Total Pageviews

Translate

Monday, May 16, 2022

Destination: Bali

I went to Bali recently to attend my cousin Dewi's traditional Balinese wedding. It was interesting, it was also fun to hang out with family again, but when all was said and done, it was time to say goodbye and begin another adventure! We parted ways and I headed to Kuta on the following afternoon. 

The last time I went to Bali was 17 years ago. Almost two decades had passed since then. As the car entered Kuta, I got excited. The beach hadiah ultah changed so much, so different than the way I remembered it! I was like, "I don't recall there was a wall dividing the beach and the road. I seem to remember that there was McD or KFC on the roadside. Hey, there's even a shopping mall now!"

With Alvin in Kuta. 
Photo by Valerie.

But the highlight of the day was meeting Alvin, an old friend of mine. I knew him since primary school, but the last time I met him was probably during college days. We just bumped into each other in Kuching! So there we were, 20 years later. After my visit to Hard Rock Cafe, I met him and we sat together in the beach, watching sunset. I had to say that it felt a bit weird, haha.

Alvin had always been a confident kid, but he looked especially self-assured now. Humble and yet so at ease. I was so intrigued that I had to ask. Then he shared with me that life in Bali had been fulfilling. He could be himself and lead the life he had always wanted. It was a carefree life, almost forever young, with only one constant reminder about how old he actually was: the time we met him with our kids trailing behind us, haha. 

He was once a young architect living in Yogyakarta and, though life had been good there, his journey brought him to Bali. He fell in love with Bali and he had been staying there for 13 years. Bali offered him a peaceful spiritual life, one that he embraced eagerly. He liked the casual lifestyle in conducting business and he enjoyed the fact that he could give back to the society by contributing actively in the charity works. More than that, only in Bali that he could do hobbies such as motorcycling and surfing.

From left: Nasi tempong, crab meat noodles, babi guling rice.

That night ended with a dinner. The mall in Kuta was called Beachwalk and the food court there had many cuisines from Java to Singapore, but nothing with Balinese flavour. I had batagor when I was with Alvin, but then it felt like I still could have one more meal for my dinner, so I went back for crab meat noodles from Pontianak, haha. Not bad, the taste was quite authentic. 

Talk about Indonesian culinary, I had nasi tempong, a cuisine from Banyuwangi, earlier that day. The fried liver and gizzard were good, but the best part was the chilli. I can't take spicy food, but that didn't stop me from dipping the tofu, tempe and the meat into the sauce. It turned out to be a nice surprise. The chilli was spicy, but it also had this unique salty taste. I'm not sure if I had described it correctly, but I confirmed that the taste was very inviting. 

Then of course I had to try babi guling. I had that in Ubud. Before I began the one and a half hours car ride from Kuta, I had my favorite McD breakfast that is available only in Indonesia: Paket Panas. It came with rice, fried chicken and egg. When I met my cousin Andreas, he brought me to Babi Guling Ibu Oka. This one, I'm afraid, was overrated. It was all right, but it didn't feel like something that you'd come back for more.

My cousin and I.

But food aside, I had a good time in Ubud. It was great to meet up with Andreas again. I hadn't met him for the longest time. The last time we really had a chance to sit down and talk was back when I was living in Jakarta. As we talked, I was reminded again that this cousin of mine is a brilliant artist. When we were kids, he would draw comics based on games we played. Now an adult, he is a professional photographer living a secluded life in Ubud. This place was like the antithesis of Kuta. Very tranquil and the atmosphere suited him. 

Right before I left, I found a postcard in Ubud. If you wondered why I had to mention this, it's because postcards were rare in Indonesia, even in a popular tourist destination like Bali! So I rushed back to Kuta in the afternoon, clinging tightly in the back seat of a motorbike. I met another high school friend nicknamed Marga T there (and she told me she was wearing white when there were literally sea of people wearing the same color around me). So we scribbled something on the postcard, chit-chatted a bit and off I went to the nearest post office. Didn't make it, though, haha. 

One fine morning in Bali.

The next morning, the last day in Bali, was another Strava time. I walked from Kuta to Seminyak, passing other beaches such as Legian and Double Six. I immediately thought of the trip I had with Endrico, Jimmy and Ardian when I saw Ku De Ta. I'm pretty sure we came here back in 2005. I eventually walked into Montigo Resorts for breakfast while waiting for Alvin to come and fetch me. 

Alvin had been saying that Bali had everything for everyone, that's why people loved it. Each part of Bali had its own character, which probably explained why my cousin moved to Ubud. For this occasion, he wanted to show me this up-and-coming district called Canggu. He told me that this was the hippest place for the Caucasians and it did look like one! 

But the best part of it was Batu Bolong and Echo Beach. For the first time ever in my life, I observed people surfing while listening intently to Alvin's explanation about the sport. Then, before we left Batu Bolong, he asked if my wife was okay with jokes as he wanted to do pranks. I said she was all right, hence I sat down for a pose and he made this picture up, haha. 

In Batu Bolong.
Photo by Alvin.

But all good things must come to an end. As I was leaving Bali later on that day, I thought of things he said before, that there was everything for everybody in Bali. I recalled the experience of just sitting there in Batu Bolong, doing nothing but enjoying the view of people surfing. It gave me a glimpse of how life in Bali was for my friend. I was happy for him and my cousin that they had the best time in Bali, but I never liked the lifestyle the way they loved it. I was just glad that I was flying back to Singapore, where things were so organized and very much in order...



Destinasi: Bali

Baru-baru ini saya ke Bali untuk menghadiri penikahan sepupu saya Dewi. Pernikahan dengan adat Bali ini sangat menarik. Berkumpul bersama keluarga pun terasa menyenangkan. Namun lantas tiba waktunya untuk berpisah dan memulai petualangan sendiri. Saya akhirnya pamit dan menuju Kuta di sore hari berikutnya. 

Kali terakhir saya ke Bali adalah 17 tahun silam. Sudah hampir dua dekade lamanya. Ketika mobil yang saya tumpangi memasuki kawasan Kuta, hati saya terasa deg-degan dan riang karena saya terkenang dengan masa lalu. Kuta sudah berubah banyak, begitu berbeda dengan yang saya ingat. Saya sampai bergumam kepada supir, "saya tidak ingat kalau dulu ada dinding pembatas antara pantai dan jalan. Sepertinya dulu ada KFC atau McD di tepi jalan. Wah, sekarang bahkan ada mal!"

Bersama Alvin di Kuta.
Foto oleh Valerie.

