Total Pageviews

Translate

Sunday, March 24, 2019

All You Need Is Love

One night, a friend in our chat group asked if I ever fell in love before back in high school days. A very intriguing question with an obvious answer, I told him yes, I did. However, in a world where the sequence was you gotta be handsome or else you gotta be rich or else you gotta be smart and I was none of those, obviously there were better choices out there. The presence of these potential boyfriends rendered me an obscured one, so there I was, tough luck in romance and leading a loveless life throughout high school, haha.

The intriguing part of his question was, in retrospect, I realised that not only I fell in love many times, but more often than not, that feeling subconsciously encouraged me to give my very best. I'm this type of people, apparently. I love, therefore I do. Otherwise, I'd be very reluctant to do anything at all.

The very first example of such occasions happened years ago, when I was in primary three. There was this girl, a very smart girl that I used to like, but I was always too shy and timid that I was like, "should I just go and talk to her? No, no, I need an opening." That opening turned out to be four months later, when I was the top student of the class and she was the second. I remember standing together with her after the announcement and, being the best, I finally had my chance to talk to her confidently. Love, or the very premature version of it, made that happen. I was academically alright and definitely not a genius, but for that few months, I was so self-assured and doing really well. But once the mission was accomplished, there was no motivation to study that hard anymore. After that, I was ranked second, then third and never again I achieved number one since then, haha.

The thing with love is, it changes you for the better. In certain cases, love can be a life-changing experience. I was once a laid-back person, pretty happy with my day job as an IT staff at Kalbe Farma and I spent most evenings as an aspiring writer. I never really thought too much about future until I met my future wife. She was a product manager at that time and I certainly got quite a bit to catch up if I wanted to be someone that she could rely on. That's when I quit my job, started anew in Singapore and the rest is history. Some people dreamt big and they made a difference. Others, like me, we got better simply because we were in love and tried to do something about it. After what I went through, I surely could understand why John Lennon once sang, "all you need is love." He was right! It just worked wonders!

Now, back to the first paragraph above, it must be interesting to know if I ever looked back and regretted for not being able to be with the girls I used to like before. Truthfully, no. Despite my antics, I believe that only the best happened in life. That's why I'm with my wife now, not other women. I am grateful and I remember telling my wife something like this: you know the saying that love is blind? It was true and I gotta be so madly in love back then that I didn't realise some girls really talked a lot. Looking back, while it must be sad then, it's a good thing that nothing ever worked out. I'd rather live a peaceful life than having a wife that talked incessantly!

The truth is written on the wall!
Photo by Endrico Richard. 


Apa Yang Anda Perlukan Adalah Cinta

Suatu malam, seorang teman di grup WhatsApp bertanya apakah saya pernah jatuh cinta pada saat SMU. Pertanyaannya menarik. Saya lantas mengiyakannya. Akan tetapi di dunia dimana urutan pilihannya adalah anda harus tampan, kalau tidak maka anda harus kaya, kalau tidak maka anda harus pintar, sepertinya lebih banyak pilihan yang lebih baik dari saya di masa SMU. Keberadaan para cowok potensial ini membuat saya menjadi tersisih, jadi saya tidak memiliki kisah kasih di sekolah, haha. 

Kendati begitu, yang menarik dari pertanyaan teman saya ini adalah, kalau saya lihat kembali, saya bukan saja jatuh cinta berulang kali, tetapi perasaan tersebut juga sering mendorong saya untuk menjadi versi yang lebih baik dari diri saya. Ternyata saya adalah tipe orang seperti ini. Jika saya mencintai seseorang, maka saya akan melakukan sesuatu. Kalau saya tidak suka, saya cenderung tidak ingin melakukan apa pun. 

Contoh paling pertama dari peristiwa yang saya jabarkan di atas terjadi bertahun-tahun silam, ketika saya duduk di kelas tiga SD. Ada seorang teman wanita yang pintar dalam pelajaran sekolah dan saya ingin sekali mengajaknya bicara, tetapi saya terlalu malu untuk melakukannya. Di dalam hati saya bertanya, "apakah saya hampiri begitu saja dan ajak bicara? Tidak, tidak, saya butuh kesempatan emas." Dan kesempatan tersebut datang beberapa bulan kemudian, ketika saya adalah murid terbaik di kelas dan dia adalah juara kedua. Saya berdiri di depan bersamanya pada saat pengumuman kejuaraan dan sebagai juara pertama, saya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara padanya dengan penuh percaya diri. Adalah cinta atau versi prematur dari perasaan tersebut yang membuat semua itu terjadi. Saya tidak terlalu pintar dalam bidang akademis dan saya jelas bukan seorang jenius, tapi pada saat itu, saya begitu percaya diri dan semua pelajaran terasa enteng. Setelah misi tercapai, motivasi saya perlahan-lahan memudar. Prestasi saya pun menurun jadi juara kedua, ketiga dan akhirnya saya tidak pernah lagi menjadi juara satu sejak itu, haha.

Kelas tiga SD Gembala Baik. Saya berada di paling kanan foto, sebelah murid berkacamata. 

Cinta bisa mengubah anda menjadi lebih baik dan bahkan bisa menjadi sebuah pengalaman yang mengubah hidup anda. Saya dulunya adalah seorang yang santai, saya menikmati pekerjaan saya sebagai karyawan IT di Kalbe Farma dan saya menghabiskan waktu di malam hari untuk mengejar impian saya sebagai penulis. Saya tidak pernah memikirkan masa depan sampai saya bertemu dengan wanita yang akhirnya menjadi istri saya. Saat itu dia sudah menjadi seorang manajer produk dan saya lantas menyadari bahwa saya harus berusaha lebih keras lagi jika saya ingin menjadi orang yang bisa diandalkannya. Karena inilah saya berhenti dari Kalbe, kembali memulai lagi dari awal di Singapura dan apa yang terjadi selanjutnya sudah anda ketahui dari cerita-cerita lain di Roadblog101. Di dalam hidup ini, ada yang bermimpi dan menggapai impian mereka. Ada pula yang seperti saya, yang hanya jatuh cinta dan berusaha melakukan sesuatu untuk mewujudkannya. Setelah apa yang saya lalui, saya jadi mengerti kenapa John Lennon menyanyikan lirik, "all you need is love." Dia benar, yang anda butuhkan adalah cinta! Banyak hal menakjubkan yang bisa terjadi karena kekuatan cinta!

Kembali ke paragraf pertama, tentunya menarik untuk mengetahui apakah saya pernah melihat kembali dan menyesal bahwa saya tidak bisa bersama dengan teman wanita yang saya sukai dulu. Meski saya sering bercanda tentang hal ini, saya rasa saya tidak pernah terlalu memikirkannya, apalagi sampai menyesal. Saya percaya bahwa hanya yang terbaik yang terjadi dalam hidup ini. Karena inilah hari ini saya bersama istri saya, bukan wanita yang lain. Saya bersyukur dan suatu ketika saya pernah berkata padanya: tahu kenapa ada pepatah yang mengatakan bahwa cinta itu buta? Saya rasa itu benar dan saya pastilah benar-benar tergila-gila pada saat jatuh cinta sehingga tidak menyadari bahwa beberapa wanita yang saya sukai itu senantiasa bicara tiada henti. Untung dulu tidak jadi. Saya lebih memilih kehidupan yang tenang daripada seorang istri yang mengoceh tak henti-hentinya!

Wednesday, March 20, 2019

The Hotels

If I had to rate myself, I reckoned my lifestyle had been pretty humble. I didn't wear expensive branded stuff. Apart from my love for BlackBerry, I didn't spend much money on electronic gadgets. I'd also been wearing only two decent Seiko watches since 2008. The first one was given by my girlfriend, the second one was given by my wife last year to replace the first one (by the way, both my girlfriend and my wife happened to be the same woman). If there was ever a slightest hint of luxury in my life, it must be my fondness of staying at the hotels. It's clean, it's comfortable and I like being spoiled by the cozy feeling of it!

