani bought in Vietnam.

Tanpa efek seorang pacar pun Tintin tetap enak dibaca. Ya, cerita Tintin memang tidak segila Asterix (jelas beda karena satu dari Belgia, satunya lagi dari Perancis, hehe), tapi seperti halnya Asterix, Tintin juga bertualang ke banyak tempat. Ketika saya membeli the Adventures of Tintin untuk Yani, saya juga membaca kisahnya dan terpesona dengan Patung Kuping Belah. Judulnya berkesan misterius! Dari buku inilah saya mulai menyukai Tintin. 

Kira-kira sebulan yang lalu, saya melihat iklan tentang koleksi Tintin di Facebook. Kumpulan ceritanya berawal dari Tintin di Amerika sampai dengan Tintin dan Picaros. Harganya cuma SGD 55 atau sekitar 600 ribu rupiah. Sekedar perbandingan, koleksi Tintin yang serupa dijual seharga SGD 210 (2,3 juta rupiah) di bookdepository.com atau USD 108 (1,6 juta rupiah) di amazon.com. Jadi iklan Tintin yang dijual di Shopee ini benar-benar banting harga. Ya, koleksi yang satu ini tidak menyertakan Tintin di Soviet, Tintin di Kongo dan juga Tintin dan Alph-Art, namun tetap saja menarik dengan harga semurah itu, jadi saya langsung memesan satu set.

Buku yang saya beli untuk Yani.  Lewat buku inilah saya membaca kisah Patung Kuping Belah untuk pertama kalinya.

Saya lantas melanjutkan lagi petualangan bersama Tintin. Kisah pertama, Tintin di Amerika, terasa seperti penggalan cerita yang digabung menjadi satu dan tidak terlalu berkesinambungan. Kendati begitu, Lotus Biru yang merupakan kisah ketiga di buku pertama adalah sebuah karya yang bagus. Chang, bocah Cina yang muncul di tengah cerita, terinspirasi dari teman baik Hergé yang juga sama marganya. Setelah episode ini, Chang muncul lagi 25 tahun kemudian di dalam cerita Tintin di Tibet. Ini juga kisah yang menakjubkan. 

Oh ya, mengapa saya bisa tahu latar belakang Chang? Setiap kali saya menyelesaikan satu cerita, saya membaca tentang sejarahnya di Wikipedia. Beberapa petualangan Tintin, termasuk Lotus Biru, ditulis sebelum Perang Dunia II. Kisah Tintin menampilkan peristiwa yang terjadi pada saat itu. Ada kalanya karya awal Hergé terkesan stereotip, namun Hergé lantas melakukan riset dan tulisannya mulai sejak Lotus Biru kian menjauhi stereotip pada saat itu. 

Kumpulan kisah Tintin.

Selain itu, upaya Hergé dalam membuat cerita yang akurat dan realistis di era sebelum internet juga menarik untuk dicatat. 15 tahun sebelum Neil Armstrong menjejakkan kaki di bulan, Tintin dan teman-temannya sudah menjelajah permukaan satelit bumi kita ini. Untuk ukuran komik, detil dan keakuratannya sangat mengesankan. 

Berbicara tentang teman-teman Tintin, adalah Kapten Haddock yang membuat cerita menjadi lebih hidup. Saya suka sumpah serapahnya yang tidak karuan dan favorit saya adalah bashi-bazouk. Frase ini sebenarnya berarti prajurit bangsa Ottoman yang berasal dari Turki, haha. Kemudian ada lagi. Thomson dan Thompson, dua detektif yang tidak kompeten dan lucu komentarnya. 

Tintin memiliki banyak tokoh yang muncul berulang kali, baik karakter baik maupun jahat. Hal ini, ditambah lagi dengan petualangan yang menarik seperti Tawanan Dewa Matahari (satu lagi judul yang mistis dan mengesankan), Zamrud Castafiore (satu-satunya petualangan yang terjadi di rumah Kapten Haddock) dan Penerbangan 714 (Tintin mampir ke Jakarta), adalah alasan kenapa Tintin memang memukau. Untuk serial yang hampir berumur 100 tahun, luar biasa rasanya bahwa Tintin masih relevan dan enak dibaca. 

Kalau bukunya diurut, akan tereja nama Tintin!

Wednesday, October 14, 2020

The Mystery Of Staying Healthy

When I suggested to my daughter to turn off the aircon, she often replied me this, "you are from Pontianak, Papa. That's why you can stand the heat."

I'd smile when I heard that. I reckon there was some truth in her innocent comment. I don't recall complaining about the weather in Singapore and I certainly could sleep soundly without aircon at night. 

Furthermore, come to think of it, the concept of turning on the aircon just for us to hide beneath the comforter were a rather strange behaviour. It was like trying to stay warm in a room conditioned to be below 20 degrees. What a struggle! We might as well switch off the aircon and sleep without any blankets.

And that's exactly what I did last December, when my family went back to Bandung. Since I slept alone, I had the liberty of not switching on the aircon. I noticed that when the night was hot, there was this feeling that I had slept for long hours, though in reality it was only two or three hours. I knew this because sometimes I checked my phone when I woke up to drink water. After midnight, the temperature normally dropped and I really had a good sleep. It got even better when it was raining! Since then, I enjoy sleeping without aircon again. It felt just nice.