Namun yang paling berkesan di sore itu adalah pertemuan dengan Alvin. Teman yang ini saya kenal sejak SD, tapi pertemuan kita yang terakhir mungkin terjadi di masa kuliah. Waktu itu kita kebetulan berpapasan di Kuching. Di hari itu, setelah kunjungan saya ke Hard Rock Cafe, saya duduk bersama dengannya di pantai sambil menyaksikan matahari terbenam. Terus-terang agak aneh rasanya, haha. 

Alvin sudah tampak percaya diri dari sejak bocah, tapi kini kian terlihat. Melihat dia begitu rendah hati, tenang dan damai, saya jadi tergelitik untuk bertanya. Dia lalu menjelaskan bahwa kehidupan di Bali sungguh cocok baginya. Dia bisa menjadi dirinya dan hidup seperti kemauannya. Hidupnya bebas, senantiasa terasa muda, dan hanya ada satu yang selalu mengingatkannya tentang usia sebenarnya: saat bertemu dengan kita dan anak-anak kita, haha. 

Dia lantas berkisah tentang kiprahnya sebagai arsitek. Dulu dia kuliah dan tinggal di Yogyakarta, tapi perjalanan hidup membawanya ke Bali. Dia jatuh cinta dengan Bali dan tidak terasa sudah 13 tahun tinggal di sana. Bali menawarkan kedamaian spiritual yang dicarinya. Dia juga senang gaya santai dalam berbisnis dan juga kesempatan untuk bergotong-royong membantu sesama. Selain itu, hobi yang digemarinya, mulai dari bermotor sampai berselancar, hanya bisa ditekuni di Bali. 

Dari kiri: nasi tempong, bakmi kepiting, babi guling.

Santap malam mengakhiri pertemuan saya dengannya. Mal di Kuta yang bernama Beachwalk memiliki pujasera yang menjual beraneka masakan mulai dari Jawa sampai Singapura, tapi tidak memiliki menu yang berasal dari Bali. Saya menyantap batagor saat bersama Alvin, namun rasanya saya bisa makan satu porsi lagi. Akhirnya saya kembali ke pujasera dan memesan bakmi kepiting Pontianak, haha. Lumayan otentik rasanya.

Bicara tentang selera nusantara, saya juga sempat mencicipi nasi tempong, makanan khas Banyuwangi. Hati dan ampelanya enak, tapi yang paling lezat adalah sambal cabenya. Saya tidak bisa makan pedas, tapi suka cocol tahu, tempe dan daging sedikit ke sambal. Ternyata enak sekali rasanya. Sambalnya pedas, tapi juga unik karena terasa asin. Saya tidak tahu apa deskripsi yang tepat untuk rasa sambal ini, tapi yang jelas sangat mengundang. 

Tentu saja saya juga harus mencoba babi guling dan keinginan ini akhirnya terjadi di Ubud. Sebelum menempuh perjalanan satu setengah jam dari Kuta, saya mampir dulu ke McD untuk menikmati Paket Panas kesukaan saya. Yang satu ini hanya ada di Indonesia! Di Ubud, saudara saya Andreas membawa saya ke Babi Guling Ibu Oka. Yang satu ini agak kurang lahap makannya. Rasanya lumayan, tapi tidak masuk kategori yang membuat anda kembali karena ingin makan lagi. 

Bersama sepupu Andreas.

Waktu saya di Ubud terasa cepat berlalu. Senang rasanya bisa bertemu dengan Andreas lagi. Lama tidak berjumpa dengannya. Kali terakhir kita mengobrol seperti ini mungkin saat saya bekerja di Jakarta. Sewaktu berbincang, saya jadi teringat lagi bahwa sepupu saya ini memang sangat berbakat. Di masa kanak-kanak dulu, dia membuat komik berdasarkan game yang kita mainkan. Sekarang dia adalah fotografer profesional yang tinggal di Ubud, tempat yang sungguh bertolak belakang dengan Kuta. Suasananya tentram dan cocok baginya. 

Sebelum saya pulang, saya menemukan kartu pos di Ubud. Jika anda heran kenapa saya sampai harus menyebutkan hal ini, alasannya adalah karena kelangkaan kartu pos di Indonesia, bahkan di daerah yang padat dengan wisatawan seperti Bali. Jadi saya bergegas kembali ke Kuta, kali ini dengan menaiki motor. Sampai di pantai, saya bertemu dengan seorang teman SMA yang dipanggil Marga T (dan dia memberikan petunjuk bahwa dia memakai kaus putih, padahal di sekeliling saya banyak yang memakai warna serupa). Kita tulis sesuatu, berbincang sejenak dan saya lanjut ke kantor pos terdekat, tapi tidak keburu, hehe. 

Pemandangan saat Strava.

Keesokan paginya adalah waktu untuk Strava lagi. Saya berjalan dari Kuta ke Seminyak, melewati pantai lain seperti Legian dan Double Six. Saya jadi terkenang dengan liburan saya bersama Endrico, Jimmy dan Ardian saat melihat Ku De Ta. Seingat saya, kita ada ke sini di tahun 2005. Setelah usai Strava, saya masuk ke Montigo Resorts untuk sarapan pagi sambil menunggu kedatangan Alvin.

Teman saya ini sempat bercerita bahwa Bali memiliki sesuatu untuk setiap orang sehingga banyak yang menyukai Bali. Setiap sudut Bali memiliki karakter tersendiri dan ini mungkin alasannya kenapa sepupu saya pindah ke Ubud. Untuk kesempatan ini, Alvin ingin menunjukkan daerah Canggu pada saya. Katanya ini adalah daerah bule yang paling maju dan memang kelihatannya seperti itu! 

Yang saya sukai dari kunjungan ini adalah pantai Batu Bolong dan Echo Beach. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, saya mengamati orang bermain selancar sambil mendengarkan penjelasan Alvin mengenai olahraga ini. Lantas, di kala kita hendak meninggalkan Batu Bolong, dia bertanya apakah istri saya bisa bergurau. Saya katakan padanya bahwa dia cukup toleran terhadap lelucon, jadi saya pun berpose seperti yang diminta Alvin sehingga dia bisa mengunggah foto ini, haha. 

Di Batu Bolong.
Foto oleh Alvin.

Dan liburan akhirnya selesai. Sewaktu saya meninggalkan Bali, saya jadi kepikiran dengan apa yang Alvin katakan, bahwa Bali memiliki sesuatu untuk setiap orang. Saya teringat dengan pengalaman saya di Batu Bolong, di mana saya hanya duduk santai dan tidak melakukan apa-apa, kecuali memandang orang berselancar di kejauhan. Hal ini memberikan saya sedikit gambaran tentang kehidupan teman saya di Bali. Saya turut gembira karena Alvin dan sepupu saya menikmati kehidupan mereka di Pulau Dewata, tapi saya juga tidak kalah senangnya karena akan kembali ke Singapura, tempat di mana segala sesuatu begitu teratur dan efisien... 