Assuming that my memory didn't fail me, the first hotel I ever stayed at was Hotel Peninsula Mangga Besar. It might not be a great hotel by today's standard, but I was four and it was my first hotel during my first trip to Jakarta, so it was cool! Then, when I went to Kuching few years later, the first overseas hotel I stayed at was Hua Kuok Inn. Looking back, it was just a budget hotel, but when you were just a kid and you went abroad for the first time, you'd be too happy to worry about such trivial matters, haha. By the way, both hotels are still around today.

James Wu at Ibis, the 3-star hotel.

I started noticing the star rating system when I worked at Kartika Hotel in 1998. It had two stars. Wisma Siantan Indah, owned by the same boss and located across Kapuas River, didn't have any stars. The grandest hotel in Pontianak at that time was the 3-star Kapuas Palace and Mahkota Hotel. Then, as I traveled, I formulated this thought that 1-star was passable, 2-star was not bad, 3-star was okay, 4-star was the safest bet and 5-star was good to have sometimes.

One of the most memorable 1-star hotels I ever checked-in to was the one in Ho Chi Minh City. It was in 2009, before we knew about Agoda, so I'm pretty sure it was a walk-in. The front desk was manned by a receptionist that struggled with his English, breakfast was ordered from the stall next door, but our room was clean and since it was meant to be a budget trip anyway, it was alright. The 2-star hotels are, for instance, Pop! Hotel and Amaris Hotel in Indonesia. The interior design is modern and the rooms are compact, just nice for one person. Not that you can't fit two people in, but it'll be better if the second person got his own room, haha. Ibis hotels are typically 3-star hotels. Slightly spacious with minimum amenities. 4-stars is your entry level to the luxury treatment. Just think of Novotel or Mercure and you'll get the idea of how different it is: very nice and relaxing. Finally, the 5-star, let's just say that I'd save them for special occasions such as honeymoon (Millennium Resort in Phuket), pampering my daughter (Disney's Hollywood Hotel in Hong Kong) or when I felt like it (Radisson Blu in Cebu). Oh yeah, for travelling purpose, you may want to search for and compare both 3-star and 4-star. The 3-star hotels aren't necessarily bad and some 4-star hotels could be as cheap as other 3-star hotels, so do your homework!

Linda at ryokan-type of room in Hakone.

Certain hotels had themes. For example, Japan had capsule hotels and ryokan. I tried one in Kanda area, one stop away from Tokyo Station, and while it was only rated 1,5 stars, it was actually alright and the experience was rather interesting. It was like sleeping in a coffin with a TV set attached to it. I always bumped my head onto the low ceilings as I wasn't used to it, haha. The showering time was also challenging, especially when I had to share the space with four or five naked people. It was just not part of Indonesia culture! Ryokan, on the other hand, was quite comfortable. If you ever watched the Doraemon series, it was exactly like Nobita's room, a classic Japanese bedroom with tatami mat. Kinda cool!

And our hotel story doesn't end there. In the recent years, staycation was actually a thing. I did it once. Instead of travelling, my family and I had a short getaway by staying at D'Resort in Pasir Ris, Singapore. It had family-oriented rooms with themes such as Amazonian Jungle and Underwater. My daughter loved the room because it had bunk beds for her, the one thing that she always talked about at that point of time. The whole idea of staycation was to have a change of environment just for a short while and it was kind of refreshing. Definitely worth trying it, especially when you only had a little time to spare.

Now, we'd gone this far and I hadn't mentioned anything abut AirBnB. If you ever wondered why, that's because I had a very limited experience with AirBnB. However, if the idea was to stay with the host, I doubted that I'd enjoy it. In a life where we wouldn't have any chance to bring the money we earned to our next life, it wasn't a bad idea to spend a bit more than usual to reward ourselves after one year long of hard work. In my case, that favorite state of great comfort and elegance happened to be called the hotels...

When we were having staycation. 


Tentang Hotel 

Jika saya harus menilai gaya hidup saya sendiri, saya rasa saya cukup sederhana. Saya tidak memakai barang bermerk yang mahal. Selain kecintaan saya pada BlackBerry, saya hampir tidak pernah menghamburkan uang untuk membeli barang-barang elektronik. Saya juga hanya mengenakan dua jam Seiko biasa dari sejak tahun 2008. Jam tangan yang pertama adalah hadiah dari pacar saya dan yang kedua diberikan istri saya tahun lalu sebagai gantinya setelah jam tangan yang pertama rusak (oh ya, pacar dan istri saya ini kebetulan adalah wanita yang sama, hehe). Bila ada sedikit jejak bahwa saya juga menyukai sesuatu yang mewah, maka itu adalah kegemaran saya dalam menginap di hotel. Ya, saya suka kesannya yang bersih, nyaman dan elegan.

Seingat saya, hotel tempat saya pertama menginap adalah Hotel Peninsula Mangga Besar. Hotel ini mungkin tidak tergolong sebagai hotel bagus di zaman sekarang, tapi saat itu saya adalah bocah berumur empat tahun yang baru pertama kali bepergian ke Jakarta, jadi benar-benar takjub dengan yang namanya hotel. Kemudian, ketika saya mengunjungi kota Kuching, hotel luar negeri yang pertama kita tempati adalah Hua Kuok Inn. Kalau saya lihat kembali, hotel ini hanyalah hotel biasa, tapi di saat anda hanyalah seorang bocah yang pergi ke luar negeri untuk pertama kalinya, anda tidak akan memikirkan seberapa mahal hotelnya, haha. Sebagai informasi, dua hotel ini masih beroperasi sampai sekarang.

Di Hua Kuok Inn, Kuching. 

Saya mulai mengerti yang namanya sistem bintang di dunia perhotelan ketika saya bekerja di Kartika Hotel pada tahun 1998. Hotel tersebut memiliki dua bintang. Wisma Siantan Indah, yang kebetulan sama pemiliknya dan terletak di seberang sungai Kapuas, tidak memiliki bintang. Hotel paling bagus di Pontianak pada saat itu adalah Kapuas Palace dan Mahkota Hotel yang berbintang tiga. Sewaktu saya mulai berlibur ke manca negara, perlahan-lahan terbentuk sudut pandang bahwa bintang satu itu pas-pasan, bintang dua itu tidak terlalu buruk, bintang tiga itu layak huni, bintang empat itu pilihan paling aman dan bintang lima itu pantas dicoba untuk kesempatan tertentu. 

Salah satu pengalaman yang paling berkesan untuk hotel bintang satu adalah ketika saya mengunjungi kota Ho Chi Minh di tahun 2009. Ini adalah masa sebelum saya mengenal Agoda dan seingat saya, kita masuk dan memesan kamar secara langsung. Resepsionisnya tidak begitu menguasai bahasa Inggris. Sarapan paginya pun dipesan dari toko sebelah. Kendati begitu, kamar kita bersih dan harganya pun sesuai dengan isi kantong para pengelana. Kalau hotel bintang dua, contohnya adalah Pop! Hotel and Amaris Hotel di Indonesia. Tata ruangnya modern dan kamarnya kecil, cocok untuk satu orang yang sedang bepergian. Sebenarnya dua orang pun muat di kamar hotel ini, tapi alangkah baiknya kalo teman kita ini memesan kamar sendiri, haha. Untuk bintang tiga, contohnya adalah Ibis Hotel. Sedikit lebih luas kamarnya dan dengan sarana yang minimum. Hotel bintang empat adalah level dimana kemewahan hotel mulai terasa. Novotel dan Mercure bisa dijadikan referensi dan anda akan mengerti bahwa hotel-hotel berbintang empat ini cenderung terasa nyaman dan santai. Untuk bintang lima, saya biasanya hanya memesan kamar untuk saat-saat istimewa, misalnya sewaktu berbulan madu (Millennium Resort di Phuket), berlibur bersama putri saya (Disney's Hollywood Hotel di Hong Kong) atau ketika saya tiba-tiba merasa ingin (Radisson Blu di Cebu). Oh ya, untuk tujuan berlibur, saya sarankan untuk membandingkan harga hotel bintang tiga dan empat. Ada hotel bintang tiga yang sebenarnya cukup bagus dan ada pula hotel bintang empat yang harganya mirip hotel bintang tiga, jadi lakukan studi banding sebelum memesan kamar!

Linda di Disney's Hollywood Hotel, Hong Kong. 