Right around the same time, I had a trip to Semarang with high school friends. I knew we'd hang out till late at night, so I took vitamin C as an antioxidant and a way to boost up immunity. Simply put, I didn't wish to fall sick, but long after holiday was over, the habit continued. My work could be stressful and long hours at times. Since I didn't eat fruits regularly, I thought vitamin C would help.

Now, up until here, you might be wondering why I'd been telling you two seemingly unrelated events. The truth is, I used to suffer from the complete package of illness every two or three months: sore throat, runny nose and fever. However, it'd been close to a year since I first did two things I mentioned above and I never fell sick thus far. I still sneezed a bit sometimes, but I had neither sore throat or fever. It was unprecedented! 

I don't really know which one is the main contributing factor of me being so healthy. There were times when I thought that perhaps it got to do with the mindset. I mean, yes, vitamin C might have done its job, but let's not discount the fact that I might have been subconsciously telling myself I always felt healthy after consuming vitamin C. Talk about the power of suggestion!

I did a basic check-up recently and the result was good, so there was no side effect of taking vitamin C for the past 10 months. It'd been quite unbelievable and miraculous, I'd say, because I never expected to be in such a good health for almost one year. I hadn't even touched my 14 days sick leave entitlement yet! What I did worked out well for me, so if this story makes any sense to you, feel free to give it a try!


Vitamin C and aircon.


Misteri Kesehatan

Setiap kali saya menyarankan putri saya untuk mematikan AC, dia sering menjawab saya seperti ini, "tapi Papa berasal dari Pontianak, makanya bisa tahan cuaca panas." 

Saya tersenyum saat mendengar celotehannya yang polos itu. Mungkin ada benarnya juga. Saya tidak ingat kalau saya pernah mengeluh tentang cuaca di Singapura dan saya tetap bisa tidur nyenyak tanpa AC di malam hari.

Kalau dipikirkan lebih lanjut, konsep menyalakan AC dan lantas bersembunyi di balik selimut itu sebenarnya agak janggal. Kita jadi seakan-akan mencari kehangatan di dalam ruangan yang kita atur temperaturnya sehingga berada di bawah 20 derajat. Akhirnya jadi semacam perjuangan! Daripada repot begitu, kenapa tidak kita matikan saja AC-nya dan tidur tanpa selimut? 

Dan ini yang saya lakukan di bulan Desember lalu, ketika istri dan anak-anak pulang ke Bandung. Karena tidur sendiri, saya memiliki kebebasan untuk tidak menyalakan AC. Saya amati bahwa di kala panas itu saya rasanya sudah tidur lama sekali, padahal kenyataannya cuma dua atau tiga jam. Saya bisa mengetahui hal ini karena saya memiliki kebiasaan untuk mengecek telepon genggam saat terbangun untuk minum air putih. Di tengah malam, cuaca akan berubah menjadi dingin dan jadi enak untuk tidur. Bilamana malam itu hujan, akan lebih nyenyak lagi tidurnya. Sejak itu, saya kembali menyukai tidur tanpa AC. Rasanya pas!  

Di saat yang hampir bersamaan, saya berlibur bersama teman-teman SMA ke Semarang. Saya tahu bahwa kita akan berbincang hingga larut malam, jadi saya rutin meminum vitamin C sebagai antioksidan yang berguna untuk menjaga imunitas tubuh. Kebiasaan ini lantas berlanjut. Pekerjaan saya terkadang panjang waktunya dan saya senantiasa harus berpikir cepat dan fokus untuk memecahkan masalah. Karena saya jarang makan buah, saya pun konsumsi vitamin C secara rutin. 

Sampai di sini, anda mungkin heran, kenapa saya bercerita tentang dua hal yang sepertinya tidak saling berkaitan ini. Jujur saya sampaikan bahwa sebelum ini, saya sering sakit tenggorokan, batuk, pilek dan demam setiap dua atau tiga bulan sekali. Namun sekarang, semenjak saya mulai melakukan dua hal di atas, hampir setahun lamanya saya tidak pernah sakit lagi. Terkadang saya masih bersin sedikit terutama di pagi hari, ketika bangun tidur, tapi tidak lagi sakit tenggorokan, batuk, pilek dan demam. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. 

Saya tidak tahu persis apa yang menjadi faktor utama dari kesehatan yang prima ini. Ada kalanya saya jadi merasa apakah ini hanya kekuatan pikiran semata, hehe. Ya, vitamin C memang ada khasiatnya, tapi mungkin juga kebiasaan mengkonsumsi vitamin C ini menjadi sugesti tanpa sadar bagi saya sehingga selalu merasa sehat. 

Baru-baru ini saya melakukan check-up tahunan dan hasilnya bagus. Tidak ada dampak negatif dari konsumsi vitamin C selama 10 bulan terakhir ini. Rasanya sulit dipercaya dan ajaib, sebab tidak pernah terpikirkan bahwa saya akan sesehat ini. Saya bahkan belum pernah cuti sakit sekalipun sepanjang tahun ini. Nah, jika semua ini terdengar masuk akal dan membuat anda terinspirasi, silahkan dicoba!