Tuesday, May 3, 2022

The First Trip After Corona

At last! It finally happened! In a way, destination: Bali was a historical moment in many levels. It was the first trip after two years of isolated life in the time of corona. It was also a return to Bali after 17 years. If you recalled the last time I saw Nagasaki, there were places I thought I'd never visit again simply because once was enough. Yes, even Bali fell into the same category, especially after I visited the world-famous island three times in a row, from 2004 to 2005. 

Anyway, let's rewind a bit, starting with the title of this blog post. I used the phrase after corona because it was dealt with and done. COVID-19 finally got me and I survived, so let's call it even and part ways. The travel regulation was ever changing (two doses of vaccine and one dose of booster and you are good to go for now) and it only got better since then, so hopefully it stayed that way. 

The corona legacy, or what's left of it, was the PCR test that had to be done within 2x24 hours before the departure time. Since my flight was at 4:10pm on Wednesday, I paid the price of SGD 115 and did it at 4:45pm on Monday. The travel insurance, which was now covering COVID-19, was purchased several weeks earlier. I just loved to be prepared.

So happy that I could travel again!

On the day itself, I was very excited. I shut down my laptop after the lunch hour meeting and happily headed to Changi Airport. It was my first time using the red passport and if it ever felt awkward, it only got weirder when I landed as a foreigner in a country I knew so well and spoke the language fluently. It was surreal. Felt so different and yet the same at the same time.

I don't know if it's just me or due to the fact that I hadn't traveled for quite some time, but it just didn't meet the expectation the moment I arrived. The Bali airport looked below par for what's supposed to be the first impression for a popular tourist destination. It was not chaotic, but the amenities were bare minimum. On top of that, the waiting time to collect the luggage was about 25 minutes, long enough for the excitement to fade away.

As if that wasn't irritating enough, the local number on my BlackBerry phone also didn't work. I happened to retain one prepaid number from long ago and it was able to call and send SMS when I was in Singapore. However, when in Indonesia, the phone failed to get any connection because the IMEI was blocked. This was a rather interesting but quite an unfortunate way to find out how the IMEI blocking works in Indonesia. 

I was lucky that I activated the international roaming (it was SGD 20 and 3GB was more than enough) so I still had the mobile internet connection in Bali. I l eventually learnt that there was actually a tourist prepaid card from Telkomsel (valid for 30 days), but it was way more practical to use the international roaming. People call from WhatsApp these days and Grab drivers call from their app, so throughout my stay in Bali, I didn't have the need to make a call or send SMS.

The hotel view from the restaurant.

Anyway, back to our story, I was tired and hungry by the time I reached Alantara Hotel in Sanur, but the sight of the family was a wonder to behold. It was great to meet uncles, aunties and cousins again. That, plus a plate of fried rice for my dinner and few bottles of Singaraja beer shared among us, surely rejuvenated and prepared me for the next morning, as in quite early in the morning, before sunrise.

Oh yes, we woke up early to get ready for the wedding. There was this Balinese attire we needed to wear and we clearly had no idea how to dress up. Hence a team was mobilised to help us out. Pak Putu then drove us to the wedding venue, which turned out to be a very spacious yard containing Balinese houses here and there. It seemed like the whole immediate family stayed within the same compound. 

Sporting the Balinese attire!

Then began the Balinese wedding. Both the bride and groom were in the traditional attires. My cousin, the bride, had this intricate headgear (and she revealed later on that it was heavy). A priest did the ceremony with two voice actors on stage, narrating the events in Balinese, unknowingly leaving us Chinese wondering what was going on. 

But the situation was eventually rectified. Right after I whispered to my uncle that they should have gotten a MC to translate all this, one of the coordinators came to apologise that they'd just realized we might be confused. It was their first time having a non-Balinese marrying into their family, therefore it took them a while to notice the language issue. 

With my uncles.

Personally, I liked how very friendly and welcoming they were. Balinese wedding was grand and elaborate. Witnessing such a cultural event was an eye-opener. When I couldn't help wondering why the banquet in the late afternoon was kind of quiet, I was told that it lasted for days and some guests might have attended the banquet yesterday. Cool, huh? 

We left when the night came, heading back to hang out in my hotel room. Bali was hot and humid, so it was really nice to hang out in an aircon room. Bottles of beer, this time Bintang, were quickly produced by my uncle. Potato chips and fish crackers were also passed around. It was a fun and memorable family gathering. But now that the wedding was done, tomorrow would be a new adventure, one that would bring me Kuta and Ubud. That, of course, is a story for another time...



Liburan Pertama Setelah Korona

Akhirnya terjadi juga! Liburan ke Bali ini adalah sebuah momen bersejarah. Ini adalah liburan pertama setelah dua tahun terisolir dalam hidup di tengah wabah korona. Selain itu, saya pun kembali ke Bali lagi setelah 17 tahun lamanya. Jika anda ingat dengan kisah kali terakhir saya melihat Nagasaki, ada tempat yang kiranya tidak akan pernah saya singgahi lagi karena sekali saja sudah cukup. Ya, bahkan Bali masuk ke kategori yang sama, terutama setelah saya kunjungi tiga kali berturut-turut di tahun 2004-2005. 

Sebelum kita masuk ke cerita, mari kembali ke judul. Saya gunakan frase setelah korona karena bagi saya sudah selesai. Saya akhirnya terjangkit COVID-19 namun telah pulih kembali, jadi semua yang perlu terjadi pun sudah terjadi. Peraturan mengunjungi Indonesia juga kian hari kian dipermudah (dua kali vaksin dan satu kali booster sudah cukup untuk saat ini) dan semoga saja terus begitu sampai normal kembali. 

Peninggalan korona yang tersisa adalah tes PCR yang harus dilakukan 2x24 jam sebelum jam keberangkatan. Karena jadwal penerbangan saya adalah hari Rabu jam 4:10 sore, maka saya bayar ongkos PCR sebesar SGD 115 dan melakukan tes pada pukul 4:45 sore di hari Senin. Asuransi perjalanan yang kini sudah mencakup perlindungan untuk COVID-19 sudah saya beli beberapa minggu sebelumnya. Saya cenderung lebih suka bersiap-siap dari awal. 

Senangnya bisa jalan-jalan lagi!

Di hari keberangkatan, saya sangat gembira. Saya matikan laptop saya setelah meeting jam makan siang usai, lantas bergegas ke Changi Airport. Ini adalah kali pertama saya menggunakan paspor merah. Ada perasaan janggal dan kian aneh lagi rasanya setelah saya mendarat sebagai orang asing di negeri yang saya kenal baik dan kuasai dengan lancar bahasanya. Rasanya campur aduk, berbeda tapi sama.