Beberapa hotel memiliki tema. Sebagai contoh, Jepang memiliki hotel kapsul dan ryokan. Saya pernah mencoba hotel kapsul di kawasan Kanda, satu stasiun jauhnya dari Tokyo Station, dan walaupun hotelnya hanya memiliki 1,5 bintang, tempatnya nyaman dan tidak terlalu mahal pula harganya. Pengalaman menginap di sana pun cukup unik. Rasanya seperti tidur di dalam peti yang memiliki televisi di dinding. Saat mandi pun cukup menantang. Tempatnya terbuka dan ada empat atau lima pria lainnya yang telanjang. Budaya khas Jepang ini bukanlah sesuatu yang lumrah bagi kita! Di sisi lain, ryokan terasa lebih nyaman. Jika anda pernah menonton serial Doraemon, ryokan itu persis seperti kamar Nobita, sebuah kamar tidur yang beralaskan tatami

Dan cerita kita tentang dunia perhotelan masih berlanjut. Belakangan ini, ada lagi yang namanya staycation. Saya pernah mencoba cara berlibur ini. Waktu staycation, kita tidak jalan-jalan ke tempat lain, melainkan tetap berada di kota yang sama dan menginap di hotel D'Resort di kawasan Pasir Ris, Singapura. Hotel ini memiliki kamar keluarga yang memiliki tema Amazonian Jungle dan Underwater. Putri saya sangat gembira karena kamar tersebut memiliki ranjang dua tingkat yang selalu ia impikan pada saat itu. Singkat kata, inti dari staycation itu adalah mengalami pergantian suasana untuk waktu yang singkat. Saya cukup menikmatinya dan saya rasa layak dicoba terutama bila anda hanya memiliki sedikit waktu luang.

Sampai sejauh ini, anda mungkin memperhatikan bahwa saya belum menyinggung tentang AirBnB. Jika anda ingin tahu alasannya, ini karena saya tidak memiliki banyak pengalaman dalam perihal AirBnB. Kendati begitu, jika konteksnya adalah tinggal di tempat yang sama dengan pemilik rumah, saya rasa konsep ini tidak akan cocok untuk saya. Di dunia dimana kita tidak akan bisa membawa uang hasil kerja keras kita ke kehidupan selanjutnya, saya rasa kita perlu memanjakan diri kita setelah bekerja membanting tulang sepanjang tahun. Bagi saya pribadi, tidak ada cara yang paling tepat selain menikmati nuansa yang luar biasa nyaman dan lengkap dengan pelayanan kelas atas, persis seperti apa yang ditawarkan oleh hotel-hotel berbintang...

Fairfield by Marriott Surabaya, hotel bintang empat yang nyaman.

Monday, March 11, 2019

Nomor Urut 4

Pak Eddy adalah guru matematika saya sewaktu saya bersekolah di SMP Santu Petrus. Pelajarannya menarik, namun bukan karena saya menyukai atau pintar matematika, melainkan karena selalu saja ada siswa yang dihukum olehnya. Mencekam rasanya saat melihat beliau marah, tetapi ada rasa geli juga saat melihat tingkah teman-teman yang tidak beres dan akhirnya dihukum karena berbagai alasan. Sekarang, kalau saya kenang kembali, Pak Eddy itu bukan cuma sekedar guru. Dia juga seorang pendidik dan dia memberikan hukuman supaya murid-muridnya disiplin dan mengerti apa kesalahan mereka. Bilamana saya dan teman-teman bernostalgia, tidak ada satu pun dari kita yang menaruh dendam karena dihukum. Lebih dari 25 tahun telah berlalu, namun banyak muridnya yang tetap mengingat beliau sebagai guru yang baik.

Gunawan dan Pak Eddy, mantan murid dan guru.

Ya, kita ingat dengan jasanya, namun apa yang mungkin jarang kita ketahui adalah bagaimana Pak Eddy mengabdi sebagai seorang pendidik. Beliau ini seorang relawan yang sudah berkiprah di bidang edukasi sejak 1982. Mengajar dan membina generasi muda adalah panggilan hatinya sehingga ia pun bersedia membagikan ilmunya tanpa mengenakan biaya pada mereka yang tidak mampu. Ini adalah wujud dari baktinya untuk sesama dan negara. Memang kalau yang namanya sudah keikhlasan dari dalam hati itu bisa mendorong orang untuk bekerja tanpa pamrih.

Di sela-sela kesibukannya dalam mengajar, Pak Eddy masih menjadi aktivis LFO (Love For Others) dan Beloved Community, dua organisasi sosial yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kelas bawah di Pontianak dan sekitarnya. Singkat kata, aksi kemanusiaan bukanlah hal yang baru ditekuninya, tapi sudah dari sejak dulu. Pengalamannya dalam bakti sosial selama bertahun-tahun kemudian membuatnya sadar bahwa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif adalah langkah selanjutnya. Sebagai abdi negara, tentunya dia bisa berbuat lebih banyak lagi untuk masyarakat, terutama dalam sektor pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Pak Eddy saat berpartisipasi dalam kebaktian sosial. 

Pak Eddy sudah berkecimpung di bidang politik sejak tahun 2002, ketika dia memperkenalkan Partai Demokrat di Pontianak. Karena kapasitasnya sebagai anggota senior, dia akhirnya diusung menjadi caleg. Sebagai pemain lama, beliau tahu tantangan apa yang ia hadapi. Bahkan dari kalangan sendiri pun ada saja permasalahannya. Ada stigma bahwa orang Tionghoa terkesan eksklusif dan hal inilah yang harus diubah. Sebagai orang yang terjun langsung ke lapangan, Pak Eddy mengerti betul bahwa orang Tionghoa yang berprofesi sebagai pengusaha dan berdomisili di kota besar memang kerap kali kekurangan waktu sehingga tidak sempat lagi bersosialisasi, tapi Pak Eddy juga telah melihat bahwa masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah pelosok lebih cenderung membaur. Bagi Pak Eddy, hidup ini harusnya menjadi berkat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Setiap suku, termasuk juga Tionghoa, hendaknya mengamalkan sudut pandang tersebut. Saya pribadi terkesan saat dia memaparkan bahwa Tionghoa itu berbeda dengan orang Cina karena yang disebut orang Cina itu berarti mereka yang ada di negeri Cina. Penjelasannya sejalan dengan pemikiran Lee Kuan Yew bahwa dirinya adalah orang Singapura, bukan orang Cina.

Pak Eddy bersama dengan murid-muridnya.


Tantangan lainnya ada bagaimana orang awam berpikir bahwa yang namanya politikus itu biasanya korup, terutama mereka yang telah mengeluarkan uang banyak supaya terpilih. Pak Eddy mengiyakan bahwa ada yang demikian, tapi ada juga yang tidak. Cara yang paling baik dan efektif adalah kerja nyata yang bisa dilihat oleh masyarakat. Pak Eddy telah memiliki rekam jejak yang panjang dalam hal ini. Keikutsertaannya dalam bakti sosial selama bertahun-tahun telah membuktikan bahwa beliau melayani dengan hati dan bersungguh-sungguh. Ucapannya senantiasa konsisten dari tahun ke tahun: benar, bisa dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dia adalah contoh dan teladan, bukan sekedar pencitraan yang hanya muncul di masa kampanye. Lebih lanjut lagi, Pak Eddy juga menjelaskan bahwa visi dan misinya yang berfokus pada pendidikan dan penanganan masalah sosial masyarakat adalah murni programnya. Menurut Pak Eddy, program ini bisa dijalankan tanpa memandang di komisi mana dia ditempatkan bila terpilih nanti.

Perlu diingat pula bahwa memilih caleg itu adalah memilih figur yang bisa membawa kemajuan bagi masyarakat. Ketika saya menyinggung tentang BTP, beliau menjawab dengan singkat dan tegas bahwa abdi negara itu harus seperti BTP. Saya hanya bisa tersenyum. Kalau bisa memilih orang yang saya kenal, yang sudah terbukti rekam jejaknya dan tahu bahwa Ahok itu adalah standar seorang pejabat masa kini, kenapa harus memilih yang lain? Saya rasa tidak lagi zamannya bagi orang Tionghoa untuk berpangku tangan. Sebagai warga negara yang taat hukum, kita bisa tunjukkan kepedulian kita dengan memanfaatkan suara kita untuk memilih wakil rakyat. Saya kita bisa mulai dengan memilih nomor urut 4 dari Partai Demokrat ini...