Saya tidak apakah ini hanya ekspektasi saya atau karena saya sudah lama tidak berlibur, tapi sejak saya tiba, rasanya tidak sesuai harapan. Sebagai tempat pertama yang dilihat turis saat menginjakkan kaki di Bali, bandara udara Ngurah Rai tidak terlihat mengesankan. Untuk destinasi sepopuler Bali, bandaranya malah tampak biasa. Lumayan teratur, tapi fasilitasnya hampir tidak ada. Selain itu, butuh waktu 25 menit untuk mengambil bagasi. Setelah menunggu cukup lama, kegembiraan di hati pun pudar. 

Seakan-akan ini masih belum cukup menjengkelkan, masih ada lagi masalah dengan nomor lokal di BlackBerry saya. Kebetulan saya memiliki nomor prabayar dari sejak lama dan saya bisa menelepon serta mengirimkan SMS sewaktu berada di Singapura. Kendati begitu, saat berada di Indonesia, saya tidak mendapat sinyal karena nomor IMEI BlackBerry saya diblok. Meski tidak menyenangkan, dari pengalaman ini saya akhirnya memahami cara kerja blokir IMEI di Indonesia.

Saya beruntung karena telah mengaktifkan layanan jelajah internasional (harganya SGD 20 dan 3GB sudah lebih dari cukup), jadi saya tetap memiliki koneksi internet di Bali. Saya akhirnya mengetahui bahwa Telkomsel menjual kartu prabayar khusus turis yang berlaku selama 30 hari, tapi lebih praktis menggunakan layanan jelajah internasional. Sekarang orang cenderung menelepon dari WhatsApp dan para pengemudi Grab bisa menelepon dari aplikasinya, jadi selama saya di Bali, saya tidak memiliki keperluan untuk menelepon secara konvensional atau mengirim SMS.

Pemandangan hotel dari restoran.

Kembali ke cerita, saya sudah lelah dan lapar ketika tiba di Alantara Hotel yang berada di kawasan Sanur. Kendati begitu, senang rasanya bisa bertemu dengan para paman, tante dan sepupu lagi. Pertemuan tersebut, dan juga sepiring nasi goreng dan beberapa botol bir Singaraja yang diminum bersama, membuat saya merasa segar kembali. Saya siap untuk acara besok pagi yang dimulai sebelum matahari terbit.

Oh ya, kita bangun saat hari masih gelap-gulita untuk bersiap-siap. Ada pakaian adat Bali yang harus kami pakai, tapi kami tidak tahu caranya, makanya perlu bantuan para penata rias. Pak Putu kemudian mengantar kami ke tempat pernikahan yang diselenggarakan di sebuah kawasan dengan halaman luas dan rumah-rumah yang saling berdekatan. Sepertinya seluruh keluarga dekat dari pihak suami tinggal di tempat ini. 

Mengenakan busana Bali.

Kemudian prosesi pernikahan pun dimulai. Pengantin pria dan wanita pun menggunakan pakaian adat Bali. Sepupu saya yang menjadi pengantin wanita mengenakan perhiasan kepala yang rumit dan berwarna emas (dan setelah saya tanya, dia bilang perhiasan kepalanya cukup berat). Seorang pemuka agama duduk di tengah dan memimpin jalannya upacara sementara dua orang lain membacakan semacam narasi dalam bahasa Bali.   

Saya terus-terang tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan lantas bergumam kepada paman saya, mungkin akan sangat membantu kalau mereka menyewa seorang MC yang bisa menerjemahkan semua ini. Seorang koordinator acara lalu menghampiri kami dan meminta maaf karena mereka baru menyadari bahwa kami mungkin tidak mengerti rangkaian acara ini. Ternyata ini adalah kali pertama mereka menerima menantu yang bukan orang Bali, jadi lupa bahwa ada kendala bahasa. 

Bersama paman-paman saya.

Secara pribadi, saya sangat terkesan dengan keramahtamahan orang Bali. Pernikahannya pun sangat kental dengan budaya lokal yang khas Hindu. Ada satu momen di mana saya merasa bingung, kenapa resepsinya terlihat sepi. Kemudian saya mendapat penjelasan bahwa resepsi ini sudah berlangsung beberapa hari dan tamu-tamu lain mungkin sudah datang sebelumnya. Dahsyat, ya? 

Kami kembali ke hotel ketika hari sudah malam. Bali sungguh panas dan lembab, jadi enak rasanya berkumpul di ruangan ber-AC. Bir Bintang pun beredar. Keripik kentang dan kerupuk ikan juga berpindah tangan saat kita berbincang. Senang rasanya berkumpul, sebab kita jarang bertemu. Namun pernikahan pun selesai sudah. Hari esok akan membawa saya ke Kuta dan Ubud. Petualangan ini akan mengisi cerita berikutnya... 

Sunday, April 17, 2022

Bitterness

A recent coversation between some of my high school friends and I revealed a lovely surprise that they also enjoyed to be in WhatsApp group for the same reason: it was kinda like a sanctuary for us. In a world where we were expected to play many other roles, the group chat allowed us to be ourselves. 

At the same time, having so many different personalities in one group was not without its fair share of problems. The chemistry could be so volatile sometimes that it threw the group off balance. As a long time member, I had seen some ugly truth happening from time to time. 

Bitterness was one of them. The pattern, as I observed it, was typical. The resentment bottled up throughout a certain period of time. As it wasn't let go, it was bound to erupt one day. Whether the victims realized it or not, the bitterness clouded their judgement unnecessarily. Before they knew it, whatever the other person said or did, it just seemed wrong and annoying. That eventually led to a clash.

When that happened, more often than not I was partly blamed for making it worse as I thrived in chaos. As the one nicknamed gas stove, I just loved roasting them when opportunities knocked, haha. But in more calm and thoughtful moments, I actually pitied those who were trapped in bitterness. It was sad, really.

I remember talking to one friend, theorizing that perhaps it got to do with the upbringing. I was no expert, but the bitterness was, perhaps, the unsettled trauma that happened in someone's childhood. It lodged in there, laying dormant, never truly forgotten nor let go. Deep down inside, you still hated it for happening and you'd subconsciously try compensate it now. In this context, it was at the cost of somebody else you decidedly didn't like.

Oh yes, that happened, too. This bitterness could be so problematic that some of us actually nursed the hatred towards somebody else, be it intentionally or not. In the two cases that happened, those guys never interacted with each other for the longest time and started off on the wrong foot in the group. The first impression was awful, it only got worse, then came the day when it blew up.

I'd say it was a petty mindset. I failed to understand why a person would harbour such thoughts and, back to what I said earlier, it was probably because I had a carefree attitude and happy upbringing that I didn't feel the need to hate the world. Oftentimes, I just simply laughed it off while muttering my favourite mantra from John Lennon: "how do you sleep at night?"