Coblos nomor urut 4!

Saturday, March 2, 2019

Old Friends

Roughly a week ago, I posted a picture of us, a bunch of old friends easily for the last two decades. The photo was accompanied by the snippet of Simon and Garfunkel's song aptly called Old Friends. The lyrics were poignant, asking if you could imagine us years from today, sharing the parkbench quietly, feeling terribly strange to be seventy. Beautiful verses, weren't they?

For most of us, this year is the last year of our 30s. Sure, life begins at 40, as the saying goes. However, it can also mean that the first half of our life is over. We had gone through a lot. Some were the best moments, others not so. And we reminisced about the past. We discussed about what happened around us recently. We also pondered what futures might bring. This could only be done with old friends, those that knew us from the beginning and still know us well enough to talk freely and carry on the conversation as if we had never been away from each other's life.

"Old friends,
Memory brushes the same years,
Silently sharing the same fear..."

39 years are a long time. As we were growing old, we'd seen many things. In this modern age, we learnt that what we saw on the social media might not be what actually happened in real life. We saw many divorce cases happened around us. We were reminded as well that people our age died. Then, as we are entering our big 40, we are forced to confront the same questions: how's life going to be, from here onwards? We're not that young anymore, we had fought a good fight that brought us to where we are now, we'd done many things that we wanted to do, so what's next for us?

It's a crossroads. To be frank, I don't have a clear idea of how my 40s is going to be. In the early days, I just had this simple mindset that I'd work hard and make my fortune and fame, then I'd get married, have a family and live happily ever after. Life had been great thus far, but I couldn't help feeling rather lost and uncertain once the original goal was achieved, because unlike fairy tales, apparently the story didn't end there. Instead, it led to a new beginning and I just hadn't thought it through.

Sometimes I felt that my life was like a rudderless ship. It was as though I was just going through the motion with no sense of purpose. I mean, of course I'd work to provide for my family and I'd love to see my daughters grow up well, but once in a while I'd ask, "what's there in life for me now? What do I want to do with it? I love my job, but it's just a job and what will happen if my job doesn't love me anymore?" It also didn't help that there was news about the death of a friend from time to time. It got me thinking now that I'm half way there, if tomorrow never came, why bother doing all the hard work today? Am I doing the right things and spending my time wisely? Have I set the correct priorities? How about living life to the fullest? 

Life can be a little bit tiring in a world where people looked up to you for answers and you had to put on your brave face for almost every role your are playing, be it a husband, a father, a supervisor and so forth. Hanging out with old friends, people of same age and same origin that understood you, provided the safe haven to be vulnerable. Life isn't always about being tough and strong. To be able to express vulnerabilities is what makes us human. 

So there we sat, talking about life as the night grew colder. We embraced the good vibes, enjoyed the good jokes and toyed with the good ideas. The short gathering every once a year might not even offer any solution to problems we were facing, but perhaps it didn't have to, as it already allowed us to blow off steam. Knowing that we weren't the only ones burdened with the life dilemma was very much a relief. I eventually laughed it off and felt alright. Personally, it was like, "well, we had a good run in the first half of our lives, hadn't we? We still have some energy left. Let's try again. Round two."

Old friends.


Teman-Teman Lama

Kira-kira seminggu yang lalu, saya mengunggah foto saya dan teman-teman lama yang sudah menjadi karib saya sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Saya sertakan pula penggalan lirik lagu Simon dan Garfunkel yang berjudul Old Friends. Liriknya yang bernuansa melankolis pun bertanya pada pendengar, apakah bisa anda bayangkan kami bertahun-tahun kemudian, duduk sebangku dalam sunyi dan merenungkan hidup di usia ke-70? Dalam maknanya, bukan? 

Bagi saya dan beberapa teman-teman yang sebaya, tahun ini adalah tahun terakhir di umur 30an. Ya, pepatah mengatakan bahwa hidup baru dimulai di usia 40, namun itu juga bisa berarti bahwa separuh dari hidup kita sudah berlalu. Kita sudah melalui begitu banyak hal. Ada peristiwa dan kejadian terbaik dalam hidup kita, ada pula yang tidak terlalu menyenangkan. Dan kita bernostalgia, berdiskusi tentang apa yang terjadi di sekitar kita baru-baru ini, serta membayangkan seperti apa masa depan kita nanti. Perbincangan seperti ini hanya bisa dilakukan dengan teman lama, mereka yang mengenal kita dari awal dan masih sering berkomunikasi hingga hari ini. 

"Old friends,
Memory brushes the same years,
Silently sharing the same fear..."

39 tahun adalah waktu yang panjang. Seiring dengan bertambahnya usia, kita melihat banyak hal yang terjadi dalam kehidupan ini. Di era modern seperti sekarang ini, kita menyadari bahwa apa yang ditampilkan di media sosial itu belum tentu apa yang terjadi di dunia nyata. Kita melihat kasus perceraian yang terjadi di sekeliling kita. Kita juga diingatkan kembali bahwa orang-orang seumuran kita sudah ada yang meninggal. Kemudian, saat kita menjelang usia ke-40, kita menghadapi berbagai pertanyaan serupa: bagaimana hidup ini nantinya? Kita tidak semuda dulu dan kita sudah bekerja semampu kita sampai akhirnya mencapai hari ini. Berbagai impian pun telah tercapai, jadi seperti apa kelanjutan hidup ini? 

Rasanya seperti berada di persimpangan jalan. Secara jujur saya katakan, saya tidak memiliki gambaran yang jelas, seperti apa hidup di usia 40an nanti. Di masa awal meniti karir, saya hanya memiliki pikiran sederhana dimana saya akan bekerja keras untuk menggapai sukses, berkeluarga dan hidup bahagia selamanya. Sampai sejauh ini syukurlah semuanya berjalan lancar, tapi entah kenapa ada perasaan tidak pasti dan tak tentu arah setelah impian masa muda tercapai. Berbeda dengan dongeng yang kita dengar dan tonton, ternyata cerita di kehidupan nyata itu tidak berakhir begitu saja setelah kita menggapai kebahagiaan yang kita idamkan. Justru sebaliknya, apa yang berhasil kita capai itu menjadi permulaan dari cerita lainnya yang tidak pernah begitu saya pikirkan sebelumnya. 

Terkadang saya merasa bahwa hidup ini seperti kapal yang berlayar tanpa nahkoda. Saya seolah-olah hanya mengikuti arus, tapi tanpa tujuan yang jelas. Sebagai kepala rumah tangga, tentu saja saya siap bekerja untuk menafkahi keluarga dan saya ingin melihat anak-anak saya tumbuh dewasa dengan baik, tapi ada kalanya saya bertanya, "apa yang tersisa dalam hidup ini untuk saya pribadi? Apa yang ingin saya lakukan dalam hidup ini? Saya suka pekerjaan saya, tapi itu hanyalah pekerjaan semata dan bagaimana pula seandainya pekerjaan saya tidak lagi membutuhkan saya?" Kabar tentang meninggalnya teman yang seusia atau lebih muda juga tidak membantu meringankan beban pikiran. Saya jadi berpikir bahwa saya sudah separuh jalan ke sana, jadi jika saya tidak lagi terbangun pada hari esok, buat apa saya bekerja keras hari ini? Apakah saya melakukan hal yang benar dan menggunakan waktu saya dengan baik? Sudahkah saya menetapkan prioritas dengan benar? Bagaimana pula dengan prinsip menikmati hari ini seakan-akan ini adalah hari terakhir?

Hidup terasa agak melelahkan bila kita tinggal di dunia dimana semua orang menoleh pada anda untuk jawaban dari berbagai pertanyaan mereka. Anda harus tetap tegar memainkan semua peran anda sebagai seorang suami, ayah, atasan dan lain-lain. Berkumpul lagi bersama teman-teman lama, mereka yang berusia sama, berasal dari tempat yang sama dan mengerti anda, memberikan kesempatan bagi anda untuk mengungkapkan kegalauan yang anda rasakan. Hidup ini tidak selalu tentang ketegaran dan kekuatan. Bisa mengakui kelemahan dan hal yang anda takutkan adalah apa yang membuat anda menjadi manusia seutuhnya. 

Jadi di sanalah kita duduk, bercakap-cakap tentang kehidupan di kala malam kian larut. Kita disegarkan kembali oleh nuansa positif persahabatan. Kita menikmati lelucon yang jenaka. Kita juga saling mendengarkan pendapat dan pengalaman satu sama lain. Ya, waktu yang singkat itu mungkin saja tidak memberikan solusi bagi setiap permasalahan hidup, tapi mungkin itu tidak diperlukan, sebab kita sudah berkesempatan untuk mengeluarkan beban di hati. Adalah suatu kelegaan tersendiri saat kita mengetahui bahwa kita bukan satu-satunya yang memiliki dilema kehidupan. Pada akhirnya saya bisa tertawa lepas dan merasa lebih baik. Rasanya kurang lebih seperti ini, "hmm, kita sudah melewati separuh dari hidup kita dengan baik, bukan? Kita masih punya energi yang tersisa. Mari kita coba lagi. Ronde kedua sekarang!" 

Sunday, February 24, 2019

Wonderful Indonesia: Jakarta

If you ever wonder why it took me so long to write about Jakarta, that's simply because it was very difficult to write! It was the city that I visited as a tourist during school days and those visits happened a long, long time ago. Not only the old memories had faded away, but those that I still remember might not be relevant anymore. When I moved there to work, I rarely went to places of interest because when you lived in Jakarta, you'd rather go to the malls on weekend. Now that I live in Singapore and occasionally visited the city as a tourist again, I'd normally go for the food. Having said that, I had to think really hard about what to write.

At the Sacred Pancasila Monument. 

Nevertheless, it doesn't mean that Jakarta has no tourist spots. I went to quite a few destinations, all of them when I was a little boy. It's too bad that I had almost no recollection about the visit to Ragunan, but from what I read recently, the zoo seems to be well-maintained. Then there is Sacred Pancasila Monument that was built to commemorate the bloody event in 1965. I remember that as a kid, I was fascinated by the name Lubang Buaya, literally translated as Crocodile's Hole, as it sounded serious and frightening. My expectation was all-time high, but I was disappointed to see just a tiny hole with no crocodile. Anyways, childish imagination aside, the place was grand. It has a giant garuda towering over the lifelike statues of the seven revolution heroes. If you knew what happened at that time, you'd paused for a while to appreciate the monument. Then apart from this, there is another one called Monas, a grand national monument that I once visited. I have to say that it isn't quite the place it used to be thanks to the bad reputation it earns these days as the venue of the anti-government protest events, so proceed with caution if you feel like visiting it.

At Taman Mini with overseas friends.
Photo by Evelyn Nuryani.

The following ones are the more popular and safer destinations. I visited these places again when I was a working adult in Jakarta. There is Ancol Dreamland, a resort destination similar to Sentosa Island in Singapore. I remember watching Irrawaddy dolphins when I was a kid (and beluga whales many years later) for the first time here. The animals were part of the attractions. While you are there, you may want to visit Sea World Ancol. For those who need some excitement, Dunia Fantasi theme park is located here, too. From Ancol, if you are heading eastwards, you can go to Taman Mini Indonesia Indah which, despite the name, is not mini at all. It has everything Indonesia and of all the gardens, parks and museums, the one I loved the most was the Fresh Water Aquarium. It is definitely worth visiting!

The Singapore tourists, arrving at the newly built T3 of Soekarno-Hatta Airport.

Now, do take note that the traffic jam in Jakarta is notorious. When you are travelling from one destination to another, always include some buffer time (and remember to pee before the journey starts). While several attempts including the TransJakarta bus rapid transit system had been made to solve the issue, they all looked futile thus far. But bad though it may seem, the progress actually gets better. The train from airport to the city is modern and comfortable, a vast improvement that we never thought we would see. Soon there'll be MRT, too, so hopefully that will help.

At Bon Jovi's concert in Jakarta.
Photo by Franky. 

The traffic jam, coupled with the fact that the tourists spots are just nice for domestic crowd but not exactly of world class quality, are probably the reasons why Jakarta is avoided by many. Luckily the capital city of Indonesia has a lot more to offer. When it comes to shopping, Jakarta has aplenty to the extent that I'm actually wondering why Indonesians come and shop in Singapore, because the branded stuff sold in Jakarta is practically the same stuff. Shopping malls such as Central Park, Grand Indonesia and many more are excellent and one can easily spend one whole day there! The entertainment sector such as concerts, exhibitions and events are also not far behind. Notable artists and performing acts such as Yayoi Kusama or Guns N' Roses had come to Jakarta in the recent years. I myself attended the Bon Jovi concert four years ago and, while the crowd control at the entrance was poor, overall it was still quite a pleasant experience.

If none of the above is good enough a reason for you to go to Jakarta, then the mouth-watering cuisines should be the one you are looking for. Everything from the archipelago can be found here, from the pork-based dish of Lapo Ni Tondongta, the legendary oxtail soup of Hotel Borobudur, the pride of Pontianak namely Alu's mixed rice, Cianjur grilled fish, nasi Padang, Aloi's noodles from Palembang and many more! Too many to mention! Just go and have some fun in Jakarta already!

From top left, clockwise: oxtail soup, grilled fish, Padang rice, mixed rice, Aloi's noodles and Batak cuisines. 


Indonesia Yang Menakjubkan: Jakarta

Jika anda pernah bertanya dalam hati, kenapa saya membutuhkan waktu begitu lama untuk menulis tentang Jakarta dalam seri Indonesia Yang Menakjubkan, ini karena Jakarta sangat sulit untuk ditulis! Saya mengunjungi kota ini sebagai turis ketika saya masih kanak-kanak dan masa itu sudah lama berlalu. Kenangan lama ini sudah memudar dan yang tersisa di benak saya mungkin tidak lagi relevan karena Jakarta sudah jauh berubah. Ketika saya bekerja di Jakarta, saya jarang mengunjungi kawasan turis karena saat seseorang menetap di Jakarta, yang justru cenderung terjadi adalah bersantai di mal. Tatkala saya pindah ke Singapura dan kembali mengunjungi Jakarta sebagai turis, yang saya cari biasanya makanan. Karena alasan-alasan inilah saya merasa sulit untuk menulis tentang Jakarta.

Bagi yang tertarik untuk ke tempat wisata di Jakarta, kebetulan saya sempat mengunjungi beberapa dan semua kunjungan terjadi ketika saya masih kecil. Cukup disayangkan bahwa saya tidak lagi seperti apa Kebun Binatang Ragunan itu, tapi berdasarkan apa yang saya baca, kebun binatang ini sepertinya cukup terawat. Selain itu masih ada lagi Monumen Pancasila Sakti yang dibangun untuk mengenang para pahlawan yang menjadi korban peristiwa berdarah di tahun 1965. Sebagai seorang bocah, saat itu saya sangat terkesan dengan nama Lubang Buaya yang angker dan misterius, namun saya akhirnya kecewa karena lubang itu kecil dan tidak ada buayanya. Yang ada justru patung Garuda yang megah dan menaungi patung tujuh pahlawan revolusi. Monumen lainnya yang juga tergolong kolosal adalah Monas, namun reputasinya tidak lagi sebagus dulu karena sering menjadi ajang demonstrasi dan kegiatan anti pemerintahan. Berhati-hatilah kalau anda ingin berkunjung ke sana.

Suatu ketika di pantai Ancol. 