But my perspective aside, what I'd like to emphasize here was the danger of how toxic bitterness was. You nurtured it, oblivious to the fact that the bitterness ate you inside out. The reality was, for all the energy and thoughts you spent, did all this make you a better person than the one you condemned? 

I somehow doubted that, but what mattered here is how the person in question saw it. If you were humble enough to realize that it wasn't right, that it didn't make you a better person, then perhaps it's time to let the bitterness go. You were definitely better off without it...

Probably the only bitterness you need in life...



Kepahitan

Baru-baru ini, percakapan dengan beberapa teman SMA membuat saya menyadari bahwa mereka ternyata juga menyukai grup WhatsApp SMA karena alasan yang sama: grup ini bagaikan suaka yang aman bagi kita semua. Di dunia di mana kita memainkan begitu banyak peran, mulai dari pasangan hidup, orang tua sampai aneka profesi di lingkungan kerja, hanya grup ini yang memberikan kesempatan sejenak bagi kita untuk menjadi diri sendiri. 

Meskipun demikian, di saat yang sama, menyatukan berbagai macam kepribadian di dalam satu grup juga bisa melahirkan beragam masalah. Dinamika hubungan di dalam grup yang bebas mengutarakan pendapat bisa dengan cepat berubah bilamana yang satu tersinggung oleh perkataan yang lain. Sebagai anggota yang sudah lama di grup, saya sudah cukup sering menyaksikan peristiwa seperti ini. 

Ada kalanya kepahitan menjadi awal dari sengketa ini. Pola yang saya amati sejauh ini biasanya kurang-lebih sama. Ada rasa tidak senang yang disimpan di dalam hati dalam kurun waktu tertentu. Karena selalu dipendam, lama-lama pasti meluap. Entah disadari atau tidak, kepahitan cenderung mempengaruhi sudut pandang seseorang dalam menilai sesuatu. Alhasil, apa pun yang dikatakan orang lain selalu terdengar salah dan menyebalkan. Pada akhirnya ini hanya masalah waktu sebelum pertikaian itu terjadi. 

Saya akui, terkadang saya terlibat dalam kemelut yang terjadi karena banyak kesempatan untuk berbuat konyol di tengah kekacauan. Sebagai orang yang dijuluki kompor gas, saya sulit melewatkan peluang untuk turut berpartisipasi, haha. Akan tetapi, ketika saya memiliki waktu untuk melihat kembali apa yang terjadi, misalnya saat saya sedang menulis seperti sekarang, saya sebenarnya kasihan dengan mereka yang terperangkap dalam kepahitan. Sejujurnya ini sungguh sebuah perkara yang sedih. 

Saya ingat saat berbincang dengan seorang teman. Saya merasa bahwa kepahitan ini ada hubungannya dengan masa lalu. Saya bukan pakar, tapi tampaknya kepahitan ini bisa jadi bermula dari trauma yang terjadi di masa kecil seseorang. Kepahitan ini begitu membekas, tidak terlupakan dan malah dipendam. Di dalam lubuk hati terdalam, ada rasa tidak terima, kenapa ini bisa terjadi, sehingga tanpa sadar sampai hari ini pun anda masih berusaha melakukan sesuatu untuk menebus kepahitan di masa lalu. Di dalam konteks cerita kali ini, terkadang semua ini dilampiaskan kepada orang yang tidak anda sukai. 

Oh ya, ini adalah sesuatu yang nyata dan sungguh terjadi. Kepahitan bisa terasa sangat pedih sehingga seseorang bisa menyimpan rasa benci kepada orang lain, baik dengan sengaja atau tidak. Di dalam dua kasus yang pernah terjadi, sesungguhnya dua orang yang bertikai ini tidak begitu mengenal satu sama lain dan juga tak pernah berinteraksi lagi dari sejak lama. Ketika mereka kembali bertemu di grup, awal hubungan ini tidak mulus karena sesuatu dan lain hal. Karena kesan pertama sudah buruk, selanjutnya menjadi kian buruk dan akhirnya tiba hari di mana rasa tidak suka yang terpendam pun mencuat ke permukaan. 

Terus-terang saya rasa ini adalah pola pikir yang picik. Saya gagal memahami kenapa orang bisa berpikir seperti itu, tapi ini mungkin karena saya memiliki watak yang riang dan masa kecil yang bahagia sehingga saya tidak merasa perlu untuk tidak menyukai orang lain. Seringkali saya hanya tertawa sambil mengucapkan mantra favorit saya dari John Lennon: "bagaimana mereka bisa tidur dengan nyenyak di malam hari?" 

Selain sudut pandang saya di atas, yang lebih ingin saya tekankan adalah bahaya dari kepahitan itu sendiri. Kalau sampai anda pelihara kepahitan itu, anda mungkin tidak menyadari bagaimana kepribadian anda berubah karena digerogoti dari dalam. Kenyataannya adalah, apakah energi dan beban pikiran anda dalam memupuk kepahitan ini membuat anda menjadi pribadi yang lebih baik dari orang yang tidak anda sukai? 

Saya jujur merasa ragu, tapi yang penting di sini adalah bagaimana anda sendiri melihatnya. Jika anda cukup rendah hati untuk mengakui bahwa ini tidaklah benar dan tidak membuat anda menjadi lebih baik, mungkin sudah waktunya untuk merelakan dan mengikhlaskan kepahitan ini. Buat apa lagi? Saya yakin anda akan lebih baik tanpa kepahitan di hati...

Sunday, April 10, 2022

Through The Looking Glass

This story began with a really bad news for BlackBerry fans like me: OnwardMobility, a company that promised to deliver a 5G BlackBerry phone, decided to fold. I was so disappointed. The last hope for BlackBerry's revival was gone!

From OnwardMobility.

I had been sticking with Titan Pocket, the BlackBerry wannabe, since October 2021 while patiently waiting for the real deal to return. Since it wasn't going to happen and the dream was over, I switched to my favourite back-up plan: Google Pixel. It was no secret that I loathed the subpar camera of Titan Pocket, especially when I took pictures at night. With that in mind, if I were to change my phone, I knew I had to go for the best one there was.

In the meantime, I'd been doing my Strava time for a while. I enjoyed the activity and I would, from time to time, take the pictures of the nice views that I saw. The result taken with Titan Pocket thus far was never that nice. The color was so dull, it was laughable. But that was I had and after five months, the poor quality became a norm to me.

A picture from one fine afternoon.

Imagine my surprise when I took one with Google Pixel 6 in one late afternoon, as I passed by the pub where I once had a drink with Endrico and Ardian. It was spontaneous and effortless, as I just simply snapped it as I walked, but yet the photo was so gorgeous. It looked unbelievably zen that it somehow reminded me of the Carpenters' song: "and when the evening comes, we smile..."

Later on that night, I took another picture. It was actually quite dark, but the result was still something pretty amazing. It had just the right amount of brightness and vivid color. I liked what I saw and I wished to share them as well. That's when I thought of posting at most four pictures for each Strava time!

And when the evening came.

The idea was to show the many sides of Singapore that really caught my eyes. My Strava time had given me chances to explore the sides of Singapore I hadn't seen before. It also allowed me to connect the dots. One example that happened recently was Tanglin Road. Just realized that it led to Alexandra Road, which was quite a walking distance from Orchard. I enjoyed discovering parts of the city that I never knew before and got me saying, "oohhh."

I loved the fact that Singapore was not only beautiful and clean, but also so thoughtfully and thoroughly developed. On top of that, it still had its fair share of surprises. Oh yes, I even bumped into a group of boarlets in Hillview! And as excited as I was to see them roaming in the city, I detoured a bit and avoided them, haha.

The wild boars!

Singapore was the sum of many things: the green hills, the lush parks, cultural places, the skyscrapers in the CBD areas, etc. But what did I like the most? I liked it best when the water, the bright blue sky, the greeneries and the high-rise buildings blended seamlessly in one beautiful landscape. Love capturing it through the looking glass of Google Pixel!

PS: this story was still written using BlackBerry Key2. The great feeling of typing on it was still irreplaceable!

My favorite view!



Lewat Lensa Kamera

Cerita kali ini dimulai dari kabar buruk bagi penggemar BlackBerry seperti saya: OnwardMobility, sebuah perusahaan Amerika yang menjanjikan BlackBerry 5G, mendadak gulung tikar di bulan Februari. Saya sungguh merasa kecewa. Kebangkitan BlackBerry yang saya tunggu-tunggu mendadak sirna begitu saja.

From OnwardMobility.
 
Saya telah dengan sabar menggunakan imitasi BlackBerry yang bernama Titan Pocket sejak October 2021 sambil menantikan peluncuran BlackBerry terbaru. Ketika impian ini buyar, saya akhirnya mengeksekusi rencana cadangan saya: Google Pixel. Bukan rahasia lagi kalau saya tidak suka dengan hasil jepretan Titan Pocket, apalagi di malam hari. Berbekal ketidakpuasan ini di benak saya, saya ingin menggunakan kamera telepon Android terbaik bila saya membeli yang baru. 

Di saat yang sama, saya juga sudah menekuni rutinitas Strava untuk beberapa bulan lamanya. Saya menikmati aktivitas ini dan dari waktu ke waktu, saya suka mengambil foto pemandangan yang saya temui. Sejauh ini, foto Titan Pocket tidak bagus dan seperti luntur warnanya. Akan tetapi selama lima bulan terakhir, hanya itu yang saya punya dan lambat-laun saya jadi terbiasa melihat kualitas fotonya yang buruk.

Foto di suatu senja.

Bayangkan betapa terkejutnya saya ketika saya dengan iseng memotret dengan Google Pixel 6 di suatu senja saat saya sedang Strava dan melewati tempat di mana saya, Endrico dan Ardian pernah minum bersama dulu. Aksi saya ini spontan dan saya mengambil gambar selagi berjalan, namun tak disangka bahwa fotonya terlihat memikat. Fotonya tampak begitu tenang dan damai, mengingatkan saya pada lirik lagu Carpenters: "and when the evening comes, we smile..."

Di malam yang sama, saya kembali memotret. Saat itu sebenarnya cukup gelap, tapi hasil fotonya masih sangat mengesankan. Pencahayaannya cukup dan warnanya pun menonjol. Saya suka dengan apa yang saya lihat dan jadi ingin membagikannya di media sosial. Di saat itulah saya jadi berpikir untuk mengunggah maksimal empat foto setiap kali saya Strava. 

Ketika malam tiba. 

Foto-foto ini menampilkan sisi kota Singapura yang menarik perhatian saya. Aktivitas Strava memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi bagian Singapura yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya juga akhirnya jadi tahu setiap sudut kota. Sebagai contoh, Tanglin Road. Selama ini saya hanya tahu bahwa kawasan Tanglin itu di dekat Orchard, namun baru-baru ini saya temukan bahwa jalan ini mengarah ke Alexandra Road. Ada rasa kepuasan tersendiri saat tahu bahwa, "ohh, ternyata tembus ke sini."  

Eksplorasi ini mengingatkan saya kembali bahwa Singapura bukan hanya sebuah kota yang indah dan bersih, tapi juga dibangun dengan perencanaan yang matang di setiap jengkalnya. Meskipun demikian, kota ini masih saja menyimpan kejutan. Oh ya, saya bahkan sempat berpapasan dengan tiga ekor babi hutan di daerah Hillview! Melihat binatang liar di tengah kota adalah suatu pengalaman unik, meskipun saya harus memutar sedikit lebih jauh supaya aman, haha. 

Babi hutan!

Singkat kata, Singapura ada perpaduan dari banyak pemandangan, mulai dari bukit yang hijau, taman yang rindang, aneka tempat budaya sampai pencakar langit di daerah perkantoran dan lain-lain. Tapi apa yang paling saya sukai? Pemandangan favorit saya adalah aliran air, langit biru, hijaunya daun dan gedung-gedung tinggi yang menyatu menjadi satu pemandangan yang indah dan rapi. Saya suka melihat dan mengabadikannya dari balik lensa Google Pixel!

PS: cerita ini masih ditulis dengan BlackBerry Key2. Nikmatnya belum tergantikan!

Pemandangan favorit saya.

Wednesday, March 16, 2022

COVID-19: End Of The Line?

The COVID-19 pandemic had been a long, strange and exhausting journey so far. I heard of SARS and MERS before, but this was the first time I saw a pandemic of this scale. Even H1N1, the last full-blown pandemic that happened worldwide back in 2009, didn't seem to last this long. To be frank, I barely had any recollection of how life was during H1N1. 

But COVID-19 was surely a life-changing experience and a rather scary one, if I might add. From just something I heard happening in Wuhan, it came to Singapore in early 2020. I could sense how tense and uncertain the situation was. Then, before long, it changed life as we knew it. We suddenly wore mask, worked from home and met online. I wryly joked sometimes that a new generation was born not knowing that there were times when we actually didn't wear mask.

Right before Delta: the quiet and eerie atmosphere at Shenton House during lunch time.
Photo by Keenan.