Tempat-tempat wisata berikut ini, yang sempat saya kunjungi lagi setelah pindah ke Jakarta, lebih populer dan aman. Pertama-tama ada Taman Impian Jaya Ancol, kawasan turis yang mirip konsepnya dengan Pulau Sentosa di Singapura. Saya pertama kali melihat pesut di sini. Bertahun-tahun kemudian, pada ulang tahun Kalbe, saya juga melihat paus beluga untuk pertama kalinya di sini. Bagi anda yang berminat, selagi anda berada di Ancol, anda juga bisa mengunjungi Sea World. Kalau anda mencari sesuatu yang lebih menantang, anda bisa mengunjungi Dunia Fantasi. Bila anda berkunjung ke arah timur Jakarta, anda bisa juga mampir ke Taman Mini Indonesia Indah. Perlu diingat bahwa namanya saja yang mini, tapi luar biasa luas kawasannya sehingga anda mungkin bisa menghabiskan sehari penuh di sini. Dari semua taman dan museum di TMII, yang paling saya gemari adalah Aquarium Air Tawar. Paling layak untuk dikunjungi, saya rasa! 

Perlu anda ketahui juga bahwa macetnya jalanan di Jakarta sangat parah. Kalau anda menempuh perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, selalu ingat untuk berangkat lebih awal jika anda harus hadir tepat waktu (dan jangan lupa kencing sebelum berangkat). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menguraikan kemacetan di Jakarta, termasuk juga pengadaaan jasa angkutan bis TransJakarta, tapi belum ada yang berhasil. Meski kelihatannya suram, beberapa terobosan baru mulai kelihatan. Kereta dari bandara ke kota misalnya, sarana ini terasa modern dan nyaman, sebuah peningkatan yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Tak lama lagi Jakarta juga akan mempunyai MRT yang diharapkan bisa menjadi solusi.

Nongkrong di kafe bersama teman-teman, budaya khas di Jakarta. 

Kemacetan di Jakarta dan juga kawasan turis yang mungkin lebih cocok untuk turis domestik dan belum bertaraf internasional ini mungkin menjadi alasan kenapa Jakarta tidak menarik untuk dikunjungi para pelancong. Untung saja Jakarta masih memiliki berbagai kelebihan. Untuk mereka yang senang berbelanja, Jakarta memiliki banyak mal. Saya terkadang heran, kenapa masih banyak yang datang dan berbelanja di Singapura, padahal mal di Jakarta juga memiliki toko-toko yang menjual barang-barang mewah. Pusat perbelanjaan seperti Central Park, Grand Indonesia tidak kalah bila dibandingkan dengan mal yang ada di luar negeri. Di sektor hiburan yang mencakup konser dan pameran, Jakarta pun tidak kalah bersaing. Seniman terkemuka dan grup musik kawakan seperti Yayoi Kusama atau Guns N' Roses sudah pernah tampil di Jakarta. Saya sendiri pernah menghadiri konser Bon Jovi beberapa tahun silam dan, meskipun antrian masuknya parah, secara keseluruhan pengalaman konser tersebut tidaklah terlalu buruk.

Jika alasan-alasan di atas masih belum cukup untuk meyakinkan anda, saya rasa beraneka makanan yang sedap dan lezat bisa menjadi daya tarik tersendiri. Berbagai jenis masakan dari seluruh nusantara bisa ditemukan di sini, mulai dari Lapo Ni Tondongta dari Batak, sup buntut legendaris dari Hotel Borobudur, nasi campur Alu yang menjadi kebanggaan Pontianak, ikan bakar Cianjur, bakmi Aloi dari Palembang, nasi Padang dan masih banyak lagi, terlalu banyak untuk disebutkan. Jadi tunggu apa lagi? Berangkatlah ke Jakarta dan alami sendiri sensasinya!



Tuesday, February 19, 2019

The Mentors

I remember the day when I was so much younger than today. When I was growing up, I didn't really have a father figure to look up to. Since nobody told me how the life of young adult was like, I had the faintest idea of how my future would be and this worried me. Those heroes that I idolised, from Bruce Lee to John Lennon, they were the people that I watched, listened to or read about, not exactly the real life people that I interacted with. Then came one day when I visited my first house and had a chat with my uncle. I couldn't remember what the topic was, but I remember him saying not to worry too much about life. Along the way, there'd be guìrén (贵人) helping me out. I didn't understand him then, but looking back, I guess he was right.

Guìrén can be translated as people of great help in one's life. There are indeed such people if you look hard enough. Some are much more approachable than the others, but they all are the same: they are there to make some good differences in one's life. And throughout my life thus far, I've encountered at least five of them. I don't think I ever thanked them enough for being there in my life, so let this be testament of the great people that I met.

The first one was my boss at Kartika Hotel, Mr. Effendi Widjaja. It was more than 20 years ago and he must be in his 50s then, the venerable man with unmistakable presence and strong charisma. There was no easy way to describe it in words, but if you were ever in the same room with him, you'd feel it, too. Even when you didn't know him, you could sense that he was a force to be reckoned with. My desk was in the corner of the office and I remember sitting there, watching him talking to all sorts of people. Some were decent, some blabbered, but they were all the same: not only they wanted to be heard, they demanded to be heard! However, when Mr. Widjaja started speaking, those people would just shut up and nod along voluntarily. They immediately recognised the authority in his voice. When the conversation was done, it was final. That was my first job and I never saw anything like this before. I was totally in awe!

My favorite moments? Those times when I drove him to the airport. There was just the two of us in the car. At first, since we didn't talk, the silence was eerie. I mean, I had heard about his legendary temper from other colleagues! But then he made a small talk and things got better after the warming up. I asked questions about life and he told me how he built his empire. His story was relatable for I was, too, a poor young man, perhaps not much different than him when he first started. But what's more touching was his willingness to share. It was a privilege. Come to think of it, I was a nobody and he could have just ignored me, but no, he chose to entertain me instead. By doing so, he instilled hope into a young man whom was chauffeuring him that fortune favoured the brave and hard-working ones. It was a life-changing gesture that I won't forget and I am always very thankful for that. 

The second person that I also held in high regard was my lecturer, Mr. Sandy Kosasi. He was like the smartest man in campus, always brimming with confidence and had the all answers! Back in those days, lecturers tended to be boring and only God knows what they were talking about (I remember one whom kept talking about Macintosh, an Apple computer nobody had ever seen before in Pontianak), but Mr. Kosasi was hip and thanks to his perfect timing in making jokes during lecturing, I always sat in front of the class and listened. I just loved attending his class and that's how it all started. 

Much to my delight, Mr. Kosasi happened to be my academic adviser that was in charge of my dissertation review. When I came to see him, he always got this wide, welcoming smile, then his eyes would focus as he turned on his serious mode when we began the discussion. In all truthfulness, I actually thought that our working relationship (I was a campus staff for a reason during my last year in college, haha) would smooth things out, but no, that didn't happen. He didn't make it easy, but in hindsight, he made sure that I was ready. When I stepped out from the meeting room after defending my essay from being bombarded with questions by other lecturers, I was not only the first student of my generation to pass the examination, I also passed with an A. But I didn't do it alone. A big chunk of the credits should go to Mr. Kosasi for bringing the best out of me.

Rusli during the anniversary party of Kalbe Farma. 

I met the third person when I was in Jakarta. His name was Rusli, an IT colleague who was only few years older than me. He was an enigma. He was confident and good in problem solving, but he did things his way and he had this devil-may-care character that not even the boss knew what to do with him. I thought he was cool, some non-IT colleagues thought he was the most helpful, others thought he had an attitude problem. It might be true to certain extent, considering the rocky start we had, haha. At first, he always kept me at arm's length and it didn't help that I wasn't any good. He clearly didn't need a rookie following him around, but I was persistent and very hard to get rid of. Eventually, as I got to know him better, I learnt that beneath the tough exterior, he was a friendly person. 

The time with Rusli was like being an understudy. I could have had these innate troubleshooting skill and mindset all this while, but by observing what he did, the talents were awoken for the first time ever. He showed me not only the IT stuff, but also how to handle people. With a water bottle in one hand (his signature style that was widely recognised at Kalbe), he would visit users, listened to their complaints while making some deadpan remarks, then by the time he was done, people were smiling and thankful. Only Rusli could make the job look fun! While I was never his equal, the time when he started trusting as his partner in solving problems was one of the proudest day in my life. It felt good and it certainly boosted up my morale, too. The boy who always tagged along was now his own man!