When the pandemic first happened and all the preventive measures including lockdown were introduced, it felt rather strange. Raffles Place, a bustling business district, became a ghost town. At the center of this peculiar time was COVID-19 itself. Alpha variant, as we called it then, was so mysterious that when somebody contracted it, we knew it was bad, but we couldn't tell how bad it was because we knew only so little about it.

Then came the time when vaccinations started, but COVID-19 also returned with a vengeance. The Delta strain appeared and it was the deadliest so far. The death toll hit the roof and it felt like COVID-19 was closing in, because we always heard about someone we knew infected by it almost on daily basis. 

Having lunch at Potong Pasir.

I had to say that I had been so sick of living like this. It was sickening to be confined in fear and uncertainty. As I had this meal on 5 October 2021 (I knew the exact date because that was when I got my Titan Pocket and the picture taken here was sync-ed seamlessly to the cloud), I remember thinking how on earth we were going to survive this. COVID-19 didn't seem like going away, so I became convinced that the only way out of this was to be immune to it. 

What I didn't foresee, of course, was the appearance of Omicron about one month later. This one was more contagious, but less deadly than Delta. Even though the number of cases increased exponentially, it didn't seem to matter that much anymore. I was wondering why Delta seemed like disappearing overnight, as if it was replaced by Omicron. Then I saw this explanation in Time magazine:

"Textbook teach that viruses, being a relatively simple entities they are, have limited resources to devote to their one goal: survival. Every time they make copies of themselves, viruses can mutate to become more or less infectious, or more or less harmful to their hosts. Because a virus can't reproduce on its own, and need to borrow the reproductive machinery of cells from those it infects, it's all about balance: finding the mutations that allow it to spread more effectively, while not causing its hosts to die."

Three days and counting...

The explanation made sense. It was also in-line with what I had in mind. We had gone a long way, so long that it was no longer the question of how to avoid it, but when I would have it. When I was tested positive, I was relieved. It was like, "finally, it's my turn." It was ironic how this actually felt right. But like I said earlier, it had been a long, strange and exhausting journey, and hopefully it ended here.

Now, how bad was COVID-19 today? What I felt was slight body ache (on the day before I was tested positive) and a feverish feeling that came together with nose and throat discomfort, as if there were mucus and phlegm. Not much worse than normal, full-fledged flu. The scarier part was probably the psychological factor. After seeing how damaging COVID-19 was throughout the pandemic, there was this thought that it shouldn't be taken lightly...



COVID-19: Akhir Dari Sebuah Pandemi?

COVID-19 sungguh merupakan sebuah perjalanan yang panjang, aneh dan juga melelahkan. Saya pernah dengar tentang SARS dan MERS sebelumnya, tapi baru kali ini saya melewati pandemi dengan skala seperti ini. Bahkan H1N1, pandemi yang terjadi secara global di tahun 2009, tidak terasa berlarut-larut seperti ini. Jujur saya katakan bahwa saya tidak memiliki kenangan seperti apa hidup kita ketika H1N1 melanda.

Tidak diragukan lagi bahwa COVID-19 adalah suatu pengalaman yang bukan saja mengubah hidup, tapi juga cukup mengerikan. Bermula dari berita sayup-sayup tentang kejadian di Wuhan, COVID-19 tiba di Singapura pada awal 2020. Saya ingat betul suasana mencekam yang terasa saat hal ini diumumkan. Tak lama setelah itu, hidup berubah total. Kita mendadak mengenakan masker, bekerja dari rumah dan bertemu lewat Zoom. Terkadang saya bergumam dengan kecut bahwa telah lahir generasi yang percaya bahwa kita selalu memakai masker setiap hari. 

Sebulan sebelum Delta: suasana yang sepi di Shenton House pas jam makan siang.
Foto oleh Keenan.

Ketika pandemi dimulai dan segala macam proses kesehatan termasuk lockdown diterapkan, rasanya aneh sekali. Raffles Place, kawasan bisnis yang biasanya sibuk, menjadi sepi seperti kota mati. Di tengah suasana yang galau ini COVID-19 pun merebak. Varian Alfa, nama yang kita kenal pada saat itu, begitu misterius dan bagaikan aib. Ketika ada yang terjangkit, kita tahu ini kabar buruk, tapi tidak tahu seberapa buruk karena informasi saat itu masih simpang-siur.

Saat mulai masanya vaksinasi, COVID-19 juga berubah menjadi lebih dahsyat lagi dari sebelumnya. Muncul yang namanya varian Delta dan lebih mematikan pula dampaknya. Angka kematian melambung tinggi dan COVID-19 seperti datang menghimpit, sebab setiap hari selalu terdengar kabar si ini terjangkit dan si itu meninggal. 

Makan siang di Potong Pasir.

Ada kala di mana saya merasa betapa menyedihkan hidup seperti ini. Tidak sepatutnya kita menjalani hidup yang dirundung ketakutan dan ketidakpastian. Pada tanggal 5 Oktober 2021 (saya tahu persis tanggalnya karena saat itu saya baru ganti ke Titan Pocket dan foto yang diambil ini pun tersimpan di cloud secara otomatis), ketika saya menikmati makanan ini, saya jadi kepikiran tentang bagaimana pandemi ini akan berakhir. COVID-19 tampaknya tidak akan hilang begitu saja dan saya pun jadi yakin bahwa satu-satunya kunci untuk selamat dari semua ini adalah imunitas. 

Apa yang tidak pernah saya duga adalah kemunculan Omicron di bulan berikutnya. Yang satu ini lebih gila lagi penyebarannya, tapi tidak sebengis Delta yang membunuh banyak orang. Meski kasus COVID-19 bertambah lebih cepat dari sebelumnya, tiba-tiba angka yang naik drastis itu tidak lagi terasa seperti masalah. Saya sempat heran, kenapa Delta sepertinya hilang dan tergantikan begitu saja oleh Omicron. Lalu saya temukan penjelasan berikut ini di majalah Time:

"Buku pelajaran mengajarkan bahwa sebagai sebuah entitas yang relatif sederhana, virus hanya memiliki sedikit sumber daya untuk mencapai satu tujuan mereka: bertahan hidup. Setiap kali menggandakan diri, virus juga bisa berubah menjadi lebih menular atau kurang menular dan juga menjadi lebih berbahaya atau kurang berbahaya bagi tuan rumah yang ditumpanginya. Karena virus tidak bisa bereproduksi sendiri dan butuh sel reproduktif dari tuan rumah yang dijangkiti olehnya, maka pada akhirnya yang penting adalah keseimbangan: bermutasi menjadi versi yang lebih efektif dalam penularan dan juga tidak membunuh orang yang tertular."

Menghitung hari...
 