The fourth person appeared in the form of Bernard Lau. Imagine this: Jakarta was a foreign city, alright, but at least I still spoke the same language. In Singapore, I was a foreigner speaking a foreign language in a land that was culturally different. It was harder to adapt and in the early days, I had this inferior feeling because I came from a third-world country. Bernard was the first person that welcomed and helped me to adjust to the Singapore lifestyle. With him as my supervisor, I also learnt how to navigate my way through the working environment here.

Lunch in Batam with Bernard.
Photo by Franky.

Bernard had a vast knowledge about everything, but most importantly, he was also willing to share and capable of explaining things meticulously. If I was ever good, that's because he taught me well. I remember one particular incident where we just had to look at each other and, without uttering a single word, we knew how to split the tasks and solved the issue. That's how memorable our brilliant teamwork was. Later on in life, long after we weren't colleagues anymore, the relationship evolved. Throughout the past 12 years, he'd been a good friend, a best man, a travel buddy and an elder brother I never had. I might not say this often enough, but I always looked up to him. 

The last person I met so far was Kelvin Wong. He was feared by many, but not me. I think he was charming and smart. I remember the time when I attended the meeting chaired by him. There was this ongoing problem and nobody could agree on how to solve it, because each insisted that their way was the best. Mr. Wong just had to listen for a while and voilà, the decision was made. I was very much impressed. He was that good! Unlike the previous management, his direction was clear. We all just needed to worked hard towards that and we eventually reached the good result together. Those were very good years, really.

But Mr. Wong's true strength was not his leadership. What's more remarkable about the man was the quality not often seen by many: the assurance and advice that he gave me privately. One of the occasions that I'd remember for life was the time when he pulled me aside right after a meeting, telling me to speak slowly while assuring me that he didn't think anybody in the room knew the subject better than me, hence I shouldn't be worrying too much. To give you the background, I never felt comfortable in giving presentation and I would either stutter or have the words jumbled up. What he said to me, that was very nice of him to do so. When your boss gave such an encouragement, you'd remember it forever. It felt so genuine and sincere that the only way to repay his kindness was to do better next time. 

So this is the story of guìrén. It's too bad that not all of them were captured in photos (even the two that were photographed didn't have more flattering pictures), but the good memories live on and they are immortalised here for the first time ever. In retrospect, none of them probably ever thought that what they had done were big deals, but now that you've read the other side of the story from my point of view, you knew what they did mattered so much to me. The way I see it, we touched other people's life, making differences and some were actually big enough to be life-changing. Hence don't stop doing good deeds. There could be another Anthony out there and his life is changing for the better because of you...



Mereka Yang Berjasa

Saya ingat suatu hari dimana saya jauh lebih muda dari hari ini. Ketika saya beranjak dewasa, saya tidak memiliki sosok seorang ayah sebagai panutan karena tidak tinggal bersama orang tua. Para idola saya, mulai dari Bruce Lee sampai John Lennon, mereka adalah orang-orang yang saya tonton, baca atau dengar, bukan orang-orang yang berinteraksi langsung dengan saya. Karena tidak ada yang memberi tahu saya seperti apa kehidupan seorang pria yang mulai memasuki dunia kerja, saya tidak memiliki gambaran dan terkadang saya merasa khawatir. Kemudian tiba hari dimana saya mengunjungi paman saya di rumah pertama yang saya tempati. Saya tidak ingat lagi apa topik yang kita bicarakan, namun saat itu dia berkata bahwa saya tidak perlu terlalu cemas. Akan ada guìrén (贵人) yang membantu saya nantinya. Saya tidak paham apa maksudnya pada saat itu, namun setelah saya lihat kembali, saya rasa dia benar. 

Guìrén bisa diterjemahkan sebagai orang-orang yang membantu kita dalam hidup ini. Orang-orang seperti ini pasti pernah anda temui jika anda amati hidup anda secara sungguh-sungguh. Beberapa dari mereka mungkin lebih bersahabat dibanding yang lain, tapi peran mereka semua sebenarnya sama: mereka hadir untuk membuat perubahan yang baik dalam hidup kita. Sepanjang hidup ini, saya telah bertemu setidaknya lima orang yang layak disebut guìrén. Saya rasa tidak akan pernah ada ungkapan terima kasih yang cukup untuk membalas budi baik mereka, namun saya harap tulisan berikut ini bisa mengabadikan jasa mereka dan memberikan inspirasi untuk anda.  

Orang pertama adalah bos saya saat bekerja di Kartika Hotel, Bapak Effendi Widjaja. Penggalan kisah ini terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu dan saat itu dia berumur kira-kira 50an. Saya rasa tidak mudah untuk melukiskan sosoknya yang bijak dan berkharisma dengan kata-kata, tapi kalau anda berada di ruangan yang sama, anda pasti bisa merasakan wibawanya. Bahkan jikalau anda tidak mengenalnya pun anda bisa merasakan bahwa dia bukanlah orang tua biasa. Meja saya berada di sudut ruangan kantor dan dari situ saya sering mengamatinya menghadapi beraneka macam karakter. Ada yang sopan dalam bertutur kata, namun ada pula yang ngotot dalam penyampaian. Mereka semua pada dasarnya sama, menuntut untuk didengarkan. Akan tetapi begitu Pak Effendi berbicara, mereka pun terdiam dan akhirnya mengangguk-angguk setuju. Mereka bisa tahu dari nada bicaranya, siapa yang berkuasa di sini. Ketika percakapan usai, maka keputusannya adalah final. Perlu saya sampaikan bahwa itu adalah pekerjaan pertama saya dan saya tidak pernah melihat yang seperti itu sebelumnya, jadi saya benar-benar terpukau. 

Masa-masa yang paling berkesan untuk saya adalah ketika saat mengantarnya ke bandara. Saat itu hanya ada saya di kursi pengemudi dan beliau di kursi penumpang. Awalnya suasana terasa diam mencekam, terlebih lagi karena saya sering mendengar tentang sifatnya yang temperamental. Namun siapa sangka dia memulai percakapan singkat nan ringan? Perbincangan kita pun berkembang dari situ. Sebagai orang yang lebih muda, saya bertanya tentang hidup dan dia pun menjelaskan bagaimana dia membangun bisnisnya. Saya bisa memahami ceritanya karena saya pun pemuda yang miskin, mungkin tidak jauh berbeda dengannya ketika dia mulai merintis usahanya. Akan tetapi yang lebih menyentuh adalah kesediaannya untuk berbagi cerita. Itu adalah suatu kehormatan. Kalau dipikirkan lagi, saya bukan siapa-siapa dan dia bisa saja tidak menghiraukan saya sepanjang perjalanan, tapi dia memilih untuk berbincang dan menjawab rasa ingin tahu saya. Dengan melakukan hal itu, dia memberikan harapan pada seorang supir yang mengantarkannya ke bandara bahwa sukses itu bisa dicapai oleh mereka yang berani dan mau berusaha. Saya tidak pernah lupa dengan kebaikannya ini. 

Orang kedua yang jasanya selalu saya kenang adalah Bapak Sandy Kosasi. Beliau ini adalah orang paling pintar di kampus, selalu penuh percaya diri dan memiliki jawaban untuk mahasiswanya! Bertahun-tahun silam, yang namanya dosen itu biasanya membosankan dan hanya Tuhan yang tahu apa yang mereka bicarakan (saya ingat seorang dosen yang selalu berbicara tentang Macintosh, komputer Apple yang langka dan tidak pernah dilihat siapa pun di Pontianak). Nah, Pak Sandy ini berbeda gayanya. Dia pintar dalam menjelaskan dan seringkali menyisipkan lelucon pula sehingga saya suka duduk di depan dan mendengarkan. Dari sinilah kekaguman saya bermula. 

Di tahun terakhir kuliah, Pak Sandy ternyata menjadi dosen pembimbing skripsi saya. Setiap kali saya datang menemuinya, dia selalu tersenyum lebar. Secara jujur saya katakan bahwa saya berharap diberi kemudahan (dan ini adalah salah satu alasan saya menjadi staff kampus, haha). Akan tetapi itu tidak terjadi. Meski saya adalah kolega dan bawahannya, saya tidak diberi pengecualian. Kalau saya lihat kembali, dia hanya ingin memastikan bahwa saya bisa lulus karena kemampuan saya. Dan benar saja, ketika saya melangkah keluar dari ruang sidang setelah dicecar berbagai pertanyaan oleh para dosen penguji, saya bukan saja mahasiswa pertama dari angkatan saya yang lulus, tapi saya juga lulus dengan nilai A untuk skripsi. Kendati begitu, kesuksesan saya bukan semata-mata karena kerja keras saya, namun juga karena upaya beliau dalam mempersiapkan saya.

Rusli di pesta ulang tahun Kalbe Farma.

Saya bertemu dengan guìrén ketiga di Jakarta. Namanya adalah Rusli, seorang rekan IT yang hanya berusia hanya beberapa tahun lebih tua dari saya. Rusli ini adalah seorang yang sulit ditebak karakternya. Dia senantiasa penuh percaya diri dan sangat lihai dalam menyelesaikan masalah komputer, namun dia suka berbuat sesuka hati dan dengan sifatnya yang tidak peduli dengan apa pun, bahkan pimpinan IT pada saat itu tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan karyawan yang satu ini. Saya sungguh tertarik dengan pembawaannya yang unik. Banyak kolega lain yang non-IT merasa bahwa dia sangat membantu, namun ada juga yang merasa dia sulit untuk dimintai tolong. Pendapat itu rasanya tidak keliru, apalagi jika saya mengingat awal persahabatan kita yang tidak mulus, haha. Pada mulanya dia selalu menjauhi saya dan kekurangan saya dalam bidang IT tentunya tidak membantu. Rusli jelas tidak membutuhkan seorang pemula yang mengekorinya ke sana kemari, tapi saya pun tidak gampang dienyahkan, haha. Akhirnya, setelah kita lebih saling mengenal, saya melihat bahwa di balik karakternya yang sulit untuk didekati, dia sebenarnya orang yang baik dan bersahabat. 

Masa-masa bersama Rusli itu bagaikan seorang murid. Saya mungkin saja dari dulu memiliki pola pikir dan kemampuan yang cocok dalam memecahkan masalah IT, tapi setelah saya mengamati bagaimana dia mengerjakannya, barulah saya mengerti bagaimana caranya. Dan Rusli tidak hanya menunjukkan bagaimana caranya menyelesaikan masalah komputer, tapi juga memberikan contoh dalam menghadapi orang-orang yang bermasalah komputernya. Dengan botol minum di tangan (ini gaya khasnya yang terkenal di Kalbe), dia mengunjungi para pengguna komputer. Selagi mendengarkan keluhan mereka, terkadang dia memberikan komentar ringan yang membuat mereka tertawa. Kemudian, setelah ia selesai, orang yang ditolongnya pun tersenyum dan sangat berterima kasih. Hanya Rusli yang bisa membuat pekerjaan ini terlihat begitu menyenangkan! Walau saya tidak pernah sehebat Rusli, saat dia mulai mempercayai saya sebagai rekan kerjanya adalah salah satu saat yang paling membanggakan dalam hidup saya. Rasanya luar biasa dan saya menjadi semakin percaya diri. Pemula yang selalu mengikutinya dari belakang itu akhirnya lulus dan berdikari! 

Orang yang keempat adalah Bernard Lau, seorang warga Singapura. Bayangkan ini: Jakarta mungkin saja kota yang asing bagi saya, tapi setidaknya orang-orang di sana masih berbicara dalam Bahasa Indonesia. Di Singapura saya adalah orang asing yang harus berbicara dalam bahasa asing setiap hari di negeri yang sama sekali berbeda budayanya. Dengan demikian lebih susah bagi saya untuk menyesuaikan diri dan di tahun pertama saya di Singapura, saya merasa rendah diri karena saya berasal dari negara dunia ketiga. Bernard adalah seorang berkebangsaan Singapura yang pertama yang menerima saya apa adanya dengan ramah dan bagaikan tuan rumah yang baik, dia menunjukkan pada saya seperti apa gaya hidup di Singapura. Di kantor, sebagai atasan saya, dia juga mengajari saya cara dalam menelusuri seluk-beluk lingkungan kerja di sini.

Makan siang di Batam bersama Bernard.
Foto oleh Franky.

Bernard memiliki pengetahuan yang luas dan yang lebih penting lagi, dia tidak pernah keberatan untuk berbagi dan pintar menjelaskan secara detil. Jika saya yang sebelumnya tidak tahu apa-apa ini akhirnya bisa bekerja dengan mantap di industri dunia saham, ini karena dia membimbing saya dengan benar. Saya ingat dengan satu insiden IT dimana kita bisa berbagi tugas tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk menyelesaikan masalah. Itu adalah pengalaman yang luar biasa, yang hanya bisa dilakukan oleh dua rekan kerja yang sudah memahami kemampuan masing-masing. Setelah kita tidak lagi berada di kantor yang sama, hubungan kita pun berubah secara perlahan-lahan. Selama 12 tahun terakhir, Bernard adalah seorang teman baik, pendamping pengantin pria dan teman seperjalanan yang akrab seperti layaknya seorang saudara. 

Orang terakhir yang saya temui sejauh ini adalah Kelvin Wong. Dia disegani dan bahkan ditakuti oleh banyak orang, tapi saya senantiasa merasa bahwa dia berwibawa dan pintar. Saya ingat dengan satu rapat yang ia pimpin. Saat itu adalah masalah yang tidak kunjung selesai karena dua orang manajer yang bersengketa ini sama-sama merasa paling benar. Kelvin cukup mendengarkan sedikit pemaparan mereka dan langsung bisa memutuskan dengan bijak, apa yang seharusnya dilakukan. Saya sungguh terpana! Berbeda dengan direktur sebelumnya, pengarahan yang diberikan oleh Kelvin selalu singkat dan jelas. Sebagai karyawannya, mudah bagi kita untuk fokus dan benar saja, berkat kontribusi kita semua, perusahaan pun mendapatkan keuntungan berlimpah. Tahun-tahun itu bagus bonus dan kenaikan gajinya.

Meskipun demikian, yang paling luar biasa dari seorang Kelvin Wong itu bukan kepemimpinannya, melainkan suatu kualitas yang jarang dilihat khalayak ramai. Secara pribadi, dia sering memberikan nasihat dan meyakinkan bahwa saya bisa dan mampu. Satu dari sekian banyak kesempatan itu adalah ketika dia memanggil saya untuk berbicara setelah rapat. Saat itu dia mengatakan bahwa saya hendaknya berbicara lebih pelan dan dia juga percaya bahwa tidak ada seorang pun di dalam ruangan rapat tadi yang lebih menguasai bidang yang kita diskusikan, jadi saya sebagai ahlinya tidak perlu khawatir. Bagi anda yang belum tahu, saya tidak suka berdiri menjelaskan di depan dan saya seringkali menjadi gagap atau berbicara terlalu cepat sehingga tidak jelas kata-katanya. Jadi apa yang dia katakan itu beralasan dan baik maksudnya. Ketika seorang pimpinan memberikan dukungan moral seperti itu, anda pasti akan mengingat hal tersebut selamanya. Ketulusan yang begitu kentara itu hanya bisa dibalas dengan upaya keras untuk menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.  

Saya sangat menyayangkan bahwa saya tidak memiliki foto tiga orang di atas. Bahkan dua orang yang ada fotonya pun tidak terlalu bagus posenya. Akan tetapi kenangan tentang mereka akan hidup selamanya dan untuk pertama kalinya diabadikan dalam bentuk tulisan. Saya yakin tidak seorang pun dari mereka yang pernah berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah perkara besar, tapi sekarang anda sudah baca ceritanya dari sudut pandang saya dan anda tahu bahwa kebaikan mereka besar artinya untuk saya. Kalau saya lihat, setiap perbuatan kita yang menyentuh hidup orang lain pastilah akan membuat perubahan dan beberapa di antara perubahan tersebut bisa sedemikian besar artinya sehingga mengubah hidup orang tersebut. Karena itu jangan pernah berhenti berbuat baik. Masih banyak Anthony lain di luar sana dan hidup mereka berubah menjadi lebih baik karena anda...