Penjelasan ini masuk akal dan juga sejalan dengan apa yang saya pikirkan. Kita sudah melewati pandemi sampai sejauh ini, sebegitu jauhnya sampai-sampai pertanyaannya bukan lagi bagaimana cara mengelak dari COVID-19, tapi kapan kiranya saya kena. Dan ketika hasil tes saya positif, yang muncul justru perasaan lega. Rasanya seperti, "akhirnya giliran saya." Fakta bahwa ini terasa benar sesungguhnya sangat ironis. Namun seperti yang saya katakan sebelumnya, perjalanan melalui pandemi itu sungguh panjang, aneh dan melelahkan. Semoga saja berakhir sampai di sini. 

Nah, bagaimana rasanya terjangkit COVID-19 di masa sekarang? Ada sedikit rasa pegal-pegal di badan sehari sebelum hasil tes saya positif. Ada pula sedikit demam yang disertai rasa tidak nyaman di hidung dan tenggorokan, seolah-olah ada banyak lendir dan dahak. Selain dampak yang disebutkan barusan, saya masih memiliki konsentrasi cukup untuk bekerja sepanjang hari. Sisi yang agak menakutkan mungkin berasal dari faktor psikologis. Setelah mendengar begitu banyak korban dari cerita teman dan kerabat, terus-terang ada rasa was-was di benak bahwa sebaiknya ini tidak dianggap enteng...

Saturday, March 12, 2022

Say Cheese

Pontianak in the 80s was a town where you probably knew quite a fair bit of fancy things that existed then, but you simply couldn't get them there. While I couldn't speak for others, this could be the reason why I appreciated many little things in life. One of them, believe it or not, was cheese.

When I was a kid, sliced breads were typically served with Blue Band (I actually didn't know it was called margarine) and white sugar. Cheese, on the other hand, was a luxury that only came into my life much later on. Oh yes, a luxury. It was a different time then. There was even a song called Singkong Dan Keju, which literally meant Cassava And Cheese. It was about how cheese was so foreign as the singer was only a cassava-eating man. 

I remember that the cheesy Pizza Hut was often a popular gift people brought from Jakarta back then. While my parents and older generation disliked cheese (and therefore pizza), I kind of liked it. I mean, if Ninja Turtles ate it, too, it must be cool and fancy. It just couldn't go wrong for kids my age.

For the longest time, I knew only Kraft Singles that fitted nicely in slice breads. I remember my friend Angelia talking about other types of cheese back in high school (she was the cultured one among us at that time, hence the knowledge), but the cheese she talked about was either unavailable in Pontianak or too expensive for me to buy. 

Gouda.

Fast forward to many years later, I watched Marshall from How I Met Your Mother offering gouda to every guest in his house. The funny sounding name stuck in my mind. Even more encouraging was this cheese section at the FairPrice Finest, the supermarket not very far from Endrico's house. The cheese section always attracted my attention. I often stopped there to browse when I visited the supermarket, but never quite knew what to choose. 

Then came a day when my friend STV brought us to enjoy dinner and wine. He surely knew the good stuff! For the first time ever, I tasted varieties of cheese accompanied with red wine. It was brilliant! All this while I only ate cheese as part of something else, let's say a burger ingredient. Trying cheese as something we ordered from the menu was a great experience!

Looking back, Angelia was right. I just didn't understand it then. Parmesan, mozzarella, cheddar, gouda, blue cheese... whatever the type of the cheese was, they were delicious. Some cheese had acquired taste or stinky smell, but once you went past that, it was actually a delight. It was not cheap, but definitely worth the money...

STV (left) and the night we had the wine pairing dinner.



Tentang Keju

Pontianak di tahun 80an adalah kota kecil di mana anda mungkin tahu beberapa hal asing yang menarik, tapi susah didapatkan di sana. Saya tidak bisa berbicara mewakili yang lain, tapi mungkin itu alasannya kenapa saya jadi menghargai hal-hal kecil dalam hidup. Salah satunya, percaya atau tidak, adalah kenangan tentang keju.

Ketika saya masih bocah, roti tawar biasanya disajikan dengan Blue Band (saya bahkan tidak sadar bahwa nama sebenarnya itu margarin) dan gula pasir. Saat itu keju merupakan sesuatu yang baru, mewah dan tidak begitu dikenal. Oh ya, mewah. Bahkan sampai ada lagunya yang berjudul Singkong Dan Keju, di mana penyanyinya bercerita tentang sang gadis yang menyukai keju sedangkan dirinya hanyalah anak singkong. 

Saya ingat bahwa Pizza Hut merupakan oleh-oleh yang populer dari Jakarta pada saat itu. Orang tua saya dan generasi yang lebih tua tidak menyukai keju (dan juga pizza), tapi saya cukup menyukainya. Kalau Kura-kura Ninja suka, maka rasanya sudah benar. Pasti cocok untuk mereka yang seusia dengan saya.

Dari kecil hingga dewasa, saya hanya tahu keju Kraft Singles yang pas ukurannya di roti tawar. Saya ingat bahwa di masa SMA, teman saya Angelia pernah bercerita tentang aneka keju (di antara teman-teman dekat, dia tergolong berbudaya sehingga mengerti tentang hal ini), tapi apa yang dia ceritakan tidak ada di Pontianak atau tidak terjangkau harganya oleh saya.

Gouda.

Bertahun-tahun kemudian, saya menonton Marshall menawarkan gouda ke tamu-tamu dalam salah satu episode How I Met Your Mother. Nama yang unik ini membekas di ingatan saya. Yang lebih menggoda lagi sekarang adalah satu etalase khusus keju di FairPrice Finest, supermarket di dekat rumah Endrico.  Saya seringkali berhenti sejenak untuk melihat berbagai jenis keju, namun tidak pernah tahu pasti yang mana yang harus saya beli. 

Kemudian tiba hari di mana teman saya STV mengajak makan malam dan minum wine. Dia paham makanan barat yang enak! Untuk pertama kalinya, saya mencicipi tiga macam keju yang dinikmati bersama minuman anggur merah. Lezat rasanya! Selama ini saya hanya menyantap keju sebagai bagian dari makanan lain, misalnya burger. Mencoba keju sebagai makanan tersendiri dari bagian santap malam adalah pengalaman yang sedap dan berkesan. 

Kalau saya lihat kembali, cerita Angelia benar adanya. Hanya saja waktu itu saya tidak mengerti. Parmesan, mozzarella, cheddar, gouda, blue cheese... apa pun tipe kejunya, memiliki kenikmatan tersendiri. Ada keju yang agak aneh rasanya atau bau aromanya, tapi sebenarnya enak kalau sudah terbiasa. Keju tidak murah, tapi kelezatannya sebanding dengan harga yang dibayar. Mari dicoba!

STV (left) and the night we had the wine pairing dinner.